Sasi berlari terengah-engah ketika ia ingin segera sampai di halte bus yang cukup jauh dari restoran tempatnya bekerja. Sesekali Sasi melirikkan matanya kembali ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih. Jarak antara restoran ke halte bus memang cukup jauh, beberapa kali pengendara ojek o****e dan taksi menawarkan diri meminta ditumpangi oleh Sasi. Namun, perempuan yang mengikat rambutnya secara asal itu lebih memilih untuk berjalan kaki untuk sampai ke halte bus. Sasi berpikir jika sisa uangnya dapat ditabung untuk keperluan sang ayah yang masih membutuhkan banyak biaya.
Tiba-tiba saja terbesit dalam ingatan Sasi dengan sosok Linggar. Pria yang begitu disukainya namun diantara keduanya tidak memiliki hubungan apapun. Dan sekarang, sosok linggar sedang berada di luar negeri, karena pria itu sedang menjalankan perusahaan ayahnya di Amerika.
Waktu yang sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Jalanan masih terlihat ramai, dengan kendaraan mobil yang melaju santai di setiap ruas jalan. Ia harus segera sampai di rumah. Namun, ketika Sasi masih berjalan tertatih karena merasa lelah. Matanya mengarah ke sebuah mobil Alphard yang sedang berhenti karena lampu merah yang memaksanya harus berhenti.
Kedua mata Sasi membulat dan terus memperhatikan si pengemudi mobil yang tidak asing baginya. Karena begitu jelas oleh penglihatan Sasi jika orang yang sedang mengemudi mobil adalah Linggar, laki-laki yang sangat dicintainya.
“L-linggar?!”
“Apa dia Linggar?” tanya Sasi pada dirinya sendiri yang berusaha melihat dengan jarak dekat.
Secara perlahan Sasi tercengang jika sosok laki-laki di dalam mobil sambil tersenyum ke arah perempuan yang berada di sebelahnya, memanglah Linggar. Namun yang membuat Sasi masih tidak percaya jika Linggar sedang mengecupi punggung tangan perempuan yang tidak dikenalnya. Keduanya tampak begitu mesra, layaknya pasangan kekasih yang sedang memadu asmara.
“Nggak mungkin ... Linggar ‘kan lagi ada di luar negeri, dia sedang menangani bisnis papanya. Tapi ....” Sasi kembali mengucek matanya untuk memastikan agar apa yang dilihatnya salah.
“Deg ... Deg ....”
Detak jantung Sasi berjalan tidak normal ketika meyakini jika pasangan yang berada di dalam mobil itu benar-benar Linggar. Tak lama traffic light berubah menjadi hijau, para pengendara mobil yang lain termasuk Linggar segera melanjutkan kendaraannya kembali, dengan posisi tangan Linggar yang masih mengusap wajah perempuan di sampingnya itu dengan lembut.
“Linggar!” teriak Sasi dengan sekerasnya. Namun nihil teriakannya sama sekali tidak terdengar oleh laki-laki yang sudah berada dengan jarak yang begitu jauh dengan dirinya berdiri.
Ketika Sasi yang hendak mengejar mobil Linggar, bersamaan dengan datangnya bus. Sasi berusaha menormalkan keadaannya dan berpikir jika pria itu bukanlah Lingar, dan mungkin dirinya hanya salah lihat atau sedang berhalusinasi karena sejak tadi pikirannya memang dipenuhi oleh Linggar, karena rasa rindu Sasi terhadap pria itu.
***
Win yang sedang fokus menyetir sesekali melirikkan matanya ke arah Kim yang sedang terlihat memikirkan sesuatu, tatapan dan raut wajah pria itu tampak tak biasa di dalam penglihatan Win. Sikapnya sedikit aneh seperti seorang yang sedang jatuh cinta setelah bertemu dengan pelayan restoran tadi.
Perlahan, sudut bibirnya berkembang dengan sempurna, menyiratkan senyuman manis yang jarang dilihatnya dari sosok Kim Andersean.
“Dewi Sasikirana, bukankah itu nama yang sangat indah, Win?” tanya Kim tersenyum simpul ke arah Win.
“Ehm, iya Pak Kim. Namanya sangat indah,” jawab Win bingung dan hanya mengiyakan saja.
“Haha, kenapa wajah dan sikap dari perempuan itu terus terngiang di wajah saya, Win. Belum pernah saya merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama seperti ini, bahkan sesaat saya berhadapan dengannya tadi, jantung saya ... terus berdetak dengan kencang.”
Win merasa lega, pada akhirnya jika atasannya ini memang benar-benar seorang pria normal yang menyukai perempuan, karena selama Win bekerja dengan Kim, belum pernah ia melihat jika Kim benar-benar menyukai seorang perempuan atau memikirkan seorang perempuan, sehingga banyak orang yang berspekulasi jika atasannya ini penyuka sesama jenis.
“Ehm, apa Pak Kim benar-benar menyukai pelayan perempuan tadi?” tanya Win sekali lagi karena ia masih belum percaya.
Tatapan dari Kim mendadak berubah seketika. “Kamu pikir saya hanya bercanda jika menyukai seseorang? Tentu saja saya sudah memiliki perasaan kepada perempuan itu, Win. Saya begitu sulit untuk jatuh cinta. Namun, ketika saya sudah merasakan benar-benar jatuh cinta dan jantung saya bergetar ketika dihadapkan dengan perempuan yang saya sukai. Saya akan terus berusaha mendapatkannya dengan cara apapun.” Jawab tegas Kim.
Tidak ada yang dapat dikatakan lagi oleh Win, selain mengiyakan segala perkataan dari atasannya ini. Ada rasa bahagia dan rasa heran mengapa atasannya bisa jatuh cinta kepada seorang pelayan.
***
Setibanya di depan rumah, Sasi segera masuk ke dalam rumah. Namun kedatangannya ini justru langsung ditatap tajam oleg ibu tirinya yang sedang berdiri di depan pintu, sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?” tanya Lydia yang memelototkan matanya ke hadapan Sasi.
“Sasi habis pulang kerja, Bu,” jawabnya santai karena memang terasa lelah hari ini. Walaupun sudah terlihat wajah kelelahan dari perempuan itu.
“Kerja?! Nggak biasanya kamu pulang kerja selarut ini, Sasi. Kamu nggak usah bohong deh, pergi ke mana saja kamu? Apa kamu pergi kelayapan dulu, baru pulang?”
Sasi mengembuskan napasnya pelan, berusaha tidak terbawa emosi untuk meladeni setiap perkataan ibu tirinya yang memang menyakitkan.
“Sasi setiap hari bekerja, Bu. Nggak mungkin Sasi kelayapan nggak jelas, lagi pula malam ini memang pengunjung restoran begitu banyak, nggak seperti hari-hari biasanya. Makanya Sasi lembur.”
Terlihat wajah Lydia yang mengerti sekarang dengan penjelasan Sasi, tapi tetap saja perempuan itu tidak pernah suka dengan anak tirinya ini. Apapun yang diucapkan oleh Sasi selalu salah di matanya.
“Kenapa ibu nggak memasakkan makanan untuk ayah?” tanya Sasi lekat menatap wajah Lydia.
“Kamu ‘kan anak kandungnya dan kamu yang lebih berhak untuk menyiapkan makanan untuk ayahmu yang nggak berguna, karena saya sudah nggak mau melayani atau bahkan merawat ayahmu yang penyakitan itu,” ketus Lydia yang berlalu pergi begitu saja.
Saki hati yang dirasakan oleh Sasi, ketika laki-laki yang sangat dicintainya malah direndahkan oleh istrinya sendiri. Bahkan setelah sang ayah jatuh bangkrut dan menderita penyakit komplikasi, Lydia terus menghina dan merendahkan ayahnya. Anak mana yang tidak merasa sakit hati ketika ayah kandungnya diperlakukan seperti itu oleh istrinya sendiri. Dan yang dapat dilakukan oleh Sasi hanya bersabar, karena Sasi yakin dibalik ini semua, Tuhan sudah merencanakan sesuatu yang indah untuknya dan juga ayahnya.
Selang tiga puluh menit kemudian, Sasi sudah menyiapkan makanan dan sup sehat yang ia buat untuk ayah tercintanya. Bahkan Sasi tidak memperdulikan keadaannya yang lelah bekerja seharian, hampir seluruh tubuhnya pegal-pegal dan belum membersihkan tubuh. Wajahnya pun sudah terlihat semraut karena kelelahan. Namun, ia berusaha tegar demi sang ayah.
Sasi menyimpan terlebih dahulu makanan di atas nakas, dan membantu sang ayah untuk bangkit dari tidurannya. “Sekarang ayah makan, yah. Maafkan Sasi yang telat menyiapkan makanan untuk ayah,” ucap Sasi yang mengambil makanannya kembali. Bahkan Sasi merasa tidak tega melihat keadaan ayahnya ini.
“Kenapa kamu yang harus minta maaf, Nak. Kamu sudah bekerja keras demi keluarga ini,” ucap Rafi yang menyentuh wajah putrinya penuh kelembutan. “Wajahmu begitu kelelahan, Nak. Pasti kamu capek sekali setelah seharian bekerja, kamu pun harus menyiapkan makanan untuk ayah,” ucapnya kembali karena Rafi pun merasa tidak tega melihat keadaan putrinya yang harus bekerja paruh waktu demi membiayai pengobatan dirinya.
“Nggak kok, Yah. Malah Sasi senang dan bangga bisa merawat ayah sedang sakit dan bisa membiayai pengobatan ayah, dengan uang hasil kerja keras Sasi sendiri, tanpa meminta-minta. Sasi akan melakukan apapun demi kesembuhan ayah, karena selama ini ayah selalu memanjakan Sasi dengan kasih sayang yang selalu ayah berikan kepada Sasi setelah ibu meninggal,” jawab Sasi sembari tersenyum, walaupun kedua bola matanya terus berkaca-kaca karena tidak tega melihat ayahnya yang terus direndahkan oleh ibu dan saudara tirinya.
Rafi begitu tersentuh mendengar perkataan penuh haru dari putrinya, bahkan sesaat mengatakan kalimat itu, Sasi berusaha menyembunyikan rasa lelah di dalam dirinya dan terus mencoba terenyum di depan sang ayah.
Rafi langsung mengusap wajah Sasi karena terlihat air mata yang keluar dari sudut mata putrinya. Tak lama Rafi memeluk putrinya erat. “Maafkan ayah, Nak. Kamu sudah berjuang keras demi ayah selama ini, kamu selalu berusaha tegar dan kuat di depan ayah. Padahal ayah tahu jika hatimu rapuh,” ungkap Rafi yang mengusap-usap punggung Sasi.
Tak lama Rafi melepaskan pelukannya dengan Sasi.
“Ayah berjanji setelah ayah sembuh dari sakit. Kamu nggak harus bekerja paruh waktu lagi. Seharusnya kamu sudah bahagia dengan kehidupan pribadimu dan nggak terlalu dibebankan seperti ini,” lirih Rafi yang tidak dapat menahan rasa sayangnya kepada Sasi.
“Sasi nggak apa-apa kok, Yah. Karena sekarang yang menjadi fokus kebahagiaan Sasi adalah ayah, ayah, dan kesembuhan ayah,” ujar Sasi sembari tersenyum.
Sasi menyendok satu suapan dan diarahkan ke mulut Rafi. “Sekarang ayah makan, yah. Karena Sasi ingin lihat ayah sembuh lagi, bisa ketawa seperti dulu,” ucapnya yang memasukkan satu sendok nasi yang sudah dikuah dengan sup ayam favorit ayahnya.
Rafi begitu menikmati makanan yang dibuatkan oleh putri tercintanya, membuat Sasi semakin senang dan ingin segera melihat ayahnya sembuh.
To be continued...
Tanpa disadari oleh Sasi maupun sang ayah, jika di arah luar pintu yang sedikit terbuka. Kedua mata Lydia terus menatap ketidaksukaan dengan ayah dan anak itu. Lydia memang tidak pernah suka kepada Sasi sesaat ia menikah dengan ayahnya. Perempuan yang pernah menjadi sekretaris ayahnya sesaat Rafi masih menjalankan perusahaannya. Lydia tidak pernah menyukai Sasi, karena ia pun memiliki seorang putri yang seusia dengan Sasi bernama Nadine. Sikap Nadine pun tidak kalah berbeda dari ibunya yang sama-sama tidak menyukai Sasi, dan selalu iri dengan keberhasilan yang diraih oleh Sasi.Setelah selesai melaksanakan pekerjaannya, Sasi kembali ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya yang begitu pegal-pegal ke atas kasur yang tidak terlalu besar dan hanya cukup untuk satu bantal dan guling. Namun, begitu cukup untuk menjadi tempatnya istirahat setelah bekerja seharian.Diraihnya ponsel yang tergeletak di samping dirinya yang terlentang. Sasi teringat dengan peristiwa tadi di mana ia melih
Hampir satu jam lamanya bagi Sasi memasak dan menghidangkan makanan yang kini sudah tertata rapi di atas meja makan. Bahkan Sasi pun membuat bubur sehat atas saran sang dokter untuk ayahnya. Sasi masih berdiri dengan bibirnya yang melengkung simpul, ada rasa kebanggaan tersendiri di dalam dirinya ketika ia bisa bekerja di luar rumah sekaligus di dalam rumah.“Seharusnya setiap hari kamu menyiapkan sarapan untuk kami,” gertak Lydia yang tidak tahu malu duduk begitu saja untuk memulai sarapannya bersama dengan Nadien, putri kesayangannya.Sasi merasa dongkol dengan sikap ibu tirinya itu. Namun, ia berusaha untuk menahan amarahnya pagi ini, karena Sasi ingin memberikan kejutan kepada Ayahnya jika dirinya diterima bekerja di perusahaan elite dan terkenal.“Seharusnya tugas rumah dan menyiapkan sarapan adalah tanggung jawab kamu, Lydia. Bukan Sasi, putriku sudah lelah bekerja seharian tapi juga harus memasakkan makanan untuk kalian,” sahut Rafi yang berjalan tertatih-ta
Kim mengemudikan mobilnya dengan cepat, karena jalanan yang terlihat lengang tak banyak pengendara yang bepergian hari ini. Maka dari itu Kim dapat menggunakan jalanan seperti miliknya sendiri. Ketika Kim fokus dengan kemudinya karena hari ini ia tidak berangkat bersama Win, sekretaris pribadinya.Sesekali wajah pria berusia 28 tahun itu menyiratkan senyuman, jika mengingat kejadian semalam. Awal pertemuan antara dirinya dengan Sasi, perempuan yang telah membuat jantungnya berdetak tidak normal. Sasi adalah perempuan kedua yang benar-benar membuatnya jatuh cinta selama hidupnya setelah Estelle.Tak lama ponselnya berdering membuat konsentrasi Kim sedikit membuncah. Dirogohnya ponsel yang berada di dalam saku jasnya. Tanpa melihat si penelepon, Kim langsung memasukkan airpods ke telinganya dan segera menjawab panggilannya.“Halo,” ucapnya terlebih dahulu.Kim mendengar dengan seksama ketika salah satu HRD yang menelponnya dan mengingatkan dengan jadwal int
“Apa kamu Nona Dewi Sasikirana?” sahut seseorang yang berjalan mendekat ke arah Sasi. Seorang laki-laki dengan pakaian formal dan rapi yang tersenyum kepadanya. Terlihat Ghea dan Sella yang menundukkan kepalanya ketika laki-laki itu menghampiri kami.“Iya, Saya Dewi Sasikirana,” jawab Sasi dengan menyiratkan senyuman tak kalah dengan laki-laki berpakaian formal itu yang tersenyum ramah kepadanya.“Ternyata kamu di sini, kenalkan saya Hardy. Salah satu HRD di sini dan orang yang telah menelepon Nona Sasi pagi tadi,” ucapnya yang menadahkan tangannya ke arah Sasi mengajaknya untuk bersalaman. Dengan cepat Sasi pun membalas tagutan tangan sang HRD.“Maafkan saya, Pak. Saya memang mencari-cari ruangan presdir, tapi nggak ketemu.”“Baiklah Sasi, saya akan antar kamu ke ruangan Pak Anders karena beliau sedang menunggu kamu,” ucapnya yang segera pergi dari hadapan Sasi dan juga kedua karyawannya itu. Namun, ketika Hardy yang akan melangkah pergi dihentikan seb
“Kamu ....” ucap Kim yang menunjuk ke arah Sasi dengan jari telunjuknya. Bibirnya melengkung bebas, sebuah senyuman tersirat di wajahnya ketika mendapati Sasi. Perempuan yang mampu memorakporandakan hatinya semalam sedang berdiri di depan kedua bola matanya.“Anda ‘kan pria semalam yang begitu menyebalkan, mengapa anda bisa ada di ruangan ini?” tanya Sasi dengan polosnya, sedangkan kedua matanya melotot tajam ke arah Kim yang belum menyadari jika Kim adalah Presdir di Perusahaan TBC, dan orang yang akan menginterviu Sasi.Hardy merasa bingung, mengapa atasannya bisa mengenal Sasi, bahkan dengan raut wajahnya yang tampak senang dengan salah satu karyawan yang diterimanya ini, dan mengapa Sasi pun terlihat berani dengan atasannya ini.“Sasi ... beliau ini adalah ....”“Biar saya yang menjelaskan kepadanya, Pak Hardy.” Kim langsung memotong ucapan Hardy yang akan menjelaskan kepada Sasi. Ketika pria itu akan memberitahukan kepada Sasi, jika Kim adalah pres
Keduanya sudah saling berhadapan. Sasi yang duduk di kursi berseberangan dengan Kim yang hanya terhalang oleh meja kerja Kim, sedangkan Kim yang duduk di kursi kerja kebesarannya dengan sikap yang sudah seperti seorang presdir. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Sasi merasa gugup karena terlihat raut wajah dan gaya Kim yang sedang fokus melihat berkas biodata dan latar belakang pendidikannya. Sikap dari Kim Andersean sangat berbeda sesaat dirinya bertemu tadi. Sekarang, terlihat jiwa seorang pemimpin bahkan sesekali Sasi tampak mengedarkan pandangannya ke arah Kim, rupanya memang begitu tampan, pasti banyak perempuan yang menginginkannya. Namun yang Sasi herankan, mengapa pria ini selalu menatapnya lekat seolah jatuh cinta pada pandangan pertama padanya.“Saya kira, nggak ada yang harus saya tanyakan ke kamu, Sasi,” ucap Kim yang mengarahkan pandangannya ke arah Sasi. “Karena saya sudah melihat sendiri kinerja kamu semalam di restoran tempat kamu bekerja. Jadi ....” Kim beranja
Kim menyimpan cangkir kopi buatan Win ke atas meja, karena setelah kepergian Sasi tak lama sang sekretarisnya itu tiba dengan membawa secangkir kopi. Padahal Kim tidak memerintahkannya namun atas inisiatif Win sendiri.“Apa interviu-nya berjalan lancar, Pak Kim?” tanya Win karena melihat gelagat Kim yang tidak biasa. Karena Win menyadari jika salah satu karyawan yang diinterviu-nya oleh Kim adalah perempuan semalam, perempuan yang telah membuat sikap Kim sedikit berubah dan mengenal dengan yang namanya cinta lagi, setelah melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh cinta pertamanya. Dan baru sekarang jika atasannya itu mengenal cinta lagi. “Tentu saja berjalan lancar, tidak banyak yang saya tanyakan kepada Sasi. Karena saya sudah sangat percaya dengan kinerja perempuan itu yang memang seorang pekerja keras,” balas Kim yang menatap ke arah layar laptopnya yang menyala. Tanpa diketahui oleh Win, jika sejak tadi Kim sedang mengamati foto-foto Sasi yang di
Kim menyemprotkan parfum kesukaannya di setiap ruas pakaian yang dikenakannya malam ini, aromanya begitu maskulin. Bagi perempuan yang menghirup aroma parfum Kim pasti akan langsung terpincut. Bahkan rambut yang sudah dioles pomade tampak berkilap, bibirnya yang sedikit kemerahan melengkung bebas sembari menatap wajah tampannya di depan cermin.Sebelum pergi, Kim memperhatikan kembali penampilannya yang memang sudah terlihat rapi. Jam tangan mewah buatan Swiss yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak menunggu lama Kim berjalan keluar menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir di halaman rumahnya yang begitu luas.Kim hidup seorang diri di rumah miliknya dan ada beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya, setiap pelayan sudah diberikan tugas masing-masing, sikap Kim kepada para pelayannya pun terbilang baik dan ramah, walaupun wajahnya sering menampilkan tatapan dingin. Bahkan Win sang sekretaris Kim pun tinggal dengannya, kemanapun Kim pergi pasti Win akan ikut dengan
“Nggak!” jawab Sasi singkat. “Mantan kekasih?” tanya Kim kembali yang begitu penasaran dengan kehidupan Sasi sebelum ia bertemu dengannya, tidak mungkin juga bagi perempuan itu tidak pernah berpacaran selama hidup, karena Sasi memiliki wajah yang cantik namun terasa sedikit pendiam dan mungkin kejadian di masa lalu yang tidak diketahui oleh Kim, membuat perubahan di sikap perempuan itu. Sasi begitu malas untuk membicarakan mengenai mantan kekasih, baginya setelah dikhianati oleh cinta pertamanya yang bernama Dave, ia sudah benar-benar mengubur ingatan dan kenangannya dengan Dave. Bahkan sekarang karena perasaannya yang masih digantung oleh Linggar tanpa ada kepastian, membuat Sasi pun sudah tidak memperdulikan lagi akan perasaan Linggar kepadanya, walaupun di dalam hatinya masih ada sosok pria itu. Sasi sudah benar-benar membuang kenangan dan menganggap keduanya sudah mati bak ditelan bumi, dan tidak penting harus dibicarakan kepada orang lain.
Sasi sedang berdiri menunggu taksi online yang sudah dipesannya tadi sesaat dirinya bergegas untuk segera pulang, karena melihat awan yang sudah mulai mendung membuat Sasi memilih untuk menumpangi taksi saja kali ini, daripada ia kehujanan karena harus menempuh perjalanan lagi menuju halte untuk menunggu bus. Karena jarak perusahaan dengan halte bus tidak terlalu dekat dan membutuhkan sedikit waktu.Sesekali Sasi mengarahkan matanya ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, perempuan itu terlihat was-was ketika taksi online yang sudah dipesannya tak kunjung datang. Dirinya harus segera pulang untuk menyiapkan makan untuk sang ayah, karena ia tidak bisa mengharapkan banyak kepada ibu tirinya itu. Setelah menyiapkan makan untuk ayahnya, Sasi akan kembali bekerja di restoran sampai malam. Bukankah, hal itu begitu melelahkan fisiknya. Namun, tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain bekerja untuk kesembuhan ayah tercintanya. Diberikan kesempatan untuk bekerja d
“Maaf, jika saya mengganggu obrolan Pak Kim dengan Nona Sasi, tapi saya datang ke sini hanya ingin memberikan pesanan dari Pak Kim,” ucap Win yang menghentikan kedua orang yang sedang bertatapan lekat, seperti seorang pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara.Mendengar suara Win, baik Kim mampun Sasi kembali menormalkan keadaannya seperti semula, seolah tidak terjadi apap-apa.Win masuk begitu saja ke dalam ruangan Kim dengan penuh senyuman, sembari menatap ketidakpercayaan ke arah Kim dan juga Sasi. Win merasa heran, karena baru perempuan yang terlihat sederhana inilah yang dapat masuk dan bercengkerama dengan atasannya. Mungkinkah jika perasaan atasannya ini memang benar adanya, dan bukan hanya kepura-puraan semata.Antara Kim dan Sasi tampak serempak menoleh ke arah Win yang sudah berdiri, dengan wajah yang masih menyiratkan senyuman. Sasi yang sebentar menatap Kim dan langsung dibalas tatapannya oleh Kim yang tersenyum aneh. Bahkan, di dalam posisi sepert
Sasi ingin segera keluar dari ruangan atasannya yang memang dirasa tidak waras. Bahkan dengan tatapannya yang semakin menggila, membuat jantung Sasi terus berdegap dengan kencang dan berpikirannya sudah ke mana-mana, karena ucapan dari Kim yang melantur.“Saya permisi, Pak Kim,” pamit Sasi yang akan segera pergi. Namun, langkah kakinya kembali dihentikan ketika Kim mencekal pergelangan tangannya mencegah Sasi untuk pergi.Antara Sasi dengan Kim saling pandang, Sasi yang tanpa sadar terus menatap wajah atasannya dari jarak dekat, membuatnya sedikit terbuat. Tersadar, Sasi pun langsung menurunkan pandangannya. Sudah dua kali bagi pria itu dengan berani menyentuh anggota tubuhnya, walaupun hanya tangannya saja tidak lebih. Namun, hal itu mampu membuat jantungnya terus berdetak tak karuan.“Lepaskan tangan saya, Pakm” pinta Sasi dengan sopan dan mencoba melepaskan diri dari cekalan Kim.Pergelakan Sasi tidak mampu membuat Kim melepaskan tangannya dengan begit
Sasi sudah berada di depan pintu ruangan Kim, ketika salah satu kepala divisi ruangannya memberitahukan kepada Sasi jika sang atasan memanggilnya. Dengan cepat Sasi segera menghentikan pekerjaan untuk menemuinya. Bahkan sekarang terpampang dengan jelas papan nama dari sang presdir yang bertuliskan Kim Andersean Bharaswarra ketika ia masih berdiri di depan pintu ruangannya. Begitu bodohnya bagi Sasi tidak mengenal sosok pria itu, yang Sasi tahu hanyalah nama depannya saja Kim saat di restoran. Namun ternyata nama panjangnya adalah Kim Andersean.Sasi masih berdiri dengan tatapan kedua bola matanya yang tampak lekat menatap papan nama itu. Perasaannya sedikit was-was ketika ia harus berhadapan dengan pria menyebalkan di hari pertamanya bekerja, dan posisinya hanya ada ia dengan Kim.
Hari pertama bagi Sasi untuk memulai pekerjaannya sebagai Graphic Designer di Perusahaan TBC milik Kim Andersean Bharaswarra. Terlihat Sasi yang mengembuskan napasnya secara pelan jika mengingat dirinya akan berhadapan lagi dengan pria menyebalkan seperti Kim. Sasi mencoba menyemangati dirinya untuk bekerja pagi ini, dirinya harus bersikap profesional dalam bekerja tidak boleh memasukkan urusan pribadi ke dalam pekerjaannya, terutama urusan dengan sosok Kim, walaupun ia begitu malas harus bertemu dengan pria aneh yang pertama kali ditemui di muka bumi ini.“Semangat Sasi, gue yakin kalau Pak Kim nggak mungkin berbuat yang macam-macam sama lo, jika dia nggak mau reputasinya hancur di perusahaan karena kelakuannya itu,” lirih Sasi yang kembali menatap penampilannya yang sudah rapi di depan cermin, walaupun begitu terlihat sederhana tidak mencolok dan menonjol apapun. Mana ada pria yang mau melirik kepadanya.Sasi segera mengambil tas kerjanya yang tergeletak di atas nakas
“Apa yang sedang dilakukan Pak Kim di sini, hah? Pak Kim nggak bosan-bosannya menggangu hidup saya,” ujar Sasi dengan nada suara sedikit ketus di hadapan Kim, bahkan Sasi mengerutkan keningnya ketika harus berhadapan lagi dengan Kim, pria yang sudah menjadi atasannya sekarang.Diperhatikannya sikap Kim yang tampak santai seperti tidak merasa bersalah, karena Sasi yakin kedatangan pria itu hanya ingin mengganggunya saja, tidak lebih yah seperti itu. Sementara Kim hanya tersenyum simpul dengan wajah keterkejutan Sasi. Kim begitu suka dengan raut wajah Sasi yang ditampilkan seperti itu. Dalam pandangan matanya jika Sasi tampak lucu.“Pertanyaan kamu itu bodoh banget, Si. Saya di sini sebagai tamu, dan kamu harus melayani saya,” balas Kim yang mengubah posisi duduknya dan membuka maskernya sebentar untuk menyesap kopi buatan Sasi yang dirasa begitu menggoda matanya.Sasi hanya dapat menggerutu dalam hati, bisa-bisanya ia bertemu lagi dengan pria menyebalka
Kim menyemprotkan parfum kesukaannya di setiap ruas pakaian yang dikenakannya malam ini, aromanya begitu maskulin. Bagi perempuan yang menghirup aroma parfum Kim pasti akan langsung terpincut. Bahkan rambut yang sudah dioles pomade tampak berkilap, bibirnya yang sedikit kemerahan melengkung bebas sembari menatap wajah tampannya di depan cermin.Sebelum pergi, Kim memperhatikan kembali penampilannya yang memang sudah terlihat rapi. Jam tangan mewah buatan Swiss yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak menunggu lama Kim berjalan keluar menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir di halaman rumahnya yang begitu luas.Kim hidup seorang diri di rumah miliknya dan ada beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya, setiap pelayan sudah diberikan tugas masing-masing, sikap Kim kepada para pelayannya pun terbilang baik dan ramah, walaupun wajahnya sering menampilkan tatapan dingin. Bahkan Win sang sekretaris Kim pun tinggal dengannya, kemanapun Kim pergi pasti Win akan ikut dengan
Kim menyimpan cangkir kopi buatan Win ke atas meja, karena setelah kepergian Sasi tak lama sang sekretarisnya itu tiba dengan membawa secangkir kopi. Padahal Kim tidak memerintahkannya namun atas inisiatif Win sendiri.“Apa interviu-nya berjalan lancar, Pak Kim?” tanya Win karena melihat gelagat Kim yang tidak biasa. Karena Win menyadari jika salah satu karyawan yang diinterviu-nya oleh Kim adalah perempuan semalam, perempuan yang telah membuat sikap Kim sedikit berubah dan mengenal dengan yang namanya cinta lagi, setelah melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh cinta pertamanya. Dan baru sekarang jika atasannya itu mengenal cinta lagi. “Tentu saja berjalan lancar, tidak banyak yang saya tanyakan kepada Sasi. Karena saya sudah sangat percaya dengan kinerja perempuan itu yang memang seorang pekerja keras,” balas Kim yang menatap ke arah layar laptopnya yang menyala. Tanpa diketahui oleh Win, jika sejak tadi Kim sedang mengamati foto-foto Sasi yang di