Candy mendengus sebel. Ia yakin sudah pernah mengusir perempuan itu, tapi berani-beraninya dia kembali dan memeluk Putra?! Candy menggeleng, mencoba menepis amarah dari balik dada yang mulai mengambil alih.
Candy menegaskan, diri ini tidak marah karena pemuda yang dipeluk adalah Putra. Ia marah karena lelaki itu adalah anak tirinya! Terdengar seperti beralasan, tapi biarlah seperti itu.
Candy mendekat, menarik dua orang itu untuk memisahkan. “Berani sekali kau kembali lagi!” marah Candy pada Bianca, perempuan itu tidak merasa bersalah ataupun tahu diri. Raut wajahnya cemberut dan terkesan menantang.
“Kembali lagi?” heran Putra.
“Ah … Putra, aku mengantarmu pulang semalam,” terang Bianca mencuri start sebelum Candy sempat membuka mulut. Dia melanjutkan, “Ibumu mengusirku.” Tiga kata pertama keluar dari mulut Bianca penuh dengan penekanan membuat Candy tidak ragu bahwa dia memang ingin memulai adu mulut
“Candy apa?” Syok Putra bertanya, meragukan telinga yang entah masih berfungsi dengan baik atau tidak. “Candy … tidak mungkin melakukan hal seperti itu.” Meski kalimat terlontar dengan ragu, tapi Putra berani menjamin kata-katanya ini. Candy memang marah akhir-akhir ini dan dia berubah menjadi lebih kasar, tapi menampar Bianca? Bukan niat hati meragukan ungkapan Bianca, tapi Putra tidak dapat mempercayai hal itu. Candy bahkan tidak kenal Bianca, mengapa dia bisa sampai menamparnya? “Kau tidak percaya padaku?” lirih Bianca, mata memanas saat tangan menyentuh pipi. “Menurutmu aku berbohong padamu?” tanyanya menyudutkan. “Tidak, bukan begitu maksudku,” sangkal Putra yang kemudian menerangkan, “Candy hanya tidak mungkin melakukan hal seperti itu dan aku yakin itu.” Semakin Putra membela Candy, semakin lirih raut wajah yang Bianca pampang. Dia berujar, “Tapi dia sudah melakukannya. Kau pingsan semalam, kau tidak lihat betapa jahat dia mengusirku.” Bianca m
“Apa yang kau lakukan?!” berang Putra. Pemuda itu mecengkram dua pundak Candy dan mendorongnya menjauh dari Bianca. Bianca tidak mencoba melerai, hanya diam dengan kepala tertunduk.Kuku tajam yang menekan menembus kaos terasa sangat menyakitkan, tapi Candy enggan merintih. Gadis itu tetap menantang Putra saat melontarkan, “Apa yang aku lakukan? Aku tengah memberi palajaran selingkuhan busukmu agar dia tahu diri!”Tak pernah Putra tahu sikap asli dari seorang Candy sampai hari ini. Sikap yang tidak pernah ia tahu sebelumnya, sangat jauh dari yang biasanya ia lihat. “Ternyata begini dirimu yang sebenarnya?”Candy menyunggingkan senyuman smirk penuh ejek dan hina. Candy tidak yakin bahwa selama ini ia telah berpura-pura baik di depan pacarnya atau bagaimana, tapi apa yang ia rasakan sekarang tidak lain hanyalah kebencian. Melihat lelaki itu melindungi perempuan lain, tidak bisa dijabarkan betapa banyak kebencian yang terus memen
Putra berpikir, Bianca adalah seseorang yang sangat pengertian. Selalu berbicara dengan baik dan menatap lembut, dia selalu berhasil membuat Putra nyaman. Namun, Bianca bukanlah seseorang yang berhasil merebut atau mengisi hatinya.Kejadian di dalam mobil yang Robert bagikan untuk Candy mungkin nyata, tapi apa yang Candy tahu berbeda dari kenyataan yang ada. Bianca dan Putra menjadi dekat akhir-akhir ini bukan karena mereka saling jatuh hati, mereka hanya memiliki alasan tersendiri.Bianca mengelus lembut pipi Putra sebelum melanjutkan, “Aku minta maaf aku harus pergi sekarang. Mari bertemu nanti malam dan berbicara, oke?”Perlahan Putra mengganguk sebagai jawaban, sembari membalas senyuman kecut Bianca. Dia diam, menyaksikan perempuan itu lenyap dari netra bersama mobil hitamnya.Karena ponsel yang bergetar di dalam saku celana, itu adalah alasan mengapa Bianca tiba-tiba meninggalkan Candy dan Putra yang sibuk beradu mulut. Ponselnya tak hent
Bianca menyandarkan punggung ke sandaran kursi sembari merapikan pakaian yang kusut menggunakan telapak tangan. Perempuan itu memutar kursi, mengarah pada Robert yang tengah menatap keluar jendela. Lelaki itu menghisap rokok dan kemudian menghembusnya.Rambut Bianca sedikit acak-acakan karena apa yang baru saja mereka lakukan di atas meja, tapi dia tidak menyadarinya. Perempuan itu tersenyum menatap Robert. Mata berkedip, benak membawa pada suatu kenangan yang terjadi satu minggu sebelumnya. Pada saat Putra menelepon dan meminta untuk bertemu.Bianca tiba lebih dulu di tempat pertemuan yang terdapat di dekat jembatan.FLASHBACK“Kau bertengkar dengan ayahmu lagi?” Kalimat pertama yang terlontar keluar dari mulut Bianca saat Putra memasuki mobil, duduk di samping bangku setir.Putra menghela nafas panjang, tampak frustasi. Melempar pandangan keluar kaca, mengamati pemandangan sejenak sebelum menatap Bianca. Tidak ada apa pun yang keluar
Setelahnya hening karena tidak ada pembicaraan, apa yang terdengar hanyalah suara hembusan AC dari bagian samping setir. Bianca kemudian memecah keheningan dengan kalimat, “Aku bisa membantumu jika itu yang kau perlukan, aku tahu bagaimana cara membuatnya membencimu.”Satu menit mencerna sebelum kepala Putra berputar, netra terarah langsung pada bola mata Bianca dan dia bertanya, “Kau … sungguh tahu bagaimana caranya?”Bianca mengganguk sebagai jawaban. “Tapi tidak,” katanya kemudian. “Aku tidak yakin karena kau mungkin akan menyesalinya. Rasanya tidak baik-baik saja jika dibenci oleh orang yang sangat kita cintai.” Terjeda beberapa saat karena ragu, Bianca melanjutkan, “Kau mungkin tidak akan pernah dimaafkan olehnya jika kau sungguh melakukan ide gilaku.”Perempuan itu tersenyum geli, seolah-olah menyesal akan apa yang dilontarkan, tapi Putra sudah terlanjur penasaran. “Beritahu aku,&rdqu
Tidak diizinkan berbaring di atas kasur dalam kamar sendiri membuat Candy memutuskan untuk terduduk nyaman di wilayah balkon yang terdapat di belakang rumah, ada ayunan bermodel telur di sana. Matahari perlahan tenggelam, Candy mengamatinya dengan sangat tanpa sekali pun mengalihkan pandangan. Terlalu banyak hal di dalam kepala, gadis itu melamun dengan perasaan kacau balau.Bukan hanya teringat akan Robert, Candy juga mengingat pertengkaran dengan Putra tadi siang dan ibu Putra. Raut wajah berubah sendu, Candy menekuk kedua kaki untuk dipeluk, menyandarkan dagu di atasnya.Candy memanggil wanita itu dengan sebutan ibu, sama seperti cara Putra memanggil. “Robert membenci Putra dan aku karena kejadian itu …” Candy bergumam lirih. “Aku seharusnya tahu itu.” Diri ini terlalu bodoh, sama sekali tidak menggunakan otak untuk berpikir sebelumnya.“Tapi … Putra sungguh mengkhianatiku,” gumamnya lagi. “Robert memben
Flora melambaikan tangan untuk memanggil. Bukan berhenti, pengendara tadi malah mengulurkan tangan dan merebut tas tangannya. Tarikan yang kasar menyebabkan tubuh Flora tertarik dan jatuh menghantam aspal.“Akh!” Flora merintih kesakitan, tak sempat mengingat maling tadi karena sebuah mobil hitam yang melaju. Mata terbuka lebar dan sang pengendara yang tidak memperhatikan berakhir dengan menabrak.Lorong rumah sakit yang semulansepi kini dipenuhi oleh suara sepatu beradu dengan lantai keramik. Seseorang terbaring tak berdaya di brangkar, didorong oleh beberapa suster dan seorang dokter. Ada Putra dan Candy yang baru saja muncul karena seseorang menelepon beberapa menit sebelumnya menggunakan ponsel sang ibu.Mengesampingkan perkelahian, pasangan itu bergegas kemari, tapi sayangnya langkah kaki harus dihentikan oleh pintu yang tertutup. Putra cemas, panik, gelisah, khawatir, semua perasaan bercampur aduk di dalam rongga dada. Sama halnya seperti Candy
“Ugh!” Candy mengacak rambut, raut wajahnya tampak frustasi. “Aku benar-benar bodoh.” Sepertinya bodoh tidak cukup untuk mencibir diri sendiri, tapi Candy tidaklah mahir mengutuk. Apa yang terjadi hari ini pun salahnya yang tidak berpikir panjang.Helaan nafas mengalun, sedikit sukses membut gadis itu menjadi lebih tenang. “Selama aku bisa membalas Putra, aku sama sekali tidak perduli pada apa yang bisa Robert lakukan!” Candy meneguhkan hati, bangkit dari ayunan dan memasuki wilayah rumah.Jam menunjuk pukul sebelas saat suaminya yang pulang terlambat kembali berdandan tampan menggenakan setelan jas yang lain. Candy tidak mencoba menebak ke mana dia pergi karena Robert mustahil mau memberitahu.Setidaknya itu adalah apa yang Candy pikirkan sampai Robert mengambil lengan dan menariknya kasar. “Akh!” Candy merintih kesakitan, mencoba melepaskan cengkraman, tapi tenaga yang Robert keluarkan sangat besar. “Sakit!