Putra berpikir, Bianca adalah seseorang yang sangat pengertian. Selalu berbicara dengan baik dan menatap lembut, dia selalu berhasil membuat Putra nyaman. Namun, Bianca bukanlah seseorang yang berhasil merebut atau mengisi hatinya.
Kejadian di dalam mobil yang Robert bagikan untuk Candy mungkin nyata, tapi apa yang Candy tahu berbeda dari kenyataan yang ada. Bianca dan Putra menjadi dekat akhir-akhir ini bukan karena mereka saling jatuh hati, mereka hanya memiliki alasan tersendiri.
Bianca mengelus lembut pipi Putra sebelum melanjutkan, “Aku minta maaf aku harus pergi sekarang. Mari bertemu nanti malam dan berbicara, oke?”
Perlahan Putra mengganguk sebagai jawaban, sembari membalas senyuman kecut Bianca. Dia diam, menyaksikan perempuan itu lenyap dari netra bersama mobil hitamnya.
Karena ponsel yang bergetar di dalam saku celana, itu adalah alasan mengapa Bianca tiba-tiba meninggalkan Candy dan Putra yang sibuk beradu mulut. Ponselnya tak hent
Bianca menyandarkan punggung ke sandaran kursi sembari merapikan pakaian yang kusut menggunakan telapak tangan. Perempuan itu memutar kursi, mengarah pada Robert yang tengah menatap keluar jendela. Lelaki itu menghisap rokok dan kemudian menghembusnya.Rambut Bianca sedikit acak-acakan karena apa yang baru saja mereka lakukan di atas meja, tapi dia tidak menyadarinya. Perempuan itu tersenyum menatap Robert. Mata berkedip, benak membawa pada suatu kenangan yang terjadi satu minggu sebelumnya. Pada saat Putra menelepon dan meminta untuk bertemu.Bianca tiba lebih dulu di tempat pertemuan yang terdapat di dekat jembatan.FLASHBACK“Kau bertengkar dengan ayahmu lagi?” Kalimat pertama yang terlontar keluar dari mulut Bianca saat Putra memasuki mobil, duduk di samping bangku setir.Putra menghela nafas panjang, tampak frustasi. Melempar pandangan keluar kaca, mengamati pemandangan sejenak sebelum menatap Bianca. Tidak ada apa pun yang keluar
Setelahnya hening karena tidak ada pembicaraan, apa yang terdengar hanyalah suara hembusan AC dari bagian samping setir. Bianca kemudian memecah keheningan dengan kalimat, “Aku bisa membantumu jika itu yang kau perlukan, aku tahu bagaimana cara membuatnya membencimu.”Satu menit mencerna sebelum kepala Putra berputar, netra terarah langsung pada bola mata Bianca dan dia bertanya, “Kau … sungguh tahu bagaimana caranya?”Bianca mengganguk sebagai jawaban. “Tapi tidak,” katanya kemudian. “Aku tidak yakin karena kau mungkin akan menyesalinya. Rasanya tidak baik-baik saja jika dibenci oleh orang yang sangat kita cintai.” Terjeda beberapa saat karena ragu, Bianca melanjutkan, “Kau mungkin tidak akan pernah dimaafkan olehnya jika kau sungguh melakukan ide gilaku.”Perempuan itu tersenyum geli, seolah-olah menyesal akan apa yang dilontarkan, tapi Putra sudah terlanjur penasaran. “Beritahu aku,&rdqu
Tidak diizinkan berbaring di atas kasur dalam kamar sendiri membuat Candy memutuskan untuk terduduk nyaman di wilayah balkon yang terdapat di belakang rumah, ada ayunan bermodel telur di sana. Matahari perlahan tenggelam, Candy mengamatinya dengan sangat tanpa sekali pun mengalihkan pandangan. Terlalu banyak hal di dalam kepala, gadis itu melamun dengan perasaan kacau balau.Bukan hanya teringat akan Robert, Candy juga mengingat pertengkaran dengan Putra tadi siang dan ibu Putra. Raut wajah berubah sendu, Candy menekuk kedua kaki untuk dipeluk, menyandarkan dagu di atasnya.Candy memanggil wanita itu dengan sebutan ibu, sama seperti cara Putra memanggil. “Robert membenci Putra dan aku karena kejadian itu …” Candy bergumam lirih. “Aku seharusnya tahu itu.” Diri ini terlalu bodoh, sama sekali tidak menggunakan otak untuk berpikir sebelumnya.“Tapi … Putra sungguh mengkhianatiku,” gumamnya lagi. “Robert memben
Flora melambaikan tangan untuk memanggil. Bukan berhenti, pengendara tadi malah mengulurkan tangan dan merebut tas tangannya. Tarikan yang kasar menyebabkan tubuh Flora tertarik dan jatuh menghantam aspal.“Akh!” Flora merintih kesakitan, tak sempat mengingat maling tadi karena sebuah mobil hitam yang melaju. Mata terbuka lebar dan sang pengendara yang tidak memperhatikan berakhir dengan menabrak.Lorong rumah sakit yang semulansepi kini dipenuhi oleh suara sepatu beradu dengan lantai keramik. Seseorang terbaring tak berdaya di brangkar, didorong oleh beberapa suster dan seorang dokter. Ada Putra dan Candy yang baru saja muncul karena seseorang menelepon beberapa menit sebelumnya menggunakan ponsel sang ibu.Mengesampingkan perkelahian, pasangan itu bergegas kemari, tapi sayangnya langkah kaki harus dihentikan oleh pintu yang tertutup. Putra cemas, panik, gelisah, khawatir, semua perasaan bercampur aduk di dalam rongga dada. Sama halnya seperti Candy
“Ugh!” Candy mengacak rambut, raut wajahnya tampak frustasi. “Aku benar-benar bodoh.” Sepertinya bodoh tidak cukup untuk mencibir diri sendiri, tapi Candy tidaklah mahir mengutuk. Apa yang terjadi hari ini pun salahnya yang tidak berpikir panjang.Helaan nafas mengalun, sedikit sukses membut gadis itu menjadi lebih tenang. “Selama aku bisa membalas Putra, aku sama sekali tidak perduli pada apa yang bisa Robert lakukan!” Candy meneguhkan hati, bangkit dari ayunan dan memasuki wilayah rumah.Jam menunjuk pukul sebelas saat suaminya yang pulang terlambat kembali berdandan tampan menggenakan setelan jas yang lain. Candy tidak mencoba menebak ke mana dia pergi karena Robert mustahil mau memberitahu.Setidaknya itu adalah apa yang Candy pikirkan sampai Robert mengambil lengan dan menariknya kasar. “Akh!” Candy merintih kesakitan, mencoba melepaskan cengkraman, tapi tenaga yang Robert keluarkan sangat besar. “Sakit!
Robert mengenal pemilik tempat ini dan gedung ini pula menjadi tempat berkumpulnya dengan teman-teman, dia bisa bersikap santai layaknya rumah. Tapi tidak dengan Candy yang mencoba melindungi telinga dengan satu tangan.Candy melihat ramai orang berjoged-joged tanpa malu di lantai dansa, ada tiga perempuan melakukan striptease menggenakan pakaian super minim. Candy reflek melonggo, tapi pandangan diputuskan oleh dinding yang menghalangi.Candy tidak pernah mencoba menebak seburuk apa Robert bisa memperlakukan diri ini, tapi haruskah ia merasa syukur? Pekerjaan yang Robert singgung adalah menjadi pelayan, setidaknya lebih baik daripada bergulat-gulat dengan pakaian seksi di tiang.Namun, Candy tidak merasa melayani orang-orang yang ingin minum minuman beralkohol termaksud hal yang melegakan. Semua orang-orang nakal itu mencoba menggoda saat Candy mengantarkan apa yang mereka mau.Tubuh Candy tidak lagi dibalut piyama melainkan setelan maid berwarna hitam d
“Robert, kau yakin tidak apa membiarkan istrimu di sana?” Pertanyaan dari seorang teman memudarkan tawa, reflek membuat Robert dan kawan-kawan berpaling untuk menatap apa yang dia tatap.Tiga teman Robert yang berada di atas sofa yang sama tahu betul apa yang terjadi dalam rumah tangganya, Robert menyadari bahwa dia yang bertanya hanya sengaja mengusili. “Biarkan saja.” Robert mendengus sebel sebelum meneguk cairan memabukkan yang diambil dari atas meja. Dia kembali menuangkan cairan berwarna mirip teh itu dan menyandarkan punggung ke sandaran empuk sofa berwarna merah.“Lepaskan!” Candy menarik tangan sekuat tenaga, tapi cengkraman di pergelangan tangan malah semakin mengerat. Saat terus menarik, pelanggan tadi malah melepaskan, alhasil gadis itu pun tersungkur.“Akh!!!” Tiga orang yang menyaksikan tertawa terbahak-bahak sementara semua pelangan lain yang tengah sibuk sendiri sama sekali tidak menyadari apa yang t
Seandainya Candy bisa bersombong ria mengungkap bahwa diri ini adalah Candy Wijaya! Sayang sekali Candy tidak bisa karena siapa yang akan percaya istri seorang pengusaha kaya bekerja di tempat ini? Mereka akan lebih senang hati mengklaim Candy ‘hanya mirip’ daripada sungguh istri dari Robert Wijaya.“Apa yang kau katakan?” Lelaki tadi sukses disinggung karena kalimat merendahkan Candy. Dia mendorong, menyebabkan Candy termundur beberapa langkah. “Jalang sepertimu sebaiknya tahu diri.”Seandainya bisa memukul, lelaki itu enggan melakukannya karena Candy adalah seorang perempuan. Namun, apa bedanya hal itu dengan mendorong dan mempermalukan? Dia bukan lagi lelaki di mata Candy!“Pak, aku berpikir kau butuh cermin!” celetuk Candy tak kalah garang. Meski suaranya tidak menggelagar karena ditepis oleh musik kuat yang tidak pernah berhenti, dia berhasil mencuri perhatian semua orang yang duduk bersama Robert dan termaksu