Tidak diizinkan berbaring di atas kasur dalam kamar sendiri membuat Candy memutuskan untuk terduduk nyaman di wilayah balkon yang terdapat di belakang rumah, ada ayunan bermodel telur di sana. Matahari perlahan tenggelam, Candy mengamatinya dengan sangat tanpa sekali pun mengalihkan pandangan. Terlalu banyak hal di dalam kepala, gadis itu melamun dengan perasaan kacau balau.
Bukan hanya teringat akan Robert, Candy juga mengingat pertengkaran dengan Putra tadi siang dan ibu Putra. Raut wajah berubah sendu, Candy menekuk kedua kaki untuk dipeluk, menyandarkan dagu di atasnya.
Candy memanggil wanita itu dengan sebutan ibu, sama seperti cara Putra memanggil. “Robert membenci Putra dan aku karena kejadian itu …” Candy bergumam lirih. “Aku seharusnya tahu itu.” Diri ini terlalu bodoh, sama sekali tidak menggunakan otak untuk berpikir sebelumnya.
“Tapi … Putra sungguh mengkhianatiku,” gumamnya lagi. “Robert memben
Flora melambaikan tangan untuk memanggil. Bukan berhenti, pengendara tadi malah mengulurkan tangan dan merebut tas tangannya. Tarikan yang kasar menyebabkan tubuh Flora tertarik dan jatuh menghantam aspal.“Akh!” Flora merintih kesakitan, tak sempat mengingat maling tadi karena sebuah mobil hitam yang melaju. Mata terbuka lebar dan sang pengendara yang tidak memperhatikan berakhir dengan menabrak.Lorong rumah sakit yang semulansepi kini dipenuhi oleh suara sepatu beradu dengan lantai keramik. Seseorang terbaring tak berdaya di brangkar, didorong oleh beberapa suster dan seorang dokter. Ada Putra dan Candy yang baru saja muncul karena seseorang menelepon beberapa menit sebelumnya menggunakan ponsel sang ibu.Mengesampingkan perkelahian, pasangan itu bergegas kemari, tapi sayangnya langkah kaki harus dihentikan oleh pintu yang tertutup. Putra cemas, panik, gelisah, khawatir, semua perasaan bercampur aduk di dalam rongga dada. Sama halnya seperti Candy
“Ugh!” Candy mengacak rambut, raut wajahnya tampak frustasi. “Aku benar-benar bodoh.” Sepertinya bodoh tidak cukup untuk mencibir diri sendiri, tapi Candy tidaklah mahir mengutuk. Apa yang terjadi hari ini pun salahnya yang tidak berpikir panjang.Helaan nafas mengalun, sedikit sukses membut gadis itu menjadi lebih tenang. “Selama aku bisa membalas Putra, aku sama sekali tidak perduli pada apa yang bisa Robert lakukan!” Candy meneguhkan hati, bangkit dari ayunan dan memasuki wilayah rumah.Jam menunjuk pukul sebelas saat suaminya yang pulang terlambat kembali berdandan tampan menggenakan setelan jas yang lain. Candy tidak mencoba menebak ke mana dia pergi karena Robert mustahil mau memberitahu.Setidaknya itu adalah apa yang Candy pikirkan sampai Robert mengambil lengan dan menariknya kasar. “Akh!” Candy merintih kesakitan, mencoba melepaskan cengkraman, tapi tenaga yang Robert keluarkan sangat besar. “Sakit!
Robert mengenal pemilik tempat ini dan gedung ini pula menjadi tempat berkumpulnya dengan teman-teman, dia bisa bersikap santai layaknya rumah. Tapi tidak dengan Candy yang mencoba melindungi telinga dengan satu tangan.Candy melihat ramai orang berjoged-joged tanpa malu di lantai dansa, ada tiga perempuan melakukan striptease menggenakan pakaian super minim. Candy reflek melonggo, tapi pandangan diputuskan oleh dinding yang menghalangi.Candy tidak pernah mencoba menebak seburuk apa Robert bisa memperlakukan diri ini, tapi haruskah ia merasa syukur? Pekerjaan yang Robert singgung adalah menjadi pelayan, setidaknya lebih baik daripada bergulat-gulat dengan pakaian seksi di tiang.Namun, Candy tidak merasa melayani orang-orang yang ingin minum minuman beralkohol termaksud hal yang melegakan. Semua orang-orang nakal itu mencoba menggoda saat Candy mengantarkan apa yang mereka mau.Tubuh Candy tidak lagi dibalut piyama melainkan setelan maid berwarna hitam d
“Robert, kau yakin tidak apa membiarkan istrimu di sana?” Pertanyaan dari seorang teman memudarkan tawa, reflek membuat Robert dan kawan-kawan berpaling untuk menatap apa yang dia tatap.Tiga teman Robert yang berada di atas sofa yang sama tahu betul apa yang terjadi dalam rumah tangganya, Robert menyadari bahwa dia yang bertanya hanya sengaja mengusili. “Biarkan saja.” Robert mendengus sebel sebelum meneguk cairan memabukkan yang diambil dari atas meja. Dia kembali menuangkan cairan berwarna mirip teh itu dan menyandarkan punggung ke sandaran empuk sofa berwarna merah.“Lepaskan!” Candy menarik tangan sekuat tenaga, tapi cengkraman di pergelangan tangan malah semakin mengerat. Saat terus menarik, pelanggan tadi malah melepaskan, alhasil gadis itu pun tersungkur.“Akh!!!” Tiga orang yang menyaksikan tertawa terbahak-bahak sementara semua pelangan lain yang tengah sibuk sendiri sama sekali tidak menyadari apa yang t
Seandainya Candy bisa bersombong ria mengungkap bahwa diri ini adalah Candy Wijaya! Sayang sekali Candy tidak bisa karena siapa yang akan percaya istri seorang pengusaha kaya bekerja di tempat ini? Mereka akan lebih senang hati mengklaim Candy ‘hanya mirip’ daripada sungguh istri dari Robert Wijaya.“Apa yang kau katakan?” Lelaki tadi sukses disinggung karena kalimat merendahkan Candy. Dia mendorong, menyebabkan Candy termundur beberapa langkah. “Jalang sepertimu sebaiknya tahu diri.”Seandainya bisa memukul, lelaki itu enggan melakukannya karena Candy adalah seorang perempuan. Namun, apa bedanya hal itu dengan mendorong dan mempermalukan? Dia bukan lagi lelaki di mata Candy!“Pak, aku berpikir kau butuh cermin!” celetuk Candy tak kalah garang. Meski suaranya tidak menggelagar karena ditepis oleh musik kuat yang tidak pernah berhenti, dia berhasil mencuri perhatian semua orang yang duduk bersama Robert dan termaksu
“Oh wow!” Tiga lelaki sudah melontarkan rasa ngeri, membayangkan seperti apa rasa sakit yang diterima kala menampan melayang mengenai kepala. Kecuali Robert, mereka sudah sibuk menebak-nebak, tapi ternyata Candy malah gagal mendaratkan pukulan.Penonton kecewa. Pemuda tadi berhasil melindungi kepala menggunakan lengan, malang untuk Candy yang harus tersungkur karena didorong sepenuh tenaga olehnya. Termundur beberapa langkah dan kemudian ambruk. Bukan hanya menyebabkan empat pria yang tengah menonton tertawa, Candy juga sudah berhasil merebut perhatian sebagian orang yang sebelumnya asyik sibuk sendiri.“Akh …!” Candy merintih, menyentuh bagian sikut yang sakit akibat beradu dengan lantai keramik. Beruntung kaki tidak terkilir meski Candy lumayan bisa merasakan rasa sakit yang diterima saat jatuh.“Berani sekali kau mencoba memukulku!” Lelaki itu tidak mabuk, tapi amarah membuatnya hilang kendali. Dia menghampiri, Candy
Perlahan Candy memberanikan mata untuk mengintip dan dia menyadari bahwa ada punggung seorang lelaki di depan mata. Lelaki itu menahan tangan yang tertuju padanya, mencengkram pergelangannya erat agar tidak bisa digerakan.“Sudah cukup sampai di sana,” tegur pemuda itu dengan suara dingin. Candy mencoba mengintip, tapi posisi yang membelakangi membuatnya tidak bisa melihat bentuk wajahnya.Dia yang dicengkram erat tangannya terus menarik, mencoba melepaskan diri, tapi hanya kegagalan yang diterima. “Lepas!” titah pemuda itu dan tangannya dilepas begitu saja. Cengkraman yang terlalu erat menyebabkan pergelangan tangan memerah meski tidak terasa sakit.“Jangan membuat kekacauan, kau merusak suasana,” tambah sang penyelamat dengan senyuman. Kala mata memicing tajam, raut wajah berubah garang, dia yang diajak bicara mendadak terdominasi.Haruskah sang lawan bicara itu katakan bahwa ia sering kali melihat lelaki tampan denga
Menyaksikan Candy menghilang di belokan, Marin menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Butuh beberapa menit mencerna keadaan sampai sepasang kaki mau bergerak membawanya kembali ke meja Robert. Lelaki itu dihadiahi tawa ngakak dari semua orang yang ada.Itu bukan tawa pertama, tapi tawa yang kembali lepas karena ekpresi menyedihkan yang gagal Marin sembunyikan. Marin mendengus, merasa dihina akan tawa-tawa yang dilepas tanpa ragu.“Berhenti tertawa.” Marin bisa merasakan pipi tersipu malu,itu adalah pertama kalinya seorang perempuan menolak jabat tangan darinya. Marin bukan pria mesum atau sejenisnya, ditolak perempuan bukan masalah besar, tapi tetap saja ia tersinggung. Bukan tersinggung karena ditolak Candy, tapi ditertawakan teman-teman.“Kau tidak bilang dia sombong,” celetuk Marin, menyalahkan Robert yang terduduk di sampingnya.Robert pun kesulitan menahan tawa menyaksikan syok wajah Marin saat ditinggal pergi begitu saja