“Candy apa?” Syok Putra bertanya, meragukan telinga yang entah masih berfungsi dengan baik atau tidak. “Candy … tidak mungkin melakukan hal seperti itu.” Meski kalimat terlontar dengan ragu, tapi Putra berani menjamin kata-katanya ini.
Candy memang marah akhir-akhir ini dan dia berubah menjadi lebih kasar, tapi menampar Bianca? Bukan niat hati meragukan ungkapan Bianca, tapi Putra tidak dapat mempercayai hal itu. Candy bahkan tidak kenal Bianca, mengapa dia bisa sampai menamparnya?
“Kau tidak percaya padaku?” lirih Bianca, mata memanas saat tangan menyentuh pipi. “Menurutmu aku berbohong padamu?” tanyanya menyudutkan.
“Tidak, bukan begitu maksudku,” sangkal Putra yang kemudian menerangkan, “Candy hanya tidak mungkin melakukan hal seperti itu dan aku yakin itu.”
Semakin Putra membela Candy, semakin lirih raut wajah yang Bianca pampang. Dia berujar, “Tapi dia sudah melakukannya. Kau pingsan semalam, kau tidak lihat betapa jahat dia mengusirku.” Bianca m
Jangan berbohong ...
“Apa yang kau lakukan?!” berang Putra. Pemuda itu mecengkram dua pundak Candy dan mendorongnya menjauh dari Bianca. Bianca tidak mencoba melerai, hanya diam dengan kepala tertunduk.Kuku tajam yang menekan menembus kaos terasa sangat menyakitkan, tapi Candy enggan merintih. Gadis itu tetap menantang Putra saat melontarkan, “Apa yang aku lakukan? Aku tengah memberi palajaran selingkuhan busukmu agar dia tahu diri!”Tak pernah Putra tahu sikap asli dari seorang Candy sampai hari ini. Sikap yang tidak pernah ia tahu sebelumnya, sangat jauh dari yang biasanya ia lihat. “Ternyata begini dirimu yang sebenarnya?”Candy menyunggingkan senyuman smirk penuh ejek dan hina. Candy tidak yakin bahwa selama ini ia telah berpura-pura baik di depan pacarnya atau bagaimana, tapi apa yang ia rasakan sekarang tidak lain hanyalah kebencian. Melihat lelaki itu melindungi perempuan lain, tidak bisa dijabarkan betapa banyak kebencian yang terus memen
Putra berpikir, Bianca adalah seseorang yang sangat pengertian. Selalu berbicara dengan baik dan menatap lembut, dia selalu berhasil membuat Putra nyaman. Namun, Bianca bukanlah seseorang yang berhasil merebut atau mengisi hatinya.Kejadian di dalam mobil yang Robert bagikan untuk Candy mungkin nyata, tapi apa yang Candy tahu berbeda dari kenyataan yang ada. Bianca dan Putra menjadi dekat akhir-akhir ini bukan karena mereka saling jatuh hati, mereka hanya memiliki alasan tersendiri.Bianca mengelus lembut pipi Putra sebelum melanjutkan, “Aku minta maaf aku harus pergi sekarang. Mari bertemu nanti malam dan berbicara, oke?”Perlahan Putra mengganguk sebagai jawaban, sembari membalas senyuman kecut Bianca. Dia diam, menyaksikan perempuan itu lenyap dari netra bersama mobil hitamnya.Karena ponsel yang bergetar di dalam saku celana, itu adalah alasan mengapa Bianca tiba-tiba meninggalkan Candy dan Putra yang sibuk beradu mulut. Ponselnya tak hent
Bianca menyandarkan punggung ke sandaran kursi sembari merapikan pakaian yang kusut menggunakan telapak tangan. Perempuan itu memutar kursi, mengarah pada Robert yang tengah menatap keluar jendela. Lelaki itu menghisap rokok dan kemudian menghembusnya.Rambut Bianca sedikit acak-acakan karena apa yang baru saja mereka lakukan di atas meja, tapi dia tidak menyadarinya. Perempuan itu tersenyum menatap Robert. Mata berkedip, benak membawa pada suatu kenangan yang terjadi satu minggu sebelumnya. Pada saat Putra menelepon dan meminta untuk bertemu.Bianca tiba lebih dulu di tempat pertemuan yang terdapat di dekat jembatan.FLASHBACK“Kau bertengkar dengan ayahmu lagi?” Kalimat pertama yang terlontar keluar dari mulut Bianca saat Putra memasuki mobil, duduk di samping bangku setir.Putra menghela nafas panjang, tampak frustasi. Melempar pandangan keluar kaca, mengamati pemandangan sejenak sebelum menatap Bianca. Tidak ada apa pun yang keluar
Setelahnya hening karena tidak ada pembicaraan, apa yang terdengar hanyalah suara hembusan AC dari bagian samping setir. Bianca kemudian memecah keheningan dengan kalimat, “Aku bisa membantumu jika itu yang kau perlukan, aku tahu bagaimana cara membuatnya membencimu.”Satu menit mencerna sebelum kepala Putra berputar, netra terarah langsung pada bola mata Bianca dan dia bertanya, “Kau … sungguh tahu bagaimana caranya?”Bianca mengganguk sebagai jawaban. “Tapi tidak,” katanya kemudian. “Aku tidak yakin karena kau mungkin akan menyesalinya. Rasanya tidak baik-baik saja jika dibenci oleh orang yang sangat kita cintai.” Terjeda beberapa saat karena ragu, Bianca melanjutkan, “Kau mungkin tidak akan pernah dimaafkan olehnya jika kau sungguh melakukan ide gilaku.”Perempuan itu tersenyum geli, seolah-olah menyesal akan apa yang dilontarkan, tapi Putra sudah terlanjur penasaran. “Beritahu aku,&rdqu
Tidak diizinkan berbaring di atas kasur dalam kamar sendiri membuat Candy memutuskan untuk terduduk nyaman di wilayah balkon yang terdapat di belakang rumah, ada ayunan bermodel telur di sana. Matahari perlahan tenggelam, Candy mengamatinya dengan sangat tanpa sekali pun mengalihkan pandangan. Terlalu banyak hal di dalam kepala, gadis itu melamun dengan perasaan kacau balau.Bukan hanya teringat akan Robert, Candy juga mengingat pertengkaran dengan Putra tadi siang dan ibu Putra. Raut wajah berubah sendu, Candy menekuk kedua kaki untuk dipeluk, menyandarkan dagu di atasnya.Candy memanggil wanita itu dengan sebutan ibu, sama seperti cara Putra memanggil. “Robert membenci Putra dan aku karena kejadian itu …” Candy bergumam lirih. “Aku seharusnya tahu itu.” Diri ini terlalu bodoh, sama sekali tidak menggunakan otak untuk berpikir sebelumnya.“Tapi … Putra sungguh mengkhianatiku,” gumamnya lagi. “Robert memben
Flora melambaikan tangan untuk memanggil. Bukan berhenti, pengendara tadi malah mengulurkan tangan dan merebut tas tangannya. Tarikan yang kasar menyebabkan tubuh Flora tertarik dan jatuh menghantam aspal.“Akh!” Flora merintih kesakitan, tak sempat mengingat maling tadi karena sebuah mobil hitam yang melaju. Mata terbuka lebar dan sang pengendara yang tidak memperhatikan berakhir dengan menabrak.Lorong rumah sakit yang semulansepi kini dipenuhi oleh suara sepatu beradu dengan lantai keramik. Seseorang terbaring tak berdaya di brangkar, didorong oleh beberapa suster dan seorang dokter. Ada Putra dan Candy yang baru saja muncul karena seseorang menelepon beberapa menit sebelumnya menggunakan ponsel sang ibu.Mengesampingkan perkelahian, pasangan itu bergegas kemari, tapi sayangnya langkah kaki harus dihentikan oleh pintu yang tertutup. Putra cemas, panik, gelisah, khawatir, semua perasaan bercampur aduk di dalam rongga dada. Sama halnya seperti Candy
“Ugh!” Candy mengacak rambut, raut wajahnya tampak frustasi. “Aku benar-benar bodoh.” Sepertinya bodoh tidak cukup untuk mencibir diri sendiri, tapi Candy tidaklah mahir mengutuk. Apa yang terjadi hari ini pun salahnya yang tidak berpikir panjang.Helaan nafas mengalun, sedikit sukses membut gadis itu menjadi lebih tenang. “Selama aku bisa membalas Putra, aku sama sekali tidak perduli pada apa yang bisa Robert lakukan!” Candy meneguhkan hati, bangkit dari ayunan dan memasuki wilayah rumah.Jam menunjuk pukul sebelas saat suaminya yang pulang terlambat kembali berdandan tampan menggenakan setelan jas yang lain. Candy tidak mencoba menebak ke mana dia pergi karena Robert mustahil mau memberitahu.Setidaknya itu adalah apa yang Candy pikirkan sampai Robert mengambil lengan dan menariknya kasar. “Akh!” Candy merintih kesakitan, mencoba melepaskan cengkraman, tapi tenaga yang Robert keluarkan sangat besar. “Sakit!
Robert mengenal pemilik tempat ini dan gedung ini pula menjadi tempat berkumpulnya dengan teman-teman, dia bisa bersikap santai layaknya rumah. Tapi tidak dengan Candy yang mencoba melindungi telinga dengan satu tangan.Candy melihat ramai orang berjoged-joged tanpa malu di lantai dansa, ada tiga perempuan melakukan striptease menggenakan pakaian super minim. Candy reflek melonggo, tapi pandangan diputuskan oleh dinding yang menghalangi.Candy tidak pernah mencoba menebak seburuk apa Robert bisa memperlakukan diri ini, tapi haruskah ia merasa syukur? Pekerjaan yang Robert singgung adalah menjadi pelayan, setidaknya lebih baik daripada bergulat-gulat dengan pakaian seksi di tiang.Namun, Candy tidak merasa melayani orang-orang yang ingin minum minuman beralkohol termaksud hal yang melegakan. Semua orang-orang nakal itu mencoba menggoda saat Candy mengantarkan apa yang mereka mau.Tubuh Candy tidak lagi dibalut piyama melainkan setelan maid berwarna hitam d
“Memanfaatkan keadaan?” Candy bergumam dan tenggelam dalam pikiran satu detik setelahnya. Candy tidak yakin bahwa saran dari Putra adalah apa yang ia butuhkan karena bagaimana caranya memanfaatkan keadaan setelah diperlakukan seperti badut?Candy bahkan berpikir akan lebih baik menggambar wajahnya agar terlihat seperti badut sungguhan daripada mempertimbangkan saran dari Putra. Tapi apa yang harus dikatakan? Candy kehabisan kata-kata untuk dicerna, dia hanya bangkit dari duduk dan pergi begitu saja meninggalkan Putra.Putra melihat Candy melewati pintu masuk dan dia pergi menyusulnya. “Ke mana kau akan pergi?” tanya Putra, berhasil menyita perhatian Candy dan membuat dia menoleh.“Aku tidak tahu,” jawab Candy sesuai dengan apa yang terpikirkan. Tidak, Candy bahkan tidak memikirkan apa pun, dia hanya tidak ingin berdebat dengan Putra atau mendengar lebih banyak pendapat darinya.“Pulang ke rumah, Candy,” kata Putra, tampak jelas bahwa dia bermaksud dengan kalimatnya tapi Candy tidak pa
“Ck!” Mandu tidak punya alasan tapi rasanya tidak menyenangkan disamakan dengan siapa pun. Meski begitu, Mandu tidak menanggapi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan berhasil menyita perhatian Candy.“Apa yang kau lakukan?” tanya Candy penasaran.Mandu memberitahu, “Aku akan menelepon Robert dan meminta dia untuk menjemputmu pulang saja.” Jawaban itu menyentak Candy yang enggan berurusan dengan Robert, dia bergegas menghampiri dan menyambar ponsel dari tangan Mandu. Candy tidak mendapatkannya karena Mandu terlebih dulu menarik ponselnya menjauh.“Jangan menelepon Robert!” pinta Candy.“Tidak akan aku lakukan kalau kau masuk ke dalam mobil sekarang juga,” kata Mandu penuh penekanan, memberi Candy tidak ada pilihan lain selain menurut. Candy berpikir menuruti apa mau Mandu akan lebih baik daripada dia menelepon Robert dan membuat lelaki itu mengangkatnya pulang ke rumah seperti karung beras.“Baik, baik,” ketus Candy, dia memasuki mobil dan duduk di samping Mandu.Mandu tersenyum p
“Aku tidak berpikir kita punya hal lain lagi untuk dibicarakan,” tolak Candy. Robert bahkan tidak menyangkal apa pun setelah semua yang ia katakan, jadi Candy menggangap semuanya telah jelas.“Meski begitu aku tidak izinkan kau pergi begitu saja,” tegas Robert. Dia meletak tangannya di pintu, menutupnya sebelum Candy membukanya lebih lebar. Candy menarik ganggang pintu, dia berbalik menatap Robert saat lelah mengharapkan Roberet untuk menyingkir. Robert menambahkan, “Lagipula kau tetap adalah istriku. Jika aku bilang jangan pergi, kau tidak akan pergi.”Lagi-lagi sikap memerintah seperti itu seolah-olah Candy tidak adalah anak anjing yang patuh. “Suami atau istri, status kita tidak lebih dari itu. Lalu, apa gunanya?”Robert tidak bisa menjawab yang satu itu tapi tetap saja menolak untuk membiarkan Candy pergi begitu saja. Ini bukan soal harga diri atau sejenisnya, Robert hanya tidak ingin perempuan itu pergi. “Aku tidak akan menemui Bianca lagi jika itu maumu,” tawar Robert tapi sungg
“Aku segera ke sana,” kata Robert sebelum mematikan panggilan secara sepihak. Seharusnya Robert tak lakukan ini tapi rasanya sungguh menjengkelkan, ia ingin tahu apa yang sebenarnya Candy lakukan dengan menemui Putra.Lelaki itu menyambar jas hitamnya dari gantungan di sudut ruangan dan berlari keluar meninggalkan ruangan. Robert mengendarai mobil dan tiba di lokasi yang Putra sebutkan dalam waktu lima belas menit.Masih di dalam café yang sama, bedanya adalah Candy tidak ada di sana. Robert menghampiri Putra dan menemukannya terduduk sendirian. Lelaki itu menatap sekitar, menemukan keadaan café yang lumayan sepi dengan hanya beberapa meja terisi tapi masih tidak ada Candy yang terlihat.Robert menatap Putra sebelum bertanya, “Di mana Candy?”Putra tidak menjawab pertanyaan Robert untuk memberitahunya di mana Candy, dia bangkit dari duduk dan melayangkan tinju keras di pipi Robert. Robert terhuyung dan terjatuh karena tidak siap menerima serangan tiba-tiba itu. Sontak mata semua pelan
FLASHBACKHari itu saat Candy melihat Putra memasuki kamar bersama Bianca, gadis itu pergi karena hati yang berdenyut menyakitkan, karena dia tidak bisa mendengar lebih lama lagi tapi apa yang terjadi tidak seperti yang dia duga.Putra yang sedang tidak sadar sepenuhnya mendorong Bianca tanpa sadar dan meracau, “Aku tidak akan melakukannya.” Tiba-tiba wajah Candy hadir di wajah Putra di saat matanya bahkan tidak bisa lagi terbuka untuk dua watt.Putra mengingat kembali mereka yang seharusnya sudah menikah dan semua itu gagal. Candy melihatnya sebagai seorang pengkhianat dan satu kali saja sudah cukup. Lelaki itu terhuyung, beruntung dia berhasil mencapai pinggir ranjang sebelum terjatuh. “Aku tidak mau … aku berharap aku tidak pernah menyakitinya.”Lelaki itu terus meracau, setelahnya tak sadarkan diri, sama sekali tidak mengingat keberadaan Bianca yang masih menatapnya.FLASHBACK ENDCandy tidak pernah ingin tahu sebelumnya tapi tiba-tiba dia kemari dengan hal yang seharusnya dia tan
Siang hari tiba, jarum pendek menunjuk tepat dua belas dan Candy masih tidak terlihat. Robert menghentikan pekerjaan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi sebelum mendengus sebel.Padahal aku sudah mengizinkan dia untuk memasak dan mengantarkan aku makan siang tapi dia malah tidak datang, dasar tidak tahu diuntung, pikir Robert. Meminggirkan apakah Robert memakan masakan dari Candy atau tidak, Robert penasaran dengan apa yang sedang Candy lakukan. Daripada terus bertanya-tanya, Robert mengeluarkan ponsel dari saku jas dan melakukan panggilan telepon.Suara sistem terdengar, mengatakan bahwa nomor Candy sedang dalam panggilan lain. “Dengan siapa dia berbicara?” gumam lelaki itu penasaran sembari menatap layar ponsel.Namun, Candy tidak sedang berbicara dengan siapa pun. Panggilan yang Candy lakukan berakhir dengan tidak terjawab. Candy menatap layar ponselnya dan nama Putra yang tercetak. Sebelumnya, Candy sudah memblokir nomor itu tapi dia membatalkannya untuk suatu alasan.“Aku
Candy berdecih sinis, tatapan matanya merendahkan. “Aku tidak butuh kau,” katanya. “Aku bisa naik taxi atau apa pun itu.” Lagipula apa yang Candy harapkan dari Mandu? Gadis itu pergi begitu saja setelahnya, tapi dihentikan oleh Mandu.“Tunggu aku!” pinta lelaki itu sembari menarik pergelangan tangan Candy. Candy menepisnya sebelum berbalik menatap. “Kau sangat tidak sabaran,” ketus lelaki itu, bete. “Biarkan aku menemanimu. Lagipula kau tidak tahu di rumah Bianca.”Candy tidak menolak karena benar kata Mandu bahwa ia tidak tahu di mana Bianca tinggal. Akan menyusahkan jika ia kehilangan jejak Robert dan berakhir tersesat. “Ayo cepat,” pinta Candy, dia meninggalkan rumah terlebih dulu dan disusul oleh Mandu.Mandu menyusul dengan tenang, ada secarik senyuman di wajah yang menunjukkan betapa dia bersemangat. Mandu penasaran, ingin melihat akan seperti apa ekpresi wajah Candy kala dia mengetahui yang sebenarnya. Apakah dia akan menangis atau beranikah dia pergi ke Robert dan memarahinya.
Candy menggerucutkan bibir, menoleh untuk menatap Mandu. Tidak ada yang dia katakan membuat Mandu menatapnya guna mencari tahu ekpresi wajah seperti apa yang dia gunakan. Mandu tidak yakin, perempuan itu tampak marah dan di saat bersamaan, meragukannya. “Hahaha!” Mandu tertawa canggung sebelum berkata, “Sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara.” Dia melakukan gerakkan menutup resleting di depan bibirnya dan menambahkan, “Aku sebaiknya diam.”Benar, Mandu sebaiknya diam. Sial, dia seharusnya diam lebih awal karena Candy tidak bisa mengabaikan semua yang telah ia dengar. “Bagaimana jika Mandu tidak membual?” Pertanyaan itu hadir di dalam kepala Candy dan tidak meninggalkannya sama sekali.Mandu dan Candy tiba di rumah tiga menit lebih cepat dari Robert. Saat Candy berdiri di depan meja rias, pintu kamar terbuka. Robert menampakkan diri, mengangkat plastik putih untuk dipamerkan sebelum memberitahu, “Aku beli makanan, kau sudah makan?”Alih-alih heran akan perbuatan baik Robert yang ti
“Membela Candy?” Reaksi Robert syok. Dia tidak tahu apa maksud dari ucapannya sendiri tapi ia menolak kalimat yang Bianca keluarkan. “Kau sudah gila!” hardiknya. “Tentu saja aku tidak.”Melihat reaksi marah Robert tidak menghadirkan keraguan, Bianca percaya padanya meski masih merasa jengkel. Bianca mengembungkan pipi dan melipat kedua tangan di depan dada sebelum berkata, “Yasudahlah kalau begitu, aku tidak ingin ribut denganmu.” Itu adalah hal membosankan yang tidak ingin Bianca lakukan, oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri perdebatan. “Tapi sebagai ganti, aku ingin makan malam bersamamu, besok.”“Tidak bisa,” tolak Robert segera, dia bahkan tidak mencoba mempertimbangkan tawaran Bianca. “Aku sibuk,” ungkapnya.“Kau sibuk?!” Bianca tidak bisa terima alasan itu, berkata, “Biasanya kau tidak sibuk untukku! Lagipula besok sabtu, kau tidak harus pergi bekerja. Jadi, apa salahnya menghabiskan dua jam untuk makan bersamaku?” Bianca tidak berpikir permintaannya sangat sulit, ia c