“Aku juga harus kembali ke sana, mau kuantar?” kata dan tawar Mandu.
“Uhm … kau tidak keberatan?” tanya gadis itu ragu, takut merepotkan.
Mandu menatap rantang yang mengantung di tangan Candy sebelum melempari secarik senyuman tipis. “Aku memang mau kembali ke sana kok, tidak apa-apa,” jawabnya.
“Uhm, bagaimana dengan Viola?” tanya Candy yang mendadak tersita netranya oleh sang gadis cilik yang hanya diam dan mendengarkan pembicaraan.
“Ah …” Mandu memikirkan hal yang sama. “Omong-omong, mengapa rumah ini kosong?” Itu adalah apa yang mau dia tanyakan sedari awal kepulangan. Viola memiliki seorang babysister, perempuan itu libur sampai kemudian ia kembali. Tapi babysister itu tidak datang seperti yang telah dijanjikan, Mandu malah mendapatkan fakta bahwa tidak ada satu orang maid pun di dalam rumah.
“Itu … uhm … Robert memecat mereka,” ungk
“Sttt …” Robert meletak ibu jari di depan bibir, memberi isyarat untuk jangan bersuara. Bianca memutar bola mata 180 derajat saat tangan Robert melakukan gaya memanggil.“Sial,” gerutu perempuan itu sembari memperbaiki beberapa kancing kemeja yang terlepas. Dia mendekat, membiarkan Robert mendorongnya ke bawah meja. ‘Ini bahkan lebih buruk dari tertangkap,’ pikir perempuan itu.Robert bangkit guna membuka pintu yang terkunci, sedikit dikejutkan oleh Candy yang menampakkan diri. Kehadiran itu tidak diharapkan, Robert bertanya, “Untuk apa kau kemari?”Betapa garang reaksi sang suami menyapa, Candy menanggapinya dengan senyuman manis. “Aku bawakan makan siang, kau sudah makan?” Candy sudah berbicara sangat baik, tapi malah ditanggapi tajam oleh sang suami.“Aku lebih baik mati kelaparan daripada harus makan masakanmu,” ketus lelaki itu. Dia kembali ke meja setelah menutup pintu. K
Seandainya Robert bisa menelepon security dan meminta mereka untuk menyeret Candy keluar, Robert tidak mau diri ini dicap buruk karena orang-orang kantor tahu perempuan cantik itu miliknya.“Robert, aku-“ Lagi-lagi kalimat Candy disela oleh sang suami.“Aku harus mengulangi kalimatku sebelumnya?”Betapa tegas kalimat sang suami, dengan mudah menyebabkan kedua kaki Candy tidak berani terus berdiri tegap. Gadis itu kesulitan menelan ludah, menahan rasa sakit yang menyayat hati. Kepala tertunduk guna memutuskan kontak mata dan mau tak mau dia pergi meninggalkan ruangan.Ada air mata di pelupuk, cairan bening itu mencoba menjelaskan rasa sakit yang menggangu, tapi Candy tidak mau membiarkannya mengalir. “Mengapa aku menyedihkan sekali,” eluh gadis itu dengan pandangan mengarah pada langit-langit. Berkali-kali dia menghela nafas sampai air mata kembali memasuki bawah mata.“Candy?” Nama yang dipanggil meng
Silau cahaya dari langit-langit kamar begitu mengusik mata yang masih bersembunyi di kelopak yang terpejam. Pemuda bernama Putra itu menggeliat tak nyaman sebelum mengangkat kedua tangan untuk meregangkan otot-otot tubuh yang kaku.Butuh beberapa saat mencerna sampai mata mau terpejam, dia mendudukan diri dan mulai menyapu sekitar. Entah apa yang hendak Putra pikirkan, perhatiannya disita oleh keberadaan seorang gadis cilik di tengah-tengah ruangan. Gadis yang sangat ia kenali itu sibuk dengan beberapa mainan masak-masak.“Viola, kapan kau duduk di sana?” tanya Putra, suaranya berhasil merebut perhatian sang pemilik nama.“Kakak, Kakak sudah bangun!” seru Viola dengan penuh semengat. Dia bangkit, meninggalkan semua mainannya untuk memanjati kasur. “Aku membangunkan Kakak sedari tadi,” ungkap gadis manis itu setelah terduduk di depan Putra dengan kaki berbentuk W.“Sungguh?” Putra sedikit tersentak mendengarn
Candy sepertinya marah pada dirinya, tapi … Putra tidak yakin mengapa. Ia baru saja bangun, tapi sang mantan sudah mengatainya seburuk itu. “Ayo Vio,” ajak Putra, memutuskan untuk mengakhiri topik pembicaraan.“Ayo, Kak Candy ikut kami,” ajak Viola kembali.“Vio, kau harus panggil dia ‘Mom’ mulai dari sekarang.” Sindiran Putra terlalu kentara, lihat betapa tajam matanya mendelik. Putra yang seperti itu mengingatkan Candy pada Robert.“Mom?” heran Viola, tak paham pada maksud dari kalimat sang kakak.“Candy bukan lagi kakakmu, dia ibumu,” terang Putra seadanya.Candy menghela nafas panjang, jari memijit-mijit kepala yang berdenyut dibuat dingin suara Putra. “Pergi makan, Putra, jangan buat aku mengulangi kalimatku lagi,” harap gadis itu putus asa.“Baik, Mom,” jawab pemuda itu sinis.“Hei!” jerit Candy, geram dibuat Putra
Putra, Putra dan terus Putra! Siang sampai malam Candy serasa gila dibuat pemuda yang terus dengan sengaja memanggilnya ‘Mom’ itu. Tapi … mengapa hati ini berdetak begitu menyenangkan, hangat bagaikan nikmatnya segelas cokelat hangat?Telapak tangan melayang keras, menghantam lengan secara langsung. “Akhh!” Candy merintih. “Apa yang baru saja aku pikirkan?” tanyanya pada diri sendiri. “Jangan berani memikirkan lelaki itu, Candy,” tegasnya. “Putra tidak pantas berada di dalam pikiranmu.”Candy mendengus sebel, meninggalkan depan cermin dan beranjak keluar dari kamar mandi. Gadis itu menggenakan gaun tidur berlengan pendek berwarna biru langit, dikejutkan oleh sang suami yang entah sejak kapan sudah berada di dalam kamar. Jam menunjuk pukul sembilan malam, sepertinya Robert baru saja pulang dari lembur.“Kau sudah pulang?” Candy spontan menutup bagian dengan tubuh dengan menyilangkan ke
Ekpresi wajah Candy berubah tak bisa diartikan. “Bianca?” beonya, nada tanya sukses menyadarkan Robert dengan cepat.Robert begegas bangkit untuk duduk, memastikan betul-betul siapa sang pemilik suara yang sedari tadi memanggil. Ia mengira Bianca bersikap manja, tapi ternyata istrinya yang menawarkan air hangat untuk mandi tadi.“Candy,” sebut Robert, mendadak cemas menantikan apa yang akan Candy pertanyaan karena nama perempuan lain yang ia panggil tanpa sadar.Candy mengambil duduk di sebelah Robert sebelum melontarkan, “Aku minta maaf, kau pasti sangat mencintainya.” Candy bukan mengashini Robert yang dia kira dikhianati Bianca, Candy hanya merasakan sakit yang sama tanpa tahu bahwa fakta yang diketahui tidak lain hanyalah kebohongan semata. “Kau baik-baik saja melihat Bianca bersama Putra?” tanya Candy kala kontak mata bertemu.Robert terdiam beberapa saat, tapi tidak hadir niat untuk mau bercurhat. Lela
Putra bercedih, tidak usah ada sopan santun di antara mereka yang tidak baik hubungannya. Putra kesal diperlakukan seperti anak kecil, pemuda itu memilih mengabaikan dan melanjutkan perjalanan kembali ke kamar.Saat lenyap dari netra, Robert dan Candy saling menjauh. Acara tarik menarik kembali berlanjut, pergelagan tangan yang dicengkram terlalu keras membuatnya merintih. “Sakit!”Robert menulikan telinga, memaksa memasukkan Candy ke dalam mobil. Candy sudah cemas setengah mati memikirkan ke mana sang suami akan membawa dan ternyata tebakkannya sama sekali tidak meleset. Lagi-lagi sang suami membawanya ke club malam, tempat yang paling ia benci. Tempat yang telah memberinya pengalaman dan perasaan buruk.Sementara itu, Bianca sudah menunggu di dalam. Duduk seorang diri di meja batender sembari mendengus sebel, menanti kehadiran seorang lelaki yang tidak datang tepat waktu. Seloki berisi cairan bening memabukkan, Bianca habiskan dalam satu kali teguk
“Yaampun …” Bianca terkekeh geli, sama sekali tidak menyangka Robert tega memperlakukan Candy seburuk itu. Haruskah ia puji Robert karena telah memberinya hadiah yang sangat menghibur hati? Bianca menikmati betapa sengsara dan takut ekpresi wajah Candy.“Kau suka hadiah dariku?” tanya Robert, suaranya begitu nakal memasuki indera pendengar.“Sangat suka,” jawab Bianca, gayanya tidak kalah menggoda. “Aku sangat menyukainya sampai aku ingin membawamu ke tempat yang sepi.” Bianca kembali menatap Candy sebelum melanjutkan, “Tapi Candy tidak melakukan apa pun, ini kurang menarik.”Robert menatap apa yang Bianca tatap dan ia setuju. Candy tak henti berusaha melarikan diri dari orang-orang yang melingkari. Candy menutup kedua telinga, otak seperti akan meledak dibuat bisingnya lagu DJ dan suara jeritan memuakkan.Gadis itu berusaha kabur dengan menerobos, malangnya tubuh harus tersungkur karena d