Stella mengukir senyum. "Ah, aku tidak pernah kepikiran tentang ini sebelumnya," ungkapnya menanggapi perkataan Abu. "Um, apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Apa kamu meragukan Somnium?"
Kini giliran Abu yang tersenyum. "Entahlah, aku hanya berpikir bahwa sebenarnya masih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Somnium."
Kemudian, terdengar helaan napas dari Stella. Gadis dengan setelan gaun putih selutut itu tidak ingin ambil pusing dan menanggapi Abu dengan melontarkan kata-kata yang mengisyaratkan untuk segera menyudahi pembicaraan yang dirasanya tidak begitu penting. Katanya, "Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan hal itu. Lagi pula sekarang kita harus fokus pada misi, bukan?"
Lagi, Abu tersenyum. Entah kenapa dia merasa reaksi Stella lucu sekali. Memangnya dia tidak merasa perlu mewaspadai Somnium? Bukankah sosok Somnium masih sangat misterius?
Akan tetapi, melihat bagaimana reaksi Stella maka mau tak mau Abu harus segera mengakhiri pembicaraan mereka tentang Somnium. Apalagi mengingat ada mimpi buruk yang harus mereka hancurkan. "Baiklah, ayo kita lanjutkan misi kali ini," balas Abu. "Tetapi sebelum itu jawab dulu pertanyaanku. Kamu sungguhan tidak melihat siapa pun tadi?"
Stella menggeleng kuat-kuat. "Serius, aku tidak melihat siapa pun."
"Um, jadi ceritanya begini. Tadi itu aku berada di dekat gerbang masuk desa ini. Dan dari kejauhan aku lihat kamu berdiri di dekat pohon beringin. Terus ya sudah, kuputuskan untuk masuk dan menghampirimu saja," sambung Stella menjelaskan. "Nah, pas sudah beberapa meter, eh kulihat kamu bertingkah aneh. Tidak ada siapa-siapa tetapi kamu tiba-tiba menyerang dengan mengeluarkan api dari tanganmu. Itu, jujur, aku takut sekali sampai tadi aku teriak. Kamu juga dengar, kan?"
Abu mendengarkan dengan saksama. Diikuti manik kembarnya yang memperhatikan Stella ketika menceritakan apa yang terjadi dilihat dari sudut pandangnya. Abu sendiri pun mengakui bahwa tadi dia juga sempat mendengar seseorang meneriakkan namanya. Serta dia mengetahui kalau Stella berkata jujur tentang dirinya yang ketakutan karena semua itu terpancar dari kedua matanya.
Setelah itu, Abu angkat bicara. "Oke, kita kesampingkan itu dulu. Nah, sekarang kamu bisa beri tahu aku film atau drama apa yang baru-baru ini kamu tonton? Karena apa yang terjadi di kehidupan nyata bisa terbawa sampai ke mimpi."
"Baru-baru ini aku nonton drama Korea judulnya Sweet Home."
"Dramanya tentang apa?"
"Sweet Home itu menceritakan tentang dunia yang tiba-tiba berubah menjadi mengerikan, karena di sana manusia dapat berubah menjadi monster yang disebabkan oleh hasrat dan ambisi besar dalam diri mereka," jelas Stella. "Jadi, lebih semacam film survival kalau menurutku karena orang-orang yang mendiami Green Home harus bertahan hidup dari invasi dan serangan para monster."
Selepas mendengar penjelasan dari Stella terkait drama yang baru-baru ini dia tonton, Abu tak bisa menghentikan dirinya untuk tersenyum kecut. "Um, ribet juga ya kalau kamu benar-benar memimpikan hal seperti itu," ungkapnya.
Alhasil, Stella berakhir menahan rasa malu. "Ahahaha, maaf ya," pintanya dengan suara yang kedengaran kaku dan canggung.
"Tidak apa-apa, jangan minta maaf," balas Abu.
"Tapi—"
"Tapi jujur ya, mimpimu ini tidak menunjukkan ciri-ciri seperti drama yang kamu tonton," potong Abu dengan kedua mata yang melihat-lihat sekeliling. "Jika warga di sini berubah menjadi monster, menurutmu kenapa dari tadi mereka tidak menampakkan diri? Kenapa mereka tidak menyerang?"
Stella menimpali dengan kikuk. "Mana ... aku, tahu?"
Mendapat reaksi demikian, Abu jadi terdiam sejenak karena tak habis pikir. Matanya pun mengerjap-ngerjap agar fokusnya kembali. Barulah setelah itu dirinya mencoba menghubungkan setiap informasi yang telah diperoleh. Dia berusaha untuk mendapatkan petunjuk meski itu hal kecil sekalipun.
Dari apa yang telah diketahui oleh Abu adalah bahwa desa ini tidak begitu besar dan cukup terpencil dengan keadaannya yang persis desa tak berpenghuni. Semua itu tampak dari rumah-rumah warganya yang kelihatan sepi dan seperti telah lama ditinggalkan karena kondisinya yang tidak terawat.
Selanjutnya, suara misterius yang didengarnya beberapa saat lalu. Kalau diingat-ingat, suaranya itu terdengar seperti suara pria paruh baya yang dari nada bicaranya seolah-olah tidak suka dengan kehadiran Abu dan yang lainnya. Suara itu terdengar seperti sebuah kemarahan karena telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.
Lama, berpikir keras. Abu kemudian menggaruk tengkuknya tiba-tiba. "Stella, mimpimu ini...."
Yang diajak bicara ragu-ragu membalas, "Iya?"
Sejemang, Abu mengerucutkan bibir. "Aku tidak bisa menemukan petunjuk apa-apa," jawabnya.
Stella lantas langsung bermuka sedih dan kentara merasa bersalah. "Maaf...," mohonnya.
Merasa tidak enak karena telah membuat Stella merasa bersalah, Abu hendak melontarkan sepatah kata yang sekiranya mampu untuk menghentikan gadis itu meminta maaf dan menyalahkan diri. Namun, belum sempat mengeluarkan suara, Abu dibuat kembali terpikirkan akan suara misterius tadi dan kali ini anehnya terhubung dengan fakta tentang lokasi Shota dan Elang yang berada di rumah dengan ciri bangunan Belanda.
Seketika kedua mata Abu membola. Dia lantas menatap Stella sambil berkata, "Kita harus segera menemui Shota dan Elang."
Tentu saja Stella kebingungan. Gadis hitam manis itu tidak mengerti kenapa tiba-tiba Abu mengajaknya untuk segera menemui Elang dan Shota. Sebab mereka berdua itu laki-laki dan pasti bisa menjaga diri.
"Tunggu, memangnya kenapa? Bukankah lebih baik kita mencari Alexa saja? Aku khawatir." Stella menuntut jawaban karena dia berpikir alih-alih menemui Shota dan Elang lebih baik mereka mencari Alexa yang sedari tadi tidak kedengaran suaranya sama sekali.
"Alexa?"
"Iya, Alexa."
"Um, menurutku itu tidak perlu."
"Ti-tidak perlu?" Dahi Stella berkerut. "Apa maksudmu tidak perlu? Kamu tidak khawatir kepada Alexa? Kalau terjadi sesuatu padanya bagaimana?"
"Tidak, bukan begitu."
Kini, kedua alis milik Stela saling bertautan. "Lalu, apa maksudmu tidak perlu?"
"Alexa itu pemimpi pertama yang jauh lebih dulu meneriwa tawaran dari Somnium daripada kita. Sudah pasti dia juga lebih berpengalaman dan terlatih. Jadi, kupikir kita tidak perlu merasa takut akan terjadi sesuatu padanya. Dia bisa menjaga diri. Aku percaya itu," terang Abu.
Mendengar itu, Stella mendengkus. Dia merasa tidak terima dengan jawaban dari Abu. Namum, dia juga tidak bisa memungkiri bahwa apa yang dikatakan Abu itu benar adanya. Perihal Alexa yang jauh lebih dulu meneriwa tawaran dari Somnium dibanding mereka. Serta melihat bagaimana sikap Alexa selama ini, Stella justru berakhir semakin membenarkan ucapan Abu. Pasalnya Alexa bukanlah tipe gadis lemah yang bisanya merengek dan menyusahkan orang lain. Gadis campuran Indonesia-Inggris itu selalu tampil tangguh dan ceria serta dapat diandalkan.
Akibatnya, Stella berakhir memanyunkan bibir. Dibuat kecewa tetapi hanya bisa pasrah karena dia juga tidak mungkin mencari Alexa sendirian lantaran rasa takut masih menyelimutinya. Kendati demikian, Stella mengajukan permintaan lain sebagai gantinya.
"Kalau begitu, kita temui Nana saja bagaimana? Soalnya tadi kalau tidak salah Leo bilang akan menghampiri Nana. Aduh, aku kan jadi—"
"Stella ... kamu meragukan Leo ya?" sela Abu.
Pertanyaan yang diajukan oleh Abu sekonyong-konyong membuat Stella tertegun. Gadis itu dibuat stagnan. Terdiam dengan bibir yang tiba-tiba menjadi kelu.
"Sekarang begini saja, aku akan tetap menemui Shota dan Elang. Selain itu, kamu yang putuskan sendiri, mau ikut atau tidak," ujar Abu memberi solusi.
Stella masih saja diam bersamaan dengan air mukanya yang tampak tidak enak hati, tetapi walau bagaimanapun tak dapat dipungkiri jikalau Stella dibuat begitu penasaran terkait alasan Abu yang bersikukuh ingin menemui Shota dan Elang.
"Um ... kenapa kamu ingin sekali menemui Shota dan Elang?" tanya Stella pada akhirnya meski ragu-ragu di awal.
"Aku punya firasat buruk tentang mereka berdua," jawab Abu dengan sorot mata serius.
Elang menyadari bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota hingga memutuskan untuk ke bawah dan menemuinya. Bukan tanpa alasan karena dilihat dari mana pun tetap tidak dapat dipungkiri jikalau rumah ini memiliki ciri-ciri sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shota, yaitu rumah bergaya Belanda klasik yang tak lepas dari eksterior dan interiornya yang elegan. Lalu, ditambah fakta tentang bentuk ruangannya yang simetris. Ruangan yang satu pasti dipisahkan dengan ruangan lain dengan tembok atau pintu.Hal tersebut tak ayal kian menaruh keyakinan dalam diri Elang bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota. Lelaki berumur enam belas tahun dengan perawakan tinggi semampai itu menuruni anak tangga dengan tenang tanpa menghilangkan rasa kagumnya kepada rumah klasik gaya Belanda yang menurutnya begitu indah laiknya sebuah karya seni.Elang yang mendapati Shota hanya berdiam diri sambil melempar pandang ke luar jendela itu berseru, "Shota!" Kemudian menghampiri orang y
Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga. "Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak." Sontak mata Abu, Stella, dan Elang membola. Mereka tertegun untuk beberapa saat dengan isi kepala tak keruan. Ketiganya berusaha mencerna maksud perkataan Leo yang begitu mencengangkan. "Hei, Leo maksud kamu apa?" tanya Stella dengan sorot mata yang tampak kehilangan fokusnya. "Bicara yang jelas. Jangan membuat takut begitu." Abu menimpali. "Leo bisa dengar aku?" Hening. Tidak ada jawaban. "Leo? Hei,
Tiba-tiba kemudian Stella menjerit histeris kala matanya sukses bersitatap dengan sosok mengerikan. Wajahnya rusak sama seperti dengan sosok yang menyerang Elang. Manik mata sosok tersebut yang hitam pekat menatap Stella dan yang lainnya dengan penuh kemarahan. Sampai-sampai mengubah suhu menjadi sangat dingin dan terasa menusuk-nusuk kulit.Kabar buruk. Sosok mengerikan yang ini tampak lebih kuat dibanding yang menyerag Elang di rumah Belanda.Sial! Sakarang kita harus bagaimana? Stella membatin.Sosok mengerikan tersebut lantas menarik kedua sudut bibirnya—tersenyum menyeringai. Lalu lanjut mengentakkan kaki kanannya hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Kapsul terbang mendadak kehilangan kendali. Seperti kelebihan beban langsung bergerak menurun.Seketika kapsul terbang itu meluncur bebas. Alexa dan Stella memekik kencang sementara Abu dan Elang tidak bersuara tetapi wajahnya kentara
Mika Ariana berjalan menyusuri lorong sekolah sambil kebingungan. Dia menyadari ada keanehan di sekolahnya hari ini. Tidak ada orang dan tidak terdengar suara apapun. Hanya ada sunyi dengan suasana yang lumayan mencekam.Namun, gadis dengan rambut lurus itu tetap melangkahkan kaki meski diiringi dengan rasa was-was. Perubahan kondisi sekolah yang kontras membuatnya curiga sekaligus takut bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk. Sampai kemudian tiba-tiba beberapa meter di depan muncul teman sekelasnya yang membawa pisau di tangan kanannya.Dia adalah Mareta. Sosok gadis berambut pendek yang mendadak berlari ke arahnya laiknya singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. Menyadari itu, Mika terkesiap dan spontan membalikkan badan. Dia berlari sekuat tenaga demi menghindari kejaran Mareta yang menggila tanpa alasan yang jelas.Serta-merta rasa takut kian menggerayangi tubuh Mika yang mulai berkeringat dingin. Dia berlari dengan langkah berat diikuti irama jant
Angin malam berembus masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Tak elak suhu di dalam kamar dengan ukuran minimalis itu berubah menjadi dingin, tetapi anehnya tidak membuat gadis berdarah campuran itu merasa perlu menarik selimut. Dia hanya duduk di atas ranjang dengan memakai piama berlengan pendek sembari mengelus-elus bulu kucing di pangkuannya. Bibirnya melengkung ke atas pertanda akan rasa senangnya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Lalu tetiba sebuah suara misterius terdengar."Alexa," seru Somnium."Ya?" sahut gadis bernama Alexa tersebut."Kenapa kau suka sekali berada di sini?" Somnium kembali mengajukan pertanyaan dan kali ini sukses menbuat Alexa menghentikan kegiatan mengelus kucingnya. "Sebentar lagi misi akan dimulai. Kupikir kau perlu membaur dengan para pemimpi yang lainnya."Alexa melebarkan senyumnya serta lekas menatap kucing di pangkuannya yang beberapa saat kemudian eksistensinya men
Somnium diam sejenak dan beberapa sekon berikutnya suaranya kembali mengudara. "Jadilah pemimpi. Lalu hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan. Serta ingatlah selalu bahwa kalian, tujuh pemimpi, adalah satu-kesatuan. Maka bekerja samalah dan saling mendukung untuk sama lain. Dengan demikian, kalian semua bisa menjadi pemenang.Bukankah semua orang mengharapkan cahaya datang dan menerangi jalan hidupnya yang penuh dengan kegelapan? Jadi, kenapa kalian tidak ikut berjuang? Untuk itu, misi telah siap di depan mata. Maka bersiaplah dan hancurkan semua mimpi burukmu," ucapnya dengan lantang.Dalam sekejap keadaan sekitar berubah sedemikian rupa. Aula dengan suasana malam hari kini berganti suasana pedesaan di kala siang hari. Para pemimpi yang tadinya berada dalam satu tempat pun ikut terlempar ke tempat yang berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing pada mimpi yang harus dihancurkan kali in
Leo menjatuhkan pandangannya. Mengunci mulut rapat-rapat tatkala kakinya menendang rerumputan. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Pertama ucapan Shota dan dilanjut oleh mimpi buruk Stella. Benar-benar menyebalkan! Ditambah Abu yang terus mengoceh, menanyakan banyak hal. Dongkol sekali rasanya.Lelaki berjaket hitam itu lantas mengangkat wajah. Lalu, membiarkan matanya menyapu sekitar. Abu menanyakan lokasi dari setiap pemimpi, tetapi jujur saja dia sama sekali tidak berniat memberi tahu karena merasa malas untuk sekadar membuka mulut. Jadi, yang dilakukannya hanyalah memandangi sekeliling dalam diam sembari mendengarkan setiap pembicaraan dari anggota pemimpi yang masuk ke dalam telinga.Yang jelas, sekitar dua atau tiga meter di depannya tampak sebuah jalan setapak yang sudah mulai bobrok. Di seberang sana juga terlihat rumah-rumah warga yang kelihatan tak berpenghuni, persis kata Abu.Leo sendiri tidak merasakan ada yang aneh selain dari itu semua. Sehin