Leo menjatuhkan pandangannya. Mengunci mulut rapat-rapat tatkala kakinya menendang rerumputan. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Pertama ucapan Shota dan dilanjut oleh mimpi buruk Stella. Benar-benar menyebalkan! Ditambah Abu yang terus mengoceh, menanyakan banyak hal. Dongkol sekali rasanya.
Lelaki berjaket hitam itu lantas mengangkat wajah. Lalu, membiarkan matanya menyapu sekitar. Abu menanyakan lokasi dari setiap pemimpi, tetapi jujur saja dia sama sekali tidak berniat memberi tahu karena merasa malas untuk sekadar membuka mulut. Jadi, yang dilakukannya hanyalah memandangi sekeliling dalam diam sembari mendengarkan setiap pembicaraan dari anggota pemimpi yang masuk ke dalam telinga.
Yang jelas, sekitar dua atau tiga meter di depannya tampak sebuah jalan setapak yang sudah mulai bobrok. Di seberang sana juga terlihat rumah-rumah warga yang kelihatan tak berpenghuni, persis kata Abu.
Leo sendiri tidak merasakan ada yang aneh selain dari itu semua. Sehingga dia memutuskan untuk menyusuri jalan setapak demi memperoleh informasi atau apapun itu yang bisa memberinya petunjuk. Tepat di langkah yang kedua puluh, kakinya berhenti bergerak. Melalui netranya, dia dapat melihat sebuah papan nama dari bangunan yang dicat berwarna hijau cermin.
Setelah membaca papan nama itu terdengar helaan napas dari Leo. Dia kemudian berkata dengan ogah-ogahan. "Aku akan menghampiri Nana."
"Eh?" ucap Nana dan Abu bersamaan karena sukses dibuat terkejut oleh perkataannya.
Kendati demikian, Leo malah menunjukkan sikap tak acuh. Persetan apakah perkataannya barusan terdengar membingungkan atau mungkin mengagetkan, karena sudah dijelaskan di awal bahwa dia malas sekali untuk membuka mulut. Apalagi kalau sampai harus memberi penjelasan lebih detail terkait posisinya yang tidak jauh dari tempat Nana berada. Jelasnya, Leo akan menemui anak itu dan menurutnya tidak ada yang salah mengenai hal ini.
Selain itu, Leo juga sempat mendengar Abu yang menanyakan alasan kenapa Alexa diam saja dari tadi. Walaupun sebenarnya Leo turut merasa penasaran sekaligus kesal dengan Alexa, tetapi dia berusaha untuk tidak memedulikan itu. Sebab prioritasnya saat ini adalah menemui Nana. Lagi pula dia tidak lagi mendengar apapun keluar dari mulut Abu atau pemimpi lainnya.
Sesampainya di tempat tujuan, Leo dengan segera meraih knop pintu. Ternyata benar saja, pintunya tidak terkunci. Itu bagus dan memudahkan Leo untuk masuk.
Ketika sudah berada di dalam, Leo disuguhkan pemandangan yang tidak biasa dia jumpai. Di sini terdapat banyak perlengkapan atau mainan anak-anak. Tepat seperti apa yang dikatakan Nana. Serta Leo juga dapat melihat bahwa rungan bermain, belajar, dan istirahat dijadikan dalam satu ruangan. Namun, semuanya tidak membuat ruangan ini menjadi sempit karena perabot dan beragam benda di dalamnya disusun dengan sangat rapi.
Tunggu sebentar. Bukankah ini aneh? Semua barang di dalam Tempat Penitipan Anak ini terlihat sangat rapi di saat keadaan rumah-rumah warga di sekitarnya persis rumah tinggal yang banyak sekali debunya.
Menyadari itu, Leo spontan meraih sebuah boneka kelinci yang entah sejak kapan tergeletak di dekat kakinya. Sambil memegangi boneka itu, dia berkata, "Sepertinya ada yang baru memainkan boneka ini. Apakah Nana?"
Leo pun memacu tungkai untuk memasuki ruangan lebih jauh. Dia menuju tempat biasa anak-anak beristirahat, karena dari posisinya berdiri sekarang dia melihat seseorang yang tampak tengah bersembunyi di balik selimut dan menurutnya itu adalah Nana. Memangnya siapa lagi?
"Enak ya tidur?" tanya Leo sambil berdiri di dekat Nana yang sedang berselubung.
Nana menggigit bibir bawahnya dan ragu-ragu membuka selimut bermotif polkadot yang menutupi tubuhnya. Lalu, berakhir duduk sambil tersenyum seperti orang bodoh yang sedang memamerkan giginya yang ompong.
"Tidak usah tersenyum. Ompong begitu. Jelek tahu," ejek Leo.
Nana tidak terima. "Ti-tidak, kok. Coba lihat ini," ucapnya kemudian menunjuk gigi taring bawahnya. "Sudah mulai tumbuh, kan?
"Hem ...." Leo memperhatikan sebentar dan benar-benar melihat gigi taring bawah milik Nana yang sudah mulai tumbuh. "Ya, terserahlah," balasnya tak peduli dan memalingkan muka.
Nana memasang wajah cemberut dan dengan rasa sedikit kesal tangannya dia gerakkan untuk melipat selimut yang tadi dia pakai. Di sela-sela itu, suara Leo kembali mengudara.
"Aku mau melihat-lihat lagi. Siapa tahu ada petunjuk. Terserah kamu mau ikut atau tidak." Begitu katanya.
Setelah selesai merapikan selimut, Nana lekas berdiri dan melontarkan satu buah pertanyaan. "Kenapa kita tidak mencari Kak Alexa saja?"
"Alexa?"
Nana mengangguk dengan semangat sedangkan Leo justru menghela napas kasar. Pemuda berwajah garang itu balik melempar tanya.
"Apa yang bisa diharapkan dari perempuan itu?"
Saat mendengarnya tentu saja Nana terkejut juga tak habis pikir. "Maksud Kak Leo apa?"
"Tidak, bukan apa-apa."
"Kenapa berkata seperti itu?" tanya Nana dengan vokal yang sedikit meninggi. "Kak Leo tahu, dari tadi Kak Alexa sama sekali tidak bersuara. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?"
Sorot mata Leo berubah tajam. "Kupikir itu bukan urusanku," tukasnya dengan suara yang terdengar semakin berat dan wajah garangnya yang menjadi-jadi. "Aku juga tidak berkewajiban melindunginya. Lagian semua ini hanya mimpi. Apa yang perlu kamu takutkan?"
"Hanya ... mim-pi?!" Nana menatap Leo berang.
Kemudian ditanggapi Leo dengan nada bicara yang terkesan meremehkan dan juga menghina. "Ha? Apa maksudnya semua ini?"
Setelah itu, Leo menyambung perkataannya lagi. Kali ini dengan sebuah makian. "Stella sialan!" cercanya tetapi dengan suara yang cukup pelan hingga tidak begitu terdengar oleh Nana yang sepertinya tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Hanya mimpi?" Maka berikutnya mata Nana mulai berkaca-kaca. "Apa Kak Leo menganggap Somnium adalah lelucon? Lalu, bagaimana dengan imbalan-imbalan yang Kakak peroleh dari semua ini?" tanyanya.
"Hei, anak kecil," ucap Leo dengan tatapan mata yang seolah-olah mengisyaratkan agar Nana lekas menutup mulut.
Nana menggelengkan kepala dan berusaha untuk tidak memedulikan itu kendati sedari tadi dirinya terus menahan rasa takut. "Tidak Kak, tidak. Ini bukan mimpi biasa. Ini—"
"Cih!" tukas Leo diikuti tangannya yang tiba-tiba dengan kasar menarik lengan Nana.
Perlakuan kasar dari Leo barusan itu serta-merta membuat Nana menjerit ketakutan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Leo hanya berniat menarik Nana supaya dapat lekas bersembunyi di balik tubuhnya untuk menghindari anak kecil yang entah bagaimana bisa berada di belakang Nana sambil menodongkan pisau.
Nana yang masih belum menyadari hal itu karena terhalang oleh tubuh Leo hanya bisa menangis dengan tubuh gemetar. Dia ketakutan bukan main. Apalagi tangan Leo yang masih mencengkeram lengannya kuat-kuat.
"Kak Leo, maaf ... aku hanya—"
"Pergi!" teriak anak yang menodongkan pisau memotong ucapan Nana. Anak kecil yang diketahui berjenis kelamin laki-laki itu lantas mendekat dengan niat melukai Leo menggunakan pisau di tangannya.
Untungnya Somnium memberi keistimewaan bagi setiap pemimpi hingga mampu melakukan sesuatu yang mustahil seperti di dunia sihir. Alhasil hanya dengan menjentikkan jari sebelah kirinya, Leo sukses membuat pisau di tangan anak itu terlempar.
Menyadari hal tersebut, si anak pun memekik. Mengamuk dengan kedua tangan yang memukuli perut Leo sambil meneriakkan kata pergi berkali-kali.
Meski pukulannya terbilang tidak terlalu kuat tetapi cukup untuk membuat Leo tidak bisa bergerak beberapa saat. Sampai kemudian Leo melepaskan cengkeramannya dari lengan Nana dan segera menahan kedua tangan anak laki-laki itu agar berhenti memukulinya.
"Diamlah bocah!" titah Leo yang kini sudah berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anak laki-laki di hadapannya.
"Nana kamu juga. Berhentilah menangis. Berisik tahu!" sambung Leo lagi mengetahui Nana yang masih sesenggukan di belakang punggungnya.
Stella mengukir senyum. "Ah, aku tidak pernah kepikiran tentang ini sebelumnya," ungkapnya menanggapi perkataan Abu. "Um, apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Apa kamu meragukan Somnium?"Kini giliran Abu yang tersenyum. "Entahlah, aku hanya berpikir bahwa sebenarnya masih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Somnium."Kemudian, terdengar helaan napas dari Stella. Gadis dengan setelan gaun putih selutut itu tidak ingin ambil pusing dan menanggapi Abu dengan melontarkan kata-kata yang mengisyaratkan untuk segera menyudahi pembicaraan yang dirasanya tidak begitu penting. Katanya, "Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan hal itu. Lagi pula sekarang kita harus fokus pada misi, bukan?"Lagi, Abu tersenyum. Entah kenapa dia merasa reaksi Stella lucu sekali. Memangnya dia tidak merasa perlu mewaspadai Somnium? Bukankah sosok Somnium masih sangat misterius?Akan tetapi, melihat bagaimana reaksi Stella maka mau tak mau Abu harus segera mengakhiri pembicaraan
Elang menyadari bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota hingga memutuskan untuk ke bawah dan menemuinya. Bukan tanpa alasan karena dilihat dari mana pun tetap tidak dapat dipungkiri jikalau rumah ini memiliki ciri-ciri sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shota, yaitu rumah bergaya Belanda klasik yang tak lepas dari eksterior dan interiornya yang elegan. Lalu, ditambah fakta tentang bentuk ruangannya yang simetris. Ruangan yang satu pasti dipisahkan dengan ruangan lain dengan tembok atau pintu.Hal tersebut tak ayal kian menaruh keyakinan dalam diri Elang bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota. Lelaki berumur enam belas tahun dengan perawakan tinggi semampai itu menuruni anak tangga dengan tenang tanpa menghilangkan rasa kagumnya kepada rumah klasik gaya Belanda yang menurutnya begitu indah laiknya sebuah karya seni.Elang yang mendapati Shota hanya berdiam diri sambil melempar pandang ke luar jendela itu berseru, "Shota!" Kemudian menghampiri orang y
Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga. "Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak." Sontak mata Abu, Stella, dan Elang membola. Mereka tertegun untuk beberapa saat dengan isi kepala tak keruan. Ketiganya berusaha mencerna maksud perkataan Leo yang begitu mencengangkan. "Hei, Leo maksud kamu apa?" tanya Stella dengan sorot mata yang tampak kehilangan fokusnya. "Bicara yang jelas. Jangan membuat takut begitu." Abu menimpali. "Leo bisa dengar aku?" Hening. Tidak ada jawaban. "Leo? Hei,
Tiba-tiba kemudian Stella menjerit histeris kala matanya sukses bersitatap dengan sosok mengerikan. Wajahnya rusak sama seperti dengan sosok yang menyerang Elang. Manik mata sosok tersebut yang hitam pekat menatap Stella dan yang lainnya dengan penuh kemarahan. Sampai-sampai mengubah suhu menjadi sangat dingin dan terasa menusuk-nusuk kulit.Kabar buruk. Sosok mengerikan yang ini tampak lebih kuat dibanding yang menyerag Elang di rumah Belanda.Sial! Sakarang kita harus bagaimana? Stella membatin.Sosok mengerikan tersebut lantas menarik kedua sudut bibirnya—tersenyum menyeringai. Lalu lanjut mengentakkan kaki kanannya hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Kapsul terbang mendadak kehilangan kendali. Seperti kelebihan beban langsung bergerak menurun.Seketika kapsul terbang itu meluncur bebas. Alexa dan Stella memekik kencang sementara Abu dan Elang tidak bersuara tetapi wajahnya kentara
Mika Ariana berjalan menyusuri lorong sekolah sambil kebingungan. Dia menyadari ada keanehan di sekolahnya hari ini. Tidak ada orang dan tidak terdengar suara apapun. Hanya ada sunyi dengan suasana yang lumayan mencekam.Namun, gadis dengan rambut lurus itu tetap melangkahkan kaki meski diiringi dengan rasa was-was. Perubahan kondisi sekolah yang kontras membuatnya curiga sekaligus takut bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk. Sampai kemudian tiba-tiba beberapa meter di depan muncul teman sekelasnya yang membawa pisau di tangan kanannya.Dia adalah Mareta. Sosok gadis berambut pendek yang mendadak berlari ke arahnya laiknya singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. Menyadari itu, Mika terkesiap dan spontan membalikkan badan. Dia berlari sekuat tenaga demi menghindari kejaran Mareta yang menggila tanpa alasan yang jelas.Serta-merta rasa takut kian menggerayangi tubuh Mika yang mulai berkeringat dingin. Dia berlari dengan langkah berat diikuti irama jant
Angin malam berembus masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Tak elak suhu di dalam kamar dengan ukuran minimalis itu berubah menjadi dingin, tetapi anehnya tidak membuat gadis berdarah campuran itu merasa perlu menarik selimut. Dia hanya duduk di atas ranjang dengan memakai piama berlengan pendek sembari mengelus-elus bulu kucing di pangkuannya. Bibirnya melengkung ke atas pertanda akan rasa senangnya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Lalu tetiba sebuah suara misterius terdengar."Alexa," seru Somnium."Ya?" sahut gadis bernama Alexa tersebut."Kenapa kau suka sekali berada di sini?" Somnium kembali mengajukan pertanyaan dan kali ini sukses menbuat Alexa menghentikan kegiatan mengelus kucingnya. "Sebentar lagi misi akan dimulai. Kupikir kau perlu membaur dengan para pemimpi yang lainnya."Alexa melebarkan senyumnya serta lekas menatap kucing di pangkuannya yang beberapa saat kemudian eksistensinya men
Somnium diam sejenak dan beberapa sekon berikutnya suaranya kembali mengudara. "Jadilah pemimpi. Lalu hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan. Serta ingatlah selalu bahwa kalian, tujuh pemimpi, adalah satu-kesatuan. Maka bekerja samalah dan saling mendukung untuk sama lain. Dengan demikian, kalian semua bisa menjadi pemenang.Bukankah semua orang mengharapkan cahaya datang dan menerangi jalan hidupnya yang penuh dengan kegelapan? Jadi, kenapa kalian tidak ikut berjuang? Untuk itu, misi telah siap di depan mata. Maka bersiaplah dan hancurkan semua mimpi burukmu," ucapnya dengan lantang.Dalam sekejap keadaan sekitar berubah sedemikian rupa. Aula dengan suasana malam hari kini berganti suasana pedesaan di kala siang hari. Para pemimpi yang tadinya berada dalam satu tempat pun ikut terlempar ke tempat yang berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing pada mimpi yang harus dihancurkan kali in