Elang menyadari bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota hingga memutuskan untuk ke bawah dan menemuinya. Bukan tanpa alasan karena dilihat dari mana pun tetap tidak dapat dipungkiri jikalau rumah ini memiliki ciri-ciri sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shota, yaitu rumah bergaya Belanda klasik yang tak lepas dari eksterior dan interiornya yang elegan. Lalu, ditambah fakta tentang bentuk ruangannya yang simetris. Ruangan yang satu pasti dipisahkan dengan ruangan lain dengan tembok atau pintu.
Hal tersebut tak ayal kian menaruh keyakinan dalam diri Elang bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota. Lelaki berumur enam belas tahun dengan perawakan tinggi semampai itu menuruni anak tangga dengan tenang tanpa menghilangkan rasa kagumnya kepada rumah klasik gaya Belanda yang menurutnya begitu indah laiknya sebuah karya seni.
Elang yang mendapati Shota hanya berdiam diri sambil melempar pandang ke luar jendela itu berseru, "Shota!" Kemudian menghampiri orang yang dimaksud.
Shota menoleh dan di detik itu juga Elang melontarkan pertanyaan. "Apa yang kamu lihat?"
Rasa penasaran dalam diri Elang sudah membubung tinggi, tetapi bukannya memberi jawaban, Shota justru diam membeku dengan mulut seakan-akan telah dijahit.
Elang masih menunggu jawaban dari Shota dengan kepala berisi tanda tanya besar. Dahinya bahkan berkerut hebat lantaran merasa ada kejanggalan dari sikap Shota saat ini. Ragu-ragu, Elang bersuara. "Sho-ta?"
Sementara itu, si lelaki penyuka anime masih setia bungkam. Namun, anehnya kali ini bola matanya berubah menjadi warna hitam penuh dan sedetik setelahnya dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Tersenyum dengan mengerikan. Hal ini serta-merta membuat atmosfer berubah mencekam dengan suhu ruangan yang mendadak dingin sampai menusuk kulit.
Elang yang melihat dengan jelas kejadian menyeramkan tersebut meneguk salivanya susah payah. Dia ingin segera melarikan diri tetapi sialnya kakinya seperti mengeras karena disemen. Alhasil, dia mau tak mau hanya diam memaku sambil harus dibuat memperhatikan wujud Shota yang perlahan berubah menjadi sosok pria paruh baya dengan kondisi wajah yang rusak disertai tubuh dipenuhi bercak darah.
Elang ingin berteriak minta tolong tetapi kabar buruk lainnya ialah kini suaranya tercekat dan tidak keluar sama sekali. Akan tetapi, sekarang dia merasa bahwa kakinya sudah bisa digerakkan. Maka meski gemetar dengan cepat dia berusaha kabur.
Sayangnya Elang hanya bisa membalikkan badan tanpa sempat memacu tungkai. Sebab sebuah tangan besar dan kasar milik sosok mengerikan telah lebih dulu menyergap. Mencekik lehernya sampai menimbulkan nyeri yang luar biasa terasa menjalar ke tengkuk dan dada. Matanya dibuat melotot dan wajahnya menjadi merah karena merasa kesulitan bernapas.
Cicitan suara Elang terdengar memilukan. Lelaki yang duduk di bangku kelas dua SMA itu susah payah berusaha melepaskan tangan besar yang masih setia berada di lehernya. Pada dasarnya dia bisa menyingkirkan tangan sosok mengerikan yang mencekik lehernya dengan mudah melalui kemampuan istimewa yang diberikan Somnium, tetapi ibarat amnesia dia melupakan hal tersebut. Kepalanya mendadak tidak bisa berpikir jernih akibat dari situasi bahaya yang sedang dialaminya saat ini.
Suasana kian berubah mencekam tatkala sosok mengerikan tersebut mengeluarkan tawa yang terdengar seakan siap menghancurkan gendang telinga. Tawa itu menyuarakan isi hatinya yang merasa menang sekaligus senang karena melihat Elang yang seperti sudah berada di ujung tanduk.
Sampai kemudian muncul serangan mengejutkan yang mengarah langsung kepada sosok berwajah rusak. Serangan tersebut berupa bidikan panah berkekuatan tinggi hingga memiliki kemampuan yang dapat menghancurkan objek yang dibidik. Alhasil, sosok tersebut terpental ke dinding dengan sangat kencang dibarengi suara benturannya yang tak kalah keras terdengar di telinga. Kemudian sosoknya berakhir lenyap dengan tubuh hancur lebur.
Sekon berikutnya, Elang berakhir lemas tak berdaya hingga nyaris jatuh tersungkur jika saja Stella tidak sigap menyanggah tubuhnya. Lelaki itu lalu terbatuk hingga keluar sedikit darah dari mulutnya akibat cukup lama dicekik.
Stella lantas mendudukkan Elang pada sofa dengan desain klasik yang berada di ruang tamu tersebut. Gadis itu kemudian menghadirkan sebuah item dari tangannya, yaitu sapu tangan berwarna cokelat dengan motif kotak-kotak yang kini dia gunakan untuk menyeka darah di sudut bibir Elang.
Air muka gadis yang dari arah jantungnya keluar cahaya merah itu menampilkan kesedihan dilengkapi dengan rasa bersalah yang kian menjadi-jadi. "Maafkan aku," mohonnya dengan tulus.
Setelahnya Stella membiarkan tangan lembutnya menyentuh leher Elang. Dilihat dari apa yang tengah dilakukannya, sepertinya dia berusaha menghilangkan rasa sakit yang dirasakan Elang dengan sihir teknik penyembuh melalui sentuhan tangannya. Maka sebuah cahaya kebiruan keluar dari tangannya sebagai pertanda sihir penyembuhannya sedang berlangsung.
Di dalam benak, Stella menyalahkan diri sendiri karena telah membahayakan keselamatan orang lain dengan terpilihnya mimpinya untuk dihancurkan. Kendati demikian, dia juga memanjatkan rasa syukur karena semua ini hanyalah mimpi. Itu artinya, Elang akan baik-baik saja.
"Apa sudah lebih baik?" tanyanya dengan nada bicara yang terdengar nyata khawatirnya. Terlebih lagi semua itu terbaca jelas dari raut mukanya.
Elang sendiri menyambut baik perlakuan dari Stella dan menanggapinya dengan anggukan. Lelaki itu juga masih menyempatkan diri untuk tersenyum tipis yang sialnya semakin membuat Stella merasa bersalah.
"Semua ini salahku," ucap Stella sambil menundukkan kepala karena merasa tidak bisa untuk terus melihat lawan bicaranya mengingat semua ini terjadi gara-gara mimpi buruknya.
"Aku baik-baik saja, Stella," balas Elang. "Lagi pula ini semua hanya mimpi, bukan? Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah."
Mendengar itu, mata Stella justru menjadi berkaca-kaca. Dia dibuat terharu dengan perkataan yang keluar dari mulut Elang. Dia berpikir bahwa Elang itu baik sekali. "Makasih ya," katanya sambil tersenyum simpul.
Abu yang baru saja selesai mengelilingi rumah pun ikut mengulas senyum kala dia disuguhkan pemandangan yang membuat hatinya menghangat. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena mendapati reaksi Elang yang begitu dewasa dan bijaksana dalam menghadapi Stella.
Lantas Abu memutuskan untuk menghampiri kedua insan tersebut. Sambil masih menenteng busur, dia melangkahkan kaki. Serta di sela itu dia juga menyempatkan diri untuk mengeluarkan sebotol air mineral dari tangan yang satunya lagi.
"Ini minumlah," suruh Abu sambil menyodorkan air mineral tersebut kepada Elang.
"Terima kasih," sahut Elang.
"Hebat sekali senjatamu," puji Elang selepas meneguk habis sebotol air mineral yang diterimanya dari Abu.
Abu tersenyum bangga sebagai tanggapan. "Tentu saja," balasnya. "Kamu tahu, imajinasi itu penting sekali. Aku tidak akan bisa menciptakan alat memanah seperti ini kalau aku tidak membayangkannya."
"Kamu mengejekku, ya?" seloroh Elang mengingat dirinya yang sama sekali tidak kepikiran apa-apa sebagai usaha melepaskan diri dari cekikan si sosok berwajah rusak.
Perkataan Elang serta-merta membuat Abu tergelak. Stella yang sedari tadi diam menyimak pun ikut dibuat tersenyum.
Abu berkata, "Tidak juga sih. Tapi kupikir ini bisa jadi pelajaran bagi kita semua."
Sebagai reaksi, Stella dan Elang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Abu.
Setelah itu, mereka berdua disuguhkan air muka Abu yang berubah serius. Lelaki berambut pirang itu berkata-kata dengan nada bicara yang serius pula. "Kalian tahu, aku sudah berkeliling. Tetapi aku masih tidak bisa menemukan keberadaan Shota," ungkapnya dan berakhir membuat suasana menjadi tegang.
Wajah Stella bahkan sudah kentara kelihatan panik sekaligus khawatir lantaran sukses dibuat takut dengan pernyataan Abu tentang Shota yang tidak bisa ditemukan. "Sekarang bagaimana?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Aku juga belum melihat Shota," terang Elang. "Tadi setelah aku mengatakan akan ke bawah dan menemuinya, aku memang melihat sosoknya tetapi ternyata yang kulihat itu bukan Shota melainkan orang lain. Entahlah dia itu apa. Monster atau hantu, aku tidak tahu. Jelasnya dia menyamar jadi Shota. Dan saat menunjukkan wujud aslinya, dia terlihat seperti bapak-bapak berperawakan orang asing. Mungkin Belanda?"
Abu yang mendengarkan penjelasan dari Elang menimpali, "Aku juga berpikir begitu."
"Benarkah?" tanya Elang.
Alih-alih memberi jawaban, Abu justru balik mengajukan pertanyaan. "Menurutmu kenapa kami memutuskan untuk ke sini?"
"Hei, kamu juga belum memberi tahu aku alasan jelasnya," desak Stella kepada Abu.
"Memangnya kenapa?" tanya Elang penasaran.
"Aku berpendapat bahwa suara misterius yang mengajakku bicara adalah orang yang sama dengan orang yang menyerangmu," jelas Abu.
Pupil mata Stella membesar. "Sungguh?"
"Hei, aku tidak tahu kalau kamu mengalami kejadian seperti itu," ucap Elang menanggapi penjelasan dari Abu.
"Ah, iya, hanya Stella yang tahu," balas Abu.
"Iya," timpal Stella membenarkan. "Tetapi Abu, kenapa kamu bisa berpikir begitu? Kamu tadi juga ngotot ingin ke sini. Tolong berikan alasan yang jelas dong."
Abu tersenyum tipis lalu kembali menyambung perkataannya. "Menurutku pelafalannya terdengar seperti pelafalan dari lidah orang asing. Lalu, aku ingat kalau Elang dan Shota berada di rumah dengan ciri bangunan Belanda. Dan boom! Aku kepikiran bagaimana kalau orang yang mengajakku bicara tadi itu adalah si empunya rumah khas Belanda. Karena mendengar dari nada bicaranya, kentara tidak suka dengan kehadiran orang lain. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana kalau tiba-tiba dia menyerang Elang dan Shota yang ternyata berada di rumahnya?"
Sejenak Stella terdiam. Lantas di detik berikutnya gadis itu lagi-lagi memasang wajah sedih dan kecewa terhadap dirinya sendiri. "Ah ... aku tidak tahu," ujarnya merasa tidak enak hati.
"Tidak apa-apa," sahut Abu. "Salahku juga kenapa tidak memberi alasan yang jelas."
Elang memajukan badannya dari yang tadinya bersandar pada sofa. Kini dia bangkit sambil berkata, "Terima kasih ya sudah ke sini dan menolongku, tetapi sekarang kupikir kita harus segera mencari Shota. Dia juga bisa berada dalam bahaya sepertiku tadi, bukan?"
Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga.
"Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak."
Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga. "Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak." Sontak mata Abu, Stella, dan Elang membola. Mereka tertegun untuk beberapa saat dengan isi kepala tak keruan. Ketiganya berusaha mencerna maksud perkataan Leo yang begitu mencengangkan. "Hei, Leo maksud kamu apa?" tanya Stella dengan sorot mata yang tampak kehilangan fokusnya. "Bicara yang jelas. Jangan membuat takut begitu." Abu menimpali. "Leo bisa dengar aku?" Hening. Tidak ada jawaban. "Leo? Hei,
Tiba-tiba kemudian Stella menjerit histeris kala matanya sukses bersitatap dengan sosok mengerikan. Wajahnya rusak sama seperti dengan sosok yang menyerang Elang. Manik mata sosok tersebut yang hitam pekat menatap Stella dan yang lainnya dengan penuh kemarahan. Sampai-sampai mengubah suhu menjadi sangat dingin dan terasa menusuk-nusuk kulit.Kabar buruk. Sosok mengerikan yang ini tampak lebih kuat dibanding yang menyerag Elang di rumah Belanda.Sial! Sakarang kita harus bagaimana? Stella membatin.Sosok mengerikan tersebut lantas menarik kedua sudut bibirnya—tersenyum menyeringai. Lalu lanjut mengentakkan kaki kanannya hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Kapsul terbang mendadak kehilangan kendali. Seperti kelebihan beban langsung bergerak menurun.Seketika kapsul terbang itu meluncur bebas. Alexa dan Stella memekik kencang sementara Abu dan Elang tidak bersuara tetapi wajahnya kentara
Mika Ariana berjalan menyusuri lorong sekolah sambil kebingungan. Dia menyadari ada keanehan di sekolahnya hari ini. Tidak ada orang dan tidak terdengar suara apapun. Hanya ada sunyi dengan suasana yang lumayan mencekam.Namun, gadis dengan rambut lurus itu tetap melangkahkan kaki meski diiringi dengan rasa was-was. Perubahan kondisi sekolah yang kontras membuatnya curiga sekaligus takut bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk. Sampai kemudian tiba-tiba beberapa meter di depan muncul teman sekelasnya yang membawa pisau di tangan kanannya.Dia adalah Mareta. Sosok gadis berambut pendek yang mendadak berlari ke arahnya laiknya singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. Menyadari itu, Mika terkesiap dan spontan membalikkan badan. Dia berlari sekuat tenaga demi menghindari kejaran Mareta yang menggila tanpa alasan yang jelas.Serta-merta rasa takut kian menggerayangi tubuh Mika yang mulai berkeringat dingin. Dia berlari dengan langkah berat diikuti irama jant
Angin malam berembus masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Tak elak suhu di dalam kamar dengan ukuran minimalis itu berubah menjadi dingin, tetapi anehnya tidak membuat gadis berdarah campuran itu merasa perlu menarik selimut. Dia hanya duduk di atas ranjang dengan memakai piama berlengan pendek sembari mengelus-elus bulu kucing di pangkuannya. Bibirnya melengkung ke atas pertanda akan rasa senangnya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Lalu tetiba sebuah suara misterius terdengar."Alexa," seru Somnium."Ya?" sahut gadis bernama Alexa tersebut."Kenapa kau suka sekali berada di sini?" Somnium kembali mengajukan pertanyaan dan kali ini sukses menbuat Alexa menghentikan kegiatan mengelus kucingnya. "Sebentar lagi misi akan dimulai. Kupikir kau perlu membaur dengan para pemimpi yang lainnya."Alexa melebarkan senyumnya serta lekas menatap kucing di pangkuannya yang beberapa saat kemudian eksistensinya men
Somnium diam sejenak dan beberapa sekon berikutnya suaranya kembali mengudara. "Jadilah pemimpi. Lalu hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan. Serta ingatlah selalu bahwa kalian, tujuh pemimpi, adalah satu-kesatuan. Maka bekerja samalah dan saling mendukung untuk sama lain. Dengan demikian, kalian semua bisa menjadi pemenang.Bukankah semua orang mengharapkan cahaya datang dan menerangi jalan hidupnya yang penuh dengan kegelapan? Jadi, kenapa kalian tidak ikut berjuang? Untuk itu, misi telah siap di depan mata. Maka bersiaplah dan hancurkan semua mimpi burukmu," ucapnya dengan lantang.Dalam sekejap keadaan sekitar berubah sedemikian rupa. Aula dengan suasana malam hari kini berganti suasana pedesaan di kala siang hari. Para pemimpi yang tadinya berada dalam satu tempat pun ikut terlempar ke tempat yang berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing pada mimpi yang harus dihancurkan kali in
Leo menjatuhkan pandangannya. Mengunci mulut rapat-rapat tatkala kakinya menendang rerumputan. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Pertama ucapan Shota dan dilanjut oleh mimpi buruk Stella. Benar-benar menyebalkan! Ditambah Abu yang terus mengoceh, menanyakan banyak hal. Dongkol sekali rasanya.Lelaki berjaket hitam itu lantas mengangkat wajah. Lalu, membiarkan matanya menyapu sekitar. Abu menanyakan lokasi dari setiap pemimpi, tetapi jujur saja dia sama sekali tidak berniat memberi tahu karena merasa malas untuk sekadar membuka mulut. Jadi, yang dilakukannya hanyalah memandangi sekeliling dalam diam sembari mendengarkan setiap pembicaraan dari anggota pemimpi yang masuk ke dalam telinga.Yang jelas, sekitar dua atau tiga meter di depannya tampak sebuah jalan setapak yang sudah mulai bobrok. Di seberang sana juga terlihat rumah-rumah warga yang kelihatan tak berpenghuni, persis kata Abu.Leo sendiri tidak merasakan ada yang aneh selain dari itu semua. Sehin
Stella mengukir senyum. "Ah, aku tidak pernah kepikiran tentang ini sebelumnya," ungkapnya menanggapi perkataan Abu. "Um, apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Apa kamu meragukan Somnium?"Kini giliran Abu yang tersenyum. "Entahlah, aku hanya berpikir bahwa sebenarnya masih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Somnium."Kemudian, terdengar helaan napas dari Stella. Gadis dengan setelan gaun putih selutut itu tidak ingin ambil pusing dan menanggapi Abu dengan melontarkan kata-kata yang mengisyaratkan untuk segera menyudahi pembicaraan yang dirasanya tidak begitu penting. Katanya, "Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan hal itu. Lagi pula sekarang kita harus fokus pada misi, bukan?"Lagi, Abu tersenyum. Entah kenapa dia merasa reaksi Stella lucu sekali. Memangnya dia tidak merasa perlu mewaspadai Somnium? Bukankah sosok Somnium masih sangat misterius?Akan tetapi, melihat bagaimana reaksi Stella maka mau tak mau Abu harus segera mengakhiri pembicaraan