Share

5

Elang menyadari bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota hingga memutuskan untuk ke bawah dan menemuinya. Bukan tanpa alasan karena dilihat dari mana pun tetap tidak dapat dipungkiri jikalau rumah ini memiliki ciri-ciri sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shota, yaitu rumah bergaya Belanda klasik yang tak lepas dari eksterior dan interiornya yang elegan. Lalu, ditambah fakta tentang bentuk ruangannya yang simetris. Ruangan yang satu pasti dipisahkan dengan ruangan lain dengan tembok atau pintu.

Hal tersebut tak ayal kian menaruh keyakinan dalam diri Elang bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota. Lelaki berumur enam belas tahun dengan perawakan tinggi semampai itu menuruni anak tangga dengan tenang tanpa menghilangkan rasa kagumnya kepada rumah klasik gaya Belanda yang menurutnya begitu indah laiknya sebuah karya seni.

Elang yang mendapati Shota hanya berdiam diri sambil melempar pandang ke luar jendela itu berseru, "Shota!" Kemudian menghampiri orang yang dimaksud.

Shota menoleh dan di detik itu juga Elang melontarkan pertanyaan. "Apa yang kamu lihat?" 

Rasa penasaran dalam diri Elang sudah membubung tinggi, tetapi bukannya memberi jawaban, Shota justru diam membeku dengan mulut seakan-akan telah dijahit. 

Elang masih menunggu jawaban dari Shota dengan kepala berisi tanda tanya besar. Dahinya bahkan berkerut hebat lantaran merasa ada kejanggalan dari sikap Shota saat ini. Ragu-ragu, Elang bersuara. "Sho-ta?"

Sementara itu, si lelaki penyuka anime masih setia bungkam. Namun, anehnya kali ini bola matanya berubah menjadi warna hitam penuh dan sedetik setelahnya dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Tersenyum dengan mengerikan. Hal ini serta-merta membuat atmosfer berubah mencekam dengan suhu ruangan yang mendadak dingin sampai menusuk kulit.

Elang yang melihat dengan jelas kejadian menyeramkan tersebut meneguk salivanya susah payah. Dia ingin segera melarikan diri tetapi sialnya kakinya seperti mengeras karena disemen. Alhasil, dia mau tak mau hanya diam memaku sambil harus dibuat memperhatikan wujud Shota yang perlahan berubah menjadi sosok pria paruh baya dengan kondisi wajah yang rusak disertai tubuh dipenuhi bercak darah.

Elang ingin berteriak minta tolong tetapi kabar buruk lainnya ialah kini suaranya tercekat dan tidak keluar sama sekali. Akan tetapi, sekarang dia merasa bahwa kakinya sudah bisa digerakkan. Maka meski gemetar dengan cepat dia berusaha kabur. 

Sayangnya Elang hanya bisa membalikkan badan tanpa sempat memacu tungkai. Sebab sebuah tangan besar dan kasar milik sosok mengerikan telah lebih dulu menyergap. Mencekik lehernya sampai menimbulkan nyeri yang luar biasa terasa menjalar ke tengkuk dan dada. Matanya dibuat melotot dan wajahnya menjadi merah karena merasa kesulitan bernapas.

Cicitan suara Elang terdengar memilukan. Lelaki yang duduk di bangku kelas dua SMA itu susah payah berusaha melepaskan tangan besar yang masih setia berada di lehernya. Pada dasarnya dia bisa menyingkirkan tangan sosok mengerikan yang mencekik lehernya dengan mudah melalui kemampuan istimewa yang diberikan Somnium, tetapi ibarat amnesia dia melupakan hal tersebut. Kepalanya mendadak tidak bisa berpikir jernih akibat dari situasi bahaya yang sedang dialaminya saat ini.

Suasana kian berubah mencekam tatkala sosok mengerikan tersebut mengeluarkan tawa yang terdengar seakan siap menghancurkan gendang telinga. Tawa itu menyuarakan isi hatinya yang merasa menang sekaligus senang karena melihat Elang yang seperti sudah berada di ujung tanduk.

Sampai kemudian muncul serangan mengejutkan yang mengarah langsung kepada sosok berwajah rusak. Serangan tersebut berupa bidikan panah berkekuatan tinggi hingga memiliki kemampuan yang dapat menghancurkan objek yang dibidik. Alhasil, sosok tersebut terpental ke dinding dengan sangat kencang dibarengi suara benturannya yang tak kalah keras terdengar di telinga. Kemudian sosoknya berakhir lenyap dengan tubuh hancur lebur.

Sekon berikutnya, Elang berakhir lemas tak berdaya hingga nyaris jatuh tersungkur jika saja Stella tidak sigap menyanggah tubuhnya. Lelaki itu lalu terbatuk hingga keluar sedikit darah dari mulutnya akibat cukup lama dicekik.

Stella lantas mendudukkan Elang pada sofa dengan desain klasik yang berada di ruang tamu tersebut. Gadis itu kemudian menghadirkan sebuah item dari tangannya, yaitu sapu tangan berwarna cokelat dengan motif kotak-kotak yang kini dia gunakan untuk menyeka darah di sudut bibir Elang.

Air muka gadis yang dari arah jantungnya keluar cahaya merah itu menampilkan kesedihan dilengkapi dengan rasa bersalah yang kian menjadi-jadi. "Maafkan aku," mohonnya dengan tulus.

Setelahnya Stella membiarkan tangan lembutnya menyentuh leher Elang. Dilihat dari apa yang tengah dilakukannya, sepertinya dia berusaha menghilangkan rasa sakit yang dirasakan Elang dengan sihir teknik penyembuh melalui sentuhan tangannya. Maka sebuah cahaya kebiruan keluar dari tangannya sebagai pertanda sihir penyembuhannya sedang berlangsung.

Di dalam benak, Stella menyalahkan diri sendiri karena telah membahayakan keselamatan orang lain dengan terpilihnya mimpinya untuk dihancurkan. Kendati demikian, dia juga memanjatkan rasa syukur karena semua ini hanyalah mimpi. Itu artinya, Elang akan baik-baik saja.

"Apa sudah lebih baik?" tanyanya dengan nada bicara yang terdengar nyata khawatirnya. Terlebih lagi semua itu terbaca jelas dari raut mukanya.

Elang sendiri menyambut baik perlakuan dari Stella dan menanggapinya dengan anggukan. Lelaki itu juga masih menyempatkan diri untuk tersenyum tipis yang sialnya semakin membuat Stella merasa bersalah.

"Semua ini salahku," ucap Stella sambil menundukkan kepala karena merasa tidak bisa untuk terus melihat lawan bicaranya mengingat semua ini terjadi gara-gara mimpi buruknya.

"Aku baik-baik saja, Stella," balas Elang. "Lagi pula ini semua hanya mimpi, bukan? Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah."

Mendengar itu, mata Stella justru menjadi berkaca-kaca. Dia dibuat terharu dengan perkataan yang keluar dari mulut Elang. Dia berpikir bahwa Elang itu baik sekali. "Makasih ya," katanya sambil tersenyum simpul.

Abu yang baru saja selesai mengelilingi rumah pun ikut mengulas senyum kala dia disuguhkan pemandangan yang membuat hatinya menghangat. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena mendapati reaksi Elang yang begitu dewasa dan bijaksana dalam menghadapi Stella. 

Lantas Abu memutuskan untuk menghampiri kedua insan tersebut. Sambil masih menenteng busur, dia melangkahkan kaki. Serta di sela itu dia juga menyempatkan diri untuk mengeluarkan sebotol air mineral dari tangan yang satunya lagi.

"Ini minumlah," suruh Abu sambil menyodorkan air mineral tersebut kepada Elang.

"Terima kasih," sahut Elang.

"Hebat sekali senjatamu," puji Elang selepas meneguk habis sebotol air mineral yang diterimanya dari Abu.

Abu tersenyum bangga sebagai tanggapan. "Tentu saja," balasnya. "Kamu tahu, imajinasi itu penting sekali. Aku tidak akan bisa menciptakan alat memanah seperti ini kalau aku tidak membayangkannya."

"Kamu mengejekku, ya?" seloroh Elang mengingat dirinya yang sama sekali tidak kepikiran apa-apa sebagai usaha melepaskan diri dari cekikan si sosok berwajah rusak.

Perkataan Elang serta-merta membuat Abu tergelak. Stella yang sedari tadi diam menyimak pun ikut dibuat tersenyum.

Abu berkata, "Tidak juga sih. Tapi kupikir ini bisa jadi pelajaran bagi kita semua."

Sebagai reaksi, Stella dan Elang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Abu.

Setelah itu, mereka berdua disuguhkan air muka Abu yang berubah serius. Lelaki berambut pirang itu berkata-kata dengan nada bicara yang serius pula. "Kalian tahu, aku sudah berkeliling. Tetapi aku masih tidak bisa menemukan keberadaan Shota," ungkapnya dan berakhir membuat suasana menjadi tegang.

Wajah Stella bahkan sudah kentara kelihatan panik sekaligus khawatir lantaran sukses dibuat takut dengan pernyataan Abu tentang Shota yang tidak bisa ditemukan. "Sekarang bagaimana?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Aku juga belum melihat Shota," terang Elang. "Tadi setelah aku mengatakan akan ke bawah dan menemuinya, aku memang melihat sosoknya tetapi ternyata yang kulihat itu bukan Shota melainkan orang lain. Entahlah dia itu apa. Monster atau hantu, aku tidak tahu. Jelasnya dia menyamar jadi Shota. Dan saat menunjukkan wujud aslinya, dia terlihat seperti bapak-bapak berperawakan orang asing. Mungkin Belanda?"

Abu yang mendengarkan penjelasan dari Elang menimpali, "Aku juga berpikir begitu."

"Benarkah?" tanya Elang.

Alih-alih memberi jawaban, Abu justru balik mengajukan pertanyaan. "Menurutmu kenapa kami memutuskan untuk ke sini?"

"Hei, kamu juga belum memberi tahu aku alasan jelasnya," desak Stella kepada Abu.

"Memangnya kenapa?" tanya Elang penasaran.

"Aku berpendapat bahwa suara misterius yang mengajakku bicara adalah orang yang sama dengan orang yang menyerangmu," jelas Abu.

Pupil mata Stella membesar. "Sungguh?"

"Hei, aku tidak tahu kalau kamu mengalami kejadian seperti itu," ucap Elang menanggapi penjelasan dari Abu.

"Ah, iya, hanya Stella yang tahu," balas Abu.

"Iya," timpal Stella membenarkan. "Tetapi Abu, kenapa kamu bisa berpikir begitu? Kamu tadi juga ngotot ingin ke sini. Tolong berikan alasan yang jelas dong."

Abu tersenyum tipis lalu kembali menyambung perkataannya. "Menurutku pelafalannya terdengar seperti pelafalan dari lidah orang asing. Lalu, aku ingat kalau Elang dan Shota berada di rumah dengan ciri bangunan Belanda. Dan boom! Aku kepikiran bagaimana kalau orang yang mengajakku bicara tadi itu adalah si empunya rumah khas Belanda. Karena mendengar dari nada bicaranya, kentara tidak suka dengan kehadiran orang lain. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana kalau tiba-tiba dia menyerang Elang dan Shota yang ternyata berada di rumahnya?" 

Sejenak Stella terdiam. Lantas di detik berikutnya gadis itu lagi-lagi memasang wajah sedih dan kecewa terhadap dirinya sendiri. "Ah ... aku tidak tahu," ujarnya merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa," sahut Abu. "Salahku juga kenapa tidak memberi alasan yang jelas."

Elang memajukan badannya dari yang tadinya bersandar pada sofa. Kini dia bangkit sambil berkata, "Terima kasih ya sudah ke sini dan menolongku, tetapi sekarang kupikir kita harus segera mencari Shota. Dia juga bisa berada dalam bahaya sepertiku tadi, bukan?"

Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga.

"Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status