Angin malam berembus masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Tak elak suhu di dalam kamar dengan ukuran minimalis itu berubah menjadi dingin, tetapi anehnya tidak membuat gadis berdarah campuran itu merasa perlu menarik selimut. Dia hanya duduk di atas ranjang dengan memakai piama berlengan pendek sembari mengelus-elus bulu kucing di pangkuannya. Bibirnya melengkung ke atas pertanda akan rasa senangnya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Lalu tetiba sebuah suara misterius terdengar.
"Alexa," seru Somnium.
"Ya?" sahut gadis bernama Alexa tersebut.
"Kenapa kau suka sekali berada di sini?" Somnium kembali mengajukan pertanyaan dan kali ini sukses menbuat Alexa menghentikan kegiatan mengelus kucingnya. "Sebentar lagi misi akan dimulai. Kupikir kau perlu membaur dengan para pemimpi yang lainnya."
Alexa melebarkan senyumnya serta lekas menatap kucing di pangkuannya yang beberapa saat kemudian eksistensinya menghilang. Dia pun memutuskan turun dari ranjang. Sedetik setelah kakinya menyentuh lantai kamar, keadaan sekeliling berubah. Dia telah berada di sebuah aula tempat para pemimpi berkumpul, dan tak jauh darinya terlihat Nana yang sedang memakan cokelat.
Setelah itu, Alexa langsung disapa oleh Nana. "Hai, Kak Alexa," ucapnya.
"Oh, wow! Kakak memilih baju yang bagus." Nana memandangi baju yang sekarang tengah dikenakan Alexa, yaitu sebuah celana jeans dipadukan jaket kulit berwarna hitam. Penampilannya saat ini persis seorang aktris yang membintangi film laga dan semua itu tampak begitu keren di mata Nana.
"Tentu saja, Na. Kita kan bisa menciptakan apapun di sini," balas Alexa semangat. "Itu juga alasan kenapa kamu makan cokelat di sini, kan?"
Perkataan aneh dari Alexa dan situasi tidak masuk akal bak dunia sihir ini bukanlah tanpa alasan. Sebab siapapun yang telah menerima tawaran dari Somnium adalah mereka dengan kriteria yang sama, yaitu Lucid Dreamer, seseorang yang sadar ketika sedang bermimpi saat tidur. Di mana ketika mimpi sadar berlangsung, si pemimpi mampu berpartisipasi secara aktif dan mengubah pengalaman imajinasi dalam dunia mimpinya.
Hal inilah yang membuat Alexa dan yang lainnya mampu menciptakan apapun di sini. Namun, karena lucid dream tidak terjadi setiap malam, Somnium tetaplah sosok yang memberi pengaruh besar. Dialah yang membuat para pemimpi yang berpartisipasi mampu melakukan lucid dream setiap malam dan terkesan seperti sedang hidup di dunia sihir.
Selanjutnya, tampak bibir Nana langsung mengerucut setelah Alexa melontarkan kata-katanya. "Mama selalu larang aku makan cokelat. Kesal tahu!" sungutnya sambil meremas kencang bungkus cokelat di tangan.
Sejemang Alexa menahan tawa tetapi itu tidak berlangsung lama. Sebab setelahnya tawanya benar-benar pecah. "Aduh, ngakak! Ya, mau bagaimana lagi Na?" tanyanya sambil memegangi perut. "Itu gigi kamu sudah ompong dan bisa-bisa nanti yang lain malah jadi berlubang. Terus sakit gigi."
Bukannya membaik, suasana hati Nana malah semakin memburuk. Hal ini tampak dari dirinya yang kian memasang wajah cemberut. "Ih, Kak Alexa menyebalkan!"
"Tapi kan kamu bisa memakannya secara diam-diam," ungkap Alexa memberi saran.
Sontak mata milik Nana langsung berbinar. Kini wajahnya tidak lagi cemberut melainkan semringah. "Wah, benar juga."
"Eh, tapi jangan keseringan, sesekali saja."
Nana mengacungkan dua jempol. "Siap, Kakak."
Keduanya pun mengulas senyum.
Kemudian, terjadi keributan dari arah sebelah kanan sebab dengan jarak sepuluh meter dari tempat mereka berdiri, sayup-sayup terdengar adu mulut antara Stella dan Shota. Hal itu sontak membuat Alexa dan Nana menjadi penasaran dan memutuskan untuk menghampiri.
"Memang apa yang salah dengan nama Stella? Cocok tahu denganku!"
"Tidak cocok! Namamu bagus, tapi mukamu biasa saja tuh."
"Hei! Namamu yang tidak cocok. Apanya yang Shota? Urak-urakan begitu."
Nana yang kini sudah berada di dekat mereka tiba-tiba menyeletuk, "Memang ada apa dengan Kak Shota?"
Para pemimpi mendadak melempar pandang pada Nana dan seolah mengatakan 'waduh, bakal panjang ini' melalui wajah mereka.
Stella yang mendengar pertanyaan dari Nana langsung menyambar. "Aku pernah lihat postingan di Instagram Na, foto kartun anak laki-laki imut namanya Shota."
"Anime bukan kartun," sanggah Shota.
"Ya terserah, pokoknya Shota yang itu benar-benar imut. Yang ini dianya saja yang merasa imut."
Nana pun lekas memandangi Shota dan berkata, "Benar juga, Kak Shota tidak imut."
Ucapan Nana tak ayal sukses memicu tawa. Kendati sebenarnya tidak semua ikut tergelak, seperti Elang yang hanya tersenyum tipis dan Abu si rambut pirang serta Leo yang pada kenyataanya jauh lebih berwajah preman hanya diam memperhatikan seolah tidak berniat untuk ikut campur. Sementara itu, Shota sudah berwajah masam karena tidak terima.
"Nana seharusnya kamu bela aku. Ini malah ikut-ikutan," sungut Shota. "Kalian juga kenapa tertawa? Berisik! Lagi pula yang mirip preman itu Leo bukan aku."
Mendengar itu, sorot mata Leo berubah menjadi tajam sedemikian rupa laiknya predator yang siap menerkam mangsa. "Terus kenapa? Mau kucolok ya matanya?" balas Leo sinis.
Sekarang atmosfer berubah menjadi dingin bersamaan dengan wajah Leo yang benar-benar tidak bersahabat. Nana bahkan sampai memegang tangan Alexa karena takut. Dia juga berbisik, "Kak, takut. Muka Kak Leo menyeramkan."
Alexa sendiri repleks memeluk Nana sebagai tanggapan sambil mencoba untuk menenangkannya. "Tidak apa-apa, Kakak ada di sini."
Elang yang sedari tadi hanya sesekali tersenyum sebagai pihak penonton kini memilih angkat bicara. "Teman-teman hentikan. Kalian membuat Nana takut," ujarnya berusaha menjadi penengah.
Lantas tepat setelah Elang berucap, suara Somnium langsung menerobos telinga. "Itu benar. Apakah kalian akan berakhir saling menjatuhkan? Karena perlu diketahui bahwa tujuan dari adanya tujuh pemimpi itu bukan untuk hal seperti ini."
Tujuh pemimpi yang dimaksud terdiam. Mereka merasa tidak enak hati setelah perkataan Somnium melesat masuk ke dalam telinga. Tentu saja, Leo adalah pengecualian. Lelaki berusia tujuh belas tahun dengan penampilan sangar itu seperti tidak terpengaruh sedikitpun. Semua terlihat dari wajahnya yang datar tanpa ekspresi.
"Somnium ... maaf," mohon Nana.
Somnium diam sejenak dan beberapa sekon berikutnya suaranya kembali mengudara. "Jadilah pemimpi. Lalu hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan. Serta ingatlah selalu bahwa kalian, tujuh pemimpi, adalah satu-kesatuan. Maka bekerja samalah dan saling mendukung untuk sama lain. Dengan demikian, kalian semua bisa menjadi pemenang.
Bukankah semua orang mengharapkan cahaya datang dan menerangi jalan hidupnya yang penuh dengan kegelapan? Jadi, kenapa kalian tidak ikut berjuang? Untuk itu, misi telah siap di depan mata. Maka bersiaplah dan hancurkan semua mimpi burukmu," ucapnya dengan lantang.
Somnium diam sejenak dan beberapa sekon berikutnya suaranya kembali mengudara. "Jadilah pemimpi. Lalu hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan. Serta ingatlah selalu bahwa kalian, tujuh pemimpi, adalah satu-kesatuan. Maka bekerja samalah dan saling mendukung untuk sama lain. Dengan demikian, kalian semua bisa menjadi pemenang.Bukankah semua orang mengharapkan cahaya datang dan menerangi jalan hidupnya yang penuh dengan kegelapan? Jadi, kenapa kalian tidak ikut berjuang? Untuk itu, misi telah siap di depan mata. Maka bersiaplah dan hancurkan semua mimpi burukmu," ucapnya dengan lantang.Dalam sekejap keadaan sekitar berubah sedemikian rupa. Aula dengan suasana malam hari kini berganti suasana pedesaan di kala siang hari. Para pemimpi yang tadinya berada dalam satu tempat pun ikut terlempar ke tempat yang berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing pada mimpi yang harus dihancurkan kali in
Leo menjatuhkan pandangannya. Mengunci mulut rapat-rapat tatkala kakinya menendang rerumputan. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Pertama ucapan Shota dan dilanjut oleh mimpi buruk Stella. Benar-benar menyebalkan! Ditambah Abu yang terus mengoceh, menanyakan banyak hal. Dongkol sekali rasanya.Lelaki berjaket hitam itu lantas mengangkat wajah. Lalu, membiarkan matanya menyapu sekitar. Abu menanyakan lokasi dari setiap pemimpi, tetapi jujur saja dia sama sekali tidak berniat memberi tahu karena merasa malas untuk sekadar membuka mulut. Jadi, yang dilakukannya hanyalah memandangi sekeliling dalam diam sembari mendengarkan setiap pembicaraan dari anggota pemimpi yang masuk ke dalam telinga.Yang jelas, sekitar dua atau tiga meter di depannya tampak sebuah jalan setapak yang sudah mulai bobrok. Di seberang sana juga terlihat rumah-rumah warga yang kelihatan tak berpenghuni, persis kata Abu.Leo sendiri tidak merasakan ada yang aneh selain dari itu semua. Sehin
Stella mengukir senyum. "Ah, aku tidak pernah kepikiran tentang ini sebelumnya," ungkapnya menanggapi perkataan Abu. "Um, apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Apa kamu meragukan Somnium?"Kini giliran Abu yang tersenyum. "Entahlah, aku hanya berpikir bahwa sebenarnya masih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Somnium."Kemudian, terdengar helaan napas dari Stella. Gadis dengan setelan gaun putih selutut itu tidak ingin ambil pusing dan menanggapi Abu dengan melontarkan kata-kata yang mengisyaratkan untuk segera menyudahi pembicaraan yang dirasanya tidak begitu penting. Katanya, "Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan hal itu. Lagi pula sekarang kita harus fokus pada misi, bukan?"Lagi, Abu tersenyum. Entah kenapa dia merasa reaksi Stella lucu sekali. Memangnya dia tidak merasa perlu mewaspadai Somnium? Bukankah sosok Somnium masih sangat misterius?Akan tetapi, melihat bagaimana reaksi Stella maka mau tak mau Abu harus segera mengakhiri pembicaraan
Elang menyadari bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota hingga memutuskan untuk ke bawah dan menemuinya. Bukan tanpa alasan karena dilihat dari mana pun tetap tidak dapat dipungkiri jikalau rumah ini memiliki ciri-ciri sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shota, yaitu rumah bergaya Belanda klasik yang tak lepas dari eksterior dan interiornya yang elegan. Lalu, ditambah fakta tentang bentuk ruangannya yang simetris. Ruangan yang satu pasti dipisahkan dengan ruangan lain dengan tembok atau pintu.Hal tersebut tak ayal kian menaruh keyakinan dalam diri Elang bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota. Lelaki berumur enam belas tahun dengan perawakan tinggi semampai itu menuruni anak tangga dengan tenang tanpa menghilangkan rasa kagumnya kepada rumah klasik gaya Belanda yang menurutnya begitu indah laiknya sebuah karya seni.Elang yang mendapati Shota hanya berdiam diri sambil melempar pandang ke luar jendela itu berseru, "Shota!" Kemudian menghampiri orang y
Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga. "Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak." Sontak mata Abu, Stella, dan Elang membola. Mereka tertegun untuk beberapa saat dengan isi kepala tak keruan. Ketiganya berusaha mencerna maksud perkataan Leo yang begitu mencengangkan. "Hei, Leo maksud kamu apa?" tanya Stella dengan sorot mata yang tampak kehilangan fokusnya. "Bicara yang jelas. Jangan membuat takut begitu." Abu menimpali. "Leo bisa dengar aku?" Hening. Tidak ada jawaban. "Leo? Hei,
Tiba-tiba kemudian Stella menjerit histeris kala matanya sukses bersitatap dengan sosok mengerikan. Wajahnya rusak sama seperti dengan sosok yang menyerang Elang. Manik mata sosok tersebut yang hitam pekat menatap Stella dan yang lainnya dengan penuh kemarahan. Sampai-sampai mengubah suhu menjadi sangat dingin dan terasa menusuk-nusuk kulit.Kabar buruk. Sosok mengerikan yang ini tampak lebih kuat dibanding yang menyerag Elang di rumah Belanda.Sial! Sakarang kita harus bagaimana? Stella membatin.Sosok mengerikan tersebut lantas menarik kedua sudut bibirnya—tersenyum menyeringai. Lalu lanjut mengentakkan kaki kanannya hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Kapsul terbang mendadak kehilangan kendali. Seperti kelebihan beban langsung bergerak menurun.Seketika kapsul terbang itu meluncur bebas. Alexa dan Stella memekik kencang sementara Abu dan Elang tidak bersuara tetapi wajahnya kentara
Mika Ariana berjalan menyusuri lorong sekolah sambil kebingungan. Dia menyadari ada keanehan di sekolahnya hari ini. Tidak ada orang dan tidak terdengar suara apapun. Hanya ada sunyi dengan suasana yang lumayan mencekam.Namun, gadis dengan rambut lurus itu tetap melangkahkan kaki meski diiringi dengan rasa was-was. Perubahan kondisi sekolah yang kontras membuatnya curiga sekaligus takut bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk. Sampai kemudian tiba-tiba beberapa meter di depan muncul teman sekelasnya yang membawa pisau di tangan kanannya.Dia adalah Mareta. Sosok gadis berambut pendek yang mendadak berlari ke arahnya laiknya singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. Menyadari itu, Mika terkesiap dan spontan membalikkan badan. Dia berlari sekuat tenaga demi menghindari kejaran Mareta yang menggila tanpa alasan yang jelas.Serta-merta rasa takut kian menggerayangi tubuh Mika yang mulai berkeringat dingin. Dia berlari dengan langkah berat diikuti irama jant