Mika Ariana berjalan menyusuri lorong sekolah sambil kebingungan. Dia menyadari ada keanehan di sekolahnya hari ini. Tidak ada orang dan tidak terdengar suara apapun. Hanya ada sunyi dengan suasana yang lumayan mencekam.
Namun, gadis dengan rambut lurus itu tetap melangkahkan kaki meski diiringi dengan rasa was-was. Perubahan kondisi sekolah yang kontras membuatnya curiga sekaligus takut bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk. Sampai kemudian tiba-tiba beberapa meter di depan muncul teman sekelasnya yang membawa pisau di tangan kanannya.
Dia adalah Mareta. Sosok gadis berambut pendek yang mendadak berlari ke arahnya laiknya singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. Menyadari itu, Mika terkesiap dan spontan membalikkan badan. Dia berlari sekuat tenaga demi menghindari kejaran Mareta yang menggila tanpa alasan yang jelas.
Serta-merta rasa takut kian menggerayangi tubuh Mika yang mulai berkeringat dingin. Dia berlari dengan langkah berat diikuti irama jantungnya yang berlomba-lomba. Bahkan napasnya mulai terengah-engah bersamaan dengan wajahnya yang tampak pucat. Kamudian, matanya melihat bahwa toilet adalah satu-satunya ruangan dengan pintu yang tidak terkunci.
Mika menyadari bahwa ini bukanlah pilihan terbaik, tetapi dirinya dengan spontan menerobos masuk. Lantas cepat-cepat dia menguncinya dan berakhir terduduk lemas. "Apa sebenarnya yang terjadi?" tanyanya dengan pipi yang mulai basah.
Sementara itu, di luar toilet sepertinya Mareta telah sampai dan tanpa peringatan menusukkan pisaunya ke pintu toilet.
Kendati tidak cukup kuat untuk menembus pintu, tetapi hal itu sukses membuat Mika terkejut setengah mati. Bahkan kini seluruh tubuhnya bergetar hebat. Sialnya beberapa sekon setelahnya, suara mengerikan hasil bertemunya ujung pisau dan pintu toilet kembali memasuki rungu. Dan kali ini dilakukan oleh Mareta berkali-kali hingga membuat Mika harus menutup telinganya dengan kedua tangan untuk meredam suara tersebut.
Tangis Mika pecah. "Tidak. Tidak. Mareta ... aku mohon hentikan. Aku tidak melakukan apapun percayalah," mohonnya tersedu-sedu.
Seolah mulutnya dijahit, Mareta diam seribu bahasa. Gadis itu hanya fokus pada kegiatannya. Yang mana hal demikian itu sukses membuat Mika mendadak seolah kehabisan napas. Lalu secara ajaib, pintu toilet terbuka sendiri. Padahal Mika yakin sepenuhnya bahwa tadi dia telah menguncinya. Ini ... aneh.
Mika memejamkan mata. Apakah memang harus berakhir seperti ini?
Pada akhirnya, Mika tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Seluruh tubuhnya berubah menjadi kaku dan tidak bisa digerakkan, sedangkan Mareta telah siap dengan pisaunya untuk melukai dirinya.
Namun, tiba-tiba....
"Apakah kau ingin berpartisipasi?"
Sebuah suara misterius terdengar. Mika ragu-ragu membuka mata. Betapa terkejutnya dia melihat pemandangan di sekelilingnya berubah. Tidak ada lagi Mareta dengan pisau di tangan, yang ada hanya ruangan putih tanpa benda apapun di dalamnya selain Mika yang tercengang-bengang.
"Apa yang terjadi?" tanya Mika kebingungan dengan mata menyapu setiap inci ruangan.
"Apakah kau ingin berpartisipasi?"
Suara misterius itu terdengar lagi. Tak heran Mika langsung bersikap waspada sekaligus bertanya-tanya. "Suara ini ... siapa kamu?"
"Apakah kau ingin berpartisipasi?"
Mata Mika memancarkan ketakutan. Dia refleks meremas-remas kedua sisi rok yang dikenakannya dan setelahnya menarik napas dalam-dalam untuk angkat suara. "Aku tanya sekali lagi. Kamu siapa?"
"Kau bisa memanggilku Somnium."
"Somnium?" Mika mengernyit. "Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?"
"Tidak perlu takut. Kau hanya sedang bermimpi."
"Ber-mimpi? Maksud kamu apa? Aku tadi jelas-jelas melihat Mareta akan menusukkan pisaunya ke arah jantungku, lalu—"
"Lalu?"
Mika terdiam. Ini aneh, sungguh. Bukankah dia seharusnya sudah mati atau minimal sekarat dengan berlumuran darah?
"Aku serius sedang bermimpi?" tanyanya sembari menyadari bahwa tidak ada darah sedikitpun di tubuhnya.
"Jadi, apa kau ingin berpartisipasi?" Somnium kembali mengajukan pertanyaan yang sama.
"Berpartisipasi? Dalam hal apa?"
"Jadilah pemimpi. Kemudian hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan."
Tentu saja Mika kebingungan. "Aku tidak mengerti dan itu kedengaran tidak masuk akal," balasnya.
"Adakah benda yang ingin kau miliki?"
"Ha?"
"Katakan saja."
"Um, uang?"
"Baiklah. Saat kau bangun, benda itu akan sudah ada padamu."
Cahaya matahari perlahan memasuki kamar melalui fentilasi. Mika yang ketika itu baru terbangun pun mengerjap-ngerjap. Dia lantas bangkit dan duduk di sisi ranjang. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit. "Mimpi buruk lagi dan ... aneh," ujarnya sambil memandangi kakinya yang penuh dengan luka lebam.
Selanjutnya, Mika mengedarkan pandangannya. Matanya tiba-tiba membola ketika melihat ke arah meja belajarnya. "Itu ... uang? Serius?" Dengan segera Mika menghampiri meja belajarnya dan menyentuh sejumlah kertas berwarna merah yang artinya satu kertasnya senilai seratus ribu rupiah.
"Ini ... uang sungguhan?" Mika meraba-rabanya untuk memastikan dan tidak merasa bahwa itu adalah uang palsu. Serta dia juga menghitung total rupiahnya.
"Satu juta?" Pupilnya membesar. "Gila! Apa mungkin Ibu yang memberiku? Tidak. Tidak. Uang dua puluh ribu saja, aku harus memintanya dengan susah payah."
Mika dibuat tak habis pikir dan masih dilanda kebingungan. Sampai setelahnya dia teringat tentang sosok misterius yang mengajaknya berbicara di dalam mimpi.
"Somnium," ujarnya.
Jadi, itu berarti Somnium tidak main-main. Keinginannya benar-benar bisa terwujud. Buktinya adalah uang satu juta di tangannya sekarang. Lalu, jika keingian Mika tidak berupa sebuah benda melainkan keinginan agar mendapat kehidupan yang jauh lebih baik serta terbebas dari semua kesengsaraan, apakah itu juga akan menjadi kenyataan?
Angin malam berembus masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Tak elak suhu di dalam kamar dengan ukuran minimalis itu berubah menjadi dingin, tetapi anehnya tidak membuat gadis berdarah campuran itu merasa perlu menarik selimut. Dia hanya duduk di atas ranjang dengan memakai piama berlengan pendek sembari mengelus-elus bulu kucing di pangkuannya. Bibirnya melengkung ke atas pertanda akan rasa senangnya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Lalu tetiba sebuah suara misterius terdengar."Alexa," seru Somnium."Ya?" sahut gadis bernama Alexa tersebut."Kenapa kau suka sekali berada di sini?" Somnium kembali mengajukan pertanyaan dan kali ini sukses menbuat Alexa menghentikan kegiatan mengelus kucingnya. "Sebentar lagi misi akan dimulai. Kupikir kau perlu membaur dengan para pemimpi yang lainnya."Alexa melebarkan senyumnya serta lekas menatap kucing di pangkuannya yang beberapa saat kemudian eksistensinya men
Somnium diam sejenak dan beberapa sekon berikutnya suaranya kembali mengudara. "Jadilah pemimpi. Lalu hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan. Serta ingatlah selalu bahwa kalian, tujuh pemimpi, adalah satu-kesatuan. Maka bekerja samalah dan saling mendukung untuk sama lain. Dengan demikian, kalian semua bisa menjadi pemenang.Bukankah semua orang mengharapkan cahaya datang dan menerangi jalan hidupnya yang penuh dengan kegelapan? Jadi, kenapa kalian tidak ikut berjuang? Untuk itu, misi telah siap di depan mata. Maka bersiaplah dan hancurkan semua mimpi burukmu," ucapnya dengan lantang.Dalam sekejap keadaan sekitar berubah sedemikian rupa. Aula dengan suasana malam hari kini berganti suasana pedesaan di kala siang hari. Para pemimpi yang tadinya berada dalam satu tempat pun ikut terlempar ke tempat yang berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing pada mimpi yang harus dihancurkan kali in
Leo menjatuhkan pandangannya. Mengunci mulut rapat-rapat tatkala kakinya menendang rerumputan. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Pertama ucapan Shota dan dilanjut oleh mimpi buruk Stella. Benar-benar menyebalkan! Ditambah Abu yang terus mengoceh, menanyakan banyak hal. Dongkol sekali rasanya.Lelaki berjaket hitam itu lantas mengangkat wajah. Lalu, membiarkan matanya menyapu sekitar. Abu menanyakan lokasi dari setiap pemimpi, tetapi jujur saja dia sama sekali tidak berniat memberi tahu karena merasa malas untuk sekadar membuka mulut. Jadi, yang dilakukannya hanyalah memandangi sekeliling dalam diam sembari mendengarkan setiap pembicaraan dari anggota pemimpi yang masuk ke dalam telinga.Yang jelas, sekitar dua atau tiga meter di depannya tampak sebuah jalan setapak yang sudah mulai bobrok. Di seberang sana juga terlihat rumah-rumah warga yang kelihatan tak berpenghuni, persis kata Abu.Leo sendiri tidak merasakan ada yang aneh selain dari itu semua. Sehin
Stella mengukir senyum. "Ah, aku tidak pernah kepikiran tentang ini sebelumnya," ungkapnya menanggapi perkataan Abu. "Um, apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Apa kamu meragukan Somnium?"Kini giliran Abu yang tersenyum. "Entahlah, aku hanya berpikir bahwa sebenarnya masih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Somnium."Kemudian, terdengar helaan napas dari Stella. Gadis dengan setelan gaun putih selutut itu tidak ingin ambil pusing dan menanggapi Abu dengan melontarkan kata-kata yang mengisyaratkan untuk segera menyudahi pembicaraan yang dirasanya tidak begitu penting. Katanya, "Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan hal itu. Lagi pula sekarang kita harus fokus pada misi, bukan?"Lagi, Abu tersenyum. Entah kenapa dia merasa reaksi Stella lucu sekali. Memangnya dia tidak merasa perlu mewaspadai Somnium? Bukankah sosok Somnium masih sangat misterius?Akan tetapi, melihat bagaimana reaksi Stella maka mau tak mau Abu harus segera mengakhiri pembicaraan
Elang menyadari bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota hingga memutuskan untuk ke bawah dan menemuinya. Bukan tanpa alasan karena dilihat dari mana pun tetap tidak dapat dipungkiri jikalau rumah ini memiliki ciri-ciri sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shota, yaitu rumah bergaya Belanda klasik yang tak lepas dari eksterior dan interiornya yang elegan. Lalu, ditambah fakta tentang bentuk ruangannya yang simetris. Ruangan yang satu pasti dipisahkan dengan ruangan lain dengan tembok atau pintu.Hal tersebut tak ayal kian menaruh keyakinan dalam diri Elang bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota. Lelaki berumur enam belas tahun dengan perawakan tinggi semampai itu menuruni anak tangga dengan tenang tanpa menghilangkan rasa kagumnya kepada rumah klasik gaya Belanda yang menurutnya begitu indah laiknya sebuah karya seni.Elang yang mendapati Shota hanya berdiam diri sambil melempar pandang ke luar jendela itu berseru, "Shota!" Kemudian menghampiri orang y
Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga. "Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak." Sontak mata Abu, Stella, dan Elang membola. Mereka tertegun untuk beberapa saat dengan isi kepala tak keruan. Ketiganya berusaha mencerna maksud perkataan Leo yang begitu mencengangkan. "Hei, Leo maksud kamu apa?" tanya Stella dengan sorot mata yang tampak kehilangan fokusnya. "Bicara yang jelas. Jangan membuat takut begitu." Abu menimpali. "Leo bisa dengar aku?" Hening. Tidak ada jawaban. "Leo? Hei,
Tiba-tiba kemudian Stella menjerit histeris kala matanya sukses bersitatap dengan sosok mengerikan. Wajahnya rusak sama seperti dengan sosok yang menyerang Elang. Manik mata sosok tersebut yang hitam pekat menatap Stella dan yang lainnya dengan penuh kemarahan. Sampai-sampai mengubah suhu menjadi sangat dingin dan terasa menusuk-nusuk kulit.Kabar buruk. Sosok mengerikan yang ini tampak lebih kuat dibanding yang menyerag Elang di rumah Belanda.Sial! Sakarang kita harus bagaimana? Stella membatin.Sosok mengerikan tersebut lantas menarik kedua sudut bibirnya—tersenyum menyeringai. Lalu lanjut mengentakkan kaki kanannya hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Kapsul terbang mendadak kehilangan kendali. Seperti kelebihan beban langsung bergerak menurun.Seketika kapsul terbang itu meluncur bebas. Alexa dan Stella memekik kencang sementara Abu dan Elang tidak bersuara tetapi wajahnya kentara