Somnium diam sejenak dan beberapa sekon berikutnya suaranya kembali mengudara. "Jadilah pemimpi. Lalu hancurkan semua mimpi burukmu dan di akhir kau akan melihat mimpi indahmu menjadi kenyataan. Serta ingatlah selalu bahwa kalian, tujuh pemimpi, adalah satu-kesatuan. Maka bekerja samalah dan saling mendukung untuk sama lain. Dengan demikian, kalian semua bisa menjadi pemenang.
Bukankah semua orang mengharapkan cahaya datang dan menerangi jalan hidupnya yang penuh dengan kegelapan? Jadi, kenapa kalian tidak ikut berjuang? Untuk itu, misi telah siap di depan mata. Maka bersiaplah dan hancurkan semua mimpi burukmu," ucapnya dengan lantang.
Dalam sekejap keadaan sekitar berubah sedemikian rupa. Aula dengan suasana malam hari kini berganti suasana pedesaan di kala siang hari. Para pemimpi yang tadinya berada dalam satu tempat pun ikut terlempar ke tempat yang berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing pada mimpi yang harus dihancurkan kali ini.
Kendati tidak saling berdekatan, mereka masih tetap bisa menjalin komunikasi laiknya sedang bertelepati. Bedanya, mereka bisa saling berbicara dari jarak jauh tetapi tidak disertai bisa membaca isi benak masing-masing. Pasalnya itu merupakan sesuatu yang privasi dan Somnium sendiri masih memberi batasan pada setiap pemimpi guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti saling menghancurkan satu sama lain.
Sementara itu, Abu menyapu pandang sekelilingnya. Melalui kedua obsidiannya, dia melihat rumah-rumah warga di desa yang terkesan begitu sepi, bahkan kelewat sepi hingga seperti tak berpenghuni. Selepas melihat-lihat, tungkainya dia langkahkan menuju pohon besar yang kemungkinan adalah beringin.
Abu memutuskan untuk bersembunyi di balik pohon sebab rasa was-was menghampirinya tanpa peringatan. Dengan ekor matanya, dia memperhatikan rumah milik warga diam-diam. Lalu berkata, "Mimpi buruk siapa yang harus kita hancurkan kali ini? Karena kalian tahu, ini terlihat persis desa mati. Siapa yang bermimpi tentang hal seperti ini?"
Vokal Somnium merambat ke telinga para pemimpi. "Apakah kalian lupa?" tanyanya menanggapi perkataan dari Abu. "Siapapun di antara kalian yang dari arah letak jantungnya berada muncul cahaya berwarna merah, itu berarti dia yang sedang bermimpi buruk."
"Siapa?" tanya Abu sebab jantungnya tidak mengeluarkan cahaya merah dan artinya bukan dirinya yang sedang bermimpi buruk.
Nana menyahut, "Ini bukan mimpiku."
"Bukan mimpiku," jawab Elang.
"Aku juga bukan." Shota menambahkan. "Karena kalian tahu sendiri, aku tidak akan memimpikan hal seperti ini."
"Sepertinya ... ini mimpiku," balas Stella sambil memandang ke arah jantungnya.
"Sudah kuduga. Mimpimu yang paling buruk!" Itu suara Leo.
"Hei!" Stella geram.
Abu cepat-cepat menanggapi menyadari situasi yang kemungkinan akan berakhir buruk. "Tidak apa-apa, Stella. Kupikir maksud Leo adalah mimpimu sulit dipecahkan karena kamu suka nonton film atau drama yang berbau-bau misteri. Iya, kan?"
Stella tersenyum malu. "Ah ... itu benar."
Abu menarik napas sebentar untuk kemudian kembali mengajukan pertanyaan. "Baiklah, sekarang bisa jelaskan di mana kalian semua berada? Nana dulu, kamu di mana?"
Nana memutar matanya, melihat-lihat sekitar. "Aku ... di Tempat Penitipan Anak?" Pasalnya ada banyak mainan dan perlengkapan untuk anak-anak di ruangan di mana dia berdiri sekarang, itulah alasan kenapa dirinya menjawab demikian.
"Sebentar, Na, umur kamu berapa?" Lagi-lagi keluar pertanyaan dari mulut Abu.
"Sembilan tahun, Kak."
"Oke, sekarang yang lain di mana?"
"Aku berada di rumah seseorang, tetapi tidak ada siapa pun di sini," ungkap Shota. "Um, rumahnya dibangun seperti bangunan khas orang Belanda. Itu saja, selebihnya kupikir tidak ada yang aneh."
"Kalau aku sepertinya berada di ...," ujar Elang menjeda. "Ah, sebentar! Tadi Shota mengatakan rumahnya seperti bagunan orang Belanda, kan? Shota apa kamu dengar aku? Sepertinya kita berada di rumah yang sama."
"Oh, benarkah?"
"Iya, ciri-cirinya persis seperti yang kamu sebutkan terutama interiornya," balas Elang. "Apa kamu di bawah? Biar aku hampiri."
"Oke, ini bagus. Kupikir aku sendirian tadi."
"Great!" Abu menimpali. "Nah, sekarang yang lain tolong cepat jelaskan keberadaan kalian, karena mimpi ini harus dihancurkan bukan?"
"Abu sepertinya aku melihatmu," ujar Stella.
Abu merasa sedikit terkejut karena dirinya sendiri tidak melihat keberadaan orang lain. "Oh, iyakah?"
Stella mengangguk sebagai tanggapan dan lekas berkata, "Aku akan menghampirimu. Jadi, kamu tetap di situ, oke?"
"Iya Stell. Nah, sekarang—"
Belum selesai Abu bicara, tiba-tiba Leo menyelang, "Aku akan menghampiri Nana."
"Eh?" kata Abu dan Nana bersamaan sebab keduanya yang paling dibuat kaget dengan pernyataan dari Abu.
Nana yang sedari tadi diam dan tidak terlalu berekspresi kini berakhir memasang wajah panik. Dia masih merasa takut kepada Leo. Menurutnya harus bersama dengan Leo dalam misi itu bukanlah ide yang bagus. Yang ada dia terus merasa gelisah alih-alih seperti Shota yang merasa senang mengetahui dirinya berada di tempat yang sama dengan Elang tadi.
Diam-diam Nana berkata di dalam hati. "Aduh, bagaimana ini?"
Terlepas dari itu semua, harus diakui wahwa di sini Abu berperan seperti seorang pemimpin. Bahkan layak disebut pemimpin yang baik, karena dirinya mampu memandu teman-temannya sebagai sesama pemimpi. Dia juga menyadari kalau ada di antara mereka yang sama sekali belum mengeluarkan suara.
Abu lantas melempar tanya, "Alexa, kenapa diam saja?"
Seperti berbicara dengan benda mati, tidak ada sahutan yang dia terima kecuali angin yang membelainya dengan aneh hingga membuatnya sedikit bergidik ngeri. Kemudian selang beberapa detik, dia mendengar seseorang berbicara tepat di dekat telinga kanannya.
"Apa yang kau lihat?" Begitu katanya.
Namun, sejujurnya, itu bukanlah suara Alexa ataupun Stella yang tadi sempat mengatakan akan menghampirinya. Jadi, wajar saja setelah mendengarnya Abu merasa terancam dan langsung melakukan pembelaan diri dengan menyerang menggunaan api yang dia keluarkan dari tangan kanannya ke arah sumber suara.
Bersamaaan dengan itu juga terdengar seseorang meneriakkan namanya. "Abu!" teriak Stella yang ternyata sekarang hanya berjarak lima meter darinya.
Dengan segera Stella memangkas jarak. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
Napas Abu terengah-engah. Tatapan matanya terlihat tidak fokus karena masih belum bisa mencerna apa yang baru saja dia alami. "Tadi, ada orang yang mengajakku bicara, tetapi aku tidak melihat siapapun," ungkapnya. "Apa mungkin kamu melihatnya?"
"Tidak, aku tidak melihat siapapun," jawab Stella dengan suara agak bergetar dilengkapi dengan sorot mata yang mendadak memancarkan ketakutan. Sebab apa yang terjadi barusan itu sungguh aneh. Bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa kini dia benar-benar merasa gelisah.
Stella kemudian menengadahkan kedua tangannya. Tring! Dengan ajaib muncul dua botol air mineral. Dia pun menawari Abu, "Apa kamu mau?"
Abu terkekeh pelan akan situasi konyol yang sedang terjadi. Akan tetapi, dia tetap menerima air mineral tersebut karena walaupun semua ini hanyalah mimpi belaka, dia tetap merasa perlu untuk menyiram tenggorakannya yang terasa kering.
Selepas itu, Abu berinisiatif untuk kembali melakukan perbincangan. "Apa tidak pernah terlintas di pikiranmu?" tanyanya.
Merasa tidak jelas dan kurang mengerti, Stella balik bertanya, "Tentang apa?"
Abu tersenyum tipis. Pandangannya mengarah ke depan sembari berucap, "Tentang ... bahwa selain Lucid Dream, Somnium memiliki kriteria lain dalam memilih pemimpi."
Leo menjatuhkan pandangannya. Mengunci mulut rapat-rapat tatkala kakinya menendang rerumputan. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Pertama ucapan Shota dan dilanjut oleh mimpi buruk Stella. Benar-benar menyebalkan! Ditambah Abu yang terus mengoceh, menanyakan banyak hal. Dongkol sekali rasanya.Lelaki berjaket hitam itu lantas mengangkat wajah. Lalu, membiarkan matanya menyapu sekitar. Abu menanyakan lokasi dari setiap pemimpi, tetapi jujur saja dia sama sekali tidak berniat memberi tahu karena merasa malas untuk sekadar membuka mulut. Jadi, yang dilakukannya hanyalah memandangi sekeliling dalam diam sembari mendengarkan setiap pembicaraan dari anggota pemimpi yang masuk ke dalam telinga.Yang jelas, sekitar dua atau tiga meter di depannya tampak sebuah jalan setapak yang sudah mulai bobrok. Di seberang sana juga terlihat rumah-rumah warga yang kelihatan tak berpenghuni, persis kata Abu.Leo sendiri tidak merasakan ada yang aneh selain dari itu semua. Sehin
Stella mengukir senyum. "Ah, aku tidak pernah kepikiran tentang ini sebelumnya," ungkapnya menanggapi perkataan Abu. "Um, apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Apa kamu meragukan Somnium?"Kini giliran Abu yang tersenyum. "Entahlah, aku hanya berpikir bahwa sebenarnya masih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Somnium."Kemudian, terdengar helaan napas dari Stella. Gadis dengan setelan gaun putih selutut itu tidak ingin ambil pusing dan menanggapi Abu dengan melontarkan kata-kata yang mengisyaratkan untuk segera menyudahi pembicaraan yang dirasanya tidak begitu penting. Katanya, "Sudahlah, aku tidak ingin memikirkan hal itu. Lagi pula sekarang kita harus fokus pada misi, bukan?"Lagi, Abu tersenyum. Entah kenapa dia merasa reaksi Stella lucu sekali. Memangnya dia tidak merasa perlu mewaspadai Somnium? Bukankah sosok Somnium masih sangat misterius?Akan tetapi, melihat bagaimana reaksi Stella maka mau tak mau Abu harus segera mengakhiri pembicaraan
Elang menyadari bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota hingga memutuskan untuk ke bawah dan menemuinya. Bukan tanpa alasan karena dilihat dari mana pun tetap tidak dapat dipungkiri jikalau rumah ini memiliki ciri-ciri sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Shota, yaitu rumah bergaya Belanda klasik yang tak lepas dari eksterior dan interiornya yang elegan. Lalu, ditambah fakta tentang bentuk ruangannya yang simetris. Ruangan yang satu pasti dipisahkan dengan ruangan lain dengan tembok atau pintu.Hal tersebut tak ayal kian menaruh keyakinan dalam diri Elang bahwa dia berada di rumah yang sama dengan Shota. Lelaki berumur enam belas tahun dengan perawakan tinggi semampai itu menuruni anak tangga dengan tenang tanpa menghilangkan rasa kagumnya kepada rumah klasik gaya Belanda yang menurutnya begitu indah laiknya sebuah karya seni.Elang yang mendapati Shota hanya berdiam diri sambil melempar pandang ke luar jendela itu berseru, "Shota!" Kemudian menghampiri orang y
Kini mereka bertiga sudah berdiri semua dan merasa mantap untuk lekas menemukan Shota. Ketiganya pun bersama-sama memacu tungkai dan memutuskan untuk kembali mengelilingi rumah tersebut guna bisa menemukan Shota, karena Abu berpikir mungkin saja tadi ada yang dia lewatkan. Akan tetapi, langkah mereka harus dibuat terhenti tatkala suara Leo tiba-tiba menerobos telinga. "Kalau kalian mau selamat cepatlah kemari!" tukas Leo dengan suara beratnya. "Ke Tempat Penitipan Anak." Sontak mata Abu, Stella, dan Elang membola. Mereka tertegun untuk beberapa saat dengan isi kepala tak keruan. Ketiganya berusaha mencerna maksud perkataan Leo yang begitu mencengangkan. "Hei, Leo maksud kamu apa?" tanya Stella dengan sorot mata yang tampak kehilangan fokusnya. "Bicara yang jelas. Jangan membuat takut begitu." Abu menimpali. "Leo bisa dengar aku?" Hening. Tidak ada jawaban. "Leo? Hei,
Tiba-tiba kemudian Stella menjerit histeris kala matanya sukses bersitatap dengan sosok mengerikan. Wajahnya rusak sama seperti dengan sosok yang menyerang Elang. Manik mata sosok tersebut yang hitam pekat menatap Stella dan yang lainnya dengan penuh kemarahan. Sampai-sampai mengubah suhu menjadi sangat dingin dan terasa menusuk-nusuk kulit.Kabar buruk. Sosok mengerikan yang ini tampak lebih kuat dibanding yang menyerag Elang di rumah Belanda.Sial! Sakarang kita harus bagaimana? Stella membatin.Sosok mengerikan tersebut lantas menarik kedua sudut bibirnya—tersenyum menyeringai. Lalu lanjut mengentakkan kaki kanannya hingga menciptakan bunyi yang cukup keras. Kapsul terbang mendadak kehilangan kendali. Seperti kelebihan beban langsung bergerak menurun.Seketika kapsul terbang itu meluncur bebas. Alexa dan Stella memekik kencang sementara Abu dan Elang tidak bersuara tetapi wajahnya kentara
Mika Ariana berjalan menyusuri lorong sekolah sambil kebingungan. Dia menyadari ada keanehan di sekolahnya hari ini. Tidak ada orang dan tidak terdengar suara apapun. Hanya ada sunyi dengan suasana yang lumayan mencekam.Namun, gadis dengan rambut lurus itu tetap melangkahkan kaki meski diiringi dengan rasa was-was. Perubahan kondisi sekolah yang kontras membuatnya curiga sekaligus takut bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk. Sampai kemudian tiba-tiba beberapa meter di depan muncul teman sekelasnya yang membawa pisau di tangan kanannya.Dia adalah Mareta. Sosok gadis berambut pendek yang mendadak berlari ke arahnya laiknya singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya. Menyadari itu, Mika terkesiap dan spontan membalikkan badan. Dia berlari sekuat tenaga demi menghindari kejaran Mareta yang menggila tanpa alasan yang jelas.Serta-merta rasa takut kian menggerayangi tubuh Mika yang mulai berkeringat dingin. Dia berlari dengan langkah berat diikuti irama jant
Angin malam berembus masuk melalui jendela yang sengaja dibuka. Tak elak suhu di dalam kamar dengan ukuran minimalis itu berubah menjadi dingin, tetapi anehnya tidak membuat gadis berdarah campuran itu merasa perlu menarik selimut. Dia hanya duduk di atas ranjang dengan memakai piama berlengan pendek sembari mengelus-elus bulu kucing di pangkuannya. Bibirnya melengkung ke atas pertanda akan rasa senangnya dengan apa yang dilakukannya sekarang. Lalu tetiba sebuah suara misterius terdengar."Alexa," seru Somnium."Ya?" sahut gadis bernama Alexa tersebut."Kenapa kau suka sekali berada di sini?" Somnium kembali mengajukan pertanyaan dan kali ini sukses menbuat Alexa menghentikan kegiatan mengelus kucingnya. "Sebentar lagi misi akan dimulai. Kupikir kau perlu membaur dengan para pemimpi yang lainnya."Alexa melebarkan senyumnya serta lekas menatap kucing di pangkuannya yang beberapa saat kemudian eksistensinya men