14
Gavin terdiam mendengar pertanyaan Naya. Gadis itu menanyakan pertanyaan yang ia perkirakan masih lama datangnya. Ada perasaan senang sekaligus takut dalam diri Gavin. Ia tak bisa bertindak gegabah untuk memberikan terlalu banyak informasi. Hal itu hanya akan melukai Naya.
“Ehm, dulu Ayahku pernah bekerja sebentar di desa ini. Rumah kami dulunya ada di kota yang sering kita kunjungi. Yah, meskipun sekarang sudah tak berbentuk rumah.” Jelas Gavin. Ia memberikan sedikit kebohongan pada penjelasannya.
“Oh, sebentar, ya. Kau pernah ikut kemari?”
“Tidak pernah. Aku lebih suka tinggal di rumah bersama Ibu,” ujar Gavin menambah kebohongannya lagi. Ia memperhatikan raut wajah Naya. Gadis itu nampak sedang mencari-cari jawaban dalam kepalanya. Gavin tak tahu apa yang terjadi pada Naya akhir-akhir ini hingga Naya mengingat kepingan itu satu per satu.
Gavin tak melakukan apapun selain memberinya petunjuk sedikit demi sed
“Baiklah, saya tunggu konfirmasinya minggu depan,”Tian menjabat tangan kliennya sedikit erat. Sedari mereka membicarakan projek kerja sama, mata dari kliennya selalu mencuri pandang pada Yera yang duduk manis di sebelahnya.Ingin sekali Tian mencolok mata pria itu tadi.“Dasar. Kau tak perlu membuat Pak Leo kesakitan begitu,” ujar Yera setelah klien Tian keluar dari ruangan, lalu merapikan berkas berisikan desain-desain bangunan dan perabotan yang terletak di atas meja.“Matanya sangat tidak sopan. Sudah tahu kalau kita ini berkencan, masih saja berani melirik ke arahmu. Untung hari ini kesabaranku penuh.” Tian menenggak air mineral dengan kasar. Mungkin kerja sama akan berakhir, jika dirinya dalam mood yang tidak baik. Ia pernah melakukannya beberapa kali.“Sudahlah, kita jadi makan di luar, kan?” Tanya Yera yang telah selesai dengan acara merapikan berkasnya.“Iya, segeralah bersiap. A
“Apa?!” Satu rentetan kata yang berasal dari Tian di ujung sana membuat Naya menghempaskan tubuhnya lemas di kursi kerjanya. Ia tahu kakak laki-lakinya itu suka bercanda, tapi di dengar dari sudut manapun, kali ini Tian benar-benar serius. Gadis itu sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, padahal akhir-akhir ini orang tua nya tidak membicarakan sesuatu yang serius seperti 'menikah' atau 'pertunangan'. Tapi, mengapa sekarang ada kabar mengejutkan seperti ini, bukan dari orangtuanya melainkan malah dari Tian. Tanpa menghubungi Naya? Apa Tian benar-benar bercanda? “Dengar, kak. Kalau kau bercanda kali ini juga, maka aku akan berhenti mengerjakan proyek yang kau tawarkan padaku sekarang,” ujar Naya berharap kalau kakaknya sedang bercanda sekarang. Namun yang didengar gadis itu malah helaan napas kasar nan frustasi sebagai jawaban. Naya semakin meremas benda pipih yang masih setia menempel di telinganya. “Heh, untuk apa aku bercanda dengan bahan candaan seperti i
Mata Naya mengerjap saat merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti. Cahaya yang tiba-tiba memasuki matanya membuatnya tidak nyaman dan menyipitkan mata. Ia mengamati kesekeliling mobil, dan tidak mendapati siapapun disana. Terakhir kali ia mengingat Yera dan Tian yang sedang bercanda sembari ikut menyanyikan lagu lawas dari radio.Apa mereka sudah sampai?“Oh, sudah bangun? Aku baru saja mau membangunkanmu untuk memakan ini,”Tiba-tiba Yera membuka pintu mobil dan membawa satu mie cup yang kelihatannya sangat enak untuk dinikmati di cuaca yang dingin. Naya membalas tawaran Yera dengan senyuman, lalu bangkit dari duduknya.Cahaya lampu putih yang begitu terang langsung menyapanya begitu ia keluar. Ternyata yang membuat matanya tidak nyaman adalah lampu-lampu pom bensin yang terangnya memang bisa membuat mata orang bangun tidur tidak nyaman.“Sini, Nay. Mau teh hangat apa susu coklat?” Kedatangan Naya di samb
Kelopak mata Naya yang terpejam mulai bergetar. Iris hazelnya terlihat sedikit demi sedikit saat ia berusaha membuka matanya yang berat. Tapi, mengapa yang ia lihat pertama kali adalah warna hitam?'Miaw?'“WAAAAA!”Dengan segera ia mendudukkan tubuhnya dan memejamkan matanya erat kembali, gumpalan bulu hitam tadi sudah lari entah kemana karena terkejut juga dengan teriakan Naya. “Oh? Kau sudah sadar?” Seorang pria dengan sorot mata yang tajam muncul dengan dua gelas minuman di tangannya. Rambutnya yang senada dengan iris kelamnya entah mengapa membuat pria itu terlihat memiliki aura gelap.“Wah, aku tidak menyangka kalau pemilik rumah ini akan kembali kesini. Padahal aku ingin menjadi penghuni tetap disini bersama muffin,” pria itu duduk dengan santainya di sofa yang terletak bersebrangan dengan posisi tidur Naya tadi, sembari sesekali menyesap minumannya. Sementara itu, Naya masih memandanginya
“Tidak mau.”Gavin merebahkan dirinya di atas sofa yang baru saja ia duduki untuk menemui tamunya. Ia akan duduk dengan sopan jika tamu yang berkunjung adalah warga desa yang lebih tua darinya, tapi tidak jika di depannya gadis yang meminta untuk di antar tiba-tiba pada jam menjelang malam begini.“Tapi, aku punya jas mu. Kau tidak mau jas berhargamu kembali?” ancam Naya yang masih tidak mau menyerah untuk membujuk laki-laki menyebalkan di hadapannya. Gavin langsung saja terduduk dengan ekspresi wajah kaget.“Oh benarkah?!”Tapi, sedetik kemudian wajahnya kembali menunjukkan kedataran seperti biasa. “Aku tidak peduli, toh aku bisa membuatnya lagi. Kehilangan satu jas tidak akan membuatku mati,” ujarnya, lalu kembali merebahkan tubuhnya.“Oh, tentu saja kau akan mati jika jas itu tidak kembali,” suara Daisy terdengar mengancam dari arah dapur. “Kenapa? Bukannya kau malah terbant
Sudah lima hari lamanya Gavin menempati halaman rumah dengan pemilik yang masih misterius. Kenyataan bahwa Naya juga tidak tahu siapa pemilik rumahnya membuat rumah itu kembali menjadi rumah tak bertuan.Hari-hari Gavin berjalan seperti biasa. Pergi ke klinik, berdebat dengan Zoe yang keras kepala, lalu pulang bersama Naya. Akhir-akhir ini mereka sering pas-pasan di jalan karena jam pulang yang sama. Sampai ibu-ibu yang melihat menggosipkan ada ‘sesuatu’ diantara mereka.Memang ada sih. Ibu-ibu itu saja yang belum mengetahuinya.Hari-hari Naya juga berjalan seperti biasa. Gadis itu mulai terbiasa dengan keadaan kandang ayam dan tentunya Hunter. Ayam itu seperti memiliki dendam tersendiri pada Naya, padahal ia tidak melakukan apapun.Hari ini hari Minggu. Bisa di bilang hari santai Gavin sebagai dokter di desa ini. Tetapi bukan berarti ia akan menghiraukan pasien. Ia akan datang ke rumah penduduk jika ada informasi mengenai keluhan
Tepat lima hari yang lalu, saat Naya berusaha menghubungi Tian tapi tidak bisa ternyata ada alasannya. Laki-laki itu memang tengah sibuk mengerjakan sesuatu, entah itu masalah bisnis properti miliknya atau berusaha menghindari pertanyaan dari ibunya tentang Naya.Bahkan Tian sekarang harus mengganti ponselnya dan mematikan ponsel yang biasa ia pakai. Ia sudah memulai rencana hindar-menghindar dari orang tuanya setelah kembali dari mengantar Naya.Bagaimana dengan kliennya?Ia tak perlu khawatir karena semua kliennya ia beri nomor yang langsung terhubung dengan perusahaan. Ia tetap bisa update mengenai klien yang tak bisa di bilang sedikit itu.Lima hari yang lalu juga, ketika ia ingin pergi untuk mengunjungi Naya di desa, sebuah kejutan menyapanya.Ia bertemu Kian.Sebenarnya bukan itu kejutannya, karena mereka memang sudah mengenal satu sama lain. Kejutan yang sesungguhnya adalah apa yang di katakan oleh Kian."Kak Tian!"
"Siapa laki-laki itu?"Tanya Gavin saat melihat tangan Naya sibuk menggambar wajah seorang laki-laki. Saat ini mereka sedang bersantai menghabiskan sore hari di teras kayu yang berada tepat di dekat tenda Gavin.Mereka berdua memutuskan pulang dari kota saat Naya kembali merasa kecewa pada sang kakak yang sampai sekarang ini tidak bisa di hubungi. Menyebalkan.Omong-omong mengenai negosiasi kamar kosong untuk Gavin sudah di pertimbangkan oleh gadis itu. Mereka sepakat akan membersihkan kamarnya besok. Untuk sementara malam ini Gavin masih tidur di tendanya.Naya tersenyum melihat sketsa yang ia buat. "Namanya Gerald.""Siapa Gerald? Kenapa rambut dan wajahnya mirip denganku?" Gavin meraih buku sketsa Naya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sembari mengamati lekuk wajah Gerald."Hei, kembalikan!!"Laki-laki itu semakin mengulurkan tangannya ke atas untuk mencegah Naya merebut kembali buku sketsanya. Di lihat dari manapun sketsa ini mema