“Apa?!”
Satu rentetan kata yang berasal dari Tian di ujung sana membuat Naya menghempaskan tubuhnya lemas di kursi kerjanya. Ia tahu kakak laki-lakinya itu suka bercanda, tapi di dengar dari sudut manapun, kali ini Tian benar-benar serius. Gadis itu sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, padahal akhir-akhir ini orang tua nya tidak membicarakan sesuatu yang serius seperti 'menikah' atau 'pertunangan'. Tapi, mengapa sekarang ada kabar mengejutkan seperti ini, bukan dari orangtuanya melainkan malah dari Tian. Tanpa menghubungi Naya? Apa Tian benar-benar bercanda?
“Dengar, kak. Kalau kau bercanda kali ini juga, maka aku akan berhenti mengerjakan proyek yang kau tawarkan padaku sekarang,” ujar Naya berharap kalau kakaknya sedang bercanda sekarang. Namun yang didengar gadis itu malah helaan napas kasar nan frustasi sebagai jawaban. Naya semakin meremas benda pipih yang masih setia menempel di telinganya.
“Heh, untuk apa aku bercanda dengan bahan candaan seperti ini? Aku juga tidak percaya dengan apa yang dikatakan mereka. Tiba-tiba saja, mereka mengundangku untuk makan malam besok karena akan ada pertemuan antara keluarga kita dengan keluarga rekan bisnis ayah untuk membahas pertunanganmu,”
Naya memandang komputernya yang sudah penuh dengan desain-desain ruangan. Rencananya untuk desain villa yang akan dibangun atas nama kakaknya satu minggu lagi, tapi dengan kabar yang mengejutkan seperti ini rasanya ia ingin menghapus desain ruangan yang ia buat tanpa bersisa. Moodnya benar-benar hancur.
“Apa kau punya rencana?” Lirih Naya berharap.
Hening diantara mereka beberapa menit.Nampaknya Tian sedang mencari-cari ide, atau malah sudah memiliki ide yang masih harus dipertimbangkan.
“Aku punya,”
“Kapan kakak pulang?”
“Sekitar setengah jam lagi aku sampai, jangan dibawa stress dulu,”
Panggilan pun diputus sepihak oleh Tian, menyisakan tampilan nama laki-laki itu dengan durasi panggilannya di ponsel. Sementara si pemilik ponsel sudah menenggelamkan kepalanya diantara kedua tangannya yang di lipat di atas meja.
Tiba-tiba saat Naya sedang merenungi nasibnya, ponselnya bergetar. Membuat gadis itu bangkit dan merasa tidak yakin untuk mengecek ponselnya. Berharap bukan nomor ibu, ayah, ataupun bawahan mereka.
Selaasa send a picture.
Aninn send a messege.
Naya menghembuskan napas lega, untung saja notifikasinya hanyalah pesan kangen yang dikirim oleh kedua sahabatnya. Mereka berdua kebetulan sedang berlibur meskipun dengan tujuan yang berbeda. Senyuman timbul di wajah Naya ketika melihat foto konyol dari Sela yang menampakkan dirinya bergulung-gulung di salju bersama kekasihnya Karel, sementara Anin sedang mengirimkan pesan ingin segera pulang dari bulan madunya dan bercerita banyak dengan Naya.
“Hmm, kapan aku bisa meikmati hidupku seperti mereka dan menemukanmu?”
Manik gadis itu menyorot satu pigura besar yang di dalamnya terdapat lukisan laki-laki dengan rambut hitam legam dengan manik biru yang indah. Di bawah lukisan tersebut ada tulisan kecil bertuliskan ‘Gerald’.
***
Tian menghela napas frustasi. Ia sudah berjanji pada Naya untuk sampai di rumah tiga puluh menit lagi, namun tak disangka ia harus menemui klien terlebih dahulu untuk membahas apa saja yang mungkin ditambahkan oleh klien tersebut pada villa nantinya. Awalnya Tian hendak menolak, namun mengingat klien yang menghubunginya agak ‘unik’ alias menyebalkan dan gampang marah, ia jadi mengiyakan saja.
Mobil sedan putihnya telah memasuki pekarangan rumah dengan terburu. Ia memang selau terburu apabila ini menyangkut adiknya, apalagi kalau masalah seperti pertunangan tanpa persetujuan. Boro-boro melihat adiknya bertunangan, Tian saja masih mengawasi siapa saja laki-laki yang dekat dengan adiknya meski mereka hanya berteman.
Singkatnya, ia juga tak terima ada kabar yang mendadak seperti ini tanpa berdiskusi. Ia tahu rencana orangtuanya, tapi tidak dengan Naya.
“Nay!”
Suara Tian cukup menggema di rumah yang hanya ditinggali olehnya dan adiknya itu, membuat Naya langsung mendengar suara Tian dan menyembulkan kepalanya keluar dari pintu kamar. Ia menatap Tian dengan tatapan malas.
Benar-benar tidak dapat dipercaya. Lelaki itu sudah terlambat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan.
“Apa? Setelah dipikir lagi, kelihatanya kakak berbohong soal solusi tersebut, lebih baik aku tidur lagi saja,” ujar Naya sembari menguap.
“Hhh, tadi ada klien dan- Ah! Sudahlah, menjelaskannya padamu akan makin membuatmu tidak percaya pada kakak,”
Tian menarik adiknya itu untuk duduk di sofa ruang tengah. Naya dengan malas hanya mengikuti tarikan Tian dengan sesekali menguap karena ia benar-benar merasa mengantuk.“Jadi? Ucapkan selama lima menit, atau aku akan kembali ke kamar dan menghapus semua desain untuk villa mu,”
“Apa?! Hey –“
Adiknya ini benar-benar. Kalau sudah ngambek ia akan bertingkah menyebalkan seperti ini. Bahkan sebelum Tian sempat protes pun, tangan Naya sudah mengeluarkan ponsel dari celananya dan sudah mensetel stopwatch.“Sebenarnya aku ini kakakmu atau bawahanmu, sih,” ujar Tian menatap sebal Naya.
“Kurangi omong kosong dan segera bilang, atau kau akan kehabisan waktu,” Naya menunjuk stopwatchnya yang sudah menunjukkan satu menit berlalu.
“Oke, jadi..”
Apa solusi yang dipikirkan Tian sudah benar? Entah kenapa ia masih ragu dengan solusi yang dipikirkannya sekarang. Semua pikiran ini tadi juga sudah mengambil alih fokus Tian saat di jalan dan saat membahas hal penting dengan kliennya.
“Jadi...?” Naya mengikuti nada berbicara Tian karena mulai kesal saat kakaknya itu malah memilih untuk menjadi patung dibanding meneruskan jawabannya.
“Kenapa kau sangat tidak sabaran, sih! Sebentar, aku masih benar-benar bimbang!”
“Apa kakak baru saja meneriaki ku?”
Tian segera menutup mulutnya rapat, dan menunjukkan cengiran minta maaf. “Jadi, kau akan pergi sementara dari kota ini dengan alasan kau juga mengerjakan proyek perumahan yang sedang aku kerjakan di kota sebelah,” Tian menelan ludah setelah mengucapkan itu, seakan ia sudah mengatakan kesalahan besar.“Oh, perumahan mewah yang di dekat perbukitan itu? Tapi, tunggu...kakak tidak benar-benar menyuruhku bekerja, kan?”
“Oh tentu saja bekerja. Agar alasan kita tidak terdengar seperti alasan dan realistis,” Tian menggunakan senyum pebisnis andalannya, membuat Naya mendecih dan menatap sebal Tian.
“Kau akan disana kurang lebih satu bulan, sementara itu aku akan sesekali mengunjungimu dan mengendalikan keadaan disini,”
Naya nampak berpikir, “Apa tempat yang kutinggali nyaman? Lalu, kapan kita akan berangkat?”
“Aku yakin kau akan suka, tempatnya bernuansa hutan. Kau suka tempat seperti itu kan?”
Naya hanya menanggapinya dengan mengangguk.
“Dan untuk masalah berangkat, kita akan berangkat sore ini juga. Agar saat sampai disana matahari sudah terbit lagi,”
***Sementara itu, di suatu rumah yang nampak tak terurus, seorang laki-laki berdiri di bagian halaman depan rumah itu. Lagi dan lagi dirinya terjebak disini, atau mungkin laki-laki itu memang ingin ke rumah ini.
Jika ditanya mengapa, dia pasti akan menggeleng dan tidak akan menemukan jawabannya. Rumah yang nampak minimalis dengan pekarangan yang kotor ini, entah apa yang membuat laki-laki itu tertarik untuk sekedar duduk di pinggiran kolam air mancur yang nampaknya sudah tidak berfungsi lama.
Padahal sudah beberapa kali warga desa menceritakan soal hantu yang menjelma menjadi kucing hitam dan cahaya yang tiba-tiba memancar dari rumah itu jika hari sudah mulai petang. Tidak tahu saja para warga itu kalau yang mereka bicarakan adalah kucing hitamnya dan kunang-kunang dalam pekarangan rumah itu.
Dasar mereka aneh.
“Sudah kuduga. Kau sedang apa disini? Ini sudah mau petang, kalau ada pasien bagaimana? Dasar orang aneh kenapa kau tertarik pada rumah kosong, ha?” Seorang wanita yang mengenakan seragam perawat menghampirinya, sembari terus menggosokkan tangannya karena cuaca yang mulai dingin dan mencekam. Wajar saja sebenarnya karena mereka ada di lokasi perbukitan.
“Kau tidak tahu harta karun apa yang ada disini, makanya kau tidak tertarik,”
Wanita itu mendecak malas, ia sudah hampir setahun bekerja dengan dokter dihadapannya ini, tapi sikapnya yang aneh tidak pernah berkurang darinya sedikitpun. Hidupnya tidak pernah mudah setelah resmi bekerja dengan pria dihadapannya ini.“Ah! Sudahlah, ayo kembali. Lama-lama aku bisa gila karena hanya mencarimu hampir seharian penuh,”
Wanita itu meraih lampu minyak yang sempat ia letakkan di dekat gerbang rumah ini, dan menarik tangan laki-laki itu dengan cepat. Sementara itu yang ditarik hanya diam memperhatikan tangan wanita itu.
Deja vu?
***
Mata Naya mengerjap saat merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti. Cahaya yang tiba-tiba memasuki matanya membuatnya tidak nyaman dan menyipitkan mata. Ia mengamati kesekeliling mobil, dan tidak mendapati siapapun disana. Terakhir kali ia mengingat Yera dan Tian yang sedang bercanda sembari ikut menyanyikan lagu lawas dari radio.Apa mereka sudah sampai?“Oh, sudah bangun? Aku baru saja mau membangunkanmu untuk memakan ini,”Tiba-tiba Yera membuka pintu mobil dan membawa satu mie cup yang kelihatannya sangat enak untuk dinikmati di cuaca yang dingin. Naya membalas tawaran Yera dengan senyuman, lalu bangkit dari duduknya.Cahaya lampu putih yang begitu terang langsung menyapanya begitu ia keluar. Ternyata yang membuat matanya tidak nyaman adalah lampu-lampu pom bensin yang terangnya memang bisa membuat mata orang bangun tidur tidak nyaman.“Sini, Nay. Mau teh hangat apa susu coklat?” Kedatangan Naya di samb
Kelopak mata Naya yang terpejam mulai bergetar. Iris hazelnya terlihat sedikit demi sedikit saat ia berusaha membuka matanya yang berat. Tapi, mengapa yang ia lihat pertama kali adalah warna hitam?'Miaw?'“WAAAAA!”Dengan segera ia mendudukkan tubuhnya dan memejamkan matanya erat kembali, gumpalan bulu hitam tadi sudah lari entah kemana karena terkejut juga dengan teriakan Naya. “Oh? Kau sudah sadar?” Seorang pria dengan sorot mata yang tajam muncul dengan dua gelas minuman di tangannya. Rambutnya yang senada dengan iris kelamnya entah mengapa membuat pria itu terlihat memiliki aura gelap.“Wah, aku tidak menyangka kalau pemilik rumah ini akan kembali kesini. Padahal aku ingin menjadi penghuni tetap disini bersama muffin,” pria itu duduk dengan santainya di sofa yang terletak bersebrangan dengan posisi tidur Naya tadi, sembari sesekali menyesap minumannya. Sementara itu, Naya masih memandanginya
“Tidak mau.”Gavin merebahkan dirinya di atas sofa yang baru saja ia duduki untuk menemui tamunya. Ia akan duduk dengan sopan jika tamu yang berkunjung adalah warga desa yang lebih tua darinya, tapi tidak jika di depannya gadis yang meminta untuk di antar tiba-tiba pada jam menjelang malam begini.“Tapi, aku punya jas mu. Kau tidak mau jas berhargamu kembali?” ancam Naya yang masih tidak mau menyerah untuk membujuk laki-laki menyebalkan di hadapannya. Gavin langsung saja terduduk dengan ekspresi wajah kaget.“Oh benarkah?!”Tapi, sedetik kemudian wajahnya kembali menunjukkan kedataran seperti biasa. “Aku tidak peduli, toh aku bisa membuatnya lagi. Kehilangan satu jas tidak akan membuatku mati,” ujarnya, lalu kembali merebahkan tubuhnya.“Oh, tentu saja kau akan mati jika jas itu tidak kembali,” suara Daisy terdengar mengancam dari arah dapur. “Kenapa? Bukannya kau malah terbant
Sudah lima hari lamanya Gavin menempati halaman rumah dengan pemilik yang masih misterius. Kenyataan bahwa Naya juga tidak tahu siapa pemilik rumahnya membuat rumah itu kembali menjadi rumah tak bertuan.Hari-hari Gavin berjalan seperti biasa. Pergi ke klinik, berdebat dengan Zoe yang keras kepala, lalu pulang bersama Naya. Akhir-akhir ini mereka sering pas-pasan di jalan karena jam pulang yang sama. Sampai ibu-ibu yang melihat menggosipkan ada ‘sesuatu’ diantara mereka.Memang ada sih. Ibu-ibu itu saja yang belum mengetahuinya.Hari-hari Naya juga berjalan seperti biasa. Gadis itu mulai terbiasa dengan keadaan kandang ayam dan tentunya Hunter. Ayam itu seperti memiliki dendam tersendiri pada Naya, padahal ia tidak melakukan apapun.Hari ini hari Minggu. Bisa di bilang hari santai Gavin sebagai dokter di desa ini. Tetapi bukan berarti ia akan menghiraukan pasien. Ia akan datang ke rumah penduduk jika ada informasi mengenai keluhan
Tepat lima hari yang lalu, saat Naya berusaha menghubungi Tian tapi tidak bisa ternyata ada alasannya. Laki-laki itu memang tengah sibuk mengerjakan sesuatu, entah itu masalah bisnis properti miliknya atau berusaha menghindari pertanyaan dari ibunya tentang Naya.Bahkan Tian sekarang harus mengganti ponselnya dan mematikan ponsel yang biasa ia pakai. Ia sudah memulai rencana hindar-menghindar dari orang tuanya setelah kembali dari mengantar Naya.Bagaimana dengan kliennya?Ia tak perlu khawatir karena semua kliennya ia beri nomor yang langsung terhubung dengan perusahaan. Ia tetap bisa update mengenai klien yang tak bisa di bilang sedikit itu.Lima hari yang lalu juga, ketika ia ingin pergi untuk mengunjungi Naya di desa, sebuah kejutan menyapanya.Ia bertemu Kian.Sebenarnya bukan itu kejutannya, karena mereka memang sudah mengenal satu sama lain. Kejutan yang sesungguhnya adalah apa yang di katakan oleh Kian."Kak Tian!"
"Siapa laki-laki itu?"Tanya Gavin saat melihat tangan Naya sibuk menggambar wajah seorang laki-laki. Saat ini mereka sedang bersantai menghabiskan sore hari di teras kayu yang berada tepat di dekat tenda Gavin.Mereka berdua memutuskan pulang dari kota saat Naya kembali merasa kecewa pada sang kakak yang sampai sekarang ini tidak bisa di hubungi. Menyebalkan.Omong-omong mengenai negosiasi kamar kosong untuk Gavin sudah di pertimbangkan oleh gadis itu. Mereka sepakat akan membersihkan kamarnya besok. Untuk sementara malam ini Gavin masih tidur di tendanya.Naya tersenyum melihat sketsa yang ia buat. "Namanya Gerald.""Siapa Gerald? Kenapa rambut dan wajahnya mirip denganku?" Gavin meraih buku sketsa Naya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sembari mengamati lekuk wajah Gerald."Hei, kembalikan!!"Laki-laki itu semakin mengulurkan tangannya ke atas untuk mencegah Naya merebut kembali buku sketsanya. Di lihat dari manapun sketsa ini mema
Aroma lantai kayu yang khas menyeruak masuk kedalam indra penciuman. Angin dingin menerpa wajah pucat seorang gadis kecil yang tengah melihat seseorang melukis. Laki-laki paruh baya di hadapannya memperlihatkan gestur yang tenang dari belakang. Ia sedang mengamati dua kupu-kupu yang sedang menari indah di hadapannya. Kelihatannya ia tak banyak menunjukan pergerakan karena tidak ingin mengusir kedua kupu-kupu yang sedang menjadi objek seninya itu.Mata Naya menyipit, memperhatikan sosok itu.Siapa dia?Maniknya mencoba mengedar ke kanan dan ke kiri. Ini jelas rumah yang ia tempati, tapi mengapa rasanya tidak asing seperti perasaannya selama ini tinggal di sini. Lantai kayu di rumah ini begitu dingin.Kenapa ia bisa tertidur di sini? Terakhir kali ia ingat berada di dalam kamarnya. Naya melihat ke bawah dan mendapati dirinya memakai gaun putih bercorak bunga matahari, tangan dan kakinya juga menjadi lebih pendek dan k
Gavin mempersilahkan Naya masuk ke kamarnya. Gadis itu ingin melihat lukisan yang ia tanyakan tadi. Maniknya melihat ke arah dinding yang ada di dekat tempat tidur Gavin.Bukan kupu-kupu."Apa lukisannya memang yang ini?" Tanya Naya memastikan, sembari menunjuk lukisan bunga mawar yang sangat indah di hadapannya."Ya, memangnya ada lukisan lain di kamar ini?" Ketus Gavin seolah ia ingin Naya segera pergi dari kamarnya. Laki-laki itu sangat mengantuk sekarang. Belum lagi, jika nanti ada panggilan darurat tengah malam. Semoga saja tidak."Kau yakin di balik kain putih itu tidak ada lukisan yang lain? Seperti lukisan kupu-kupu?" Selidik Naya."Tidak ada, tidak ada sayangku. Kau puas sekarang? Biarkan aku tidur astaga," kesal Gavin."Gavin! Aku sudah bilang jangan memanggilku seperti itu. Kau akan benar-benar kehilangan fasilitasmu jika mengulanginnya,""Iya-iya, sudah sana pergi. Aku mau istirahat!"Blam!Gavin bur