“Tidak mau.”
Gavin merebahkan dirinya di atas sofa yang baru saja ia duduki untuk menemui tamunya. Ia akan duduk dengan sopan jika tamu yang berkunjung adalah warga desa yang lebih tua darinya, tapi tidak jika di depannya gadis yang meminta untuk di antar tiba-tiba pada jam menjelang malam begini.
“Tapi, aku punya jas mu. Kau tidak mau jas berhargamu kembali?” ancam Naya yang masih tidak mau menyerah untuk membujuk laki-laki menyebalkan di hadapannya. Gavin langsung saja terduduk dengan ekspresi wajah kaget.
“Oh benarkah?!”
Tapi, sedetik kemudian wajahnya kembali menunjukkan kedataran seperti biasa. “Aku tidak peduli, toh aku bisa membuatnya lagi. Kehilangan satu jas tidak akan membuatku mati,” ujarnya, lalu kembali merebahkan tubuhnya.
“Oh, tentu saja kau akan mati jika jas itu tidak kembali,” suara Daisy terdengar mengancam dari arah dapur. “Kenapa? Bukannya kau malah terbantu dengan mengambilkan jas baru untuk ku? Kau punya kesempatan ke kota menemui kekasih –“
Belum lengkap kalimat laki-laki itu, Daisy membekap mulutnya dengan serbet kotor dari dapur. Baunya dapat dipastikan tidak karuan. “Aku sudah dua kali ke kota karena kau kehilangan jas. Meskipun itu menguntungkan untuk ku tapi tidak juga. Mengerti?”
Naya yang menyaksikan percekokan itu hanya menghela napasnya. Sudah berapa menit ia habiskan waktunya disini? Memang ia disambut dan disuguhi dengan baik oleh Daisy, tapi tidak dengan Gavin yang mengulur waktu ketika ia tahu siapa yang mengunjunginya.
“Pokoknya kau harus mengikuti apa syarat Naya, untuk mendapatkan jas mu kembali. Titik.”
Daisy melepas bekapannya dan berlalu menuju dapur, sementara Gavin berusaha menghilangkan bau serbet kotor itu dari hidungnya. “Ck, baiklah. Akan kuantar, tapi aku punya syarat lain,”
“Apa itu?”
***
Jalanan terlihat sangat sepi. Tidak ada bedanya antara pagi, malam, ataupun siang disini. Selalu saja terlihat kosong dan suasananya terlalu tenang. Terkadang, yang mengisi jalan raya besar ini hanyalah truk bermuatan. Itupun bisa di hitung jari perjamnya ada berapa yang melintas.“Kenapa tiba-tiba ke kota?”
Pertanyaan Gavin memecah keheningan dari lima belas menit yang lalu di dalam mobil. Selama itu gendang telinga mereka hanya di isi alunan musik radio yang samar. Gadis itu menoleh pada Gavin sebentar lalu mengalihkan perhatiannya kembali ke arah jalanan yang sepi.
“Hanya memastikan seseorang tidak membuangku,”
Gavin tidak merespon lagi setelah pertanyaannya terjawab. Ia juga bukan tipe orang basa-basi, yang mau tahu detail masalah seseorang. Jari tangannya bergerak memencet tombol volume radio. Lagu yang tadinya samar-samar terdengar, sekarang lirik dan nadanya menjadi jelas. Lagu itu adalah lagu anak-anak.
“Ha? Kenapa jam segini ada radio yang memutar lagu anak-anak, sih? Aneh.”
“Jangan diganti. Biarkan saja. Aku suka lagu itu,”
Gavin mengurungkan niatnya untuk mengganti saluran radio. Sesekali ia memandang wajah Naya sembari menyetir. “Dasar aneh. Kenapa kau suka lagu dengan lirik aneh seperti itu? Makan sayuran biar kuat~” ujar Gavin sembari menjelek-jelekkan nada di salah satu liriknya.
“Dasar, apa saat kau kecil tidak pernah di putarkan lagu anak-anak? Makannya selera musik mu buruk,”
“Apa?! Hey, aku tahu lagu Twinkle-Twinkle Little Star. Lagu yang lebih enak di dengar nadannya daripada lagu sayuran itu!”
“Jangan-jangan hanya itu yang kau tahu? Pfft.”
Naya tidak bisa menahan tawanya yang sudah diprediksikan akan meledak, setelah melihat ekspresi bodoh di wajah Gavin. Sementara yang diledek, seperti biasa hanya memberikan tatapan datarnya dan fokus ke jalanan yang kosong.
Lima belas menit kemudian mereka sampai di kota. Bukan kota tempat Naya tinggal. Kota ini sangatlah kecil, dan merupakan kota yang paling dekat dengan desa yang ia tinggali sekarang.
Mereka berdua memutuskan untuk singgah di cafe yang menyediakan layanan internet secara gratis. Tanpa melihat daftar menu yang disediakan pelayan, Naya langsung mengeluarkan ponselnya dari tas dan menyalakannya. Sementara Gavin sibuk memesan apa yang ingin ia pesan, tanpa memedulikan gadis di hadapannya.Berbagai notifikasi masuk dari aplikasi yang berbeda-beda. Notifikasi paling banyak ada pada aplikasi chatting. Dimulai dari grup yang ia buat dengan sahabatnya hingga pesan spam dari ibunya, dan nomor tidak dikenal.
Naya mengernyitkan keningnya. Kenapa orang asing bisa tahu nomornya. Pesan yang dikirim oleh orang itu hanyalah ‘Nay’. Tangan lentik gadis itu buru-buru melihat foto profil nomor tidak dikenal tersebut.
Laki-laki dengan rambut hazel dengan iris berwarna biru laut yang indah. Ia sempat berhenti sejenak, mengagumi betapa indahnya iris yang dimiliki laki-laki itu. Mengingatkannya pada Gerald yang terpajang di kamarnya.
Karena terlalu asyik, tiba-tiba layar ponselnya menunjukkan ada panggilan masuk. Dari nomor tak dikenal itu. Refleks saja gadis itu membanting ponselnya di atas meja. Membuat Gavin yang sedang menulis sesuatu di note nya berjengit.
“Kau ini kenapa sih?!”
Naya menempelkan jari telunjuknya di bibir, lalu menunjuk ponselnya. Gavin langsung mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang masih setia bergetar. Nomor tak dikenal terus menghubungi.
Tanpa pikir panjang, Gavin mengambil ponsel itu dan menggeser tombol hijau untuk menjawabnya.
“Kau gila?! Kembalikan!!” ujar Naya setengah berbisik agar yang diseberang tidak mendengar suaranya, tapi Gavin malah menjauhkan tubuhnya.
“Pemilik ponsel ini sedang sibuk. Jadi jangan menelponya”
“...”
“Tidak, dia tidak mau berbicara.”
“...”
“Iya, itu aku.”
“...”
“Tidak akan. Selamat tinggal,”
Setelah selesai dengan pembicaraannya yang sangat singkat, Gavin memencet tulisan blokir pada nomor tak di kenal tadi dan mengembalikan ponselnya di depan Naya. “Kenapa seenaknya mengangkat telepon orang?!!”
“Kau enggan mengangkatnya, jadi aku mengangkatnya, lalu memblokirnya. Kau harusnya berterima kasih padaku, bukan?”
“HAH?! Kau tidak bicara yang aneh-aneh kan padanya? Aku bahkan tidak tahu siapa dia –“
“Kalau tidak tahu, ya sudah. Kenapa kau harus tahu?” ujar Gavin sembari melanjutkan tulisannya diatas note nya.
Naya hanya bisa mendesis sebal pada laki-laki yang ada di hadapannya. Ia memilih untuk membalasi chat dari sahabatnya dan menghubungi kakaknya. Tapi, sebelum ia melakukan itu, Naya memutuskan untuk membuka chat dari ibunya yang memiliki notifikasi paling banyak. Jari Naya menscroll dari atas hingga bawah, dan isi chatnya semua hanyalah omelan dengan tulisan kapital.Tapi, ternyata ada pesan satu lagi.
Gambar seorang laki-laki.
Wajah laki-laki yang sama dengan foto profil nomor tak dikenal tadi.
‘Ini calon tunanganmu. Namanya Kian. Cepat pulang, Ibu tahu kau menghindari Ibu dan pura-pura mempunyai proyek dengan kakakmu!!’***
Sedarinya kembali dari kota, Naya menuruni tangga yang menuju rumahnya dengan tatapan kosong. Ia pulang sendirian, jalanannya sangatlah gelap karena lampu yang ada hanya terdapat di depan rumah Naya saja.
Kemana Gavin? Kalian tahu bahwa laki-laki itu tidak akan melakukan lebih, seperti harus melewatkan asramanya terlebih dulu hanya untuk mengantar Naya pulang.
Oh, ya, Naya baru mengetahui bahwa di desa ini ada dua jalan masuk, yang pertama adalah tangga di depan rumah Naya dan yang kedua jalan yang yang di khususkan untuk akses masuk kendaraan seperti mobil yang harus menempuh jarak sekitar lima ratus meter dari tangga lalu berbelok ke tanjakan tak ber aspal. Pantas saja Tian tidak mengetahui jalan kedua ini, karena ia bercerita sudah lama sekali ia tak berkunjung ke desa ini.
Omong-omong tentang Tian, kakak laki -laki Naya itu tidak bisa di hubungi sama sekali. Hal yang sama juga terjadi saat Naya hendak menanyakan keberadaan Tian pada Yera. Kekasih kakaknya itu juga sama tidak bisa di hubungi.
Apakah benar ia di buang?
Naya tidak tahu. Ia hanya bisa berpikir positif bahwa Tian benar-benar membantunya. Skenario terburuk yang ia pikirkan dari semua ini adalah sang ibu yang tahu keberadaannya dan akan menjemputnya.
Angin malam bertiup cukup kencang malam ini, membuat daun-daun yang menggantung di ranting pohon beradu.
Sejujurnya Naya takut harus pulang sendirian, tapi rasa takutnya kalah dengan rasa penasarannya tentang laki-laki yang berstatus calon tunangannya.
Manik laki-laki itu nampak tak asing.
Cring!
Naya terkejut ketika ada makhluk berambut lebat yang menempel pada kakinya. Suara bel berwarna emas yang dikenakan di lehernya terdengar nyaring, dan sedikit mengkilap terkena sinar bulan malam ini. Sosoknya nyaris tidak kelihatan.
“Loh? Bukannya kau kucingnya Si Sialan itu? Kemana pemilikmu?” Ujar Naya sembari mengelus bulu hitam Muffin.
“Si Sialan itu disini. Kau tidak lupa kan dengan syaratnya?”
Gavin muncul dari anak tangga paling atas. Terlihat ia menenteng koper yang cukup besar dan tas punggug. Ia mendatangi Naya dan langsung menyerahkan kopernya. “Nih, bantu aku untuk pindahan,”
“Hei, kau setuju untuk pindah besok kan? Kenapa hari ini? Ini sudah malam, aku mau tidur!” Ujar Naya sebal. Demi pusar Gavin, kenapa laki-laki ini bertindak seenaknya. Siapa yang melahirkan dirinya yang bisa sangat menyebalkan seperti ini?
“Jangan banyak tanya. Nanti kau juga tahu,”
“Ck! Setidaknya nyalakan lampu mobilmu untuk menerangi tangganya,”
“Membuang energi itu tidak baik. Aku tidak akan melakukannya,”
Naya benar-benar kewalahan menghadapi manusia seperti Gavin. Ia langsung turun menuju anak tangga yang ke lima puluh, dimana gerbang rumahnya berada. Muffin mengikutinya dengan ceria, terdengar dari suara bel kecil yang terdengar di setiap langkah gadis itu. Seperti tidak sabar masuk kedalam rumah.
Sebenarnya, alasan mengapa Gavin membawa semua barangnya kesini adalah untuk pindah. Ia membuat perjanjian dengan Naya, bahwa laki-laki itu akan mengantarkan Naya kemanapun dengan syarat ia bisa tinggal di halaman rumahnya. Aneh memang, kenapa harus di halaman rumah? Naya tidak mau ambil pusing dan juga ia merasa lega karena tidak harus membersihkan kamar tidur yang satunya. Awalnya Naya tidak setuju harus mengizinkan orang asing seperti Gavin tinggal di serumah dengannya, tapi karena laki-laki itu mengincar halaman depan rumahnya, ya sudah.
Toh, ia malah mendapat supir pribadi.
Setelah beberapa menit mondar-mandir untuk memindahkan barang Gavin dari mobil, mereka duduk bersandar di dinding air mancur dengan keringat yang tidak usah di tanyakan seberapa banyak. Rasanya sampai Naya ingin mandi.
“Kenapa kau bawa semua barang, sih? Kupikir kau akan meletakkan sebagiannya di asramamu,”
“Tadinya begitu, tapi Daisy terlanjur mengusirku. Ia sudah menyiapkan semuanya di depan asrama ketika aku baru saja memarkir mobilku,”
Pertanyaan Naya di awal terjawab. Daisy mungkin sudah sangat muak tinggal se-asrama dengan laki-laki sejenis Gavin ini. Bagaimana dengan Naya nanti? Ia berharap semuanya baik-baik saja meskipun kelihatannya sulit. Daisy juga orang yang paling bersemangat kala mendengar perjanjian mereka berdua.
“Boleh aku bertanya?”
Gavin hanya diam sembari memainkan kaki Muffin yang empuk. Pandangannya menatap datar pada Muffin. “Kenapa sedari dulu tidak tinggal di sini?”
“Aku mau, tapi tidak bisa. Tidak ada yang menjual rumah ini, jadi setiap hari aku menunggu pemiliknya, sembari bermain disini,” ujar Gavin.
“Ah, begitu. Sebenarnya, aku juga tidak tahu ini rumah siapa. Aku kemari untuk sembunyi,”
Gavin menautkan alisnya, “Sembunyi?”
“Ya, kau tak perlu tahu alasannya. Aku akan memasak untuj makan malam, tata barang-barang mu dengan benar di dalam tenda nanti. Terimakasih untuk air mancurnya,”
Naya pergi kedalam rumah meninggalkan Gavin yang masih setia bersandar pada dinding air mancur. Lengkungan senyum tipis terlukis di wajahnya.
“Lagian, siapa yang ingin tahu juga. Iya, kan, Muffin?”
***
Sudah lima hari lamanya Gavin menempati halaman rumah dengan pemilik yang masih misterius. Kenyataan bahwa Naya juga tidak tahu siapa pemilik rumahnya membuat rumah itu kembali menjadi rumah tak bertuan.Hari-hari Gavin berjalan seperti biasa. Pergi ke klinik, berdebat dengan Zoe yang keras kepala, lalu pulang bersama Naya. Akhir-akhir ini mereka sering pas-pasan di jalan karena jam pulang yang sama. Sampai ibu-ibu yang melihat menggosipkan ada ‘sesuatu’ diantara mereka.Memang ada sih. Ibu-ibu itu saja yang belum mengetahuinya.Hari-hari Naya juga berjalan seperti biasa. Gadis itu mulai terbiasa dengan keadaan kandang ayam dan tentunya Hunter. Ayam itu seperti memiliki dendam tersendiri pada Naya, padahal ia tidak melakukan apapun.Hari ini hari Minggu. Bisa di bilang hari santai Gavin sebagai dokter di desa ini. Tetapi bukan berarti ia akan menghiraukan pasien. Ia akan datang ke rumah penduduk jika ada informasi mengenai keluhan
Tepat lima hari yang lalu, saat Naya berusaha menghubungi Tian tapi tidak bisa ternyata ada alasannya. Laki-laki itu memang tengah sibuk mengerjakan sesuatu, entah itu masalah bisnis properti miliknya atau berusaha menghindari pertanyaan dari ibunya tentang Naya.Bahkan Tian sekarang harus mengganti ponselnya dan mematikan ponsel yang biasa ia pakai. Ia sudah memulai rencana hindar-menghindar dari orang tuanya setelah kembali dari mengantar Naya.Bagaimana dengan kliennya?Ia tak perlu khawatir karena semua kliennya ia beri nomor yang langsung terhubung dengan perusahaan. Ia tetap bisa update mengenai klien yang tak bisa di bilang sedikit itu.Lima hari yang lalu juga, ketika ia ingin pergi untuk mengunjungi Naya di desa, sebuah kejutan menyapanya.Ia bertemu Kian.Sebenarnya bukan itu kejutannya, karena mereka memang sudah mengenal satu sama lain. Kejutan yang sesungguhnya adalah apa yang di katakan oleh Kian."Kak Tian!"
"Siapa laki-laki itu?"Tanya Gavin saat melihat tangan Naya sibuk menggambar wajah seorang laki-laki. Saat ini mereka sedang bersantai menghabiskan sore hari di teras kayu yang berada tepat di dekat tenda Gavin.Mereka berdua memutuskan pulang dari kota saat Naya kembali merasa kecewa pada sang kakak yang sampai sekarang ini tidak bisa di hubungi. Menyebalkan.Omong-omong mengenai negosiasi kamar kosong untuk Gavin sudah di pertimbangkan oleh gadis itu. Mereka sepakat akan membersihkan kamarnya besok. Untuk sementara malam ini Gavin masih tidur di tendanya.Naya tersenyum melihat sketsa yang ia buat. "Namanya Gerald.""Siapa Gerald? Kenapa rambut dan wajahnya mirip denganku?" Gavin meraih buku sketsa Naya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sembari mengamati lekuk wajah Gerald."Hei, kembalikan!!"Laki-laki itu semakin mengulurkan tangannya ke atas untuk mencegah Naya merebut kembali buku sketsanya. Di lihat dari manapun sketsa ini mema
Aroma lantai kayu yang khas menyeruak masuk kedalam indra penciuman. Angin dingin menerpa wajah pucat seorang gadis kecil yang tengah melihat seseorang melukis. Laki-laki paruh baya di hadapannya memperlihatkan gestur yang tenang dari belakang. Ia sedang mengamati dua kupu-kupu yang sedang menari indah di hadapannya. Kelihatannya ia tak banyak menunjukan pergerakan karena tidak ingin mengusir kedua kupu-kupu yang sedang menjadi objek seninya itu.Mata Naya menyipit, memperhatikan sosok itu.Siapa dia?Maniknya mencoba mengedar ke kanan dan ke kiri. Ini jelas rumah yang ia tempati, tapi mengapa rasanya tidak asing seperti perasaannya selama ini tinggal di sini. Lantai kayu di rumah ini begitu dingin.Kenapa ia bisa tertidur di sini? Terakhir kali ia ingat berada di dalam kamarnya. Naya melihat ke bawah dan mendapati dirinya memakai gaun putih bercorak bunga matahari, tangan dan kakinya juga menjadi lebih pendek dan k
Gavin mempersilahkan Naya masuk ke kamarnya. Gadis itu ingin melihat lukisan yang ia tanyakan tadi. Maniknya melihat ke arah dinding yang ada di dekat tempat tidur Gavin.Bukan kupu-kupu."Apa lukisannya memang yang ini?" Tanya Naya memastikan, sembari menunjuk lukisan bunga mawar yang sangat indah di hadapannya."Ya, memangnya ada lukisan lain di kamar ini?" Ketus Gavin seolah ia ingin Naya segera pergi dari kamarnya. Laki-laki itu sangat mengantuk sekarang. Belum lagi, jika nanti ada panggilan darurat tengah malam. Semoga saja tidak."Kau yakin di balik kain putih itu tidak ada lukisan yang lain? Seperti lukisan kupu-kupu?" Selidik Naya."Tidak ada, tidak ada sayangku. Kau puas sekarang? Biarkan aku tidur astaga," kesal Gavin."Gavin! Aku sudah bilang jangan memanggilku seperti itu. Kau akan benar-benar kehilangan fasilitasmu jika mengulanginnya,""Iya-iya, sudah sana pergi. Aku mau istirahat!"Blam!Gavin bur
Naya membuka matanya perlahan. Suara bising dari luar membuat gadis itu terbangun dengan paksa dari tidurnya. Kali ini Gerlad tidak hadir dalam dunia mimpinya. Ada rasa sakit terlintas di hati ketika ia terbangun. Gadis itu segera menggelengkan kepalanya, lalu mengaktifkan ponselnya yang ia letakkan di lantai.Pukul enam lebih tiga puluh menit. Siapa yang tengah membuat kebisingan sepagi ini?Gavin tidak mungkin membuat kebisingan sendiri bersama Muffin. Kedua makhluk itu tak pernah berisik di rumah, apalagi di waktu seperti ini.Suara bising itu jika di dengarkan lebih baik mirip seperti suara Zoe yang sedang mengeluh."Ayolaaah. Antar aku sekali ini saja. Sepeda tuaku itu benar-benar sudah tidak bisa di andalkan,"Ah, benar.Pemandangan pertama yang Naya lihat adalah Zoe yang sedang menghentakkan kakinya kesal dan Gavin yang menyeruput kopinya dengan tenang sembari duduk di sofa ruang tamu. Gavin seperti tak ingin menanggapi Zoe yang
"Wah, situasinya menjadi serius. Apa dia belum sarapan atau mabuk kendaraan?" Tanya Gavin penasaran. Mobil Gavin sudah melaju setengah jalan menuju ke desa. Waktu memang berlalu sangat cepat saat ia bersama Naya."Sela mempunyai kepribadian yang semangat. Ia tidak bisa tidur sehari sebelum acara, dan juga tidak sarapan karena ingin cepat berangkat," Naya menggelengkan kepalanya mengingat tingkah bodoh sahabatnya itu. Akan tetepi, siapa yang tahu kalau kebodohannya dapat mempertemukan Sela dengan seseorang yang spesial untuknya.Pikiran Naya melayang ke masa-masa itu. Ia mengingat setiap detail kejadiannya, karena semua itu konyol...Anin dan Naya segera menuju ke ruang kesehatan segera setelah acara pertama dari kegiatan ini berakhir. Tim panitia sangatlah memperhatikan kebutuhan para peserta, mereka bahkan menyewa satu kamar lagi untuk ruang kesehatan.Saat mereka hendak masuk kedalam ruangan tersebut, mereka berpapasan denga
"Ia sempat keluar sebentar dari klinik, tapi beberapa menit kemudian ia kembali. Gavin pasti ada di ruang kerjanya sekarang." Jelas Daisy menjawab pertanyaan Naya.Gadis itu sudah menunggu Gavin di depan kandang ayam selama lima belas menit. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua lebih lima puluh menit. Sepuluh menit lagi, sekolah Zoe akan selesai.Apa yang membuat laki-laki itu sampai melupakan ucapannya sendiri? Klinik juga tidak ramai seperti kata Daisy. Ia berkata ingin mengajak Naya ke suatu tempat sembari menceritakan tentang dirinya sebelum jam pulang sekolah Zoe. Akan tetapi, waktunya tidak akan cukup kalau begini.Klek!Naya membuka pintu ruangan kerja Gavin. Ia mendapati laki-laki itu tengah tertidur di atas sofa. Sebuah buku yang terbuka menutupi wajahnya.Sungguh tidak bisa di percaya.Naya kira ia menyelesaikan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya, tapi ternyata ini lebih buruk. "Gavin." Panggil Naya sembari m