Share

5

Sudah lima hari lamanya Gavin menempati halaman rumah dengan pemilik yang masih misterius. Kenyataan bahwa Naya juga tidak tahu siapa pemilik rumahnya membuat rumah itu kembali menjadi rumah tak bertuan. 

Hari-hari Gavin berjalan seperti biasa. Pergi ke klinik, berdebat dengan Zoe yang keras kepala, lalu pulang bersama Naya. Akhir-akhir ini mereka sering pas-pasan di jalan karena jam pulang yang sama. Sampai ibu-ibu yang melihat menggosipkan ada ‘sesuatu’ diantara mereka.

Memang ada sih. Ibu-ibu itu saja yang belum mengetahuinya.

Hari-hari Naya juga berjalan seperti biasa. Gadis itu mulai terbiasa dengan keadaan kandang ayam dan tentunya Hunter. Ayam itu seperti memiliki dendam tersendiri pada Naya, padahal ia tidak melakukan apapun.

Hari ini hari Minggu. Bisa di bilang hari santai Gavin sebagai dokter di desa ini. Tetapi bukan berarti ia akan menghiraukan pasien. Ia akan datang  ke rumah penduduk jika ada informasi mengenai keluhan kesehatan. Untuk saat ini ia bingung mau melakukan apa.

Tidak ada keluhan yang datang juga.

Manik kelamnya melirik ke arah pintu geser yang menghubungkan dapur di dalam rumah dengan halaman belakang, tempat Gavin mendirikan tendanya. Tidak ada tanda-tanda sosok Naya akan membuka pintu tersebut seperti biasanya.

Apa ia kelelahan karena pekerjaan kemarin?

Pasalnya gadis itu tidak memasak kemarin. Ia memberi izin pada Gavin untuk melakukan eksperimen apapun di dapurnya asal di bereskan kembali, lalu langsung menuju kamar tidurnya dan tidak ada suara lagi setelahnya.

Akhirnya, Gavin memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju pintu itu. Tangannya menggeser dengan pelan pintu di hadapannya. Pintu tersebut memang sengaja tidak di kunci oleh Naya semenjak Gavin menetap di halaman belakangnya. 

Suasananya masih sangat sepi di dalam ruangan, seperti tidak ada tanda kehidupan.

Muffin diam-diam menyimpan rasa tidak sabar untuk masuk kedalam rumah. Kucing hitam itu melesat cepat kedalam rumah, tepat ketika Gavin menggeser pintunya. Bel di lehernya cukup membuat suara yang nyaring karena ia berlarian. 

“Ssst! Muffin! Jangan berisik,”

Melihat Gavin yang menempelkan jari telunjukknya di bibir, Muffin langsung meringkukan tubuhnya di lantai. Kaki Gavin melangkah perlahan agar lantai kayu di rumah itu tidak menimbulkan suara derit yang berisik. Ia membuka semua tirai yang ada di rumah itu agar cahaya matahari bisa masuk menembus jendela, namun karena cuacanya mendung tidak banyak cahaya yang masuk menerangi ruangan. Setelah membuka semua tirai, ia beranjak menuju dapur.

Lemari pendingin di rumah penuh dengan sayur mayur hadiah dari ayah Zoe kemarin. Sebenarnya bukan hadiah untuk Gavin, melainkan untuk Naya yang sudah konsisten dan bekerja keras setiap harinya. Gavin mulai mengeluarkan sayur yang ingin ia masak. 

Yap, ia akan memasak hari ini.

Seperti bukan Gavin, ia mengkhawatirkan orang lain yang bukan pasiennya hari ini. Pasalnya, Naya belum makan apapun setelah pulang dari peternakan ayam kemarin. Bahkan sosoknya tidak nampak sampai saat ini.

Menjadi orang yang baik untuk satu hari tidak masalah kan?

“Masak apa, ya? Kenapa banyak sekali macam sayurnya? Apa aku masak oseng-oseng saja ya?”

“Wah, ada apa ini? Seorang Gavin memasak? Ini pasti mimpi,” ujar Naya yang tiba-tiba muncul sembari menguap.

Penampilannya benar-benar berantakan, di mulai dari rambut dan kantung mata yang tebal.

Kaki gadis itu melangkah menuju lemari pendingin, lalu menggeser pelan tubuh Gavin. Ia mengambil air mineral dingin dan menenggaknya kasar. Gavin yang melihat itu menatap Naya sembari bergidik. “Ada apa denganmu? Berantakan sekali, tidak seperti biasanya.”

Naya menutup pintu lemari es tersebut, lalu menepuk pelan pundak Gavin, “Ini masalah pekerjaan yang tidak mungkin menarik minatmu untuk sekedar mendengarku bercerita,” ujarnya. Setelah itu, membawa Muffin untuk duduk ke pangkuannya di sofa ruang tamu.

Sembari duduk dan bermain dengan Muffin, gadis itu menatap ke luar jendela. Ternyata diluar sangatlah mendung. Ia lupa kalau bulan ini sudah mulai memasuki musim penghujan. “Hei, di luar mendung. Apa kau akan tetap tinggal di luar? Kalau Muffin sih bisa tidur bersamaku,” kata Naya setengah berteriak.

Sebenarnya ia tidak perlu berteriak, karena jarak ruang tamu dan dapur sangatlah dekat. Entahlah Naya hanya ingin berteriak pada Gavin saat ini.

Sedangkan Gavin yang masih setia dengan kegiatan memotong sayurnya, refleks memperhatikan pintu geser dekat dapur yang terbuka lebar. Padahal ia sudah tahu cuacanya seperti apa tadi, dasar Gavin.

“Memangnya boleh kamar satunya untukku?”

“Tergantung apa yang akan kau tawarkan untuk mendapatkannya,” ujar Naya sedikit memainkan trik licik agar Gavin dapat ia manfaatkan. Gavin sudah menduganya, tidak mungkin gadis itu akan memberikannya dengan cuma-cuma. 

“Baiklah, aku akan tetap di luar. Aku tidak sebodoh yang kau kira untuk kau manfaatkan,” final Gavin. Ia mulai berkutat dengan bumbu-bumbu dapur di hadapannya.

Naya menautkan alisnya, lalu ia terpikir suatu ide. “Apa kau tidak takut saat hujan disertai angin datang? Tenda besarmu itu pasti akan terbang, selanjutnya barang-barangmu akan basah, kau juga,”

Gavin menghela napasnya jengah. Gadis yang satu itu memang benar-benar seorang pemaksa. Apa pedulinya juga kalau memang tenda Gavin akan terbang tertiup angin?

“Apa pedulimu? Sejak kapan kau memedulikanku?”

“Oh, jangan salah paham. Begini-begini aku pengertian, tidak sepertimu.” Ujar Naya sembari menaik turunkan alisnya kepada Muffin. Kucing itu menempelkan kakinya pada wajah Naya dengan kasar, menunjukkan penolakan.

“Haaah, oke. Kau punya penawaran apa?”

Naya terkikik, “Hehe, kau tahu kan kita tidak punya banyak waktu kemarin di kafe. Teman-temanku juga lumayan sibuk kemarin, kakak ku juga tidak bisa di hubungi, sungguh sial. Hari ini Minggu kan, pasti semua orang sedang luang di hari Minggu. Bagaimana kalau setiap -"

“Sepertinya aku tahu kemana arah penawaran ini akan berakhir. Kau pasti memintaku setiap Minggu untuk pergi ke kota, kan?”

Naya menunjukkan cengirannya kepada Gavin, lalu mengedipkan matanya. Gadis itu sangat ingin menghubungi sahabatnya lewat video call yang tertunda akibat mereka yang sibuk akan sesuatu. Ia ingin mencurahkan semua yang terjadi kepadanya. Sela dan Anin sangat khawatir karena Naya tiba-tiba pergi ke kota lain yang bahkan Tian tidak mau memberi tahu mereka.

Tiba-tiba saat Gavin hendak membuka mulutnya untuk berbicara, seseorang terdengar menggedor gerbang rumah itu dengan tidak sabaran. Suara gadis cilik terdengar nyaring memanggil nama Naya bersamaan dengan suara gedoran yang semakin mengeras. “Kelihatannya kau kedatangan tamu,” ujar Gavin tanpa mengalihkan pandangannya pada masakannya.

Naya mengerutkan alisnya, lalu meletakkan Muffin di sofa. Kakinya mulai melangkah cepat menuju gerbang. Gedoran yang tidak santai itu membuatnya panik seketika. Kenapa juga mereka harus menggedor gerbangnya sebrutal itu?

Saat gerbang rumahnya terbuka, wajah gadis cilik lucu lah yang pertama kali muncul. Itu Eren. “Kak Naya!!” Eren langsung menubruk tubuh Naya dengan semangat. Sementara Naya yang terkejut, langsung tersenyum setelahnya mendapati Eren yang masih setia memeluknya.

“Halo, Eren. Apa kau ingin bermain denganku lagi?”

“Ehm, bukan. Hari ini yang ingin menemuimu adalah aku, nak,” Danar muncul beberapa saat setelah Naya melontarkan pertanyaan kepada Eren.

“Tapi, aku juga ingin bermain dengan Kak Naya,” celoteh Eren.

Naya tersenyum dan mengusap kepala Eren, lalu menatap Danar penuh tanya. “Apa paman ingin membicarakan sesuatu?”

Sementara di dapur Gavin merasa penasaran mengapa Naya belum juga kembali, dan mengapa tamunya tidak segera masuk ke ruang tamu. Laki-laki itu segera mencuci tangannya, ia ingin memastikan sesuatu.

“Dokter Gavin!”

Eren memekik dan berlari menuju Gavin, laki-laki itu mengusap lembut kepala Eren lalu pandangannya menuju ke arah Danar dan Naya yang terlihat serius. Gadis itu, Naya, ia menengok ke arah Gavin dengan wajah khawatir.

“Ya, aku ingin membicarakan tentang kalian. Aku mendengar pembicaraan ibu-ibu tentang kalian yang tinggal bersama, dan kelihatannya....itu benar?”

***

"Jadi...idemu nampaknya bekerja?"

Naya melirik Gavin yang sedang menyetir dengan tenang. Saat ini mereka sedang menuju kota sesuai perjanjian mereka. Laki-laki itu melirik cincin silver yang bertengger pada jari manis tangan kirinya. Ia menghela napas.

"Hhh, kan aku sudah bilang. Untung saja aku waspada, ingat kau meneriakiku saat aku ingin menyelamatkanmu?"

Naya terdiam. Hatinya merasa ragu sebenarnya mengikuti rencana Gavin. Ini semua karena perjanjian mereka yang tidak mempertimbangkan pandangan serta tradisi warga desa.

Gadis itu lupa kalau mereka tidak berada di kota yang pandangannya jelas sangat berbeda.

"Hhhh, apa kita akan baik-baik saja? Rasanya konyol tiba-tiba aku memiliki seorang suami tepat saat aku menghindari suatu pertunangan, dan itu terjadi hanya dalam lima hari. Kenapa kau tidak kembali saja ke asrama, sih?" Celetuk Naya.

"Lalu menyampingkan fakta bahwa aku yang selalu pulang ke rumah itu beberapa hari terakhir dan gosip ibu-ibu itu? Aku juga tidak bisa kembali ke asrama," Gavin memijit pangkal hidungnya. Ada alasan mengapa ia harus tinggal di rumah itu.

"Tidak bisa? Kenapa?" Tanya Naya yang langsung memutar tubuhnya ke arah Gavin.

"Ya, pokoknya tidak bisa kembali. Tidak ada alasan yang bisa ku beri tahukan sekarang."

"Haaah?? Kenapa begitu?"

"Privasi."

Naya menghela napasnya. Ia lupa bahwa berbicara dengan makhluk bernama Gavin itu tidak akan mudah. "Yah, setidaknya kau ahli berbohong. Aku terkejut bahwa kau bilang sebenarnya kita sudah bertunangan cukup lama dan memutuskan menikah saat aku datang ke desa. Lebih mengejutkan lagi Paman Danar yang percaya akan hal itu, padahal dari awal kita tidak ada kemistri sama sekali," ujar Naya.

"Intinya bukan hanya kau saja yang merasa berat. Aku juga merasa keberatan menikah denganmu meskipun hanya kontrak."

"HEY!"

***

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya disinilah mereka. Di kafe yang mereka kunjungi lima hari lalu.

Naya langsung menyalakan ponselnya, sementara Gavin seperti biasa akan memesan sesuatu terlebih dahulu. Pelayan yang setia berdiri di dekat meja mereka berdua diam-diam menatap Gavin kagum.

"Aku akan memesan satu lemon tea dan red velvet cake dua," ujar Gavin. Ia memesan dua cake yang dapat di pastikan satunya bukan untuk Naya. Laki-laki itu memprediksi bahwa Naya akan berlama-lama disini makanya ia memesan dua.

Gavin memang menyukai makanan yang manis.

"Baiklah, ada tambahan?" Pelayan perempuan itu melirik ke Naya. "Nanti kami akan pesan lagi jika ada tambahan. Sementara ini dulu," ujar Gavin setelah melihat tidak ada respon dari gadis yang sedang sibuk menata rambutnya karena sudah memulai video call dengan temannya.

"Baik, mohon di tunggu lima belas menit lagi."

Pelayan perempuan itu hendak menyampaikan pesanan Gavin ke dapur, namun langkahnya tiba-tiba berhenti. Entah darimana datangnya keberanian untuk menanyakan seorang pelanggannya masih single atau tidak. Ia sudah jatuh kepada Gavin sejak ia kemari bersama Naya lima hari yang lalu. Harapannya ingin bertemu pelanggan yang dapat merebut hatinya itu terkabul sekarang.

Mungkin Tuhan memberinya kesempatan?

"Permisi, maaf kalau kesannya kurang sopan, tapi semenjak saya melihat Anda...bagaimana mengatakannya ya..."

Pelayan itu menggantung kalimatnya, mendadak merasa malu karena manik Gavin sedang fokus menatap dirinya. "Iya? Bagaimana?" Tanya Gavin.

"....saya suka dengan anda. Maaf sekali lagi jika kurang sopan, apakah Anda sudah memiliki kekasih?"

Oh. Gavin paham sekarang. Maniknya bergulir melirik cincin yang sedang di kenakannya. Sebenarnya Gavin sudah sering mendapat pertanyaan seperti ini, tapi ia tidak punya alasan yang tepat untuk mengelak dan berakhir bertukar nomor dengan gadis yang menanyainya. Begini-begini Gavin tipe yang tidak enakan, jadinya banyak kontak perempuan ada di ponselnya meskipun tidak pernah satupun nomor itu yang ia hubungi kembali. Yap, hanya bertukar nomor saja.

Ia sudah memiliki seseorang di hatinya, meskipun rasa itu sedikit kabur.

"Ah, maaf. Aku sudah menikah," kata Gavin meskipun agak tidak yakin. Ia menatap Naya yang tengah sibuk menceritakan banyak hal pada sahabatnya melalui benda pipih yang ia pegang.

Pelayan itu terkejut. Ia kira mereka adalah kakak dan adik atau sekedar sahabat, karena terakhir kemari mereka sempat gaduh seperti anak kecil.

"A-ah, begitu. Maaf sudah membuat Anda tidak nyaman," pelayan itu membungkuk dan segera berlalu dari meja Gavin dan Naya.

'Menikah...ya?'

Gavin bergumam dalam hati sembari memandangi Naya. Ia tak percaya ia akan menikah secepat ini. Terlebih pertemuan mereka berdua tidaklah lazim.

Meskipun kontrak tapi Gavin dan Naya menikah seperti orang pada umumnya, saling mengucap sumpah dan janji di hadapan seorang penghulu. Itu semua agar mereka terlihat natural serta mendapat berkas yang menunjukkan bukti bahwa mereka benar-benar menikah. Hanya saja mereka tidak menggelar resepsi. Laki-laki itu menghela napasnya lagi, tak menyangka bahwa dirinya akan sejauh ini untuk tetap tinggal di rumah itu dan satu hal lagi yang menjadi privasinya.

"Iyaa jadi begitulah ceritanya. Apa kakakku benar-benar tidak memberi tahu kalian kemana aku pindah?" Tanya Naya setelah bercerita panjang lebar kepada dua sahabatnya mengenai apa yang ia alami.

"Huh, jangan harap! Ia bahkan mengabaikan telepon dan kunjungan kami. Mengatakan bahwa ia sedang sibuk ini lah, sibuk itu lah." Ujar Sela menggebu marah. Anin terlihat mengangguk dengan sebal.

"Dia benar-benar melakukan itu? Awas saja nanti kalau sudah bisa dihubungi. Kelihatannya ia juga sedang menghindariku," kata Naya tak kalah sebal.

"Memangnya dengan siapa kau akan di jodohkan? Sampai-sampai kau harus melarikan diri seperti ini. Jangan bilang karena Gerald kau jadi menolak?!" Anin menatap penuh selidik pada Naya. Pasalnya Naya sudah memiliki tekad bahwa kekasihnya di masa depan nanti pastilah Gerald dalam mimpinya sedari mereka bertiga duduk di bangku SMA, dan itu membuat khawatir para sahabatnya.

"Ah, ya, kalian tahu." Ujar Naya ragu. Pasti sebentar lagi Sela akan mengomel panjang lebar.

"Naya, lupakan soal Gerald. Dia tidak nyata, T-I-D-A-K. Umurmu sudah menginjak kepala dua cukup lama, kenapa masih berfantasi? Kalau begini bukannya Gerald yang akan datang, malah kau yang akan menjomblo seumur hidup,"

Benar kan apa yang Naya pikirkan. Sela mengomel. Hey, tapi faktanya ia tidak menjomblo sekarang.

"Iya, aku tahu teman-teman, tapi entah mengapa ia sangat penting bagiku. Pernah kuceritakan bahwa hidupku ini seperti puzzle yang kehilangan kepingannya setelah aku bertemu dengannya? Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku, dan itu rasanya mengganjal. Semua tindakannya di mimpi berulang kali membuatku merasa de javu. Aku merasa bahwa kehadiran Gerald untuk menjawab sesuatu,"

"Iya, tapi nyatanya sampai sekarang kau tidak menemukan kepingan puzzle itu, Nay. Ia sering berada dalam mimpimu karena ia adalah bagian fantasi dalam otak mu. De javu yang kau rasakan timbul karena kau semakin meyakini kehadirannya sebagai suatu jawaban akan pertanyaan yang tak pernah ada." Kata Sela. Ia ingin mencubiti pipi Naya karena sangat gemas dengan sahabatnya yang bebal bukan main ini.

"Kurasa hidupmu menjadi seperti puzzle karena Gerald. Coba hilangkan dia dari keseharianmu, aku jamin kau tidak akan merasa seperti puzzle lagi" tambah Anin.

'Maaf teman-teman tapi tidak bisa,' Batin Naya, tapi ia mengucapkan hal yang berbeda pada kedua sahabatnya itu. "Baiklah, akan kucoba."

"Bagus. Sekarang siapa nama orang yang akan di jodohkan denganmu itu?"

"Entah, aku lupa namanya. Ehm, Kino, Kiel, Kano? Aku lupa namanya karena seseorang dengan lancangnya memblokir nomor ponselnya," kata Naya sembari melirik tajam Gavin yang menyantap red velvet cake nya.

"Seseorang siapa? Coba ingat-ingat lagi,"

"Ah! Maksudnya aku yang memblokir, ya, bukan seseroang. Hmmm, siapa ya...Oh! Iya, namanya Kian. Apa kalian kenal orang itu?"

"APA?!"

Anin dan Sela memekik bersama ketika mendengar nama yang terucap dari bibir Naya. Gavin melirik ke arah Naya karena ia mendengar nama seseorang yang sempat terhubung dengannya lima hari lalu melalui ponsel Naya. Sementara gadis itu bingung mengapa kedua sahabatnya seheboh itu.

Memang ada apa dengan laki-laki bernama Kian ini?

***

~TBC~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status