"Tiba-tiba cinta datang kepadaku... Saat ku mulai mencari cinta...."
Pagi-pagi aku dibangunkan oleh lagu jatuh cinta dari ponselku, bukan suara alarmku yang biasanya. Masih sedikit mengantuk aku mencari ponselku dan mematikan suara pengingat itu. Santi pasti yang telah diam-diam memasangnya. Nggak jelas! Mentang-mentang lagi kesemsem sama seseorang.
Aku bangun, dan bersiap untuk mandi.
"Ibuuu...," panggilku manja, sambil berjalan ke arah dapur. "Masak apa hari ini?"
"Masak aer...."
"Hah!" Aku mencibir dan ngeloyor ke kamar mandi. Ibuku memang nyentrik. Kalimat candaannya hanya itu-itu saja.
Ibuku adalah ibu terbaik di dunia. Namanya Reni Darmanto. Aku anak tunggal. Bapak meninggal waktu masih SMP. Kala itu bisnis Bapak sedang berjalan bagus, kemudian Bapak menjalin kerja sama dengan orang baru, orang kaya dari luar kota. Proyek besar katanya. Tapi kenyataannya ia malah menipu Bapak.
Hati Bapak terlalu lembut. Si penipu kabur tanpa jejak, lalu usaha Bapak menjadi bangkrut karena banyak hutang yang harus dilunasi. Padahal Bapak sudah susah payah merintis usaha itu. Peristiwa itu benar-benar membuatnya terpukul, sampai-sampai ia depresi, terkena serangan jantung dan meninggal.
Ibu harus menjadi tulang punggung keluarga. Berbeda dengan Bapak yang hatinya mudah rapuh, Ibu orang yang berhati kuat.
Beruntung Ibu punya keterampilan menjahit, jadi ia mulai membuka usaha jahitan untuk baju wanita dan anak-anak. Karena tidak mungkin Ibu menyuruhku bekerja jadi pembantu rumahtangga di rumah orang kaya, nanti malah dikira eksploitasi anak.
Awalnya orang-orang menjahitkan baju karena merasa kasihan. Tapi setelah melihat hasil pekerjaan Ibu yang rapi, dan baju yang nyaman dikenakan, lama-lama orang mulai berlangganan menjahit baju di tempat Ibu. Dari situlah Ibu mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, juga biaya sekolahku. Hasilnya lumayan, walau kami masih harus berhemat karena biaya sekolah yang cukup besar. Tapi kami bersyukur tidak perlu mengemis pada orang lain.
Sekarang aku sudah lulus kuliah, dan sudah bekerja, namun Ibu masih menjahit. Katanya biar nggak bengong saja di rumah.
Buru-buru aku menyelesaikan acara mandiku, dan segera sarapan. Kami biasa sarapan bersama sambil menikmati obrolan ringan.
"Masakan Ibu memang terbaik," pujiku sambil mengunyah sarapan sederhana masakan Ibu yang selalu cocok dengan lidahku.
"Ya dong, Ibu gitu loh! Memangnya kamu, masak mie instan saja keasinan."
"Lah, salah Ibu sendiri. Kenapa cuma menurunkan kecantikan dan kecerdasan otak padaku? Kenapa nggak menurunkan keterampilan memasak juga? Harusnya aku sudah jago masak dari jaman TK," tuduhku membela diri.
"Bukan dari lahir, Rin?"
"Sejak dalam kandungan, Bu." Ibu tersenyum-senyum mendengar perkataanku.
"Jahitan masih banyak, Bu?" tanyaku sambil menyelesaikan sarapan.
"Enggak. Sudah Ibu kurangi, biar nggak terlalu capek."
"Baguslah! Jaga kesehatan, Bu. Jangan kecapekan, nanti sakit. Kalau Ibu sakit, terus mati, enggak ada lagi loh yang marah-marahin aku," omelku meniru gaya Ibu kalau lagi menasehati aku. Kami memang sudah seperti teman saja kalau sedang ngobrol santai gini.
"Tenang saja, Rin. Sampai nanti kamu nikah, punya anak sepuluh, Ibu masih akan hidup, dan jadi Ibu serta nenek yang galak."
"Idih, sepuluh? Kucing tetangga bisa merasa tersaingi karena jumlah anaknya kalah banyak," protesku.
"Nggak mau sepuluh? Ya sudah sekalian sebelas, biar jadi tim sepakbola."
"Selusin sekalian, Bu," tambahku. Kami tertawa bersama.
"Sudah, buruan. Ngomong terus, telat kamu nanti," gerutu Ibu mulai galak. "Tinggalkan saja piringnya di situ nanti Ibu yang cuci."
"Makasih, ibuku yang bawel. Sayang Ibu," ucapku sambil membentuk tanda cinta yang besar dengan kedua lengan di atas kepalaku. Aku pun segera bersiap-siap untuk bekerja.
"Hati-hati ya, Nak. Nggak usah ngebut," pesan Ibu.
"Dadah, Ibu," ujarku sambil melambaikan tangan saat aku sudah berada di atas motorku dan bergegas pergi ke kantor. Tidak terlalu jauh letaknya, paling naik motor santai 15 menit sudah sampai.
***
Saat sampai di tempat parkir aku melihat ada sepeda motor yang bukan milik teman kerjaku. Masih baru tampaknya. Apakah ada tamu sepagi ini? Aku mengangkat bahu, dan bergegas menuju kantor, sambil bersenandung. Malangnya kakiku, ada batu nakal yang menghambat langkahnya
"Aduh, Batu. Kamu nakal ya." Aku memarahi batu tidak berdosa itu. Lalu kembali aku lanjutkan nyanyianku sambil melangkah menuju kantor.
Begitu masuk aku langsung menyapa teman-temanku, "Pagi, Mbak Rere, Bang Ucok, Cici, Mas Fajar. Santi belum datang ya?"
"Pagi, Arin."
"Pagi," ucap mereka membalas salamku.
"Pagi juga. Santi belum datang, Rin. Nggak tahu tuh, sarapan enak kayaknya jadi lama," keluh Bang Ucok.
"Oh, bisa jadi, Bang. Habisnya kalau lagi dapat makanan enak, bisa nambah sampai lima piring."
Mas Iwan juga masuk ruangan, "Pagi, semua. Pagi, Arin. Makin cantik aja." Cici mencebik mendengar kalimat itu. Mas Iwan memang sedikit ganjen sama aku. Kata Santi Mas Iwan naksir aku, tapi aku cuek saja, karena dia cuma berani menggoda, nggak ada seriusnya.
"Ya dong, Mas Iwan. Aku cantik cantik dari dahulu...," candaku seraya menyanyikan lagu Beautiful milik Cherrybelle dengan sedikit modifikasi. "Cici juga makin cantik deh. Ya kan, Mas Iwan?"
Mas Iwan hanya bisa tertawa tidak ikhlas, sedangkan Cici kembali menyonyong, namun kelihatan jelas kalau dia senang.
"Pagi, semua. Maaf terlambat, eh belum ding ya, hehe," sapa Santi yang baru masuk ruangan beberapa menit kemudian.
"Selamat pagi, Kanjeng Ratu," balasku dengan nada manis sambil mengangkat ponsel di tanganku. "Pagi ini saya mendengar angin berbisik, ada yang tiba-tiba ketiban cinta nih."
"Hehehe...."
Dia hanya tertawa tersipu. Aku sudah hampir memulai interogasi ketika terdengar suara Ibu Bos.
"Pagi, anak-anak. Apa kabar kalian semua? Sehat kan?" sapa Ibu Bos kami dengan begitu ceria. Ibu Bos kami sungguh bos paling ramah sedunia.
"Pagi, Bu."
"Sehat, Bu."
"Pagi juga, Ibu Bos."
"Kabar baik, Bu. Ibu sehat juga kan?"
Jawaban kami enggak kompak, kayak paduan suara kurang latihan.
"Hehehe... Senangnya lihat anak-anak yang semangat bekerja seperti kalian ini. Terus semangat, ya. Nah supaya kalian tambah semangat, saya kasih kalian satu teman baru. An, sini, Nak," ucap Bu Bos memanggil seseorang.
Seorang pria muda berbadan tegap, dan berwajah tampan memasuki ruangan ini. Penampilannya rapi dengan kemeja warna biru muda, dan celana hitam. Sepatunya tampak mengkilap. Dasi batik warna biru tua membuat penampilannya semakin necis.
"Wooow...," suara kagum keluar dari mulut Cici dan Santi.
"Rin, ini yang namanya tiba-tiba cinta datang. Ya ampun gantengnya...," kata Santi.
"Namanya juga cowok, San. Ya ganteng lah, masa cantik?" timpalku acuh tak acuh, padahal dalam hati mengakui kalau pria itu memang tampan.
"Anak-anak, ini Andre ya. Pegawai baru kita. Karena dia masih baru tolong dibantu ya. Jadi apa prok prok prok. Hehehe... Dan ingat jangan galak-galak sama dia," pesan Bu Bos dengan gaya Pak Tarno.
"Dia ini fotografer. Tapi untuk saat ini selain urusan foto, dia akan bantu apa saja, mulai dari komputer, benerin mesin, marketing, bahkan sampai cuci piring dan nyapu lantai."
Teman-teman tertawa kecil mendengar guyonan Bu Bos. Sedangkan orang yang sedang dibicarakan masih menunjukkan senyum mahal, sikap cool, dan tatapan penuh percaya diri.
"Mari, Andre. Saya perkenalkan dengan teman-teman baru kamu." Bu Bos mengajak pegawai baru itu berkenalan dengan kami satu per satu. Mulai dari Mas Fajar, Bang Ucok, Mas Iwan, bahkan Pak Paino yang jadi petugas bersih-bersih juga ikutan nimbrung.
Cici dan Santi kelihatan banget terpesona dengan ketampanan Andre, bahkan Mbak Rere pun tampak terpukau, walau dia menjaga sikap karena dia sudah menikah.
Saat mereka tiba di hadapanku, aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Dalam hati aku bernyanyi 'Kamulah makhluk Tuhan yang tercipta yang paling seksi'. Tapi ya itu dalam hati saja, nggak lucu kalau aku nyanyikan beneran.
"Andre," ia menjabat tanganku sambil memperkenalkan diri.
"Arina," ujarku membalas jabatan tangannya. Tangannya terasa kokoh dan hangat. Aku mencoba menatap matanya, hal yang Ibu ajarkan padaku kalau berkenalan dengan orang. Ia juga balas menatap mataku, lalu sesaat kemudian aku melihat dia menaikkan satu sudut bibirnya.
Eh? Apa maksudnya itu? Mencemooh? Ngajak main-main? Baru kenal juga.
"Oke, meja kerja Andre di sini ya, di dekat pintu. Selamat bekerja, anak-anak. Semangat!" pesan Bu Bos sebelum kembali ke ruangannya.
"Ya, Bu."
"Terima kasih, Bu."
"Oke, Bos!"
Jawaban kami tidak kompak lagi. Kami pun kembali ke meja kerja masing-masing. Kulihat Cici masih terkagum-kagum memandang pegawai baru itu dari jauh. Mungkin kalau jadi kartun, di mata sudah muncul love love gitu.
"Ganteng banget...," kicau Santi lagi dengan suara pelan sambil senyum-senyum sendiri.
"Kanjeng Ratu, jangan lupa daratan. Abang Ucok mengawasimu," bisikku menggoda Santi.
Dia memandangku cemberut dan segera terdiam. Aku tertawa kecil. Kena kau, San.
Kami bersiap untuk bekerja. Lalu aku melihat ada pesan masuk di ponselku. Pesan dari Bu Bos yang terhormat.
Arin, tolong ke ruangan saya sebentar ya. Sekarang.
"San, aku dipanggil Bu Bos nih. Keluar dulu ya," ujarku pada teman kerjaku yang mejanya ada di sebelahku itu.
"Wah, tumben. Ada apa ini? Jangan-jangan gajimu mau dipotong, Rin. Atau malah dikasih bonus. Atau mau dikasih pacar. Hehehe."
"Duh, yang omongannya pacar melulu. Sudah aku ke ruangan Big Boss dulu ya."
Berhubung meja kerja pegawai baru kami berada di dekat pintu, aku terpaksa harus melewatinya. Dia terlihat masih sibuk menata meja kerjanya.
Saat aku sudah hampir mendekat, dia melihat ke arahku. Ah, wajahnya memang nggak kalah ganteng dari oppa-oppa Korea yang aku lihat di drama. Lebih menarik malahan, karena dia terlihat lebih maskulin.
Aku memberanikan diri menatap dia lagi, lalu ketika aku sudah tepat di depannya, dan dia juga masih melihatku, aku menaikkan satu sudut bibirku. Aku membalas apa yang dia lakukan tadi. Dia tampak sedikit kaget namun hanya diam.
Saat aku sudah berada di luar ruangan, aku tak kuasa menahan geli. '1:1, Andre,' aku tertawa dalam hati.
Ini novel pertama saya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan. Novel ini akan menggunakan POV orang pertama (Arin), namun ada beberapa yg saya tulis dengan POV Andre supaya ada gambaran lebih jelas tentang hal yg mungkin tidak Arin ketahui. Selamat membaca, semoga suka. Terima kasih.
[Andre POV] Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di sini. Kantor Tante Dana, kakak perempuan Papa. Kantor kecil yang bergerak di bidang desain grafis, periklanan dan saudara-saudaranya. Namanya Famili Advertising. Kenapa bukan family seperti layaknya tertulis dalam bahasa Inggris? Kata Tante biar lebih terkesan lokal, padahal di belakangnya jelas-jelas ada kata dalam bahasa Inggris, 'Advertising'. Namanya famili karena Tante pingin dia dan para pegawainya di sini bisa akrab seperti keluarga. Maklum dia tinggal sendiri, setelah Om Hari meninggal tujuh tahun lalu dan semua sepupuku sudah berkeluarga dan tinggal di tempat lain. Papa menawariku untuk kerja di perusahaannya, tapi aku tolak. Sejak dari awal kuliah aku jelaskan kalau aku ingin belajar bekerja dari nol. Ingin belajar mengelola bisnis sendiri. Perusahaan papa terlalu besar, dan aku nggak mau nanti dikira nepotisme. Lain halnya denga
[Andre POV] Hari pertama aku bekerja di sini cukup menyenangkan. Satu pegawai yang namanya Fajar fokus membantu aku mengenal pekerjaan macam apa yang dilakukan di kantor ini. Dia orang kepercayaan Tante Dana. Orangnya ramah, dan sabar, kelihatan banget bisa diandalkan. Dia satu-satunya karyawan pria yang sudah menikah di kantor ini, selain Pak Paino yang kerja jadi OB. Istri Mas Fajar juga bekerja di sini, Mbak Rere yang jadi resepsionis. Sejauh ini kesan yang aku peroleh dari karyawan di sini baik. Hanya ada sedikit yang membuatku kurang nyaman. Hal ini sudah biasa aku alami, tapi tetap saja tidak senang. Pegawai wanita yang bernama Cici terlalu ramah. Benar-benar seperti dalam drama. Begitu sesi perkenalan selesai, dia langsung berkaca, benahi dandanannya, pakai parfum. Ckckck Setiap ada kesempatan selalu mengajak ku ngobrol. Atau sekadar curi-curi pandang sambil senyum-senyum sendiri. Dia
[Andre POV] Astaga! Gadis satu ini menggemaskan sekali. Kepanikannya, niatnya untuk menyelesaikan masalah, dan rasa malu yang datang setelah sadar apa yang sudah dia lakukan. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku lakukan dalam hati saja. Aku sebenarnya sudah berniat mengatakan, tidak masalah, masih banyak baju di rumah, toh aku juga salah tadi berdiri terlalu dekat dengan dia, tapi entah kenapa aku justru ingin menggodanya. Jadi aku tetap menyerahkan kemeja kotorku agar dicuci olehnya. "Baik, Tuan Muda. Nanti saya cuci bersih, saya beri pewangi pakaian satu botol," katanya sambil tersenyum sangat manis, tapi dalam hitungan detik senyumnya hilang dan berubah menjadi tatapan penuh permusuhan. Aku tetap memasang tampang cool, padahal dalam hati ingin tertawa menang. Ingin rasanya ku cubit pipinya yang menggemaskan itu, atau ku acak-acak rambut di kepalanya. "Sudah sudah, ayo
[Arina POV] "Ibuuuu, aku pulang." "Ya, Rin. Bawa apa itu?" "Ini tadi Bu Bos ngadain acara makan bareng, masih ada sedikit sisa lauk sama sayur, lalu dibagi-bagi dengan teman-teman yang lain" ujarku sambil menyerahkan makanan dari Bu Bos. Sebelum pulang tadi dia memberi kami sayur dan lauk dari acara makan siang, katanya sayang kalau dibuang, masih banyak pula, dia sendiri tidak mungkin menghabiskannya. Lumayan lah buat dimakan di rumah. Ibu membuka bungkusan makanan itu. "Wah, ini sih bukan sedikit. Bu Bos kamu memang murah hati. Terus itu apa?" Ibu melihat tas plastik berisi kemeja milik Andre di tanganku. "Baju, Bu. Kotor. Mesti dicuci." "Loh, bukan bajumu kan? Kok kamu yang cuci?" Baiklah, sesi interogasi dari Ibu Jaksa Agung yang terhormat segera dimulai. Aku menghela napas, lantas menjawab," Tadi
[Andre POV]Hari kedua bekerja aku masih dilatih oleh Mas Fajar. Katanya hari ini kami masih akan bekerja di luar kantor. Tante Dana memang sudah memberi instruksi ke Mas Fajar untuk mengajari aku semua hal yang berhubungan dengan bisnis ini. Jadi Mas Fajar mau mengkhususkan waktu di awal masa kerjaku untuk punya gambaran lengkap terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa terjun membantu proyek permintaan klien.Hmm... hari ini nggak bakal ketemu Si Ranger Kuning. Entah kenapa baru kenal sehari, tapi namanya seolah sudah masuk ke dalam kamus hidupku. Arina, Ranger Kuning, Sherina. Dia membuat aku penasaran. Aku seperti menemukan hobi baru: hobi menggodanya. Aneh memang.Jadi hari ini aku nggak bisa ketemu Arina. Aduh, kenapa itu terus yang aku pikirkan? Fokus, Andre! Kerja kerja!Aku pergi ke kantor lebih awal, karena Mas Fajar bilang kami ketemu di kantor, langsung berangkat jam 7:30 pagi. Dalam hati a
[Arina POV]Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria."Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini."Pagi, Cici," kataku."Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia.""Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik."Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa ria
[Andre POV]"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi.""Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja."Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap
[Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa