[Andre POV]
Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di sini. Kantor Tante Dana, kakak perempuan Papa. Kantor kecil yang bergerak di bidang desain grafis, periklanan dan saudara-saudaranya.
Namanya Famili Advertising. Kenapa bukan family seperti layaknya tertulis dalam bahasa Inggris? Kata Tante biar lebih terkesan lokal, padahal di belakangnya jelas-jelas ada kata dalam bahasa Inggris, 'Advertising'. Namanya famili karena Tante pingin dia dan para pegawainya di sini bisa akrab seperti keluarga. Maklum dia tinggal sendiri, setelah Om Hari meninggal tujuh tahun lalu dan semua sepupuku sudah berkeluarga dan tinggal di tempat lain.
Papa menawariku untuk kerja di perusahaannya, tapi aku tolak. Sejak dari awal kuliah aku jelaskan kalau aku ingin belajar bekerja dari nol. Ingin belajar mengelola bisnis sendiri. Perusahaan papa terlalu besar, dan aku nggak mau nanti dikira nepotisme.
Lain halnya dengan kantor Tante. Katanya jumlah karyawan nggak sampai sepuluh orang. Aku bisa belajar beberapa keahlian baru di sini, walaupun sebenarnya aku sudah ahli di bidang komputer dan fotografi. Dan semoga aku lebih mudah akrab dengan mereka karena jumlah mereka sedikit.
Kemarin Tante bilang supaya aku datang agak pagi, karena aku akan dikenalkan dengan karyawan-karyawan yang lain terlebih dahulu.
Aku masih menunggu Tante yang sibuk di dalam. Meskipun sudah tua, dia tetaplah perempuan. Dandannya lama. Jadi aku duduk-duduk saja sambil bengong.
Dari arah luar aku dengar suara sepeda motor masuk area parkir. Kantor Tante ini memang praktis. Karena pekarangan luas, ia membangun kantor di depan rumah. Bahkan setelah bangunan kantor jadi, masih ada lahan untuk halaman dan taman kecil. Jadi rumah dan kantor masih satu area. Kantor Tante lima langkah dari rumah.
Dari sini aku bisa melihat ke parkiran. Tampak seorang cewek turun dari sepeda motor bebek. Yang menarik helmnya berwarna kuning terang, jaketnya pun berwarna kuning gading. Mungkin dia sebenarnya ingin jadi Ranger Kuning, tapi Power Ranger tidak membuka lowongan.
Aku lihat dia membuka helm. Mukanya tampak ramah. Sesaat dia memperhatikan motorku. Mungkin heran ada kendaraan baru di parkiran. Tidak ada yang terlalu istimewa dari dia, yang menarik perhatianku, hingga saat dia mulai meninggalkan tempat parkir menuju kantor.
Dia berjalan santai. Namun tiba-tiba bergerak seolah akan menari, lalu dia mulai bernyanyi "betapa bahagianya... punya banyak teman, betapa senangnya", begitu dendangnya seolah dia sedang main opera.
Lalu tiba-tiba kakinya tersandung, dan nyanyiannya terhenti. Aku ikut kaget. Untung dia tidak jatuh. Aku melihat dia bicara sendiri. Orang aneh! Tapi seolah tidak terjadi apa-apa dia kembali menyanyi "betapa bahagianya..." tapi tidak lagi sambil menari.
Aku merasa geli sendiri melihatnya. Hari-hariku di sini bakalan seru kalau ada karyawan yang seperti ini. Aku masih terkekeh sendiri selama beberapa waktu karena ingat tingkahnya. Bukan Petualangan Sherina ini namanya, tapi Sherina Tersandung Batu.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Tante masuk ke ruang tamu ini.
"Oke, Aan. Sudah siap?" tanyanya.
"Saya sudah siap dari tadi Tante, nungguin Tante dandan lama, kayak anak gadis saja," gurauku.
Tante Dana tergelak. "Maklum lah, mau mengenalkan keponakan yang ganteng ke orang-orang. Tante harus cantik juga dong," kilahnya.
"Tante dari dulu sudah cantik, sampai sekarang masih cantik, nggak usah khawatir," godaku.
Ia kembali tertawa. Tante Dana memang saudara Papa yang paling ramah dan mudah didekati.
"Sudah ayo, kita ke kantor. Kamu nggak usah khawatir ya, anak-anak Tante yang di kantor baik-baik kok. Mereka pasti menerima kamu dengan baik. Kamu juga tolong kerja sama yang baik dengan mereka ya," pesan Tante.
"Beres, Bos," jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berjalan bersama menuju kantor.
Ruangan kantornya hanya satu, dipakai bersama-sama, selain ruang tamu dan tempat resepsionis yang juga terbuka. Setiap karyawan mendapatkan meja dan kursi masing-masing, dengan sekat yang rendah, sehingga mereka bisa tetap saling melihat. Kata tante tidak ada rahasia dalam satu keluarga, dan setiap anggota keluarga bisa saling membantu. Pintunya ada dua. Satu pintu utama di ruang tamu, dan satu pintu di pinggir.
Meskipun demikian kantornya sangat memadai. Setiap karyawan bisa menggunakan satu laptop atau komputer untuk mengerjakan pekerjaan mereka. Juga ada satu mesin cetak digital di ruangan khusus di dekat pantry. Kalau pesanan banyak atau butuh mencetak dalam jumlah besar, biasanya ada kerjasama dengan percetakan langganan, supaya lebih cepat. Telepon, fax, dan wifi jelas ada, juga satu mesin fotocopy.
Hanya saja ada satu pertanyaan yang mengganjal sewaktu aku mendengar tentang mesin fax tersebut. Di zaman yang serba digital seperti sekarang ini, apakah fax masih digunakan di kantor ini? Kirim dokumen saja sekarang bisa pakai surel, nggak perlu ribet dan nggak pakai lama.
Nah, rupanya mesin fax ini memang sudah tidak pernah dipakai. Tante masih menaruhnya di kantor dengan alasan nostalgia. Dulu Tante Dana dan Om Hari bisa berkenalan karena mereka bekerja di kantor yang sama
Nostalgila ini namanya, Tante. Tepuk jidat! Untung saja telepon di mesin fax-nya masih bisa difungsikan, setidaknya nggak malu-maluin banget.
Dan kini akhirnya aku berkenalan dengan karyawan Famili Advertising. Sewaktu aku masuk aku melihat mereka satu per satu. Oh, itu dia. Aku hampir lupa kalau ada 'Sherina'.
Lalu Tante mengenalkanku dengan para karyawan satu persatu. Aku harap aku bisa mengingat nama mereka, karena saat ini yang aku inginkan segera berkenalan dengan Sherina KW.
Setelah harus bersabar, berkenalan dengan dua wanita yang tampak sekali kesemsem padaku, akhirnya aku berkenalan dengan dia.
"Andre." Kami berjabat tangan. Tangannya kecil namun kuat.
"Arina," ia pun menyebutkan namanya sambil menatap mataku. Jadi namanya Arina, kebetulan sekali nama itu punya unsur 'rina' sama dengan nama Sherina. Benar-benar Sherina KW. Lalu aku teringat dengan kelakuannya tadi, secara tidak sengaja aku menarik satu sudut bibirku ke atas. Cewek lucu, pikirku. Dia tampak sedikit kaget namun tidak berkata apa-apa.
Tante memberiku meja kerja di dekat pintu kedua. Segera aku menata barang-barang ku yang sebenarnya tidak begitu banyak, sambil berpikir susunan yang bagus untuk menaruhnya.
Ketika aku masih sibuk aku melihat Sherina KW sedang berjalan ke arahku. Mungkin dia mau keluar ruangan. Lalu ketika dia sudah dekat tiba-tiba ia menarik satu sudut bibirnya ke atas sambil memandangku seolah-olah bilang 'Aku juga bisa'.
Aku hanya bisa terbengong. Wow! Gadis ini memang tampaknya berbeda dari yang lain. Kalau dua teman wanitanya tadi tampak terpesona padaku, Si Sherina terlihat biasa saja.
Biasanya cewek-cewek kalau melihatku akan tersenyum berusaha terlihat manis, malu-malu, tapi dia malah cuek, bahkan menunjukkan senyum menantang. Yang seperti ini jarang aku temui.
Aku masih melihatnya berlalu, dan beberapa saat kemudian aku melihat dia terkekeh sendiri. Dia masih sempat menengok ke arahku lagi, dan tampak sedikit kaget karena tahu aku melihatnya. Tapi dia tetap melanjutkan tawa kecilnya.
Saat itulah aku baru menyadari bahwa gadis ini sebenarnya punya wajah yang menarik, senyumnya manis, dan tingkahnya sangat kocak. Dari cara dia menirukan hal yang aku lakukan, aku bisa melihat kalau dia cerdas. Kehadirannya di kantor ini akan membuat hari-hariku berbeda. Aku merasakan suatu kehangatan menyusupi hatiku.
***
[Arina POV]
Setelah merasa puas karena telah berhasil membalas cemoohan si makhluk Tuhan paling nyebelin (iya syairnya sudah aku ganti), aku melenggang ke ruangan Bu Bos.
"Permisi, Bu Bosku yang paling cantik, baik hati dan tidak sombong," sapaku saat hendak bertemu Big Boss.
Yang dipanggil tertawa sumringah.
"Ada apa, Bu, memanggil saya?"
"Duduklah, Rin. Kerjaan lancar kan?" tanyanya penuh perhatian.
"Lancar, Bu. Makasih lo sudah ditanyain."
"Gimana dengan penawaran buku tahunan untuk sekolah-sekolah?"
"Sudah dikirimkan, Bu. Tinggal tunggu respons saja."
"Bagus, bagus! Kamu memang bisa diandalkan, pekerja Ibu yang rajin. Semangat ya", pesan Bu Bos padaku. Aku pun tersenyum dan mengangguk dengan yakin. Lalu kami sedikit melanjutkan pembicaraan tentang urusan kantor dan pekerjaan kami. Bu Bos memang perhatian.
Setelah beberapa saat, Bu Bos bertanya lagi dengan nada sedikit pelan, "Ngomong-ngomong, menurut kamu Andre bagaimana?"
"Ha? Eh, maaf. Apa, Bu?" Pertanyaannya membuatku kaget. Sungguh tak ku sangka pembicaraan kami akan berujung di sini.
"Dia ganteng kan? Anaknya baik loh. Dia rajin, mandiri dan bertanggung jawab. Ibu kan paling suka sama kamu, jadi kalau kamu sama Andre, saya setuju saja. Saya sudah kenal kamu sekian lama. Feeling saya sih bilang kalau kalian bisa cocok. Hehehe," sambungnya sambil tersenyum simpul.
"Kok Ibu bisa tahu kalau dia anak yang baik?" tanyaku menyelidik.
"Andre itu keponakan saya, jadi saya tahu dia dari kecil. Hehe, tapi ini bukan nepotisme lo ya. Saya terima dia kerja di sini karena memang punya keahlian," akunya.
Astaga! Ternyata! Andre adalah keponakan Bu Dana.
"Iya, saya percaya Ibu mampu pilih karyawan yang baik. Tapi soal Andre secara pribadi, saya no comment saja. Kan baru kenal. Hehehe," kelitku.
"Gak apa-apa, nanti kan kalau sudah kenal bisa akrab. Ya kan? Dimulai dari tidak kenal, lalu kenal, lalu akrab, lalu... Hehehe. Ya sudah kamu balik kerja sana. Tolong jaga Andre ya," dia berpesan lagi. Eh, emang si Andre bocah mesti dijagain?
"Permisi, Bu. Terima kasih," hanya itu yang bisa aku ucapkan sebelum berlalu dari hadapannya.
Aku tidak paham sepenuhnya maksud Bu Bos. Andre saja begitu cuek, malahan sikapnya padaku nyebelin banget, padahal baru kenal. Apakah Bu Bos ngefans berat sama aku ya, sampai ingin aku jadian sama keponakannya? Hahaha
Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Kami juga baru kenal. Paling ini keinginan Bu Bos sendiri.
[Andre POV] Hari pertama aku bekerja di sini cukup menyenangkan. Satu pegawai yang namanya Fajar fokus membantu aku mengenal pekerjaan macam apa yang dilakukan di kantor ini. Dia orang kepercayaan Tante Dana. Orangnya ramah, dan sabar, kelihatan banget bisa diandalkan. Dia satu-satunya karyawan pria yang sudah menikah di kantor ini, selain Pak Paino yang kerja jadi OB. Istri Mas Fajar juga bekerja di sini, Mbak Rere yang jadi resepsionis. Sejauh ini kesan yang aku peroleh dari karyawan di sini baik. Hanya ada sedikit yang membuatku kurang nyaman. Hal ini sudah biasa aku alami, tapi tetap saja tidak senang. Pegawai wanita yang bernama Cici terlalu ramah. Benar-benar seperti dalam drama. Begitu sesi perkenalan selesai, dia langsung berkaca, benahi dandanannya, pakai parfum. Ckckck Setiap ada kesempatan selalu mengajak ku ngobrol. Atau sekadar curi-curi pandang sambil senyum-senyum sendiri. Dia
[Andre POV] Astaga! Gadis satu ini menggemaskan sekali. Kepanikannya, niatnya untuk menyelesaikan masalah, dan rasa malu yang datang setelah sadar apa yang sudah dia lakukan. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku lakukan dalam hati saja. Aku sebenarnya sudah berniat mengatakan, tidak masalah, masih banyak baju di rumah, toh aku juga salah tadi berdiri terlalu dekat dengan dia, tapi entah kenapa aku justru ingin menggodanya. Jadi aku tetap menyerahkan kemeja kotorku agar dicuci olehnya. "Baik, Tuan Muda. Nanti saya cuci bersih, saya beri pewangi pakaian satu botol," katanya sambil tersenyum sangat manis, tapi dalam hitungan detik senyumnya hilang dan berubah menjadi tatapan penuh permusuhan. Aku tetap memasang tampang cool, padahal dalam hati ingin tertawa menang. Ingin rasanya ku cubit pipinya yang menggemaskan itu, atau ku acak-acak rambut di kepalanya. "Sudah sudah, ayo
[Arina POV] "Ibuuuu, aku pulang." "Ya, Rin. Bawa apa itu?" "Ini tadi Bu Bos ngadain acara makan bareng, masih ada sedikit sisa lauk sama sayur, lalu dibagi-bagi dengan teman-teman yang lain" ujarku sambil menyerahkan makanan dari Bu Bos. Sebelum pulang tadi dia memberi kami sayur dan lauk dari acara makan siang, katanya sayang kalau dibuang, masih banyak pula, dia sendiri tidak mungkin menghabiskannya. Lumayan lah buat dimakan di rumah. Ibu membuka bungkusan makanan itu. "Wah, ini sih bukan sedikit. Bu Bos kamu memang murah hati. Terus itu apa?" Ibu melihat tas plastik berisi kemeja milik Andre di tanganku. "Baju, Bu. Kotor. Mesti dicuci." "Loh, bukan bajumu kan? Kok kamu yang cuci?" Baiklah, sesi interogasi dari Ibu Jaksa Agung yang terhormat segera dimulai. Aku menghela napas, lantas menjawab," Tadi
[Andre POV]Hari kedua bekerja aku masih dilatih oleh Mas Fajar. Katanya hari ini kami masih akan bekerja di luar kantor. Tante Dana memang sudah memberi instruksi ke Mas Fajar untuk mengajari aku semua hal yang berhubungan dengan bisnis ini. Jadi Mas Fajar mau mengkhususkan waktu di awal masa kerjaku untuk punya gambaran lengkap terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa terjun membantu proyek permintaan klien.Hmm... hari ini nggak bakal ketemu Si Ranger Kuning. Entah kenapa baru kenal sehari, tapi namanya seolah sudah masuk ke dalam kamus hidupku. Arina, Ranger Kuning, Sherina. Dia membuat aku penasaran. Aku seperti menemukan hobi baru: hobi menggodanya. Aneh memang.Jadi hari ini aku nggak bisa ketemu Arina. Aduh, kenapa itu terus yang aku pikirkan? Fokus, Andre! Kerja kerja!Aku pergi ke kantor lebih awal, karena Mas Fajar bilang kami ketemu di kantor, langsung berangkat jam 7:30 pagi. Dalam hati a
[Arina POV]Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria."Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini."Pagi, Cici," kataku."Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia.""Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik."Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa ria
[Andre POV]"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi.""Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja."Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap
[Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter
[Andre POV] Hah! Sial! Hari ini aku harus pergi bersama Cici. Sewaktu Bu Bos meminta Arin untuk pergi bersamaku tadi aku sudah merasa girang dalam hati. Tapi kemudian Cici berkicau, berkata dia yang akan pergi karena dia kenal Kepala Sekolahnya, dan Arin sedang banyak pekerjaan. Sedangkan Arin, dia menurut begitu saja pada kata Cici. Tapi setidaknya besok aku bisa pergi dengan Arin. Tunggu saja, Arin, kamu tidak bisa lari lagi. Dan apa tadi dia bilang? Fruit ninja? Memangnya aku Hatori? Aku kan Naruto. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Guyonannya yang spontan terkesan fresh, walau kadang garing, aku tetap suka mendengarnya. Uhuy! Kami pergi ke tempat parkir dan aku mengambil motorku. Aku pun segera naik dengan ransel tetap berada di punggungku. Cici mengeluh, "Andre, ranselnya jangan digendong gini dong. Aku jadi nggak enak nih, duduk di boncengan nggak nyaman."
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa