Beranda / Romansa / Sketsa Cinta Arina / 5. Penggemar Berat Lee Min Ho

Share

5. Penggemar Berat Lee Min Ho

Penulis: Teha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

[Arina POV]

"Ibuuuu, aku pulang."

"Ya, Rin. Bawa apa itu?"

"Ini tadi Bu Bos ngadain acara makan bareng, masih ada sedikit sisa lauk sama sayur, lalu dibagi-bagi dengan teman-teman yang lain" ujarku sambil menyerahkan makanan dari Bu Bos.

Sebelum pulang tadi dia memberi kami sayur dan lauk dari acara makan siang, katanya sayang kalau dibuang, masih banyak pula, dia sendiri tidak mungkin menghabiskannya. Lumayan lah buat dimakan di rumah.

Ibu membuka bungkusan makanan itu. "Wah, ini sih bukan sedikit. Bu Bos kamu memang murah hati. Terus itu apa?"

Ibu melihat tas plastik berisi kemeja milik Andre di tanganku. "Baju, Bu. Kotor. Mesti dicuci."

"Loh, bukan bajumu kan? Kok kamu yang cuci?"

Baiklah, sesi interogasi dari Ibu Jaksa Agung yang terhormat segera dimulai. Aku menghela napas, lantas menjawab," Tadi aku yang bikin kotor, ketumpahan rica sama rendang. Jadi aku harus bertanggung jawab, harus nyuciin bajunya. Mahal katanya."

"Oh begitu. Tapi mukamu kayak nggak ikhlas gitu, Rin. Hehe, baju siapa itu memangnya? Iwan?"

"Bukan. Baju karyawan baru di kantor, namanya Andre."

"Oh, namanya Andre. Ganteng nggak orangnya?"

"Ah, Ibu. Kalau ngomongin cowok yang pertama ditanyain ganteng nggak."

"Ya mana tahu dia kayak yang di drama Korea itu, Lee Min Ho. Hehehe."

Biarpun ibuku sudah tua dia gaul juga. Kalau kebanyakan ibu-ibu nonton sinetron azab, atau sinetron ABG, atau Drama India, ibuku sukanya nonton Drama Korea. Mungkin ibu kadang lihat aku nonton drama Korea terus ikut-ikutan.

"Iih, Ibu tahunya cuma Lee Min Ho," gerutuku, kemudian dengan kalem menambahkan, "Kim Nam Joon, Kim Seok Jin, Jeon Jung Kook dong, Bu."

"Siapa pula itu, Rin?" Aku menyeringai. Ibu tidak tahu kalau aku menyebutkan nama anggota Boyband Korea, bukan aktor drama. Ibu bertanya lagi, "Jadi Andre ganteng nggak?"

Nah inilah ibuku, kalau nanya terus belum dapat jawaban nggak akan kelar. Dikejar terus. "Iya, ganteng. Tapi nyebelin, hobinya ngajak berantem."

"Loh, pegawai baru ya, baru kenal sudah ngajakin anak Ibu ribut. Mana orangnya? Sini biar Ibu jadiin menantu saja."

"Ibu norak banget. Belum apa-apa sudah mau dijadiin menantu, nggak nanya dulu orangnya mau apa nggak," protesku. 

"Kamu mau nggak?"

"Bukan aku, Bu, tapi Andre."

"Ya besok Ibu tanyain Andre mau nggak sama kamu. Tapi kamu sendiri mau nggak sama Andre?" tanya ibu menggodaku.

Memang begitu gaya bercanda ibuku. Antara main-main dan berharap. Dahulu sekali kami pernah ngobrol soal mencari pasangan hidup. Aku pernah beberapa kali dekat dengan cowok, tapi nggak ada yang jadi. Entah apa yang membuat mereka mundur. Mungkin ada hal-hal yang mereka cari tapi tidak ditemukan dalam diriku. Mungkin aku kurang cantik, kurang kaya. Atau aku yang pasif, kurang responsif, kurang menggoda.

Kadang aku tidak paham ketika ada cowok naksir aku karena tidak ada kata suka keluar dari mulutnya, dan karena aku tidak punya rasa apapun kepadanya, aku pasif saja. Akhirnya mereka kabur. Aku memang tidak mau main-main dalam urusan cowok. Kalau ada niat mendekati ya harus serius. Kalau sekadar having fun mending nggak usah; mau having fun ya main ke pantai saja atau ke mall.

Sehubungan dengan hal itu Ibu menasehati aku, 'Rin, cowok yang kayak gitu nggak usah dipikirkan. Kamu anak Ibu yang paling cantik. Kamu pintar, mandiri. Kalau cowok itu nggak mau serius sama kamu, nggak usah dipikirin. Masih banyak yang lain.'

Ibuku ini.... Katanya aku anaknya yang paling cantik. Ya iyalah, anaknya cuma aku.

Atau lebih parah lagi Ibu pernah bilang, 'Rin, kamu cari pacar yang gantengnya kayak Lee Min-ho ya. Jangan kurang dari itu.'

Jadi ketika aku bilang kalau karyawan baru di kantor kami ganteng, Ibu langsung agresif, macam ibu dari Band Wali saja yang nyari jodoh buat anaknya

"Tau ah, Bu. Males sama sikapnya, bikin kesel," jawabku pada akhirnya.

"Tumben nih, anakku ini ditanya soal cowok jawabannya nggak tegas. Biasanya langsung bilang iya atau tidak. Memangnya bagaimana sih anaknya? Ayo dong rumpiin sama Ibu," bujuk ibu sambil senyum-senyum.

Aku memang paling nggak bisa nyimpan rahasia sama ibu. Kami sudah terbiasa terbuka, jika ada masalah atau hal penting yang terjadi pasti kami bicarakan bersama. Jadilah aku menceritakan peristiwa hari ini kepada ibuku. Ibu yang biasanya suka berseloroh sewaktu aku bercerita, kali ini tampak serius mendengarkan.

"Oh jadi begitu ceritanya. Kayaknya Nak Andre tertarik sama kamu, Rin," kata ibu setelah mendengar ceritaku.

"Nggaklah, Bu. Palingan dia cuma bercanda, main-main. Lagian dia berondong, Bu."

Ibu tersenyum, lalu bertanya, "Kamu lupa ya, Bapak dulu kan juga berondong. Hihihi."

"Ya ampun! Iya ya, Bu. Aku baru ingat. Eh, tapi kan Ibu sama Bapak cuma beda dua tahun."

"Memangnya kamu sama Andre beda berapa tahun?"

"Nggak tahu, Bu. Nggak nanya, kayak tukang sensus aja. Tadi sih dia ngomong dia baru lulus kuliah, masih kecil kan."

"Yah, siapa tahu maksudnya mau bilang baru lulus kuliah dua tahun lalu. Hehe," kata Ibu mencoba bercanda. Lalu ia melanjutkan, "Kamu sendiri gimana, Rin? Kamu semangat banget ngomongin Andre. Kamu naksir ya?"

"Entahlah, Bu."

"Kalau naksir juga nggak apa-apa. Kan baru naksir, membuat penilaian, apakah dia baik, apakah dia orang yang tepat buat kamu, juga membuat penilaian terhadap perasaan kamu sendiri, apakah kamu benar-benar tertarik sama dia, atau hanya terpesona sesaat. Dan itu butuh waktu untuk menemukan jawabannya."

"Iya, Bu. Aku tahu."

"Tadi waktu Andre menatap kamu, atau memegang tangan kamu, kamu deg-degan nggak? Ada rasa malu nggak?" Ibu kembali menyelidik.

"Eh, iya, Bu. Habis sikapnya bikin keki," jawabku tersipu-sipu.

"Baguslah! Berarti anak Ibu masih normal, bisa deg-degan waktu didekati cowok. Hehe."

"Ah, Ibu...," aku berkata malu-malu.

"Berarti Andre memang istimewa ya, bisa membuat Arin yang cuek jadi tersipu malu," Ibu menggoda lagi. Kemudia dia berkata, "Yah, kamu jalani saja, Rin. Santai saja, kalian kan baru kenal. Mungkin ada rasa tertarik atau penasaran, tapi perasaan yang sesungguhnya diuji oleh waktu. Yang penting kamu bersikap sewajarnya saja. Kalau ada ketertarikan jangan terlalu ditunjukkan. Jangan cepat-cepat memberikan hatimu. Cewek mesti jual mahal. Tapi di pihak lain jangan terlalu menjaga jarak, tetap profesional sebagai rekan kerja. Jangan membuat suasana kerja jadi tidak nyaman. Arin kan anak Ibu yang baik, pasti bisa. Dan jangan lupa kamu berdoa, meminta petunjuk dari Yang Mahakuasa, biar kamu bisa mendapatkan yang terbaik. Apapun yang terjadi, Ibu hanya ingin kamu bahagia."

"Ibu bikin baper saja," ucapku haru sambil memeluk ibu. Ibu selalu bisa menjadi tempat berkeluh kesah, memberi kesejukan di saat hidup terasa gerah. Mungkin kalau aku harus cerita ke orang lain, aku akan sungkan untuk mengakui bahwa yang terjadi hari ini sudah membuat jantungku dag dig dug. Aku khawatir ditertawakan. Tapi dengan ibu, aku bebas mengutarakan apa saja, termasuk hal yang membuat aku malu.

"Ya sudah. Mandi dulu sana, terus makan."

"Ibu makan saja dulu, aku masih belum lapar. Aku mau mandi sama nyuci baju keponakan bos, biar besok bisa aku kembalikan," kataku.

Aku mengeluarkan kemeja Andre dari tas plastik. Aku lihat noda di baju itu, tidak terlalu parah, cukup diolesi sabun dan dibiarkan sebentar, lalu dikucek, dicuci seperti biasa pasti sudah bersih lagi.

Selain noda dari rica ayam dan rendang sapi, bajunya masih cukup bersih. Kalau biasanya bagian kerah baju cenderung kotor, kemeja ini masih bersih. Dan masih tercium aroma parfum pemiliknya. Ah, jadi ingat kejadian tadi siang. Kalau tadi siang kejadian di ruang makan tadi terasa menyebalkan dan memalukan, sekarang semua jadi terasa lucu. Aku tersenyum sendiri.

"Dilihatin terus, senyum-senyum terus. Lama-lama jatuh cinta beneran loh. Atau kamu lagi mengucapkan mantra biar pemilik bajunya jatuh cinta padamu?" Ibu menggodaku lagi.

Aku memandang ibu sambil memonyongkan bibir. "Memangnya aku ini dukun? Eh, tapi aku punya mantra yang ampuh, Bu."

"Apa mantranya?"

"Perhatikan baik-baik ya. 'Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku....' Hahaha."

Ibu ikut tertawa sambil geleng-geleng kepala mendengar aku menyanyikan lagu Risalah Hati. "Wah, mesti nyiapin kain pel nih, karena Andre pasti meleleh." Meledak lah tawa kami berdua. Ibu kalau bercanda suka sok muda gitu, garing jadinya.

Yang pasti sesi curhat sama ibu membuat suasana hatiku lebih baik. Aku jadi bisa menentukan sikap, dan tidak perlu malu seandainya aku naksir Andre, walau tetap aku akan simpan hal ini dalam hati. Kan baru naksir, baru menilai. Perkara nanti jadinya bagaimana, kita pikirkan nanti saja.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Novita
Kisah saat arin dirumah, dan dikantor...sama sama menyenangkan...keakraban arin dan ibu nya , menyenangkan ...
goodnovel comment avatar
sisri
Seru seru seruu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Sketsa Cinta Arina   6. Pilih Arin atau Cici?

    [Andre POV]Hari kedua bekerja aku masih dilatih oleh Mas Fajar. Katanya hari ini kami masih akan bekerja di luar kantor. Tante Dana memang sudah memberi instruksi ke Mas Fajar untuk mengajari aku semua hal yang berhubungan dengan bisnis ini. Jadi Mas Fajar mau mengkhususkan waktu di awal masa kerjaku untuk punya gambaran lengkap terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa terjun membantu proyek permintaan klien.Hmm... hari ini nggak bakal ketemu Si Ranger Kuning. Entah kenapa baru kenal sehari, tapi namanya seolah sudah masuk ke dalam kamus hidupku. Arina, Ranger Kuning, Sherina. Dia membuat aku penasaran. Aku seperti menemukan hobi baru: hobi menggodanya. Aneh memang.Jadi hari ini aku nggak bisa ketemu Arina. Aduh, kenapa itu terus yang aku pikirkan? Fokus, Andre! Kerja kerja!Aku pergi ke kantor lebih awal, karena Mas Fajar bilang kami ketemu di kantor, langsung berangkat jam 7:30 pagi. Dalam hati a

  • Sketsa Cinta Arina   7. Keindahan Ciptaan Tuhan

    [Arina POV]Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria."Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini."Pagi, Cici," kataku."Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia.""Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik."Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa ria

  • Sketsa Cinta Arina   8. Bersamamu di Suatu Senja

    [Andre POV]"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi.""Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja."Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap

  • Sketsa Cinta Arina   9. Kalah Cepat

    [Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter

  • Sketsa Cinta Arina   10. Senewen

    [Andre POV] Hah! Sial! Hari ini aku harus pergi bersama Cici. Sewaktu Bu Bos meminta Arin untuk pergi bersamaku tadi aku sudah merasa girang dalam hati. Tapi kemudian Cici berkicau, berkata dia yang akan pergi karena dia kenal Kepala Sekolahnya, dan Arin sedang banyak pekerjaan. Sedangkan Arin, dia menurut begitu saja pada kata Cici. Tapi setidaknya besok aku bisa pergi dengan Arin. Tunggu saja, Arin, kamu tidak bisa lari lagi. Dan apa tadi dia bilang? Fruit ninja? Memangnya aku Hatori? Aku kan Naruto. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Guyonannya yang spontan terkesan fresh, walau kadang garing, aku tetap suka mendengarnya. Uhuy! Kami pergi ke tempat parkir dan aku mengambil motorku. Aku pun segera naik dengan ransel tetap berada di punggungku. Cici mengeluh, "Andre, ranselnya jangan digendong gini dong. Aku jadi nggak enak nih, duduk di boncengan nggak nyaman."

  • Sketsa Cinta Arina   11. Cowok Berengsek

    [Arina POV]"Santi...,""Hmm....""Ada apa dengan Santi dan Abang Ucok Baba?"Itu pertanyaan yang aku ajukan pada Santi ketika kami berdua ke luar untuk makan siang hari ini. Dan bukan Santi namanya kalau langsung menjawab. Hal pertama yang dia lakukan adalah tersenyum tersipu-sipu."Sudah seberapa jauh pendekatannya?" aku coba bertanya lagi."Ah, apaan sih, Rin? Belum ada apa-apa juga. Paling kalau ketemu cuma saling pandang, senyum-senyuman gitu.""Kalian sudah kerja bareng sekian tahun, tapi kok ya tidak ada yang inisiatif untuk bergerak? Kalian memang perlu dijodohkan, perlu dikompori, perlu dicomblangi," kataku dengan terus terang.Santi hanya plintat-plintut tidak jelas. Akhirnya aku bertanya, "Kamu sendiri suka sama Bang Ucok?" Dia tersipu-sipu lagi. "Baiklah, tidak usah dijawab. Saya sudah tahu jawaban Tuan Pu

  • Sketsa Cinta Arina   12. Siapa Takut Jatuh Cinta?

    [Arina POV] Hari ini indah sekali. Matahari bersinar cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, bunga-bunga bermekaran. Anak-anak riang bermain bola di lapangan rumput. Aku merentangkan tangan menikmati kebebasan. Hembusan angin begitu menyegarkan jiwa, menerbangkan rambutku yang terurai lepas. Senyum pun tak henti menghiasi wajahku. "Arin...," suara yang begitu hangat memanggil namaku. Aku menengok dan melihat Andre yang sedang berjalan ke arahku dengan senyuman manisnya. Dia menyembunyikan tangannya di belakang punggung, seperti sedang membawa sesuatu. Dia tampak begitu tampan dengan setelan celana putih, dan kemeja putihnya. Aku membalas senyumannya. Saat dia sudah mendekat akhirnya dia menunjukkan apa yang selama ini dia sembunyikan di belakang punggungnya; seikat bunga. Bunga lily warna putih yang masih segar dan cantik. Dia memberikan bunga itu kepadaku, dan aku menerimanya. Wanginya membuat sen

  • Sketsa Cinta Arina   13. Penggemar Arin

    [Andre POV] Bu Reni Darmanto ternyata menurunkan 90% sifatnya ke anak perempuannya. Mereka betul-betul mirip, keramahannya, kelucuannya, juga sifat murah hatinya. Dan baru sebentar aku kenal Bu Reni, aku bisa melihat bahwa dia adalah ibu yang sangat baik. Tak heran, walaupun tidak lagi memiliki ayah, Arin bisa tumbuh dengan baik. Kali pertama mengenal Bu Reni aku sudah bisa langsung akrab dengannya. Aku bisa merasakan bahwa Bu Reni menyukaiku, dan seperti ada kode tersembunyi bahwa dia ingin aku dekat dengan anak perempuannya. Sebuah langkah bagus untuk mendekati Arin. Dan hari ini akhirnya untuk kali pertama aku bisa pergi dengan Arina, mengerjakan proyek buku tahunan untuk SMA Cakrawala. Jika kemarin aku kurang menikmati pekerjaanku dan hanya fokus untuk segera selesai, hari ini aku bahkan rela seandainya aku harus bekerja sampai malam. Hitung-hitung one day with Arin. Kemarin ketika bersam

Bab terbaru

  • Sketsa Cinta Arina   Extra Part - The Wedding

    [Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas

  • Sketsa Cinta Arina   79. Bab Terakhir - Dream Boy Comes True

    [Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak

  • Sketsa Cinta Arina   78. Lamaran

    Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se

  • Sketsa Cinta Arina   77. Calon Ipar

    Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen

  • Sketsa Cinta Arina   76. Pelukan Papa

    Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb

  • Sketsa Cinta Arina   75. Senja yang Menyatukan Kita

    [Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be

  • Sketsa Cinta Arina   74. Jawaban

    [Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa

  • Sketsa Cinta Arina   73. Mencari

    [Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m

  • Sketsa Cinta Arina   72. Tante Sherly

    [Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa

DMCA.com Protection Status