[Andre POV]
Astaga! Gadis satu ini menggemaskan sekali. Kepanikannya, niatnya untuk menyelesaikan masalah, dan rasa malu yang datang setelah sadar apa yang sudah dia lakukan. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku lakukan dalam hati saja.
Aku sebenarnya sudah berniat mengatakan, tidak masalah, masih banyak baju di rumah, toh aku juga salah tadi berdiri terlalu dekat dengan dia, tapi entah kenapa aku justru ingin menggodanya. Jadi aku tetap menyerahkan kemeja kotorku agar dicuci olehnya.
"Baik, Tuan Muda. Nanti saya cuci bersih, saya beri pewangi pakaian satu botol," katanya sambil tersenyum sangat manis, tapi dalam hitungan detik senyumnya hilang dan berubah menjadi tatapan penuh permusuhan.
Aku tetap memasang tampang cool, padahal dalam hati ingin tertawa menang. Ingin rasanya ku cubit pipinya yang menggemaskan itu, atau ku acak-acak rambut di kepalanya.
"Sudah sudah, ayo lanjutkan makannya," ujar Tante Dana.
"Sebentar, Bu Bos. Mau tarik napas dulu, habis perang gerilya bersama Pangeran Diponegoro," jawab Arin. Dia malah duduk di samping Santi dan minta disuapi.
Tingkahnya itu sungguh menggelikan. Aku pun mengambil dua piring, masing-masing ku isi dengan nasi dua centong, aku ambil semua sayur dan lauk yang ada di meja masing-masing satu sendok.
"Nih, makan," aku memberikan satu piring berisi makanan itu kepada Arin.
Arin tampak sedikit terkejut, mungkin tidak menyangka kalau aku sebenarnya baik. Dia menerima piring itu sambil protes, "Eh, busyet, banyak bener! Memangnya saya kuli? Tapi terima kasih loh, Tuan. Tuan malahan jadi repot melayani saya, kan saya jadi enak." Omongannya sudah santai lagi. Setidaknya dia menerimanya dan berterimakasih. Rupanya dia tidak menempatkan harga dirinya terlalu tinggi. Walau tampak keras kepala, dia ternyata bisa mengalah.
"Biar bertenaga nanti kalau nyuci baju saya, Bi," candaku. Aku melihat kursi di sebelah Arin kosong jadi aku berniat duduk di situ saja.
Lagi-lagi dia protes dengan wajahnya karena aku panggil 'Bi', tapi dia kemudian menjawab, "Baiklah, Paman." Gayanya santai membalas ku dengan memanggil aku paman. Wah, jadi paman-bibi nih ceritanya, nggak mau disebut Bibi Si Pembantu, maunya kita sejajar. Bolehlah. Saya sih setuju saja.
Dia melihatku duduk di sebelahnya, lalu memandangku dengan muka tidak senang. Tatapan matanya seolah berkata 'ngapain duduk di sini?' Aku hanya mengangkat bahu. Suka-suka gue dong, toh ini rumah tante gue. Makan-makannya juga buat menyambut gue, elo juga makan gratis.
Mbak Rere yang dari tadi memperhatikan kami sambil makan, tiba-tiba ikut nimbrung, "Arin dan Andre baru kenal sudah asyik ya. Sudah berantem-berantem gitu, kayak Tom and Jerry. Jangan-jangan nanti jadi Paman-Bibi beneran loh." Tante Dana tertawa mendengarnya dan menimpali, "Iya ya, Re. Kayak Tom dan Jerry."
Muka Arin memerah lagi, lalu dia bilang, "Klasik itu, Mbak Rere. Lagu lama. Sekarang kan jamannya K-Pop."
"Yang klasik itu tak lekang oleh waktu loh, Rin." Tak disangka Mas Fajar ikut menyahut. Arin mati kutu. Dia hanya bisa memprotes Mas Fajar dengan menunjukkan muka cemberut, dan mata melotot. Sedangkan aku tetap fokus dengan makanan di piringku, walau dalam hati aku ingin melompat-lompat dan tertawa.
Kasihan sebenarnya melihat Arin "diserang" oleh banyak pihak, tapi entah mengapa aku menikmatinya. Malahan aku ingin melihat lagi mukanya yang tersipu seperti saat aku menatapnya di kantor tadi.
Cici yang dari tadi makan sambil diam ternyata juga memperhatikan kami. Mukanya cemberut. Tapi aku tidak peduli. Malah bagus, biar dia tahu kalau aku lebih suka Arin daripada dia, jadi dia nggak akan ganggu-ganggu aku lagi.
Eh, suka Arin? Mikir apa sih aku? Hmmm.... Tapi tampaknya pertanyaan ini harus aku tanyakan pada diriku sendiri. Memang aneh sih, biasanya aku dikejar-kejar cewek, aku cuekin mereka. Sekarang justru aku ketemu cewek yang seolah tak terpengaruh oleh ketampananku, yang cuek padaku, aku malah jadi penasaran. Sebetulnya ingin ku abaikan, tapi ceweknya terlalu menarik, unik. Ibarat produk dia ini edisi terbatas, sayang kalau dilewatkan begitu saja tanpa memperolehnya.
***
[Arin POV]
Untunglah acara makan siang sudah selesai. Aku segera kembali ke ruangan kantor, sambil membawa kemeja kotor milik Tuan Muda. Lebih baik cepat pergi daripada ribut lagi dengan keponakan bos besar. Sebaiknya aku fokus bekerja. Aku nggak mau lagi melirik ke arah Andre, seberapapun kuatnya keinginan untuk itu, seberapapun gantengnya dia, walaupun dia mengawasiku, mengejekku, atau bahkan melemparkan bom molotov ke arahku, aku tidak akan terpengaruh. Aku akan diam saja, ibarat katak dalam tempurung. Eh, kok malah jadi katak dalam tempurung sih?
Tadinya kupikir, 'wah, lumayan, ada yang bening, untuk hiburan mata, bisa lihat cowok ganteng.' Ternyata yang ganteng ini nyebelinnya setengah hidup.
Syukurlah pegawai baru kami masih sibuk dengan training-nya di hari pertama, dan setelah makan siang Mas Fajar mengajak dia keluar kantor. Kata Mas Fajar mungkin besok juga masih akan keluar. Yes! Aku bersorak girang dalam hati.
Namun Cici tampak kesal. Sewaktu makan siang aku sempat melirik ke arahnya. Mukanya mendung saja. Apakah dia cemburu melihat interaksiku dengan Andre tadi? Ah, biarin saja. Aku kan juga tidak sedang berupaya manas-manasin dia, kayak sayur kemarin saja dipanasin. Semua terjadi begitu saja, aku harus bagaimana coba? Andre yang ngajakin berantem, dia yang mulai saya hanya membela diri.
Lebih baik tidak bicara dengan Cici dulu kalau tidak benar-benar perlu. Kalau Cici sedang tidak senang, dia bisa jadi macan walau tidak sedang PMS. Tapi sebenarnya dia baik kok. Cuma mungkin karena dia sudah ingin menikah, makanya ketika ketemu cowok ganteng gitu dia langsung mepet.
Maklum dia anak pertama dari tiga bersaudara, kedua adik perempuannya sudah menikah semua. Tinggal dia sendiri yang belum menikah. Dia pegawai perempuan paling tua di sini, yang belum menikah. Umurnya 28 tahun, satu tahun lebih tua dari aku. Sedangkan Santi yang paling muda, 26 tahun. Meskipun usia kami beda kami sepakat untuk panggil nama saja, biar lebih akrab.
Aku sendiri meskipun sudah 27 tahun, tidak ada tekanan untuk cepat menikah. Ibu orangnya santai. Aku anak Ibu satu-satunya, buat Ibu yang terpenting adalah kebahagianku. Ibu tahu tidak mudah bagiku untuk membuka hati pada sembarang pria. Jadi kalau aku belum ketemu orang yang tepat, Ibu tak memaksaku untuk menikah. Malah senang katanya punya teman di rumah. Kalau aku menikah aku harus ikut suami, dan Ibu harus sendiri.
Tapi tidak demikian halnya dengan Cici yang kedua adiknya sudah menikah, orang tuanya mungkin sering menanyakan soal kapan dia akan menikah. Itu pasti mengesalkan dia. Jadi bisa dimaklumi kalau dia sensitif soal hubungan dengan lawan jenis. Mungkin selama ini Cici punya standar tinggi dalam memilih pasangan, maunya yang ganteng, yang sempurna di luar, dan punya keindahan di dalam. Satu di antara sejuta itu, Ci. Ketemunya besok waktu lebaran kucing.
Siang ini berlalu dengan cepat karena kami fokus dengan pekerjaan masing-masing, hingga tak terasa sudah waktunya kami pulang. Syukurlah Cici banyak pekerjaan, jadi dia bisa fokus ke situ, ketertiban dan keamanan kantor tetap terjaga.
Aku memandangi kemeja kotor milik Andre yang ada di tas plastik. Rasanya ingin aku bakar saja kemeja itu, tapi nanti aku tidak sanggup mengganti dengan yang baru, kan katanya harganya mahal. Lagian nanti dikira aku tidak berperikebajuan. Jadi terpaksa aku membawanya pulang dan nanti aku cuci di rumah.
Aku melewati ruang resepsionis, di sana masih ada Mbak Rere. "Duluan ya, Mbak. Mbak Rere nggak pulang sekarang?"
"Masih menunggu suami. Jerry nggak nunggu Tom juga?"
"Iih, Mbak Re, ngapain sih tadi ngomentari Tom and Jerry gitu? Aku malu tahu. Nanti dikira aku ngarepin Andre," sungutku.
Mbak Rere tertawa dan berkata, "Habisnya kalian berdua lucu banget, beneran kayak kartun Tom and Jerry. Terus Andre pegang tangan kamu sambil menatap gitu... hihihi. Jadi ingat waktu pacaran sama Mas Fajar dulu."
"Memang Mbak Rere sama Mas Fajar dulu gitu ya? Kayak Arin sama Andre? Wah, berarti kalian jodoh, Rin. Cie cieee," Santi yang juga belum pulang ikutan nimbrung.
"Ini juga anak kecil ikut-ikutan," hardikku. "Weeek..," Santi menjulurkan lidahnya kepadaku.
Masih sambil tertawa kecil Mbak Rere bicara lagi, "Iya, awalnya begitu. Mas Fajar suka ngajak ribut, godain, ngejekin, apa saja lah yang penting dapat perhatianku. Dan ternyata akhirnya begini kan," Mbak Rere memamerkan cincin di jari manisnya. "Buntutnya (anak) sudah dua lagi. Hihihi."
"Tapi kan Andre nggak mungkin suka aku, Mbak. Cowok seganteng dia banyak yang naksir, yang lebih cantik dari aku pasti juga banyak. Umurnya lebih muda dari aku, pasti dia nyari yang seumuran atau lebih muda. Bisa saja dia sudah punya pacar. Kami juga nggak selevel, dia keponakan Bu Bos, orang kaya. Aku cuma orang biasa."
"Rin, nggak ada yang tahu isi hati orang. Apa yang kita lihat dari luar, belum tentu sama dengan yang di dalam. Siapa tahu, dia suka wanita yang lebih tua, bisa memanjakan dia. Hehe... Lagian kamu sudah mikir soal level segala. Jangan-jangan kamu sebenarnya naksir Andre, Rin? Hahaha."
Aduh, Mbak Rere malah mengejek aku. "Bukan begitu, Mbak. Aku cuma realistis. Dan tolong ya, jangan membangkitkan cinta sebelum diinginkannya," kataku diplomatis.
Mbak Rere tergelak. "Hahahaha.... Iya iya. Santai, Non."
"Berarti kalau sudah diinginkan boleh dong dibangkitkan," Santi nyosor lagi.
"Aaaaa.... Aku pulang ya. Dadaaah.... Bye bye," ucapku seraya kabur. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
[Arina POV] "Ibuuuu, aku pulang." "Ya, Rin. Bawa apa itu?" "Ini tadi Bu Bos ngadain acara makan bareng, masih ada sedikit sisa lauk sama sayur, lalu dibagi-bagi dengan teman-teman yang lain" ujarku sambil menyerahkan makanan dari Bu Bos. Sebelum pulang tadi dia memberi kami sayur dan lauk dari acara makan siang, katanya sayang kalau dibuang, masih banyak pula, dia sendiri tidak mungkin menghabiskannya. Lumayan lah buat dimakan di rumah. Ibu membuka bungkusan makanan itu. "Wah, ini sih bukan sedikit. Bu Bos kamu memang murah hati. Terus itu apa?" Ibu melihat tas plastik berisi kemeja milik Andre di tanganku. "Baju, Bu. Kotor. Mesti dicuci." "Loh, bukan bajumu kan? Kok kamu yang cuci?" Baiklah, sesi interogasi dari Ibu Jaksa Agung yang terhormat segera dimulai. Aku menghela napas, lantas menjawab," Tadi
[Andre POV]Hari kedua bekerja aku masih dilatih oleh Mas Fajar. Katanya hari ini kami masih akan bekerja di luar kantor. Tante Dana memang sudah memberi instruksi ke Mas Fajar untuk mengajari aku semua hal yang berhubungan dengan bisnis ini. Jadi Mas Fajar mau mengkhususkan waktu di awal masa kerjaku untuk punya gambaran lengkap terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa terjun membantu proyek permintaan klien.Hmm... hari ini nggak bakal ketemu Si Ranger Kuning. Entah kenapa baru kenal sehari, tapi namanya seolah sudah masuk ke dalam kamus hidupku. Arina, Ranger Kuning, Sherina. Dia membuat aku penasaran. Aku seperti menemukan hobi baru: hobi menggodanya. Aneh memang.Jadi hari ini aku nggak bisa ketemu Arina. Aduh, kenapa itu terus yang aku pikirkan? Fokus, Andre! Kerja kerja!Aku pergi ke kantor lebih awal, karena Mas Fajar bilang kami ketemu di kantor, langsung berangkat jam 7:30 pagi. Dalam hati a
[Arina POV]Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria."Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini."Pagi, Cici," kataku."Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia.""Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik."Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa ria
[Andre POV]"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi.""Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja."Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap
[Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter
[Andre POV] Hah! Sial! Hari ini aku harus pergi bersama Cici. Sewaktu Bu Bos meminta Arin untuk pergi bersamaku tadi aku sudah merasa girang dalam hati. Tapi kemudian Cici berkicau, berkata dia yang akan pergi karena dia kenal Kepala Sekolahnya, dan Arin sedang banyak pekerjaan. Sedangkan Arin, dia menurut begitu saja pada kata Cici. Tapi setidaknya besok aku bisa pergi dengan Arin. Tunggu saja, Arin, kamu tidak bisa lari lagi. Dan apa tadi dia bilang? Fruit ninja? Memangnya aku Hatori? Aku kan Naruto. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Guyonannya yang spontan terkesan fresh, walau kadang garing, aku tetap suka mendengarnya. Uhuy! Kami pergi ke tempat parkir dan aku mengambil motorku. Aku pun segera naik dengan ransel tetap berada di punggungku. Cici mengeluh, "Andre, ranselnya jangan digendong gini dong. Aku jadi nggak enak nih, duduk di boncengan nggak nyaman."
[Arina POV]"Santi...,""Hmm....""Ada apa dengan Santi dan Abang Ucok Baba?"Itu pertanyaan yang aku ajukan pada Santi ketika kami berdua ke luar untuk makan siang hari ini. Dan bukan Santi namanya kalau langsung menjawab. Hal pertama yang dia lakukan adalah tersenyum tersipu-sipu."Sudah seberapa jauh pendekatannya?" aku coba bertanya lagi."Ah, apaan sih, Rin? Belum ada apa-apa juga. Paling kalau ketemu cuma saling pandang, senyum-senyuman gitu.""Kalian sudah kerja bareng sekian tahun, tapi kok ya tidak ada yang inisiatif untuk bergerak? Kalian memang perlu dijodohkan, perlu dikompori, perlu dicomblangi," kataku dengan terus terang.Santi hanya plintat-plintut tidak jelas. Akhirnya aku bertanya, "Kamu sendiri suka sama Bang Ucok?" Dia tersipu-sipu lagi. "Baiklah, tidak usah dijawab. Saya sudah tahu jawaban Tuan Pu
[Arina POV] Hari ini indah sekali. Matahari bersinar cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, bunga-bunga bermekaran. Anak-anak riang bermain bola di lapangan rumput. Aku merentangkan tangan menikmati kebebasan. Hembusan angin begitu menyegarkan jiwa, menerbangkan rambutku yang terurai lepas. Senyum pun tak henti menghiasi wajahku. "Arin...," suara yang begitu hangat memanggil namaku. Aku menengok dan melihat Andre yang sedang berjalan ke arahku dengan senyuman manisnya. Dia menyembunyikan tangannya di belakang punggung, seperti sedang membawa sesuatu. Dia tampak begitu tampan dengan setelan celana putih, dan kemeja putihnya. Aku membalas senyumannya. Saat dia sudah mendekat akhirnya dia menunjukkan apa yang selama ini dia sembunyikan di belakang punggungnya; seikat bunga. Bunga lily warna putih yang masih segar dan cantik. Dia memberikan bunga itu kepadaku, dan aku menerimanya. Wanginya membuat sen
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa