[Andre POV]
Hari pertama aku bekerja di sini cukup menyenangkan. Satu pegawai yang namanya Fajar fokus membantu aku mengenal pekerjaan macam apa yang dilakukan di kantor ini. Dia orang kepercayaan Tante Dana. Orangnya ramah, dan sabar, kelihatan banget bisa diandalkan. Dia satu-satunya karyawan pria yang sudah menikah di kantor ini, selain Pak Paino yang kerja jadi OB. Istri Mas Fajar juga bekerja di sini, Mbak Rere yang jadi resepsionis.
Sejauh ini kesan yang aku peroleh dari karyawan di sini baik. Hanya ada sedikit yang membuatku kurang nyaman. Hal ini sudah biasa aku alami, tapi tetap saja tidak senang.
Pegawai wanita yang bernama Cici terlalu ramah. Benar-benar seperti dalam drama. Begitu sesi perkenalan selesai, dia langsung berkaca, benahi dandanannya, pakai parfum. Ckckck
Setiap ada kesempatan selalu mengajak ku ngobrol. Atau sekadar curi-curi pandang sambil senyum-senyum sendiri. Dia juga bilang kalau butuh apa-apa bisa bilang ke dia. Dan yang paling bikin gerah dia suka panggil aku "mas".
"Mas Andre, kameranya bagus banget. Beli dimana?"
"Mas Andre, kopinya diminum ya, keburu dingin loh nanti."
"Mas Andre, kalau butuh apa-apa bilang saya ya."
"Mas Andre, saya punya camilan loh. Mau?"
"Mas Andre... Mas Andre... Mas Andre...."
Saking sebalnya akhirnya aku bilang ke dia, "Mbak Cici, tolong panggil saya Andre saja, tidak usah pakai 'mas'."
"Memang kenapa, Mas? Kan cowok, ya wajar kalau saya panggil 'mas', masa mau panggil 'mbak'? Hihihi."
"Karena saya lebih muda dari Mbak Cici ya. Saya baru lulus kuliah loh. Memang usia Mbak Cici berapa? Tujuh belas tahun? Nggak mungkin kan? Dan tolong konsentrasi kerja, jangan lihat-lihat saya terus. Nanti kalau nggak selesai kerjaannya bisa dimarahi Bu Bos," tegasku.
"Oh, begitu ya, Mas. Hehehe."
Yah, diulang panggil 'mas' lagi. Capek deh.
Beberapa karyawan lain yang mendengar pembicaraan kami terlihat menahan tawa. Si Ranger Kuning terutama, pundaknya tampak bergerak naik turun karena tertawa. Dia berbisik-bisik dengan Santi.
Aku melihat ke arahnya, tak lama berselang dia melihat ke arahku. Dia langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius, namun beberapa detik kemudian dia tertawa lagi.
"Santai saja, Mas Andre. Mbak Cici kan berupaya memperhatikan karyawan baru, siapa tahu butuh bantuan makanya Mas Andre dilihatin terus, bukan begitu, Mbak Cici?" ucapnya.
Aku mendengar Cici berkata iya, sambil tertawa-tawa, tapi aku tak pedulikan dia.
Oh jadi Sherina KW mau main-main dengan saya? Fine! Mari kita lihat! Enak saja dia bilang nggak apa-apa diawasin. Coba bagaimana reaksi dia kalau tahu dia dilihatin terus sama cowok ganteng. Aku menopang dagu dengan satu tangan dan melihat ke arahnya.
Awalnya dia tidak tahu, tapi kemudian dia menengok ke arahku. Aku segera memasang senyum semanis madu, sambil tetap menatapnya. Dia melihat ke laptop lagi, lalu melirik aku lagi. Dia mulai menyadari kalau aku memang sedang mengamati dia. Sekilas aku melihat dia tampak tersipu malu.
Ah, ternyata Sherina KW masih polos, dia tidak benar-benar garang. Misalnya aku coba dekati dia, dia pasti akan jadi perempuan juga, tersipu-sipu, ibarat film India dia akan bersembunyi di balik pohon tapi sambil mengintip. Lucu pasti.
Mikir apa sih aku ini? Mendekati Arina? Sadar, Andre, kamu mau kerja. Untung Mas Fajar memanggilku untuk melihat mesin cetak, jadi aku bisa terbebas dari memikirkan Arina... untuk sementara waktu.
***
[Arina POV]
Aduh, ada apa dengan pemuda ini? Aku kan hanya bercanda tadi. Kenapa memandangiku seperti itu? Pasang senyum manis pula. Meleleh, Pembaca. Bagaimanapun aku juga perempuan. Dipandangi cowok seganteng Andre, sungguh aku tak sanggup. Buru-buru aku palingkan muka.
Syukurlah, Mas Fajar memanggilnya, aku bisa bernapas lega.
"Fokus, fokus! Baru dilihatin saja sudah GR," kata Santi lirih.
"Iih, siapa yang GR? Gak nyaman saja."
"Lah iya, sama kayak tadi yang dia rasakan, dilihatin terus sama Cici, nggak nyaman. Eh, malah kamu ledekin. Hati-hati loh, berawal dari ledekan bisa jadi "ledakan". Ledakan cinta...."
"Apaan sih? Ngomongnya cinta melulu. Iya iya, aku yang salah tadi. Puas, Neptunus?"
"Sangat puas, Squidward! Hahaha" Aku yang tadi merasa kesal ikut tertawa juga.
Aneh memang. Kami berdua bersahabat ibarat Spongebob dan Patrick. Tapi pada suatu hari aku bersikap super bawel, ngomel-ngomel terus karena kerjaan yang tak kunjung beres, lalu Santi bilang padaku, "Sabarlah, Squidward." Tidak terima dipanggil Squidward aku bilang padanya, "Jaga bicaramu, Raja Neptunus, eh Ratu Neptunus!" Maka jadilah panggilan itu kami gunakan pada saat-saat tertentu. Awalnya dia tidak terima disamakan dengan Raja Neptunus di cerita Spongebob, dia minta diganti Sandy saja. Katanya Sandy jenius, kayak dia. Tapi aku menolak. "Kamu pikir aku juga senang dipanggil 'Squidward'? Sudahlah, terima saja, kamu jadi penguasa lautan. Hahaha," begitu kataku. Jadi akhirnya dia menerimanya dengan terpaksa, tapi lama-lama terbiasa.
Ku pikir benar juga kata Santi. Cowok seganteng Andre mungkin sudah biasa digangguin atau bahkan dikerumuni cewek, tapi belum tentu dia suka. Aku memang tidak seharusnya mengganggu dia seperti itu.
"Eh, by the way, hari ini mau makan apa?" tanyaku.
"Nggak tahu. Aku nggak mikirin itu, soalnya hari ini bakal ada pesta, makan gratis dari Bu Bos."
"Serius?"
"Dengar-dengar sih gitu. Welcome party untuk pegawai baru. Kok dulu waktu aku jadi pegawai baru nggak dipestain ya?"
"Oh, Andre kan keponakannya, sedangkan kamu bukan siapa-siapa," cemoohku.
"Eh, masa? Keponakan Bos? Kok kamu tahu? Hayo, tadi waktu dipanggil sama Bos kalian ngomongin Andre ya... hayo, loe... ngaku...," ledek Santi.
"Apaan sih? Orang tadi ngomongin kerjaan juga."
Mati aku! Santi yang terkesan polos ini memang pintar mengorek pikiran orang. Sebelas dua belas sih sama aku. Namanya juga sohib.
Ucapan Santi benar adanya. Siang itu pukul sebelas kurang sedikit Bu Bos sudah muncul di ruangan kami. Dia beri pengumuman, "Anak-anak, nanti siang nggak usah keluar atau pesan makan siang, kita makan siang sama-sama ya. Makan siang sederhana untuk menyambut pegawai baru kita, biar betah kerja di sini. Kan sudah lama juga kita tidak makan bareng. Makan sepuasnya, mau tambah satu bakul juga boleh. Hehehe."
"Bawa pulang boleh nggak, Bu Bos?" tanyaku iseng.
"Boleh, tapi bawa piring dari rumah sendiri ya."
"Huuuuuu," gerutu semua orang, tapi kemudian kami tertawa bersama. Bu Bos kami murah hati, kalau masih ada makanan pasti dibagikan pada anak buahnya.
Yang namanya makan siang sederhana ala Bu Bos tentu beda dengan makan siang ala kami, para karyawan. Bagi kami makan siang sederhana ya makan nasi rames di warung, minumnya es teh atau es jeruk, tambahan paling kerupuk dua biji. Sedangkan makan siang sederhana ala Bu Bos artinya ada nasi, ditambah minimal tiga macam sayur yang sudah cukup untuk ngasih makan satu RT, lalu ada minimal tiga macam lauk, ada buah potong, tidak lupa puding atau es.
Siang itu menunya bikin orang yang kondangan di acara nikahan iri. Kami makan prasmanan masakan rumahan. Ada nasi, tumis kangkung, capcay, oseng buncis wortel, ca brokoli, rica ayam, rendang sapi, udang goreng, tahu dan tempe goreng, jamur crispy, dan sambal matah. Buah potongnya ada pepaya, melon, dan semangka. Terakhir ada puding coklat dan es krim.
Semua karyawan merasa senang tiada kepalang, kecuali satu orang. Yang dibuatkan welcome party biasa saja mukanya, mungkin sudah biasa makan enak. Orang kaya gitu loh.
Kami mulai sibuk dengan piring masing-masing, mengambil nasi dan makanan kesukaan. Aku juga langsung mengambil piring dan mengincar rica ayam kesukaanku, juga rendang sapi. Jangan sampai kehabisan. Hehe
Saat aku hendak bergerak ke kanan aku tidak melihat ada orang di situ. Duk! Piring berisi laukku tumpah. Dan sialnya itu tumpah di dada seseorang. Aku memekik kaget, mengatakan maaf, dan segera menaruh piringku.
Dengan panik aku mencari lap makan, lalu dengan cepat aku bergerak untuk membersihkan noda di baju itu. Maaf, maaf, tidak henti aku ucapkan, lalu ketika lap di tanganku sudah mulai bergerak membersihkan noda itu, tangan si pemilik baju memegang tanganku.
Aku terkesiap. Aku baru sadar, aku membersihkan noda di baju yang masih dikenakan di tubuh seseorang. Aku pun mengangkat muka dan melihat pemilik baju itu.
"Andre...," hanya kata itu yang mampu terucap dari bibirku. Dia sedang melihatku dengan tatapan yang tidak bisa aku pahami, pikiranku kacau. Kesadaran lain datang bahwa tadi aku sudah menyentuh dadanya, yang sekarang bentuknya jelas tercetak karena kuah rica yang merembes di bajunya. Tangannya memegang tanganku.
"Aduh, bagaimana ini? Aduh, maaf, maaf banget," ujarku panik sambil melepaskan tanganku. Tangan Andre mengandung setrum, nyetrumnya sampai ke hati. Aku merasa bersalah tapi tidak sebesar rasa maluku. "Nanti saya cuci ya bajunya, tapi ada baju ganti nggak?"
"Nggak papa, Arin. Nanti biar Andre pakai baju Robert," ucap Bu Bos santai.
"Oke. Kamu cuci ya. Kalau sampai rusak mesti diganti loh, ini baju mahal," jawaban Andre santai tapi mengandung ancaman.
"Iya iya. Saya yang salah," ucapku penuh penyesalan. Dalam hati aku berpikir sombong banget nih orang, pamer baju mahal.
Andre beranjak dari ruang makan, masuk ke kamar tidur milik anak Bu Bos.
Bu Bos tersenyum kepadaku sambil berkata, "Tenang saja, Arin. Nanti biar bajunya dicuci sama Bu Paino. Baju ganti ada banyak punya anak saya. Ukurannya sama kok."
"Makasih, Bu." Lalu aku membersihkan lauk yang tadi terjatuh di lantai.
"Biar saya saja, Non," Bu Paino datang membantu.
"Nggak papa, Bu. Saya yang salah tadi.""Biarkan saja, Bu Paino. Setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya," kata Andre yang sudah kembali lagi ke ruang makan dengan mengenakan kemeja baru. Di tangannya ada tas plastik berisi baju kotornya tadi.
"Nih, dicuci ya, yang bersih, yang wangi," dia mengulurkan tas plastik itu padaku. Suaranya sih terdengar lembut, tapi nada bossy-nya nggak bisa disembunyikan.
"Baik, Tuan Muda. Nanti saya cuci bersih, saya beri pewangi pakaian satu botol," jawabku sambil tersenyum semanis sakarin selama dua detik. Detik berikutnya senyum itu hilang dan mataku mengucapkan kekesalan.
[Andre POV] Astaga! Gadis satu ini menggemaskan sekali. Kepanikannya, niatnya untuk menyelesaikan masalah, dan rasa malu yang datang setelah sadar apa yang sudah dia lakukan. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku lakukan dalam hati saja. Aku sebenarnya sudah berniat mengatakan, tidak masalah, masih banyak baju di rumah, toh aku juga salah tadi berdiri terlalu dekat dengan dia, tapi entah kenapa aku justru ingin menggodanya. Jadi aku tetap menyerahkan kemeja kotorku agar dicuci olehnya. "Baik, Tuan Muda. Nanti saya cuci bersih, saya beri pewangi pakaian satu botol," katanya sambil tersenyum sangat manis, tapi dalam hitungan detik senyumnya hilang dan berubah menjadi tatapan penuh permusuhan. Aku tetap memasang tampang cool, padahal dalam hati ingin tertawa menang. Ingin rasanya ku cubit pipinya yang menggemaskan itu, atau ku acak-acak rambut di kepalanya. "Sudah sudah, ayo
[Arina POV] "Ibuuuu, aku pulang." "Ya, Rin. Bawa apa itu?" "Ini tadi Bu Bos ngadain acara makan bareng, masih ada sedikit sisa lauk sama sayur, lalu dibagi-bagi dengan teman-teman yang lain" ujarku sambil menyerahkan makanan dari Bu Bos. Sebelum pulang tadi dia memberi kami sayur dan lauk dari acara makan siang, katanya sayang kalau dibuang, masih banyak pula, dia sendiri tidak mungkin menghabiskannya. Lumayan lah buat dimakan di rumah. Ibu membuka bungkusan makanan itu. "Wah, ini sih bukan sedikit. Bu Bos kamu memang murah hati. Terus itu apa?" Ibu melihat tas plastik berisi kemeja milik Andre di tanganku. "Baju, Bu. Kotor. Mesti dicuci." "Loh, bukan bajumu kan? Kok kamu yang cuci?" Baiklah, sesi interogasi dari Ibu Jaksa Agung yang terhormat segera dimulai. Aku menghela napas, lantas menjawab," Tadi
[Andre POV]Hari kedua bekerja aku masih dilatih oleh Mas Fajar. Katanya hari ini kami masih akan bekerja di luar kantor. Tante Dana memang sudah memberi instruksi ke Mas Fajar untuk mengajari aku semua hal yang berhubungan dengan bisnis ini. Jadi Mas Fajar mau mengkhususkan waktu di awal masa kerjaku untuk punya gambaran lengkap terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa terjun membantu proyek permintaan klien.Hmm... hari ini nggak bakal ketemu Si Ranger Kuning. Entah kenapa baru kenal sehari, tapi namanya seolah sudah masuk ke dalam kamus hidupku. Arina, Ranger Kuning, Sherina. Dia membuat aku penasaran. Aku seperti menemukan hobi baru: hobi menggodanya. Aneh memang.Jadi hari ini aku nggak bisa ketemu Arina. Aduh, kenapa itu terus yang aku pikirkan? Fokus, Andre! Kerja kerja!Aku pergi ke kantor lebih awal, karena Mas Fajar bilang kami ketemu di kantor, langsung berangkat jam 7:30 pagi. Dalam hati a
[Arina POV]Mbak Rere masih meledek aku dengan tiada ampun ketika Cici memasuki ruangan kantor dengan begitu ceria."Selamat pagi, semua. Hari yang indah ya," ia menyapa kami dengan suara mendesah, lalu duduk di kursi dengan gaya yang begitu feminin macam Princess Syahrini."Pagi, Cici," kataku."Pagi, Ci. Tumben ceria sekali. Mimpi apa semalam?" tanya Mbak Rere.Masih dengan wajah berbunga-bunga ia berkata, "Iya dong, Mbak. Keindahan ciptaan Tuhan wajib kita syukuri, kita nikmati. Ciptaan yang indah membuat hati bahagia.""Oh, memang keindahan ciptaan Tuhan seperti apa yang kamu lihat hari ini? Matahari terbit? Bunga bermekaran? Kupu-kupu terbang? Atau... akang tukang bubur ayam yang ganteng?" aku ganti bertanya menyelidik."Hihihi.... Ah, Arin. Aku jadi malu. Bukan akang tukang bubur ayam juga," Cici kembali tersipu-sipu, lalu bercermin memeriksa ria
[Andre POV]"Makasih untuk hari ini, Andre. Senang kerja bareng kamu. Kamu cerdas, dan cepat tanggap," kata Mas Fajar memujiku.Dadaku kembang kempis karena bangga. "Sama-sama, Mas. Terima kasih sudah kasih banyak ilmu ke saya." Aku melihat ke sekeliling dan bertanya, "Loh, Mbak Rere mana, Mas? Nggak kelihatan, dan kantor sudah sepi.""Dia sudah pulang duluan. Aku suruh naik ojol saja tapi katanya dia diantar pulang sama Arin," jawab Mas Fajar. Lalu ia menambahkan, "Arin baik kan. Padahal rumah kami jauh, berlawanan arah malahan, tapi dia mau antar istriku pulang."Aku tersenyum lebar mendengar hal itu. Nggak salah kalau aku tertarik padanya. Selain wajahnya manis, hatinya juga baik. Kadang terkesan cuek dan galak, tapi dia lembut di dalam. Sudah seperti wafer saja."Jadi, Andre, ingat pesan Mas tadi ya. Kalau kamu memang tertarik dengan Arin, coba periksa dirimu dengan jujur, ap
[Arina POV] Apakah burung butuh alasan untuk berkicau? Apakah bunga butuh alasan untuk mekar? Apakah angin butuh alasan untuk berhembus? Dan apakah cinta butuh alasan untuk tumbuh di hati anak manusia? Demikian halnya ketika seseorang yang baru kau kenal mengusik kesendirianmu yang damai. Kau tidak memahaminya namun kehadirannya membuat bibirmu mengembangkan senyum tanpa alasan yang jelas. Dan ketika dia tak ada, matamu mencarinya, hatimu menantinya. Mungkin hal semacam ini yang aku rasakan semenjak ada Andre. Cinta? Tidak, aku tidak yakin ini cinta. Kami belum lama kenal, terlalu cepat untuk menyebutkan cinta. Namun seandainya ini akan tumbuh menjadi cinta, apakah aku siap? Relakah aku berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang secara khusus? Dan yang terburuk, apakah aku siap untuk patah hati seandainya kenyataan tak seindah impian? Pertemuan kami di kala senja itu meninggalkan kesan ter
[Andre POV] Hah! Sial! Hari ini aku harus pergi bersama Cici. Sewaktu Bu Bos meminta Arin untuk pergi bersamaku tadi aku sudah merasa girang dalam hati. Tapi kemudian Cici berkicau, berkata dia yang akan pergi karena dia kenal Kepala Sekolahnya, dan Arin sedang banyak pekerjaan. Sedangkan Arin, dia menurut begitu saja pada kata Cici. Tapi setidaknya besok aku bisa pergi dengan Arin. Tunggu saja, Arin, kamu tidak bisa lari lagi. Dan apa tadi dia bilang? Fruit ninja? Memangnya aku Hatori? Aku kan Naruto. Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga sih. Guyonannya yang spontan terkesan fresh, walau kadang garing, aku tetap suka mendengarnya. Uhuy! Kami pergi ke tempat parkir dan aku mengambil motorku. Aku pun segera naik dengan ransel tetap berada di punggungku. Cici mengeluh, "Andre, ranselnya jangan digendong gini dong. Aku jadi nggak enak nih, duduk di boncengan nggak nyaman."
[Arina POV]"Santi...,""Hmm....""Ada apa dengan Santi dan Abang Ucok Baba?"Itu pertanyaan yang aku ajukan pada Santi ketika kami berdua ke luar untuk makan siang hari ini. Dan bukan Santi namanya kalau langsung menjawab. Hal pertama yang dia lakukan adalah tersenyum tersipu-sipu."Sudah seberapa jauh pendekatannya?" aku coba bertanya lagi."Ah, apaan sih, Rin? Belum ada apa-apa juga. Paling kalau ketemu cuma saling pandang, senyum-senyuman gitu.""Kalian sudah kerja bareng sekian tahun, tapi kok ya tidak ada yang inisiatif untuk bergerak? Kalian memang perlu dijodohkan, perlu dikompori, perlu dicomblangi," kataku dengan terus terang.Santi hanya plintat-plintut tidak jelas. Akhirnya aku bertanya, "Kamu sendiri suka sama Bang Ucok?" Dia tersipu-sipu lagi. "Baiklah, tidak usah dijawab. Saya sudah tahu jawaban Tuan Pu
[Andre POV] "Dengan ini saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Sekarang mempelai pria bisa mencium mempelai wanita." Dan terjadilah ciuman pertama kami, diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Selepas ciuman itu kami tersenyum dan bertatapan mesra. "Istriku...." "Suamiku...." Sekali lagi kami berciuman. Tapi.... Itu semua hanya ada dalam khayalanku. Hah! Calon istriku menolak keras acara ciuman di depan umum, walaupun itu dilakukan di saat kami sudah resmi menjadi pasangan suami istri. "Nggak mau," tolaknya tegas. "Kenapa sih nggak mau? Itu kan sudah biasa di acara nikahan, masih dalam batas kesopanan." "Iya, aku tahu. Tapi aku nggak mau. Momen ciuman pertamaku cuma boleh terjadi antara aku dan suamiku, nggak boleh ada orang lain yang lihat." Payah ni cewek! Aku tahu prinsip dia, tapi kalau kami sudah menikah kan nggak masalah. Toh kami bukan mau mesra-mesraan, itu formalitas saja. Tapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya. Manyun deh saya! "Senyum dong, Mas
[Satu bulan kemudian] "Lari, Arina... Larii.... Ayo katakan lari... lari... lari." "Hahahaha." Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan Andre menirukan gaya Dora the Explorer. Kami berlarian di tepi pantai, pantai cinta kami. Kemarin Santi telah mengakhiri masa lajangnya, dengan menikahi Bang Firman. Setelah sekian lama dia dipanggil 'Ucok' untuk kali pertama, istrinya memanggilnya dengan nama aslinya 'Firman'. Emang lebih cocok Firman sih, orang ganteng gitu masa dipanggil Ucok? Tapi buat aku dia tetaplah Bang Ucok, si profesor linglung. Resepsinya berlangsung lancar dan meriah. Santi dan Bang Ucok maunya acara mereka sederhana saja, tapi orang tua Santi berpikiran lain. Papanya mengundang kolega-koleganya, jadi akhirnya mereka menggelar acara resepsi yang cukup besar. Mereka menyewa gedung serba guna yang terletak tidak
Sepanjang pekan ini kami punya double kesibukan. Selain urusan pekerjaan, kami mempersiapkan acara lamaran Bang Ucok dan Santi. Akhir pekan ini mereka lamaran, bulan depan menikah. Nggak mau lama-lama katanya, maklum Pak Profesor memang sudah ingin meminang Santi dan menjadikannya pendamping hidup. Kalau ku bilang sih Pak Profesor sudah tua. Hehe. "Jangan repot-repot dong, kami kan baru mau tunangan, belum nikah," Santi mencoba mencegah kami bertindak berlebihan. "Nggak bisa, mau lamaran kek, mau nikah kek, ini hajatan pertama kantor kita, jadi semua mesti ikut mendukung dan memeriahkan," titah Mas Fajar yang jadi ketua panitia. "Nikmati saja, San, sekali seumur hidup," timpalku mendukung Mas Fajar. "Wah, Arin. Harusnya kamu yang pertama dapat acara kayak gini, malah kalah dari si bontot," kata Mbak Rere. Ia sebenarnya berharap aku bisa menikah se
Cuti seminggu rasanya seperti nggak cuti. Selain urusan 'perdetektifan', aku memang nggak ngapa-ngapain. Tapi tetap saja aku nggak ada kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran. Setidaknya sekarang semua masalah itu sudah selesai, dan aku kembali lagi ke kantor dengan semangat baru. Aku sangat merindukan pekerjaanku dan teman-temanku di kantor, termasuk si itu. Hehe. Walaupun selama tiga hari kemarin kami bersama, tetap saja masih ingin ketemu. Namanya juga cinta. Betul begitu? Suasana ramai terasa di kantor, tidak seperti biasanya. Sedikit heboh kali ini. "Nah, ini dia artis kita," seru Mbak Rere yang langsung menarik tanganku dan menyuruhku duduk di sofa di ruang resepsionis. Sudah ada Andre juga di sana, dan tampaknya sudah mulai 'dibulli' oleh para wartawan gosip. Dia cengar-cengir tidak jelas. Kami disandingkan berdua. Aku memandang Andre pen
Rencana kepulangan kami harus diwarnai drama. Chelsea merengek-rengek meminta aku tidak pergi. Udah gitu, emaknya ikutan mellow. Kacau deh!Aku jadi bingung sendiri. Untung Om Handoko turun tangan dan menenangkan Chelsea."Semalam kan Chelsea sudah pinky promise sama Kak Arina, jadi nggak boleh gitu. Kak Arina harus kerja, juga ketemu ibunya. Lain waktu kalau Kak Arina libur, pasti Kak Arina ke sini lagi. Betul kan, Kak?" Om Handoko memeluk dan mengusap-usap punggung anak perempuannya yang manja itu."Betul. Kak Arina pasti ke sini lagi kok. Kalau kita sama-sama libur, kita bisa main sampai puas. Oke?" tandasku.Syukurlah bocah itu bisa diyakinkan dan merelakan kami pergi."Baru dua hari kenal mereka, tapi rasanya kayak udah bertahun-tahun, dan udah sayang banget," kataku saat aku dan Andre sudah berada di mobil untuk pulang."Apalagi sama aku yang sudah berb
[Arina POV]Udara sore yang mulai sejuk mengiringi perjalanan pulang kami. Andre tersenyum lebar dan bernyanyi riang di atas motor.Rasanya menyenangkan sekali, namun sungguh ada satu hal yang harus segera aku tuntaskan. Aku tidak mungkin melakukannya di atas sepeda motor ini.Saat kami melewati area persawahan yang cukup luas, aku meminta Andre untuk menghentikan kendaraannya."Mau apa, Sayang?" tanya Andre.Tanpa menjawab pertanyaan itu aku berjalan menuju tepi sawah. Kebetulan ada tanah berumput yang cukup nyaman untuk duduk.Aku duduk di situ dengan kedua kaki aku tekuk di depan tubuhku. Aku letakkan wajahku pada siku tangan di atas lututku, dan mulai menangis.Awalnya Andre diam saja. Mungkin dia tahu sejak tadi aku sudah menahan gejolak perasaan. Aku menumpahkan semua air mata yang bisa aku hasilkan, meluapkan semua perasaan yang be
[Arina POV] "Mampir sebentar ya, ketemu temanku dulu." Kami berhenti sejenak di depan sebuah toko yang merangkap studio foto. Sepertinya Andre ingin menemui temannya sesama fotografer yang tinggal di kota ini. Kami memasuki studio foto itu, hanya ada beberapa orang customer dan karyawan yang melayani. Seorang pria yang mungkin seumuran Andre menyambut kami dengan senyum lebar. "What's up, Bro?" "What's up?" Mereka melakukan serangkaian gaya salaman dan tos yang entah berapa jumlahnya, serta menanyakan kabar masing-masing. Ternyata Andre bisa sok gaul juga. "Jadi...?" Teman Andre menggantungkan pertanyaannya sambil menunjuk aku. "Oh ya, Arina, ini Bagas, temanku yang tadi ngasih alamat. Bagas, ini Arina, calon istri gue," kata Andre dengan bangga memperkenalkan kami kepada satu sa
[Arina POV] Dengan bantuan GPS kami mencoba mencari alamat yang tertera di kartu nama Pak Gumelar. Aku tidak yakin sepenuhnya, tapi sangat berharap alamat di kartu itu memang betul-betul rumah pria yang sudah menipu bapakku. Namun harapan kami mulai memudar ketika mendapati area itu telah menjadi perumahan yang cukup mewah. Rasanya tidak mungkin kalau orang yang sudah kaya raya sampai jadi penipu, tapi siapa juga yang tahu. Orang-orang yang kami temui rata-rata penghuni baru di wilayah itu, dan tidak ada yang mengenal Pak Gumelar. Aku sudah nyaris putus asa. Andre mungkin juga merasa lelah melihat tidak adanya kemajuan dalam pencarian kami, namun ia tidak menunjukkannya. Dengan penuh kesabaran dia menemani aku berkeliling dan terus mencari. Ketika menjelang sore aku sudah kelelahan secara fisik dan emosi. Andre mengajakku beristirahat di depan sebuah mini market. Pria m
[Arina POV] Dalam benakku selama ini Tante Andre yang tinggal di Surabaya itu umurnya nggak jauh beda dari mamanya. Tapi wanita yang ada di hadapanku sekarang ini jelas belum tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. "Duh, Arina ini lagi bengong saja cantik lho. Hati-hati disambar Andre nanti," goda Tante Sherly demi melihat aku yang melongo. Andre terkekeh mendengar pernyataan tantenya itu. "Beneran tante? Bukan sepupu? Kok masih muda? Tadi Andre juga manggil 'mbak' kan?" Aku masih belum bisa percaya. "Huh, itu karena dia keponakan durhaka," sungutnya. Andre terpingkal-pingkal menyaksikan wajah kesal tantenya itu. Wanita muda itu mengabaikan Andre dan kembali tersenyum genit padaku. "Udah, ayo masuk dulu, makan siang sambil ngobrol-ngobrol. Kalian pasti sudah lapar," ajaknya sembari menarik tanganku untuk memasuki rumah. Memang sudah wa