“Kak? Kenapa Daddy belum pulang? Katanya di jalan.” Gal mendongak, menatap langit melalui jendela.“Sebentar lagi, tunggu di sini, biarkan Mommy di sana sendirian, kita jangan ganggu,” tutur Al, pendangannya lurus ke depan, memperhatikan gerak-gerik Livy.“Kasihan Mommy, ternyata sejak dulu banyak orang jahat. Kalau begitu kapan kita dewasa? Aku tidak sabar melindungi Mommy,” celetuk Gal, kini memajukan bibir.Dua jam lalu, ketiganya tiba di Mansion Torres. Livy dan anak-anak disambut Mom Pamela bersama Dad Leon, sepasang kakek nenek itu segera membawa cucunya masuk, begitupun dengan Livy. Namun, wanita itu menolak, ia keras kepala, ingin menunggu El di landasan helikopter. Livy benar-benar mencemaskan suaminya, apalagi sempat mendengar kabar, Sergio hampir mendorong El dari atas tangga.Berbeda dengan dua anak laki-laki, memilih membiarkan Livy menyendiri tetapi mengawasi dari jauh. Terutama Al, sedikit banyak telah paham apa yang dirasakan kedua orang tuanya.“Sabar Gal, sebentar l
“Dad kenapa tidak makan?” Al meninggikan leher mengintip isi piring El. “Mau aku suapi?” celetuk anak itu di tengah kegusaran hati sang ayah.“Tidak jagoan, kamu makanlah! Kepala Daddy pusing,” gumam El tetapi ekor matanya melirik Livy.Paska gagal bercinta, suasana hati El berubah drastis, hari lelahnya semakin berat karena menahan hasrat. Salahnya sendiri memang lupa mengunci, padahal dua malaikat kecil itu terbiasa masuk tanpa mengetuk pintu.Sekarang, El tidak bergairah melakukan apa pun termasuk menyantap sesuap makanan. Ia ingin ke kamar mengistirahatkan tubuh, tetapi memaksakan diri turut bergabung bersama keluarga, menikmati makan malam.“Oh aku tahu Kak,” pekik Gal mengacungkan jari ke udara.Al menolehkan kepala, mengamati adiknya. “Apa? Aku tidak mau mendengar jawaban asal.”Gal menggeleng seraya menggerakkan ibu jari ke kanan dan kiri. Balita itu memicingkan mata, menatap wajah El yang melihat ke arahnya.“Pasti Daddy masuk angin, tadi tidak pakai baju. Benar ‘kan Mommy?”
“Maaf, kami tidak—“ Al menggantung kalimatnya, ia menelan air liur.Semula bocah itu hendak membantu adiknya bangun, tetapi mengurungkan niat lantaran melihat wajah pria paruh baya di depannya. “Maaf Kakek. Ini salahku bukan adikku.” Al membungkukkan badan, buru-buru meraih lengan Gal.“Dasar anak-anak nakal tidak tahu diri!” bentak pria paruh baya itu sembari berdiri.Melihat kedua putranya mendapat masalah, El dan Livy berlari kecil mendekati keriuhan. Sadar ini semua akibat ulah anak-anaknya, El berbesar hati membungkukkan punggung. “Maaf Tuan Besar Marquez, seharusnya mereka tidak melakukan itu,” ucap El menahan kekesalan .Bukan kesal pada Al atau Gal, melainkan tidak terima darah dagingnya diberi predikat ‘nakal’ dan sebagai ayah ia geram. Akan tetapi El mencoba menahan diri, tidak mau menambah masalah.“Kamu memang bukan ayah yang baik El. Tidak bisa mendidik anak-anak nakal ini,” hardik Tuan Marquez, secara bergantian melirik El dan Livy.“Sekali lagi saya mohon maaf. Saya ak
‘Aku bukan pembawa sial! Kakek Marquez jahat sekali,’ batin Al.Bibir anak itu maju beberapa senti, ia tidak fokus memperhatikan sirkuit, karena atensinya tersedot pria paruh baya yang berjarak satu meter.Al juga gatal ingin memberi tahu pria tua itu kalau kejadian kemarin sama sekali tidak disengaja. Ia benar-benar tidak tahu kalau orang dewasa mampu menyimpan dendam lebih dari satu hari.“Kamu memperhatikan apa, hem?” tegur El tiba-tiba dari belakang. Sebenarnya ayah dua anak itu sekadar basa-basi, ia tahu putranya memperhatikan seseorang yang selalu memercik api dalam kehidupan. El melipat kaki dan mensejajarkan tubuh dengan Al, merangkul bahu putranya.“Mau mencoba naik motor bersama Daddy?” tawar El demi mengalihkan atensi Al. Sayangnya, anak itu menggelengkan kepala. Al merasa hidupnya tidak tenang sebelum mendapat kata –kata manis dari pria paruh baya itu. Entah kenapa jiwa Al tertantang untuk menaklukan kerasnya hati Tuan Marquez. Anak itu juga ingin hubungan antara El dan
“Kamu yakin ini bukan jebakan?” bisik Livy sebelum turun dari mobil. El mengangguk ringan sembari meremas tangan Livy di atas pahanya. “Hu’um yakin, Tuan Marquez sudah sepuh, aku rasa tidak mungkin melakukan sesuatu di luar nalar,” kata El diakhiri kerlingan sebelah mata.“Ayo Mom cepat turun, aku tidak sabar melihat mansion itu,” rengek Gal menarik tangan Livy.El keluar lebih dulu, merapikan kemeja dan jas, kemudian membimbing wanitanya turun dengan hati-hati lantaran gaun yang digunakan Livy memiliki ekor cukup panjang. “Apa aku salah kostum?” tanya Livy karena pertama kali menggunakan pakaian ini.Saking banyaknya jenis pakaian serta merek di walk in closet, wanita itu selalu pusing kapan waktu yang tepat memakainya. Tidak mungkin seharian di rumah atau kantor menggunakan gaun panjang.“Tidak!” Kompak tiga lelaki berbeda usia.“Kamu cantik Mi Amor,” kata El.Al dan Gal tidak mau kalah dari ayahnya. “Mommy sangat cantik, aku suka.” Livy memutar bola mata, lalu menghela napas. Pe
“Aku tahu, wajahku ini memang tampan, menawan tidak ada saingannya, karena itu sejak tadi kamu memandangiku ‘kan?” El mengerling nakal.Livy mengangguk membenarkan ungkapan kesombongan mulut El. “Terima kasih banyak,” lirih wanita ini hampir tidak terdengar.Sekarang, keduanya berada di balkon kamar. Dua jam lalu, El memutuskan segera pulang ke mansion, ia enggan berlama-lama di kediaman Tuan Marquez.“Untuk apa Mi Amor?” tanya El sembari menopang satu tangan pada railing balkon.Livy diibuat malu-malu dengan pertanyaan basa-basi El. Ibu dua anak ini mencebik dan membuang muka ke sisi lain, tidak lupa tangannya mencubit gemas otot perut sang suami. “Kenapa mencubitku? Memangnya apa salahku?” goda El lagi.Pria itu mengulurkan tangan, meletakkanya di balik pinggang Livy, lalu dengan gerakan perlahan membawa wanitanya mendekat tidak berjarak sedikit pun. Satu tangan El membelai pipi merona, dan bibirnya melabuhkan kecupan hangat di kulit itu.“Aku melakukannya karena tidak mau istriku c
“Al?” panggil Livy tepat setelah membuka pintu ruang pembimbing siswa.Ketika satu kaki jenjang melangkah masuk, Livy tergugu di tempat. Ia sempat tersenyum menatap seorang wanita cantik berpakaian elegan sedang duduk didampingi dua orang pendidik.Kemudian, bola mata Livy bergeser sedikit, memperhatikan putra sulung yang berdiri di depan meja, saling berhadapan dengan seorang anak perempuan seusianya, tidak lain putri tunggal mendiang Jorge Marquez.“Terima kasih Bu Livyta bersedia datang, ini karena ….” Wali kelas Al melirik dua murid di tengah ruangan.“Iya sama-sama.” Livy mengambil napas dalam, memenuhi rongga dada dengan oksigen. “Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa bertemu di sini?” tanyanya.Sebenarnya ibu dari Alessandro Javier Torres ini tidak bodoh, ia tahu tetapi ingin mendengar secara langsung dari mulut guru. Livy enggan menafsirkan sendiri kalau memang putranya dan anak perempuan itu ....“Kami mohon maaf mengganggu Anda, tapi ini penting—“Ucapan guru itu tepotong, ka
“Jadi benar kamu memukul Belle?” El melipat tangan depan dada, memandangi wajah putra sulungnya.Al sama sekali tidak gentar, bahkan anak itu berani menghadap El sendirian tanpa ditemani Livy. Saat ini, ia duduk di kursi kerja milik sang ayah, selalu membalas kontak mata, menunjukkan dirinya tidak salah—melakukan itu karena memiliki alasan kuat.“Iya betul, aku pukul dan dia jatuh ke atas meja. Kalau Daddy mau menghukum aku silakan,” jawab Al.Walaupun dalam hati menolak, bagaimanapun ia tetaplah seorang anak kecil, ingin disayang, dimanja serta dilindungi. Namun, Al mencoba berbesar hati bertanggung jawab atas perbuatannya.“Apa alasanmu? Mommy belum cerita apa pun, sekolah juga bilang kamu menyerangnya lebih dulu,” lanjut El penasaran.“Aku membela Mommy. Aku tidak suka Mommy-ku dihina, Belle jahat, mulutnya benar-benar menyeramkan,” ketus Al lalu membuang muka ke arah lain.El meninggikan satu alis dan bertanya, “Memang apa yang dia katakan?”Al mengedikkan bahu seraya menggeleng ke