Semangat pagi Kak ╰(^3^)╯╰(^3^)╯ Musim flu ya, semoga selalu sehat semuanya Aamiin
“Sayang, Galtero semangat ya. Mom dan Daddy tunggu di sini,” bisik Livy, mencium betubi wajah kurus putranya.“Gal, janji sehat lagi sama Daddy! Katanya mau main bola di lapangan besar?” El merangkul Livy.Di atas ranjang pasien, balita itu mengangguk cepat. Galtero menjentikkan jari kelingking dan menautkannya pada milik kedua orangtua. Ia berjanji setelah ini sehat, terbebas dari penyakit. “Hu’um, aku janji Dad, Mom,” ucap Gal penuh semangat, karena kesembuhannya berada di depan mata.Selesai bercakap singkat, roda karet ranjang pasien perlahan bergerak maju. Livy dan El bisa melihat putra keduanya melambaikan tangan.Kurang dari sepuluh menit, dokter didampingi dua orang perawat terlihat mendorong kursi roda. Pandangan Livy dan El serta anggota keluarga Torres teralih, semua memusatkan perhatian pada anak kecil yang tersenyum, sesekali tertawa mendengar ucapan dokter.“Mommy? Daddy?” panggil Al, iris biru safirnya bergerak sedikit ke samping. “Abuela? Abuelo, Bibi Es dan Paman Ar
Bukannya mengambil makanan, Livy malah terpaku di tempat. Ia memindai Al dari ujung kaki sampai puncak kepala. Jujur, segenggam otot dalam dada berdetak tak karuan. Takut, Livy cemas Al mengalami rasa sakit paska operasi, dan ia tidak akan sangggup melihat anak-anaknya terbaring lebih lama di atas ranjang pasien.“Al,” lirih Livy dengan tatapan sendu.“Om periksa Al. Tarik napas dan buang pelan-pelan, ok!” titah dokter.Namun, air muka dokter berubah, keningnya mengerut, tatapannya tak terbaca. Sungguh saat ini Livy dirundung kegelisahan tak terbatas.“Tidak apa-apa Al. Tolong maju sedikit!” Dokter membantu Al bergeser ke depan. Memeriksa bagian belakang tubuh anak itu, dan … mendadak kedua sudut melengkung naik. “Kamu lupa Al, ini apa?” Dokter mengangkat mainan miniatur mobil balap.“Oh iya, sebelum ke kamar operasi aku mainan dulu di sini.” Al terkekeh geli. “Aku lupa simpan, Om,” tambah bibir kecil itu.Dari tepi ranjang, Livy mengusap dada, ia cukup senang karena Al bukan mengal
“Sergio? Apa yang dia katakan?!” desak El, sangat penasaran sekaligus cemburu.Livy menggeleng pelan, ia mengeratkan pegangan tangan pada pergelangan El. “Aku hanyamelihatnya berjalan, kemudian dia menghilang.”Manik coklat wanita ini menatap dalam wajah sang suami. Tepat, sesuai dugaan Livy, El mengetahui kalau mantan suami telah bebas dari bui.Jujur saja, wanita ini kecewa dan takut. Ya, Livy tidak suka karena El merahasiakan hal sepenting itu, ia juga mencemaskan nasib keluarga kecilnya. Apalagi, belakangan ini Sergio kerap mengikuti Al.Sebagai mantan istri pria itu, ia mengetahui segala sisi buruk. Livy ketakutan, anak-anaknya menjadi korban dari aksi balas dendam seorang Sergio Cazorla.“Jadi benar, dia bebas dari penjara.” Tawa ringan Livy tersapu udara. “Ini alasannya, aku tidak boleh tahu siapa pria yang bertemu dengan Al di restoran? Ternyata ….”Bahu Livy terkulai lemas, ia memejamkan mata, napasnya terasa begitu berat serta sesak. Ibu dua anak ini juga bingung, apakah haru
“Livy apa yang kamu lakukan?” El menyentak pergelangan wanitanya. Kemudian mendekap Livy dari belakang, melingkarkan tangan ke sekeliling dada.“Lepas! Aku mau masuk, di dalam sana ada Sergio!” seru Livy berhasil melepaskan diri.Wanita ini benar-benar membuka pintu kaca, hingga seorang pria di dalam ruangan menolehkan kepala. Sosok itu mengernyit lalu menatap heran ke arah luar.“Do-dokter?” gugup Livy.Sekarang, ia mengamati pria di depannya, wajah tak asing dan tidak lain dokter sekaligus sepupu El. Sungguh Livy dibuat malu oleh tingkah cerobohnya sendiri. Ia membeku di ambang pintu, tubuhnya tak bisa bergeser.“Mi Amor?” panggil El lemah lembut.Kedua tangan kekar El dengan cepat merengkuh raga sang istri, membawa Livy keluar dan kembali menutup pintu. Lelaki ini tidak marah, menatap lekat-lekat wajah pucat wanitanya.“Tidak apa Livy, itu wajar. Karena kamu menyayangi Gal,” tukas El.“Hu’um, aku pikir di dalam itu … tenyata bukan. Aku takut, kalau dia mencelakai anakku,” cicit Livy
“Wah, asyik, hadiahku ada dua,” ucap Al melompat-lompat riang. “Kakak curang, kenapa aku satu? Mau lagi Daddy!” rengek Gal, mencubit serta menarik-narik celana El.“Umm, tunggu sebentar Sayang. Al, boleh berikan kotak itu pada Daddy!” titah Livy intonasinya tegas tak terbantahkan.Setelah melihat putra sulung menyerahkan kardus berisi benda asing, Livy mengusak pucuk rambut Al. Ia juga menciumi pipi gembil miniatur sang suami, tidak lupa melakukan hal serupa pada Gal.“Al dan Gal ditemani pengasuh dulu. Karena Mommy dan Daddy mau bicara penting, boleh ‘kan?” tanya Livy, seraya mengembangkan senyum.“Boleh Mom. Tapi jangan lama-lama ya.” Kompak Al dan Gal. keduanya pun berjalan cepat disambut pengasuh masing-masing.Memastikan kedua putra aman bersama babysitter, Livy meraih lengan suami. Ia menarik dan menyeret El supaya mengikutinya menuju ruang baca di lantai satu.Livy menutup dan mengunci pintu, ia mengaktifkan alat peredam suara, tak ingin percakapan sensitifnya sampai ke teling
“Kamu beruntung Livy,” gumam Sergio bermonolog. “Apa ini namanya penyesalan?” Tawa getir pria di bawah pohon.Semenjak terbebas dari penjara, Sergio mencari keberadaan Luciana dan Karla. Betapa marah sekaligus sedih, karena kekasih yang memberinya buah hati telah meninggal dunia. Namun, Sergio mendengar kabar tentang Karla, anak itu mendapat kehidupan layaknya Nona Muda. Tentu saja semua berkat campur tangan El dan Livy.Setengah jam lalu, pria bertubuh kurus menggunakan kruk sengaja mendatangi toko roti mantan istri. Sergio meratapi perbuatan di masa lalu, betapa jahat terhadap Livy.“Tapi … sekarang kamu bahagia bersama pria lain,” oceh Sergio sembari menyebrang jalan. Setelah masuk toko roti, Sergio memilih roti isi, itu mengingatkannya pada masa-masa awal pernikahan. Parahnya … pria itu sering melempar dan menginjak roti buatan Livy.Ketika Sergio hendak ke kasir, manik coklat pekat melihat Livy baru saja turun dari mobil. Pria itu mengurungkan niat—karena malu.Alhasil, Sergio h
“Kebaikan hatimu pada Karla. Aku dengar putriku mendapat orang tua baik dan layak.” Sergio mengatupkan tangan.“Kasihan putrimu, Tuan Cazorla. Dia terlahir tapi menderita, akibat ulah ayah kandungnya,” sarkas El, lalu memutar badan, menutupi Liivy di balik punggung.Sedangkan Livy mencoba menelisik wajah Sergio dari balik punggung El. Ia tidak percaya pria itu mampu mengucap terima kasih. Wanita ini tahu persis, dulu pria itu terlalu gengsi mengucap kata ‘terima kasih’. Sekarang, entah apa yang membuat Sergio berubah dalam kurun waktu lebih dari empat tahun.Ia mengenal Sergio sebagai sosok ambius tak kenal lelah atau sesal. Bahkan setelah mereka bercerai pun, pria itu masih berusaha mencelakainya. Livy takut kejadian menyeramkan itu terulang lagi.Livy membatin, ‘Aku tidak percaya, ini pasti akal-akalannya.’“Aku senang melihat hidup kalian bahagia, dan maaf karena merusaknya dengan kehadiranku,” ucap Sergio, menyunggingkan senyum hemat. “Livy?” panggil pria itu menambah kekesalan El
“Mau ke mana, Mi Amor? Temani aku sebentar lagi,” kata El sembari menahan pinggul Livy, mengurungnya dalam selimut tebal.“Masak, pagi ini aku ingin menyajikan makanan spesial. Tidak apa-apa kamu tidur lagi.” Livy menggeliat, berusaha melepas belitan tangan kekar.“Ayolah, Livy. Aku masih merindukanmu. Lagi pula, ini sangat dingin, cocok untuk berpelukan.” El semakin menelusupkan kepala pada ceruk leher sang istri.Udara pagi ini, membuat rambut halus berdiri tegak, lantaran mendekati musim dingin. Semalam saja hujan turun cukup lama, ketika Livy dan El tengah memadu kasih, saling berpacu memuaskan hasrat masing-masing.“Berikan saja resepnya pada chef. Dua jam lagi kita turun, aku masih ingin seperti ini,” tukas El.Livy terkekeh geli, selain mendengar kata-kata manja bayi besarnya, tangan El juga bergerak liar di balik selimut. Lelaki ini tak puas setelah mereguk nikmat nektar dari raganya.“Sayang?” Livy mulai terpacing suasana, napasnnya sedikit terengah.“Sekali lagi, bagaimana?”
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa