Selamat membaca Kakak 。◕‿◕。 kira-kira itu hadiah dari siapa ya?
“Wah, asyik, hadiahku ada dua,” ucap Al melompat-lompat riang. “Kakak curang, kenapa aku satu? Mau lagi Daddy!” rengek Gal, mencubit serta menarik-narik celana El.“Umm, tunggu sebentar Sayang. Al, boleh berikan kotak itu pada Daddy!” titah Livy intonasinya tegas tak terbantahkan.Setelah melihat putra sulung menyerahkan kardus berisi benda asing, Livy mengusak pucuk rambut Al. Ia juga menciumi pipi gembil miniatur sang suami, tidak lupa melakukan hal serupa pada Gal.“Al dan Gal ditemani pengasuh dulu. Karena Mommy dan Daddy mau bicara penting, boleh ‘kan?” tanya Livy, seraya mengembangkan senyum.“Boleh Mom. Tapi jangan lama-lama ya.” Kompak Al dan Gal. keduanya pun berjalan cepat disambut pengasuh masing-masing.Memastikan kedua putra aman bersama babysitter, Livy meraih lengan suami. Ia menarik dan menyeret El supaya mengikutinya menuju ruang baca di lantai satu.Livy menutup dan mengunci pintu, ia mengaktifkan alat peredam suara, tak ingin percakapan sensitifnya sampai ke teling
“Kamu beruntung Livy,” gumam Sergio bermonolog. “Apa ini namanya penyesalan?” Tawa getir pria di bawah pohon.Semenjak terbebas dari penjara, Sergio mencari keberadaan Luciana dan Karla. Betapa marah sekaligus sedih, karena kekasih yang memberinya buah hati telah meninggal dunia. Namun, Sergio mendengar kabar tentang Karla, anak itu mendapat kehidupan layaknya Nona Muda. Tentu saja semua berkat campur tangan El dan Livy.Setengah jam lalu, pria bertubuh kurus menggunakan kruk sengaja mendatangi toko roti mantan istri. Sergio meratapi perbuatan di masa lalu, betapa jahat terhadap Livy.“Tapi … sekarang kamu bahagia bersama pria lain,” oceh Sergio sembari menyebrang jalan. Setelah masuk toko roti, Sergio memilih roti isi, itu mengingatkannya pada masa-masa awal pernikahan. Parahnya … pria itu sering melempar dan menginjak roti buatan Livy.Ketika Sergio hendak ke kasir, manik coklat pekat melihat Livy baru saja turun dari mobil. Pria itu mengurungkan niat—karena malu.Alhasil, Sergio h
“Kebaikan hatimu pada Karla. Aku dengar putriku mendapat orang tua baik dan layak.” Sergio mengatupkan tangan.“Kasihan putrimu, Tuan Cazorla. Dia terlahir tapi menderita, akibat ulah ayah kandungnya,” sarkas El, lalu memutar badan, menutupi Liivy di balik punggung.Sedangkan Livy mencoba menelisik wajah Sergio dari balik punggung El. Ia tidak percaya pria itu mampu mengucap terima kasih. Wanita ini tahu persis, dulu pria itu terlalu gengsi mengucap kata ‘terima kasih’. Sekarang, entah apa yang membuat Sergio berubah dalam kurun waktu lebih dari empat tahun.Ia mengenal Sergio sebagai sosok ambius tak kenal lelah atau sesal. Bahkan setelah mereka bercerai pun, pria itu masih berusaha mencelakainya. Livy takut kejadian menyeramkan itu terulang lagi.Livy membatin, ‘Aku tidak percaya, ini pasti akal-akalannya.’“Aku senang melihat hidup kalian bahagia, dan maaf karena merusaknya dengan kehadiranku,” ucap Sergio, menyunggingkan senyum hemat. “Livy?” panggil pria itu menambah kekesalan El
“Mau ke mana, Mi Amor? Temani aku sebentar lagi,” kata El sembari menahan pinggul Livy, mengurungnya dalam selimut tebal.“Masak, pagi ini aku ingin menyajikan makanan spesial. Tidak apa-apa kamu tidur lagi.” Livy menggeliat, berusaha melepas belitan tangan kekar.“Ayolah, Livy. Aku masih merindukanmu. Lagi pula, ini sangat dingin, cocok untuk berpelukan.” El semakin menelusupkan kepala pada ceruk leher sang istri.Udara pagi ini, membuat rambut halus berdiri tegak, lantaran mendekati musim dingin. Semalam saja hujan turun cukup lama, ketika Livy dan El tengah memadu kasih, saling berpacu memuaskan hasrat masing-masing.“Berikan saja resepnya pada chef. Dua jam lagi kita turun, aku masih ingin seperti ini,” tukas El.Livy terkekeh geli, selain mendengar kata-kata manja bayi besarnya, tangan El juga bergerak liar di balik selimut. Lelaki ini tak puas setelah mereguk nikmat nektar dari raganya.“Sayang?” Livy mulai terpacing suasana, napasnnya sedikit terengah.“Sekali lagi, bagaimana?”
“Maksudmu Paman Sergio?” Konfirmasi El, menatap lekat-lekat netra putranya. “Paman tinggal di rumahnya. Dia baik-baik saja, kamu mau lihat sesuatu?” tanya El.Bagaimanapun, El tidak mau anak-anaknya terseret pusara masalah. Ia tahu putranya yang satu ini sangat peduli pada sekitar. Ditambah, Sergio meninggalkan citra baik dalam benak Al.Alam bawah sadar El yakin, Sergio memang sengaja membuat anak-anaknya mengenal sekaligus menganggap orang itu tak berbahaya.Sedangkan Livy tergugu, ia kebingungan hendak menjawab apa. Beruntung, El dapat diandalkan menenangkan situasi.“Apa itu?” balas Al suaranya melemah.“Kemarilah!” El merentangkan satu tangan, mengundang Al mendekat. “Kamu lihat ini, jagoan. Paman itu hidup layak dan nyaman, kemarin Daddy hanya mengobrol.” El mengangguk kecil, ekor matanya melirik Livy.“Daddy tidak bohong?” Al menolehkan kepala pada El. “Tapi … kenapa pengawal mengikat tangan Paman? Mommy juga tidak suka, kemarin memarahi Paman.”“Untuk apa Daddy berbohong. Buka
“Ada apa Mommy?” kompak Al dan Gal, mendongak menatap wajah pucat pasi Livy.“Tangan Mommy basah,” ucap keduanya masih memandangi Livy. “Mommy sakit ya?” celetuk Gal.Berbeda dengan Gal, Al mengikuti arah tatapan Livy. Ia tidak mengerti, dan mengerjapkan mata saat wajah ibunya semakin putih seolah tak dialiri darah merah.Ketika mobil semakin mendekat rasa takut Livy tak terkendali, ia benar-benar trauma pada peristiwa itu. Di mana seseorang membius dan membawanya ke dalam mobil van.“Mom lihat, itu Paman pengawall!” tunjuk Al. Saking sibuk dengan rasa takut yang menggerogoti diri, Livy tak merespon ucapan Al. Wanita ini tidak tahu harus meminta pertolongan pada siapa, lidahnya saja seolah terikat tak bisa bicara.“Mommy!” panggil Al dan Gal.“Katanya kita mau ke rumah sakit, cepat Mommy.” Al menarik-narik ujung blazer Seketika, Livy terkesiap, ia mengerjap berulang kali, sampai menyadari bahwa sosok pria yang sangat dikenali itu turun dari van berplat nomor tidak dikenal. Kepala Pen
“Tanganmu kenapa Gal?” Al menunjuk lengan adiknya ditempel plester putih.Paska pemeriksaan Gal selesai, Livy segera membawa anak-anaknya pulang ke mansion, tidak lupa ia mengucap banyak terima kasih pada Penelope. Sekarang, dua malaikat kecil itu sedang duduk di atas sofa ruang keluarga. Mereka menonton serial kartun kesukaan, sembari menunggu El pulang.“Aku disuntik lagi Kak, dan ini sakit,” adu Gal matanya berkaca-kaca serta pipi menggembung. “Om dokter bilang, supaya aku tetap sehat tapi kemarin ‘kan sudah dikasih obat oleh Kak Al,” sambung Gal tidak mengerti.Al tampak mengetuk dagu, bocah itu berpikir keras. Padahal Al sangat menginginkan adiknya tidak lagi menerima jarum suntik atau obat-obatan pahit.“Mungkin, agar obatnya berkerja maksimal Gal. Kamu tenang saja, nanti aku cari informasinya di internet.” Al memeluk Gal dan menepuk punggung kurus.“Terima kasih Kakak. Tanganku sakit disuntik terus,” rengek Gal.Berbeda dengan dari dua anaknya, Livy duduk beralaskan permadani
“Asyik hari ini kita ke villa abuelo. Aku mau berenang di sana.” Antusias Gal melompat kegirangan melihat Livy dan El sibuk memeriksa barang.Ekor mata Al melirik tajam. “Berenang? Apa aku tidak salah? Kamu mau berenang di kolam salju? Yang benar saja Gal,” ledeknya.“Oh iya aku lupa Kak. Tanaman di depan mansion juga beku terkena es, pasti kolam berenang juga ‘kan? Aku sudah lama tidak ke sana, semenjak sering disuntik om dokter, Mommy dan Daddy tidak liburan lagi,” adu balita itu.Tujuh hari berlalu paska bertemunya Al dengan orang asing, anak itu sempat jujur pada El. Ia mengatakan Sergio tidak melakukan apa-apa, hanya bertanya mengapa Al ada di sana, ia juga meminta Daddy-nya tidak menyakiti Sergio.Al dan El mencapai kesepakatan, keduanya berjanji melupakan masalah. Sekarang keluarga kecil itu bersiap menikmati liburan musim dingin bersama anggota keluarga yang lain.“Siap anak-anak?!” seru El tepat di samping badan mobil.“Tentu Daddy.” Kompak dua malaikat kecil, tidak lupa Livy