“Ada apa Mommy?” kompak Al dan Gal, mendongak menatap wajah pucat pasi Livy.“Tangan Mommy basah,” ucap keduanya masih memandangi Livy. “Mommy sakit ya?” celetuk Gal.Berbeda dengan Gal, Al mengikuti arah tatapan Livy. Ia tidak mengerti, dan mengerjapkan mata saat wajah ibunya semakin putih seolah tak dialiri darah merah.Ketika mobil semakin mendekat rasa takut Livy tak terkendali, ia benar-benar trauma pada peristiwa itu. Di mana seseorang membius dan membawanya ke dalam mobil van.“Mom lihat, itu Paman pengawall!” tunjuk Al. Saking sibuk dengan rasa takut yang menggerogoti diri, Livy tak merespon ucapan Al. Wanita ini tidak tahu harus meminta pertolongan pada siapa, lidahnya saja seolah terikat tak bisa bicara.“Mommy!” panggil Al dan Gal.“Katanya kita mau ke rumah sakit, cepat Mommy.” Al menarik-narik ujung blazer Seketika, Livy terkesiap, ia mengerjap berulang kali, sampai menyadari bahwa sosok pria yang sangat dikenali itu turun dari van berplat nomor tidak dikenal. Kepala Pen
“Tanganmu kenapa Gal?” Al menunjuk lengan adiknya ditempel plester putih.Paska pemeriksaan Gal selesai, Livy segera membawa anak-anaknya pulang ke mansion, tidak lupa ia mengucap banyak terima kasih pada Penelope. Sekarang, dua malaikat kecil itu sedang duduk di atas sofa ruang keluarga. Mereka menonton serial kartun kesukaan, sembari menunggu El pulang.“Aku disuntik lagi Kak, dan ini sakit,” adu Gal matanya berkaca-kaca serta pipi menggembung. “Om dokter bilang, supaya aku tetap sehat tapi kemarin ‘kan sudah dikasih obat oleh Kak Al,” sambung Gal tidak mengerti.Al tampak mengetuk dagu, bocah itu berpikir keras. Padahal Al sangat menginginkan adiknya tidak lagi menerima jarum suntik atau obat-obatan pahit.“Mungkin, agar obatnya berkerja maksimal Gal. Kamu tenang saja, nanti aku cari informasinya di internet.” Al memeluk Gal dan menepuk punggung kurus.“Terima kasih Kakak. Tanganku sakit disuntik terus,” rengek Gal.Berbeda dengan dari dua anaknya, Livy duduk beralaskan permadani
“Asyik hari ini kita ke villa abuelo. Aku mau berenang di sana.” Antusias Gal melompat kegirangan melihat Livy dan El sibuk memeriksa barang.Ekor mata Al melirik tajam. “Berenang? Apa aku tidak salah? Kamu mau berenang di kolam salju? Yang benar saja Gal,” ledeknya.“Oh iya aku lupa Kak. Tanaman di depan mansion juga beku terkena es, pasti kolam berenang juga ‘kan? Aku sudah lama tidak ke sana, semenjak sering disuntik om dokter, Mommy dan Daddy tidak liburan lagi,” adu balita itu.Tujuh hari berlalu paska bertemunya Al dengan orang asing, anak itu sempat jujur pada El. Ia mengatakan Sergio tidak melakukan apa-apa, hanya bertanya mengapa Al ada di sana, ia juga meminta Daddy-nya tidak menyakiti Sergio.Al dan El mencapai kesepakatan, keduanya berjanji melupakan masalah. Sekarang keluarga kecil itu bersiap menikmati liburan musim dingin bersama anggota keluarga yang lain.“Siap anak-anak?!” seru El tepat di samping badan mobil.“Tentu Daddy.” Kompak dua malaikat kecil, tidak lupa Livy
“Livy?!” “Mom!”Sigap El, Al dan Gal bangkit dari duduknya, ketiga lelaki berbeda usia itu menolong Livy. Rahang tegas El berkedut dan mengetat, lelaki ini sempat melirik tajam adik iparnya. Kondisi di ruang makan pun berubah riuh, terutama Emilia menundukkan kepala tidak berani menatap wajah menyeramkan kakak ipar. “El cepatlah bantu Livy menghilangkan rasa panas dan sakit!” perintah Dad Leon membuyarkan fokus El.Buru-buru El membawa Livy ke kamar mandi, membasuh mata. Diikuti kedua anak yang tak mau menjauh karena mengkhawatirkan keadaan mata sang ibu.Al dan Gal tidak banyak mengucap kata sebab mereka tahu, ibu dan ayahnya sedang panik. Apalagi, sekarang wajah Livy memerah menahan sakit, serta tangan kiri mencengkeram erat pinggiran meja wastafel. Bahkan keduanya cekatan meraih handuk kecil dari lemari di kamar mandi. Al menyerahkannya pada El, lalu berdiri sedikit menjauh.“Al, minta tolong Bibi Es untuk telepon dokter!” titah El tanpa menoleh pada putranya.Anak itu langsung
“Livy, Mi Amor, lihat baju hangatku tidak?” El sibuk membuka lemari, dan bolak-balik memeriksa isi koper. Tak kunjung mendapat jawaban, lelaki itu memutar tumit, betapa terkejutnya El mendapati Livy dalam keadaan gemetar serta melamun. Pupil El melebar, kala perhatiannya tersedot ke arah ponsel di kaki wanitanya.“Mi Amor?” panggil El bergegas menghapus jarak dan memeluk istri.“D-dia, tidak ada di Kota Madrid. Ta-di, Paman Alonso bilang ka-lau dia pergi menggunakan kereta cepat,” cicit Livy tangannya gemetaran, lalu menyelami sepasang netra biru safir. “Dia pasti ke sini Kak, penyesalannya itu bohong!” racaunya tak tenang.“Iya Mi Amor, tidak semudah itu seseorang berubah. Aku hubungi Paman Alonso.” El meraih ponselnya di atas punggung kaki Livy. Lantas berdiri tepat di hadapan wanitanya.Lelaki ini membelai sayang kepala Livy, membawanya mendekat hingga menempel pada otot perut yang belum terlapisi pakaian. El bisa merasakan tubuh pujaan hati gemetaran dan sedikit demam.El tetap f
“Di mana anak-anakku?!” teriak Livy tertahan gumpalan kain di mulutnya. “Keterlaluan kamu Sergio! Aku membencimu,” umpatnya.“Hey, mantan istri, kamu tidak boleh mencaci maki pria terpelajar sepertiku.” Sergio mendekat dan meraih segenggam rambut Livy, pria itu mengendusnya. “Seandainya saja ku tahu kalau kamu putri kandung lelaki tua bangka pesakitan itu, pasti ….” Sergio menyeringai.Kelopak mata Livy melebar, bola matanya nyaris melompat dari tempat. Wanita ini menatap nyalang pria di depannya, ia benar-benar membenci Sergio.Walaupun Sergio menggunakan kruk, tetapi bergerak cukup lincah dan tidak terhalang oleh alat bantu jalan. Tampaknya, satu minggu lalu, pria itu hanya akting belaka agar dikasihani.“Jangan memelototiku Sayang. Umm … sialnya, aku tidak tahu kalau kamu tuan putri yang asli. Tuan Torres luar biasa menemukan siapa pemilik sah FG, kamu hebat Sayang bisa menyingkirkan Sonia!” Tawa Sergio menggelegar di dalam rumah tua ini.“Katakan di mana anak-anakku Sergio!” jerit
“Daddy?!” panggil Al suaranya nyaring menembus angin.Di samping badan helikopter, El berdiri, mengangkat sebelah alis dan memperhatikan pakaian putra sulung tampak tak biasa. Naluri lelaki ini teramat kuat jika Al memiliki rencana.“Tidak, jagoan! Tunggulah di rumah, bukankah aku sudah janji membawa Mommy-mu pulang?”“Tidak bisa begitu Dad. Menurutku, kita harus berangkat sekarang, karena ….” Al menunjukkan jam tangan pada pergelangannya. Wajah anak itu serius, Al benar-benar terpukul mengetahui titik lokasi keberadaan Livy. Tanpa mendapat persetujuan, Al melompat ke dalam helikopter.Sedangkan El memelotot mendapati lokasi sang istri, lelaki ini menggeram marah, sebab Sergio membawa Livy ke dalam hutan.“Al turunlah! Tempatnya sangat berbahaya.” El mengedikkan dagu pada anak buah, memberi perintah menurunkan bocah itu. “Berikan saja jam tanganmu!”“Tidak mau! Aku harus menemukan Mommy, aku sudah janji pada Gal,” ucap bocah keras kepala.Alhasil, Al dipaksa turun tetapi kedua tangan
“Ada apa Mi Amor?” El mengerjapkan mata, dan meringis karena sebelah tangannya kebas. “Dia … umm, maksudku Sergio berhasil ditemukan. Maaf, tidak sengaja—““Bukan masalah Livy, kamu berhak mengetahuinya.” El memperhatikan perubahan air muka wanitanya.Livy tampak menelan saliva dan menggigit bibir bawah, ia penasaran ingin mengetahui kondisi Sergio. Bagian dari hati kecilnya sungguh jahat berharap lelaki itu tak lagi bernapas.“Kita hubungi bersama-sama, supaya kamu bisa mendengarnya juga, mana ponselku?” Tangan El terulur meminta telepon genggamnya dikembalikan. Livy sibuk memperhatikan gerakan ibu jari El, lubuk hatinya pun tak henti memanjatkan harapan agar masalah ini segera selesai. Telepon pun tersambung, sesaat El dan Livy saling pandang, kemudian fokus mendengarkan penuturan ketua tim. Livy sempat menegang, ketika mendengar kronologi penemuan pria itu, intinya ia ingin segera mengetahui nasib Sergio.El melirik Livy dan mendekatkan mulut pada layar. “Lalu bagaimana dengann
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa