Selamat Siang Kak selamat membaca ╰(*´︶`*)╯
Dua minggu setelah tragedi berdarah, kehidupan El dan Livy belum tenang. Pasalnya keadaan kakek masih kritis, serta Jorge Marquez belum divonis hukum.Beberapa hari lalu petugas mengamankan Jorge, sidang perdana pria itu segera di gelar oleh pengadilan. Akan tetapi El tahu, Jorge tidak akan menjalani kehidupan utuh dalam bui. Sebab keluarga Marquez memiliki pengaruh kuat di instansi pemerintah dan hukum. “Daddy, mau itu,” tunjuk Al membuyarkan atensi El yang sedang menonton siaran berita.“Kamu mau ini? Ok, jangan sampai ketahuan Mommy!” El menggapai putra sulungnya. Membawa ke atas paha. “Buka mulutmu!” Tangan kekarnya menyuapi mulut kecil Al. “Enak ‘kan?”Batita itu mengangguk cepat, mulutnya mengunyah makanan, dalam sekejap kembali membuka mulut. Al sangat menyukai bola-bola coklat pemberian Bibinya—Estefania.“Tapi jangan banyak-banyak, Mom bisa marah. Sebaiknya sekarang minum dan kumur-kumur! Ayo!” ajak El sambil menggendong Al ke dapur.Ketika El tengah sibuk menyeka mulut putr
“Bagaimana bisa lukanya infeksi begini?” cerca Livy sambil mondar-mandir dalam kamar.Bahkan tubuh El demam, suhunya mencapai 40 derajat celcius. Bukan hanya itu saja, tetapi, pria ini juga menggigil, gemetaran. Saat mengetahui luka di punggung mengeluarkan cairan kekuningan pekat. Livy hendak membopong tubuh kekar El ke dalam mobil, sayangnya menolak. El bersikukuh tetap di dalam kamar, menyatakan cukup istirahat dan semua akan baik-baik saja. Akan tetapi Livy dilanda cemas, akhirnya menghubungi dokter pribadi.Sekarang, dokter itu tengah membersihkan luka sembar mencemooh pasangan suami istri. “Iya bisa, suamimu, si bodoh ini melakukan hal receh tapi serius. Sudah tahu bekas lukanya belum tertutup sempurna, dia malah bermain air hujan,” gerutu dokter sekaligus sepupu jauh El.Langkah kaki Livy berhenti, atensinya tertuju pada kaos kemeja hitam sang suami di dalam keranjang baju kotor. Tadi sewaktu ia menaruh kaos hitam, tak sengaja melihat beberapa pakaian basah miliknya dan El.“
“Toko roti?” Livy tercenung, netra coklatnya menatap lekat-lekat senyum manis nan lembut sang suami. “Aku mau, malah itu mimpiku memiliki toko roti besar bukan … aku ingin menjalani pekerjaan sesuai hobiku,” harapnya.El menaikan sebelah alis. “Lalu?” Ia menjulurkan tangan, meraih bahu Livy dan membawanya dalam pelukan hangat, El berujar, “Mimpimu masih bisa jadi nyata Mi Amor. Aku ingin istriku bahagia.”Livy menjauhkan kepala, ia mendongak, menyelami kedua iris biru safir. Kening wanita ini tampak mengerut dalam, ia berpikir keras lalu pandangannya teralih pada undakan tangga yang mengarah ke lantai dua.“Tapi … aku tidak memiliki waktu Kak. Al dan Gal bagaimana? Belum lagi, aku harus mengurus FG,” adu Livy melepas keganjalan dalam hati.Telapak tangan lebar El mengusap sepanjang tulang punggung, lantas melabuhkan kecupan basah di dahi. Lelaki ini menangkup pipi Livy, kemudian El mengedikkan dagu pada jam digital.“Ada 24 jam dalam sehari. Kamu hanya perlu sesekali mengawasi, jadi ma
“Diam Alonso! Sebaiknya sampaikan nanti setelah aku menghukum dua anak ini!” seru Dad Leon.Mendapat ultimatum dari tuannya, Alonso segera beranjak. Kebetulan Mom Pamela dan para menantu menghimbau Alonso makan siang bersama. Sehingga asisten pribadi itu melangkah melewati ketiga manusia konyol di depannya.“Selamat siang, Paman Leon,” teriak seseorang dari arah depan. “Apa yang kalian lakukan?!” Diego memelotot melihat El meringis.“Kamu?!” tunjuk El, melebarkan mata. “Untuk apa datang ke sini? Seenaknya saja masuk rumah orang tanpa izin!” sergahnya tak suka karena Diego pasti curi-curi perhatian Livy.“Aku yang menyuruhnya ke sini, ada berkas untuk ayahnya. Sudahlah, sebaiknya kalian makan! Dan jangan bertengkar! Kepalaku pusing.” Dad Leon melepas tangan dari daun telinga dua anaknya.Buru-buru El berlari meninggalkan ruang keluarga, lelaki ini membawa Livy-nya mengambil posisi terbaik—jauh dari Diego. Bahkan ia menaruh serbet di atas paha Livy, menuangkan jus untuk istri. El juga m
Livy tak bisa berkata-kata saat dua orang yang dikenalnya turun dari lantai dua sembari membawa kue ulangtahun. Lelehan bening kian berderai, karena tanpa jawaban El pun ia sudah tahu, siapa pemilik toko ini.“Selamat ulang tahun Bu Livy, kami siap membantu Ibu di toko ini,” kata dua pengawas toko roti.“Terima kasih … aku ….” Livy mengipas wajah dengan jemari lentiknya. Ia terharu karena mantan pegawai, kini menjadi karyawannya lagi, dan tetap mengingatnya.“Bu Livy pantas bahagia.” “Terima kasih ilmu yang Ibu berikan.” Kompak kedua pengawas itu.Dulu, selepas toko roti bangkrut, keduanya berusaha menciptakan peluang, dengan berbisnis makanan kecuali roti. Sebab merasa tidak enak hati sudah diberikan modal, apa iya harus menggunakan resep pemberian Livy.El merangkul pundak istri. Ia berseru pada semua orang, “Sekarang, nikmati pestanya!” “Sayang, ini toko rotinya langsung buka?” tanya Livy dengan air muka terkejut sekaligus bahagia.“Tentu saja, khusus tujuh hari ini semua pengunju
“Aku takut kamu hamil lagi, Mi Amor,” racau El, pertama kali wajahnya kusut setelah sesi bercinta.Livy mengedip tidak percaya, bisa-bisanya seorang suami takut menghamili istrinya sendiri. Kemudian ia menggoda El, menainkan sebelah tangan tepat pada rahang tegas.“Tapi, bagaimana kalau ternyata aku hamil lagi?” desah manja Livy.“Aku tidak akan menolak karena itu anak kita. Tapi … sebisa mungkin mencegahnya.” El melepas tubuhnya dari milik Livy, pelan-pelan menurunkan wanita ini ke sofa. “Melihatmu kesakitan, tidak bangun setelah melahirkan membuatku takut. Ya aku memang pengecut … itu karena tidak mau kehilangan kamu,” lirihnya. “Bagiku Al dan Gal sudah cukup. Gal memerlukan perhatian lebih dari kita, aku ingin putraku sembuh, hidup normal seperti anak lainnya,” harap El.Iris biru safir memandang sendu ke luar kaca, El menghela napas berat mengingat sampai sekarang Gal memerlukan terapi. Sebagai ayah, jiwa dan raganya tidak tega setiap kali bocah itu diberikan obat-obatan.Livy ber
“Dokter?! Galtero … tidak terjadi sesuatu ‘kan? Maksudku dia—tetap bangun?” tanya Livy, intonasinya mengalun lemah, penuh ketakutan dalam setiap kata.Lagi, setiap kali Gal dilarikan ke rumah sakit dan memasuki ruang pemeriksaan khusus, Livy selalu panik. Garis ketegangan serta kecemasan berlebih tampak nyata, hingga ia melontarkan kalimat tanya klasik.“Mi Amor?” lirih El turut merasakan hal yang sama.“Tidak Sayang, aku ingin tahu keadaan Gal. Dia masih membuka mata ‘kan dokter?” Derai air mata tak terbendung lagi. “Putraku … Galtero, aku ingin menemuinya.” Livy memaksa masuk ruangan, menerobos barisan dokter dan perawat.El mencekal pergelangan tangan, sebab tim medis belum mengizinkan mereka masuk. Namun, bagi Livy, saat ini paling penting memastikan putranya tetap bernapas dan membuka mata.“Kak, aku mau masuk … kenapa dokter hanya diam saja? Artinya … Gal sehat di dalam sana!” seru Livy dengan mata menyala, dan berusaha melepas tangan El.Melihat situasi tak terkendali, tim dokt
“Tuan Muda Torres. Kondisi Galtero, jika dibiarkan fungsi organ lain akan menurun. Bahkan, untuk mengurangi rasa sakit, pasien harus meningkatkan kuantitas transfusi darah,” jelas dokter menambah hancur perasaan El.“Apa kalian sudah menemukan pendonor yang sesuai dengan putraku?” tanya El suaranya berubah sengau.“Maaf Tuan, menemukan pendonor sel punca yang cocok tidaklah mudah.” Dokter menggelengkan kepala. “Selama belum dilakukan transplantasi, Galtero selalu mengalami anemia, saya harap pasien tidak menjalani aktifitas fisik berlebih.” Sekarang, El menyampaikan penjelasan dokter pada Livy, ia tak bisa memendam sendirian. Sebab wanitanya pasti mencari tahu, dan seperti yang sudah lalu, ibu dua anak ini menangis seharian hingga tak keluar kamar. “Kenapa pilihan terakhir harus cangkok sel punca? Padahal ….” Livy menyusut air mata, bibirnya kembali terbuka dan bicara, “Sejak bayi, Gal selalu terapi. Obat yang masuk ke dalam tubuhnya itu banyak, dan—““Mi Amor ….” El maju satu langka