Ternyata datangnya Alonso bisa jadi penolong El ya (☉。☉)!
“Diam Alonso! Sebaiknya sampaikan nanti setelah aku menghukum dua anak ini!” seru Dad Leon.Mendapat ultimatum dari tuannya, Alonso segera beranjak. Kebetulan Mom Pamela dan para menantu menghimbau Alonso makan siang bersama. Sehingga asisten pribadi itu melangkah melewati ketiga manusia konyol di depannya.“Selamat siang, Paman Leon,” teriak seseorang dari arah depan. “Apa yang kalian lakukan?!” Diego memelotot melihat El meringis.“Kamu?!” tunjuk El, melebarkan mata. “Untuk apa datang ke sini? Seenaknya saja masuk rumah orang tanpa izin!” sergahnya tak suka karena Diego pasti curi-curi perhatian Livy.“Aku yang menyuruhnya ke sini, ada berkas untuk ayahnya. Sudahlah, sebaiknya kalian makan! Dan jangan bertengkar! Kepalaku pusing.” Dad Leon melepas tangan dari daun telinga dua anaknya.Buru-buru El berlari meninggalkan ruang keluarga, lelaki ini membawa Livy-nya mengambil posisi terbaik—jauh dari Diego. Bahkan ia menaruh serbet di atas paha Livy, menuangkan jus untuk istri. El juga m
Livy tak bisa berkata-kata saat dua orang yang dikenalnya turun dari lantai dua sembari membawa kue ulangtahun. Lelehan bening kian berderai, karena tanpa jawaban El pun ia sudah tahu, siapa pemilik toko ini.“Selamat ulang tahun Bu Livy, kami siap membantu Ibu di toko ini,” kata dua pengawas toko roti.“Terima kasih … aku ….” Livy mengipas wajah dengan jemari lentiknya. Ia terharu karena mantan pegawai, kini menjadi karyawannya lagi, dan tetap mengingatnya.“Bu Livy pantas bahagia.” “Terima kasih ilmu yang Ibu berikan.” Kompak kedua pengawas itu.Dulu, selepas toko roti bangkrut, keduanya berusaha menciptakan peluang, dengan berbisnis makanan kecuali roti. Sebab merasa tidak enak hati sudah diberikan modal, apa iya harus menggunakan resep pemberian Livy.El merangkul pundak istri. Ia berseru pada semua orang, “Sekarang, nikmati pestanya!” “Sayang, ini toko rotinya langsung buka?” tanya Livy dengan air muka terkejut sekaligus bahagia.“Tentu saja, khusus tujuh hari ini semua pengunju
“Aku takut kamu hamil lagi, Mi Amor,” racau El, pertama kali wajahnya kusut setelah sesi bercinta.Livy mengedip tidak percaya, bisa-bisanya seorang suami takut menghamili istrinya sendiri. Kemudian ia menggoda El, menainkan sebelah tangan tepat pada rahang tegas.“Tapi, bagaimana kalau ternyata aku hamil lagi?” desah manja Livy.“Aku tidak akan menolak karena itu anak kita. Tapi … sebisa mungkin mencegahnya.” El melepas tubuhnya dari milik Livy, pelan-pelan menurunkan wanita ini ke sofa. “Melihatmu kesakitan, tidak bangun setelah melahirkan membuatku takut. Ya aku memang pengecut … itu karena tidak mau kehilangan kamu,” lirihnya. “Bagiku Al dan Gal sudah cukup. Gal memerlukan perhatian lebih dari kita, aku ingin putraku sembuh, hidup normal seperti anak lainnya,” harap El.Iris biru safir memandang sendu ke luar kaca, El menghela napas berat mengingat sampai sekarang Gal memerlukan terapi. Sebagai ayah, jiwa dan raganya tidak tega setiap kali bocah itu diberikan obat-obatan.Livy ber
“Dokter?! Galtero … tidak terjadi sesuatu ‘kan? Maksudku dia—tetap bangun?” tanya Livy, intonasinya mengalun lemah, penuh ketakutan dalam setiap kata.Lagi, setiap kali Gal dilarikan ke rumah sakit dan memasuki ruang pemeriksaan khusus, Livy selalu panik. Garis ketegangan serta kecemasan berlebih tampak nyata, hingga ia melontarkan kalimat tanya klasik.“Mi Amor?” lirih El turut merasakan hal yang sama.“Tidak Sayang, aku ingin tahu keadaan Gal. Dia masih membuka mata ‘kan dokter?” Derai air mata tak terbendung lagi. “Putraku … Galtero, aku ingin menemuinya.” Livy memaksa masuk ruangan, menerobos barisan dokter dan perawat.El mencekal pergelangan tangan, sebab tim medis belum mengizinkan mereka masuk. Namun, bagi Livy, saat ini paling penting memastikan putranya tetap bernapas dan membuka mata.“Kak, aku mau masuk … kenapa dokter hanya diam saja? Artinya … Gal sehat di dalam sana!” seru Livy dengan mata menyala, dan berusaha melepas tangan El.Melihat situasi tak terkendali, tim dokt
“Tuan Muda Torres. Kondisi Galtero, jika dibiarkan fungsi organ lain akan menurun. Bahkan, untuk mengurangi rasa sakit, pasien harus meningkatkan kuantitas transfusi darah,” jelas dokter menambah hancur perasaan El.“Apa kalian sudah menemukan pendonor yang sesuai dengan putraku?” tanya El suaranya berubah sengau.“Maaf Tuan, menemukan pendonor sel punca yang cocok tidaklah mudah.” Dokter menggelengkan kepala. “Selama belum dilakukan transplantasi, Galtero selalu mengalami anemia, saya harap pasien tidak menjalani aktifitas fisik berlebih.” Sekarang, El menyampaikan penjelasan dokter pada Livy, ia tak bisa memendam sendirian. Sebab wanitanya pasti mencari tahu, dan seperti yang sudah lalu, ibu dua anak ini menangis seharian hingga tak keluar kamar. “Kenapa pilihan terakhir harus cangkok sel punca? Padahal ….” Livy menyusut air mata, bibirnya kembali terbuka dan bicara, “Sejak bayi, Gal selalu terapi. Obat yang masuk ke dalam tubuhnya itu banyak, dan—““Mi Amor ….” El maju satu langka
“Sebenarnya apa yang terjadi? Sia yang dia temui?” gumam Livy, berjalan mondar-mandir dalam kamar.Dua jam lalu, setelah menerima telepon serta kabar tidak mengenakan, El bergegas berangkat ke rumah tahanan. Ia didampingi Alonso dan Kepala Pengawal mengunjungi mantan istri, dan ini menjadi rahasia El.Berat hati Livy melepas El pergi, ia tidak bisa ikut dengan suami, lantaran menemani Al dan Gal tidur. Apalagi Galtero, dilarang begadang, bisa-bisa badannya lemas dan berakhir di atas ranjang rumah sakit.Digerogoti keingintahuan tinggi, Livy tidak menghubungi Alonso atau suaminya, tidak juga Kepala Pengawal. Melainkan, sopir yang mengantar El, ia yakin pria itu akan menceritakan semuanya.“Halo, Pak, sudah di lokasi? Di mana suamiku?”[Sudah Nyonya. Tuan di dalam.]“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mengunnjungi penjara? Siapa yang membuat ulah?” Selidik Livy, ia yakin sopirnya mendengar percakapan antara El dan Alonso.[Maaf Nyonya, saya tidak tahu apa-apa, karena Tuan Muda tidak men
“Untuk apa kalian datang ke sini? Mau bertepuk tangan karena menang telak, benar?” berang Tuan Besar Marquez.Livy melirik El, wanita ini melingkarkan tangan pada lengan suaminya. Ia tidak terkejut menerima reaksi penolakan dari Keluarga Marquez. Hanya saja, Livy memperhatikan raut muka lelaki di sisinya. Ada sesal, sedih, duka dan amarah, tampak jelas pada garis wajah El.El mengepalkan tangan, mengembuskan napas kasar, dan sorot matanya menukik tajam menatap pusara di depannya. ‘Aku tidak menyangka hubungan baik kita berakhir seperti ini Jorge,’ batin El.“Sayang?” bisik Livy, karena El terlihat tak menanggapi ocehan Tuan Besar Marquez.“Pergi kalian! Aku tidak sudi melihat pembunuh putraku!” bentak Tuan Marquez menggelegar diantara pepohonan. “Ini semua salahmu, putraku menjalin hubungan dengan wanita ular itu dan … kami kehilangan pewaris.”Tangan keriput Tuan Marquez hampir saja mendorong Livy, sigap El mencekal pria sepuh itu. Kini iris biru safirnya berkilat, ia tidak suka w
“Kami tidak tahu Paman Jorge yang mana, karena di sana banyak sekali nama Jorge.” Al menunjuk layar laptop.Livy menoleh laptop, ia bergumam, “Jorge?” Kemudian mendekati layar tipis, membaca beberapa judul artikel dihasilkan mesin pencari. ‘Apa mungkin Jorge Marquez? Tapi ... pria itu sudah meninggal,’ batin Livy sembari mengulas senyum setipis benang.Di kala wanita berparas ayu ini dilanda kebingungan, ketiganya mendengar ketukan pintu. Kompak, Livy, Al, dan Gal menoleh pada sumber suara, ketiganya menatap El.Al menghambur ke pelukan ayahnya, sedangkan Gal duduk diam di tepi ranjang. Segala larangan menghambat putra kedua El dan Livy melakukan kegiatan menyenangkan.“Sedang apa di sini? Boleh Daddy ikut bermain?” tanya El membawa Al dalam gendongan.“Kami tidak main Dad, tapi mencari obat untuk Gal. Aku ingin adikku sembuh Dad,” harap Al, mengangguk-anggukan kepala. “Boleh aku tahu di mana alamat Paman Jorge?” Seketika, kening El mengerut dalam, netra elangnya memicing menatap bibi