Pagi Kak selamat membaca ╰(*´︶`*)╯
“Sebenarnya apa yang terjadi? Sia yang dia temui?” gumam Livy, berjalan mondar-mandir dalam kamar.Dua jam lalu, setelah menerima telepon serta kabar tidak mengenakan, El bergegas berangkat ke rumah tahanan. Ia didampingi Alonso dan Kepala Pengawal mengunjungi mantan istri, dan ini menjadi rahasia El.Berat hati Livy melepas El pergi, ia tidak bisa ikut dengan suami, lantaran menemani Al dan Gal tidur. Apalagi Galtero, dilarang begadang, bisa-bisa badannya lemas dan berakhir di atas ranjang rumah sakit.Digerogoti keingintahuan tinggi, Livy tidak menghubungi Alonso atau suaminya, tidak juga Kepala Pengawal. Melainkan, sopir yang mengantar El, ia yakin pria itu akan menceritakan semuanya.“Halo, Pak, sudah di lokasi? Di mana suamiku?”[Sudah Nyonya. Tuan di dalam.]“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa mengunnjungi penjara? Siapa yang membuat ulah?” Selidik Livy, ia yakin sopirnya mendengar percakapan antara El dan Alonso.[Maaf Nyonya, saya tidak tahu apa-apa, karena Tuan Muda tidak men
“Untuk apa kalian datang ke sini? Mau bertepuk tangan karena menang telak, benar?” berang Tuan Besar Marquez.Livy melirik El, wanita ini melingkarkan tangan pada lengan suaminya. Ia tidak terkejut menerima reaksi penolakan dari Keluarga Marquez. Hanya saja, Livy memperhatikan raut muka lelaki di sisinya. Ada sesal, sedih, duka dan amarah, tampak jelas pada garis wajah El.El mengepalkan tangan, mengembuskan napas kasar, dan sorot matanya menukik tajam menatap pusara di depannya. ‘Aku tidak menyangka hubungan baik kita berakhir seperti ini Jorge,’ batin El.“Sayang?” bisik Livy, karena El terlihat tak menanggapi ocehan Tuan Besar Marquez.“Pergi kalian! Aku tidak sudi melihat pembunuh putraku!” bentak Tuan Marquez menggelegar diantara pepohonan. “Ini semua salahmu, putraku menjalin hubungan dengan wanita ular itu dan … kami kehilangan pewaris.”Tangan keriput Tuan Marquez hampir saja mendorong Livy, sigap El mencekal pria sepuh itu. Kini iris biru safirnya berkilat, ia tidak suka w
“Kami tidak tahu Paman Jorge yang mana, karena di sana banyak sekali nama Jorge.” Al menunjuk layar laptop.Livy menoleh laptop, ia bergumam, “Jorge?” Kemudian mendekati layar tipis, membaca beberapa judul artikel dihasilkan mesin pencari. ‘Apa mungkin Jorge Marquez? Tapi ... pria itu sudah meninggal,’ batin Livy sembari mengulas senyum setipis benang.Di kala wanita berparas ayu ini dilanda kebingungan, ketiganya mendengar ketukan pintu. Kompak, Livy, Al, dan Gal menoleh pada sumber suara, ketiganya menatap El.Al menghambur ke pelukan ayahnya, sedangkan Gal duduk diam di tepi ranjang. Segala larangan menghambat putra kedua El dan Livy melakukan kegiatan menyenangkan.“Sedang apa di sini? Boleh Daddy ikut bermain?” tanya El membawa Al dalam gendongan.“Kami tidak main Dad, tapi mencari obat untuk Gal. Aku ingin adikku sembuh Dad,” harap Al, mengangguk-anggukan kepala. “Boleh aku tahu di mana alamat Paman Jorge?” Seketika, kening El mengerut dalam, netra elangnya memicing menatap bibi
“Hari ini aku mau mencari alamat rumah Paman Jorge. Kamu pastikan Mom dan Daddy memperhatikanmu ya!” bisik Al membuat Gal mnggut-manggut.Sebelum berangkat sekolah, Al memberi perintah penting pada adik satu-satunya. Putra sulung ini harus menjalankan misi secepat mungkin, sebab berpacu dengan waktu. Kemarin, beruntung Al sempat meminjam ponsel Eberardo dan membawanya ke kamar. Entah kebetulan atau tidak, benda pipih milik Ar itu terjatuh tersenggol keduanya.Sementara tab berisi foto-foto alamat, aman tersimpan di bawah bantal. Al dan Gal merasa beruntung dan berterima kasih pada benda penting kepunyaan Ar. Alhasil Livy memeriksa siapa pemilik ponsel itu, lalu keluar kamar dan mengembalikannya. Memastikan kondisi terkendali, Al langsung memindahkan data dari tab ke tempat tersembunyi.“Sayang, pagi ini diantar Daddy, tapi pulang sekolah dijemput sopir ya, karena Mom menemani Gal di rumah sakit. Siang ini Daddy juga ada rapat. ” Livy mengelus puncak kepala Alessandro.Bocah kecil it
“Sepertinya memang ini mansion Paman Jorge, tapi sepi sekali.” Al celingukan di depan pagar tinggi. Ia pun menghampiri penjaga keamanan di sana. “Apa aku bisa bertemu Paman Jorge Marquez?”Kelopak mata Al mengedip-ngedip, tingkahnya sangat menggemaskan. Sehingga petugas keamanan bersikap ramah, dan menyelidiki bocah kecil itu.“Apa kamu datang sendirian?” Petugas mencari-cari orang dewasa bersama Al, sialnya tidak ada.Anak kecil itu mengangguk cepat, Al menunjukkan deret gigi susu rapi dan meletakkan tangan di balik ransel kecil.“Apa aku boleh masuk? Aku ingin bertemu Paman Jorge,” pinta Al lagi, iris birunya bergerak dari kiri ke kanan.“Begini anak kecil, Tuan Jorge Marquez sudah meninggal beberapa hari lalu. Siapa yang memerintahmu datang ke sini?”Sontak Al memelotot, ia benar-benar tidak tahu kalau orang yang dicarinya telah wafat. Tentu ini sangat ganjil, sebab tidak ada gambar apa pun di internet terkait berita itu.Sebelum Al membuka mulut untuk menanggapi kabar mengejutkan,
“Kenapa kamu tidak bisa diajak kerja sama Gal?” keluh Al mencebik. “Bukannya sudah ku bilang, alihkan perhatian Mommy dan Daddy?”“Aku ketiduran Kak. Maaf ya.” Gal melirik sekitar, kemudian mengikis jarak dengan kakaknya. Balita ini berbisik, “Apa Kakak berhasil mencari obat untukku?”Al menggembungkan pipi, menghela napas dan menggelengkan kepala. Bahu kecilnya pun terkulai lemas, sorot mata anak ini tampak sendu.“Oh tidak ketemu ya? Tidak apa-apa Kak, bisa dicoba lagi nanti.” Gal mengangkat telapak tangan setinggi dada, dan mengepalkannya.Dikarenakan dua putra ini melihat ayah dan ibunya mendekat, kompak Gal dan Al memberi makan kelinci. Mereka begitu menikmati peran, seakan tidak memikirkan apa pun, padahal isi kepala keduanya merencakan sesuatu.“Daddy?” panggil Gal, menunggu El menoleh lebih dulu, kemudian kembali berkata, “Aku ingin memelihara tupai. Boleh ya?”El menepuk jidat, dengan tegas menegakkan jari telunjuk melarang putranya memelihara binatang sesuka hati. Bukan tanp
Setelah mendengar jawaban dokter, bukannya merasa lega dan segera melakukan operasi, Livy malah merenung sendirian di ujung selasar. Ia menyandarkan punggung dan kepala pada dinding, sesekali menyugar rambut panjangnya.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya sembari menatap langit-langit rumah sakit.Tiba-tiba El datang, turut berdiri di sisi sang istri. “Mi Amor, Gal mencarimu. Dia siuman, dan membutuhkanmu.” “Benarkah dia sudah bangun?” Buru-buru Livy menyeka air mata dan masuk ruang inap khusus.Dari batas pintu saja, Livy bisa melihat putranya meringis merasa tak nyaman. Tanpa buang waktu, ia segera menghampiri Galtero.Livy mengamati dari kepala sampai ujung kaki tertutup selimut, ia berusaha menahan air mata mengingat janjinya tidak lagi menangis di hadapan anak-anak. Ibu dua anak ini duduk di tepi ranjang, membelai pipi pucat Gal.“Mom? Aku di rumah sakit lagi ya? Aku mau pulang, boleh ‘kan?” tanya Gal, suaranya melemah.“Kita menginap di sini ya. Sekarang Gal mau apa? Makan at
“Sayang, Al?” pannggil Livy selesai membawa kantong buah dan kue, ia kembali ke depan ruangan. Namun, alangkah terkejutnya ia tak mendapati Al berada di tempat. Beberapa menit lalu, miniatur El itu ada di depan pintu sedang diberikan nasihat oleh ayahnya. Sekarang keduanya menghilang.“Di mana mereka?” Livy menengok kiri dan kanan, tetapi sepanjang lorong sepi—tak ada orang.Ia mencoba berpikiran baik dan tenang, Livy menduga sang suami membawa Al ke taman atau kantin. Barang kali keduanya hendak bicara empat mata.“Apa Kak El dan Al sudah selesai? Aku mau pulang,” tegur Estefania setelah berpamitan dengan Gal.“Mereka tidak ada di luar, tunggu sebentar Es. Aku telepon Kak El. Sebaiknya kita duduk di dalam,” ajak Livy diangguki Estefania.Satu kali mencoba panggilan suara, gagal. Sambungan telepon tidak diterima El, bahkan dari atas ranjang pasien, Gal mengerutkan kening.Tangan mungil balita itu menggapai benda di atas nakas, karena kesulitan, Gal bergeser dan berhasil. Iris biru sa