Pagi Kak Menurut Kakak Al nyebelin gak nih?
“Sayang, Al?” pannggil Livy selesai membawa kantong buah dan kue, ia kembali ke depan ruangan. Namun, alangkah terkejutnya ia tak mendapati Al berada di tempat. Beberapa menit lalu, miniatur El itu ada di depan pintu sedang diberikan nasihat oleh ayahnya. Sekarang keduanya menghilang.“Di mana mereka?” Livy menengok kiri dan kanan, tetapi sepanjang lorong sepi—tak ada orang.Ia mencoba berpikiran baik dan tenang, Livy menduga sang suami membawa Al ke taman atau kantin. Barang kali keduanya hendak bicara empat mata.“Apa Kak El dan Al sudah selesai? Aku mau pulang,” tegur Estefania setelah berpamitan dengan Gal.“Mereka tidak ada di luar, tunggu sebentar Es. Aku telepon Kak El. Sebaiknya kita duduk di dalam,” ajak Livy diangguki Estefania.Satu kali mencoba panggilan suara, gagal. Sambungan telepon tidak diterima El, bahkan dari atas ranjang pasien, Gal mengerutkan kening.Tangan mungil balita itu menggapai benda di atas nakas, karena kesulitan, Gal bergeser dan berhasil. Iris biru sa
“Bibimu bilang, kamu sakit. Kenapa menolak diperiksa dokter, hem?” El melirik Estefania, kemudian kembali menatap putranya.Sedangkan Al menggembungkan pipi, perlahan mengembuskan napas. Ekor mata tajamnya terarah pada tangan, refleks menarik ujung lengan panjang.Tentu, tingkah ini membuat El curiga sekaligus penasaran. Hingga ayah dua anak merangkul bahu sang putra, ia yakin anak sulungnya menyembunyikan sesuatu.“Peluk Daddy!” El merentangkan tangan, dan Al menyambut suka cita. “Ternyata kamu tetap bayiku, jagoan kecil,” ucapnya, terkekeh geli. “Mau cerita pada Daddy? Bukankah kita itu kawan, hem?”Al mengangguk pelan dalam dekapan El. Pelan-pelan ia menjauhkan kepala, lalu mengurai pelukan, dan menggulung lengan panjang kaos sebatas siku. Al menunjukkan biru keunguan menghiasi kulit putihnya.“Ini Daddy, sakit,” cicit miniatur Donatello Xavier itu.“Astaga Al, bagaimana bisa? Ini ….” El mengamati lamat-lamat luka itu. “Apa Mommy-mu tahu tentang ini? Dan, kapan kamu disuntik? Untuk
“Kenapa aku ditinggal di sini? Huh Daddy aneh,” gerutu Al memajukan bibir.“Memangnya kamu tidak dengar tadi Daddy bilang apa? Kalau kamu menolak dibawa ke rumah sakit ya tunggu di sini.” Estefania menyelipkan tangan pada ketiak Al, mendudukkan keponakannya di atas paha. “Sebentar lagi dokter datang, memeriksa lukamu,” tunjuk wanita itu.Al mendongak, kelopak berbulu lentik bergerak. “Tapi aku mau tahu jawaban Mommy. Umm … Bibi bisa bantu tidak?”Estefania menepuk kening, mendengus kasar, sebab Al banyak maunya dan sangat bawel. Bukannya beristirahat supaya badannya tidak lelah, malah terus melontarkan pertanyaan.“Ya baiklah, tapi kamu jangan berisik Al. Kepala Bibi pusing,” ucap wanita itu mengangguk lesu.Melihat dan mendengar Bibinya mengeluh, membuat Al terbahak, lalu menutup mulut dengan sebelah telapak tangan. Anak kecil itu mengangkat satu tangan lainnya setinggi dada, membentuk jari huruf ‘O’ kepada Estefania.Belasan menit kemudian, dokter keluarga yang juga direktur rumah sa
“Dad, Mommy bilang apa? Boleh ‘kan?” BIbir Al mengerucut, kedua lengannya melingkari leher El. “Daddy? Halo? Ada aku di sini?!” teriaknya dengan suara cempreng.Bukannya terkejut atau marah pada putra sulung ajaibnya, lelaki ini malah asyik tenggelam dalam lamunan panjang. El benar-benar tidak terbawa keadaan sekitar, sesekali ia menghela napas dan mengerutkan dahi.Jemari kecil Al bergerak jahil, mengetuk pelan otot bahu Daddy-nya, tetap saja El bergeming. Akhirnya Al melompat turun dari balik punggung kekar, iris biru safirnya serta pupil melebar, memperhatikan air muka El.“Abuela?! Abuelo?! Daddy-ku sakit, dari tadi bengong terus,” seru Al sembari geleng-geleng kepala.Kurang dari dua menit sepasang kakek dan nenek mendekat, keduanya memeriksa keadaan El. Mengetahui sedang terjadi masalah tak biasa, Mom Pamela menggendong cucu berisiknya menjauh.“Abuela? Mau ke mana? Kita harus tolong Daddy! Lihat, masih bengong, jangan-jangan Mommy tidak suka aku berbuat baik untuk Gal?” tebak b
Sekarang, di area pemakaman Keluarga Fabregas kedua kaki El berpijak. Ia mengamati peti yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang. Jujur, sebagai pria yang pernah hidup satu atap, satu ranjang selama beberapa bulan bersama Sonia, ia merasa sedih. Pasalnya kehidupan mantan istri berakhir tragis, karena harta, tahta dan cinta.“Semoga kamu tenang Sonia, dan semua kesalahanmu diampuni,” gumam El netranya tak bergeser ke arah lain.Ketika peti itu mulai tertutup tanah hingga tak terlihat lagi, El mentikkan air mata. Padahal ia berharap mantan istrinya bisa berkelakuan baik, mendapat remisi tahanan dan bebas serta hidup layak. “Tuan? Mau kembali sekarang atau—““Sekarang, biarkan petugas yang mengurus semuanya. Ayo Paman,” El menoleh Alonso, mengangguk singkat.Sebelum berjalan meninggalkan pusara makam Sonia, El kembali mengernyit. Kemudian, berlari mengejar seseorang di balik pohon besar. “Argh, ke mana dia? Aku yakin tidak salah lihat, kali ini benar pasti dia orangnya,” gerutu El.Di
“Es? Di mana Al?” tanya El dengan napas tertahan karena tak mendapati keberadaan putra sulungnya.“Tadi ada di—“ Estefania ternganga, bocah ajaib itu menghilang. “Astaga, aku lupa, dia ke toilet Kak, maaf.” Segera, Estefania berlari menuju toilet, disusul El di belakang.Sialnya lagi, karena panik, Estefania masuk toilet khusus laki-laki, sehingga di dalam sana menjadi pusat perhatian para pria serta pemuda. Parahnya, mereka sedang membuka resleting, kompak memelotot padanya.“Ya ampun!” pekik wanita cantik itu. “Maaf,” cicitnya lalu berjalan mundur sembari menutup mata. “Aku mencari keponakanku.” “Bagaimana? Ada di dalam? Kenapa kamu keluar lagi, hah?” sentak El melihat adiknya gagal menemukan Al.Sungguh saat ini El dilanda kecemasan tingkat tinggi, dadanya bergemuruh hebat lantaran Al menghilang. Sebagai ayah, meskipun enggan berpikiran negatif, tetap saja El ketakutan, ada oknum tak bertanggung jawab menculik anak itu.“Maaf Kak, belum aku cari, karena … di dalam sana banyak para
“Paman! Tunggu! Jangan pergi!” teriak Al, berlari menuju salah satu pohon besar di ujung taman.Merasa ada sesuatu tak beres, Livy bergegas mengikuti putranya dari belakang. Wanita ini juga memasang mata jeli, ia takut terjadi hal di luar dugaan.“Al, tunggu Sayang!” Langkah kaki Livy cukup kesulitan mengejar Al yang begitu semangat.“Ayo Mom, harus kenal Paman baik hati. Cepat Mommy!” seru Al tetap berlari melewati pepohonan kecil.Namun, setelah dicari ke balik batang pohon besar, Al dan Livy tidak menemukan siapa pun. Bahkan seekor serangga saja tidak ada. “Hilang?” Al celingukan, ia sangat yakin melihat orang itu bersembunyi di dekat pohon ini. “Paman? Halo Paman, aku Al. Paman lupa ya?” panggil anak itu.Buru-buru Livy mendekap putra sulungnya, menggendong Al dan kembali ke taman ramai pasien serta tenaga medis. Entah mengapa debar jantungnya menggila, padahal ia belum melihat sosok misterius yang dikatakan anaknya.“Umm … mungkin, Al salah lihat. Di sini banyak orang Sayang. Bis
“Sayang, Galtero semangat ya. Mom dan Daddy tunggu di sini,” bisik Livy, mencium betubi wajah kurus putranya.“Gal, janji sehat lagi sama Daddy! Katanya mau main bola di lapangan besar?” El merangkul Livy.Di atas ranjang pasien, balita itu mengangguk cepat. Galtero menjentikkan jari kelingking dan menautkannya pada milik kedua orangtua. Ia berjanji setelah ini sehat, terbebas dari penyakit. “Hu’um, aku janji Dad, Mom,” ucap Gal penuh semangat, karena kesembuhannya berada di depan mata.Selesai bercakap singkat, roda karet ranjang pasien perlahan bergerak maju. Livy dan El bisa melihat putra keduanya melambaikan tangan.Kurang dari sepuluh menit, dokter didampingi dua orang perawat terlihat mendorong kursi roda. Pandangan Livy dan El serta anggota keluarga Torres teralih, semua memusatkan perhatian pada anak kecil yang tersenyum, sesekali tertawa mendengar ucapan dokter.“Mommy? Daddy?” panggil Al, iris biru safirnya bergerak sedikit ke samping. “Abuela? Abuelo, Bibi Es dan Paman Ar