“Kami tidak tahu Paman Jorge yang mana, karena di sana banyak sekali nama Jorge.” Al menunjuk layar laptop.Livy menoleh laptop, ia bergumam, “Jorge?” Kemudian mendekati layar tipis, membaca beberapa judul artikel dihasilkan mesin pencari. ‘Apa mungkin Jorge Marquez? Tapi ... pria itu sudah meninggal,’ batin Livy sembari mengulas senyum setipis benang.Di kala wanita berparas ayu ini dilanda kebingungan, ketiganya mendengar ketukan pintu. Kompak, Livy, Al, dan Gal menoleh pada sumber suara, ketiganya menatap El.Al menghambur ke pelukan ayahnya, sedangkan Gal duduk diam di tepi ranjang. Segala larangan menghambat putra kedua El dan Livy melakukan kegiatan menyenangkan.“Sedang apa di sini? Boleh Daddy ikut bermain?” tanya El membawa Al dalam gendongan.“Kami tidak main Dad, tapi mencari obat untuk Gal. Aku ingin adikku sembuh Dad,” harap Al, mengangguk-anggukan kepala. “Boleh aku tahu di mana alamat Paman Jorge?” Seketika, kening El mengerut dalam, netra elangnya memicing menatap bibi
“Hari ini aku mau mencari alamat rumah Paman Jorge. Kamu pastikan Mom dan Daddy memperhatikanmu ya!” bisik Al membuat Gal mnggut-manggut.Sebelum berangkat sekolah, Al memberi perintah penting pada adik satu-satunya. Putra sulung ini harus menjalankan misi secepat mungkin, sebab berpacu dengan waktu. Kemarin, beruntung Al sempat meminjam ponsel Eberardo dan membawanya ke kamar. Entah kebetulan atau tidak, benda pipih milik Ar itu terjatuh tersenggol keduanya.Sementara tab berisi foto-foto alamat, aman tersimpan di bawah bantal. Al dan Gal merasa beruntung dan berterima kasih pada benda penting kepunyaan Ar. Alhasil Livy memeriksa siapa pemilik ponsel itu, lalu keluar kamar dan mengembalikannya. Memastikan kondisi terkendali, Al langsung memindahkan data dari tab ke tempat tersembunyi.“Sayang, pagi ini diantar Daddy, tapi pulang sekolah dijemput sopir ya, karena Mom menemani Gal di rumah sakit. Siang ini Daddy juga ada rapat. ” Livy mengelus puncak kepala Alessandro.Bocah kecil it
“Sepertinya memang ini mansion Paman Jorge, tapi sepi sekali.” Al celingukan di depan pagar tinggi. Ia pun menghampiri penjaga keamanan di sana. “Apa aku bisa bertemu Paman Jorge Marquez?”Kelopak mata Al mengedip-ngedip, tingkahnya sangat menggemaskan. Sehingga petugas keamanan bersikap ramah, dan menyelidiki bocah kecil itu.“Apa kamu datang sendirian?” Petugas mencari-cari orang dewasa bersama Al, sialnya tidak ada.Anak kecil itu mengangguk cepat, Al menunjukkan deret gigi susu rapi dan meletakkan tangan di balik ransel kecil.“Apa aku boleh masuk? Aku ingin bertemu Paman Jorge,” pinta Al lagi, iris birunya bergerak dari kiri ke kanan.“Begini anak kecil, Tuan Jorge Marquez sudah meninggal beberapa hari lalu. Siapa yang memerintahmu datang ke sini?”Sontak Al memelotot, ia benar-benar tidak tahu kalau orang yang dicarinya telah wafat. Tentu ini sangat ganjil, sebab tidak ada gambar apa pun di internet terkait berita itu.Sebelum Al membuka mulut untuk menanggapi kabar mengejutkan,
“Kenapa kamu tidak bisa diajak kerja sama Gal?” keluh Al mencebik. “Bukannya sudah ku bilang, alihkan perhatian Mommy dan Daddy?”“Aku ketiduran Kak. Maaf ya.” Gal melirik sekitar, kemudian mengikis jarak dengan kakaknya. Balita ini berbisik, “Apa Kakak berhasil mencari obat untukku?”Al menggembungkan pipi, menghela napas dan menggelengkan kepala. Bahu kecilnya pun terkulai lemas, sorot mata anak ini tampak sendu.“Oh tidak ketemu ya? Tidak apa-apa Kak, bisa dicoba lagi nanti.” Gal mengangkat telapak tangan setinggi dada, dan mengepalkannya.Dikarenakan dua putra ini melihat ayah dan ibunya mendekat, kompak Gal dan Al memberi makan kelinci. Mereka begitu menikmati peran, seakan tidak memikirkan apa pun, padahal isi kepala keduanya merencakan sesuatu.“Daddy?” panggil Gal, menunggu El menoleh lebih dulu, kemudian kembali berkata, “Aku ingin memelihara tupai. Boleh ya?”El menepuk jidat, dengan tegas menegakkan jari telunjuk melarang putranya memelihara binatang sesuka hati. Bukan tanp
Setelah mendengar jawaban dokter, bukannya merasa lega dan segera melakukan operasi, Livy malah merenung sendirian di ujung selasar. Ia menyandarkan punggung dan kepala pada dinding, sesekali menyugar rambut panjangnya.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya sembari menatap langit-langit rumah sakit.Tiba-tiba El datang, turut berdiri di sisi sang istri. “Mi Amor, Gal mencarimu. Dia siuman, dan membutuhkanmu.” “Benarkah dia sudah bangun?” Buru-buru Livy menyeka air mata dan masuk ruang inap khusus.Dari batas pintu saja, Livy bisa melihat putranya meringis merasa tak nyaman. Tanpa buang waktu, ia segera menghampiri Galtero.Livy mengamati dari kepala sampai ujung kaki tertutup selimut, ia berusaha menahan air mata mengingat janjinya tidak lagi menangis di hadapan anak-anak. Ibu dua anak ini duduk di tepi ranjang, membelai pipi pucat Gal.“Mom? Aku di rumah sakit lagi ya? Aku mau pulang, boleh ‘kan?” tanya Gal, suaranya melemah.“Kita menginap di sini ya. Sekarang Gal mau apa? Makan at
“Sayang, Al?” pannggil Livy selesai membawa kantong buah dan kue, ia kembali ke depan ruangan. Namun, alangkah terkejutnya ia tak mendapati Al berada di tempat. Beberapa menit lalu, miniatur El itu ada di depan pintu sedang diberikan nasihat oleh ayahnya. Sekarang keduanya menghilang.“Di mana mereka?” Livy menengok kiri dan kanan, tetapi sepanjang lorong sepi—tak ada orang.Ia mencoba berpikiran baik dan tenang, Livy menduga sang suami membawa Al ke taman atau kantin. Barang kali keduanya hendak bicara empat mata.“Apa Kak El dan Al sudah selesai? Aku mau pulang,” tegur Estefania setelah berpamitan dengan Gal.“Mereka tidak ada di luar, tunggu sebentar Es. Aku telepon Kak El. Sebaiknya kita duduk di dalam,” ajak Livy diangguki Estefania.Satu kali mencoba panggilan suara, gagal. Sambungan telepon tidak diterima El, bahkan dari atas ranjang pasien, Gal mengerutkan kening.Tangan mungil balita itu menggapai benda di atas nakas, karena kesulitan, Gal bergeser dan berhasil. Iris biru sa
“Bibimu bilang, kamu sakit. Kenapa menolak diperiksa dokter, hem?” El melirik Estefania, kemudian kembali menatap putranya.Sedangkan Al menggembungkan pipi, perlahan mengembuskan napas. Ekor mata tajamnya terarah pada tangan, refleks menarik ujung lengan panjang.Tentu, tingkah ini membuat El curiga sekaligus penasaran. Hingga ayah dua anak merangkul bahu sang putra, ia yakin anak sulungnya menyembunyikan sesuatu.“Peluk Daddy!” El merentangkan tangan, dan Al menyambut suka cita. “Ternyata kamu tetap bayiku, jagoan kecil,” ucapnya, terkekeh geli. “Mau cerita pada Daddy? Bukankah kita itu kawan, hem?”Al mengangguk pelan dalam dekapan El. Pelan-pelan ia menjauhkan kepala, lalu mengurai pelukan, dan menggulung lengan panjang kaos sebatas siku. Al menunjukkan biru keunguan menghiasi kulit putihnya.“Ini Daddy, sakit,” cicit miniatur Donatello Xavier itu.“Astaga Al, bagaimana bisa? Ini ….” El mengamati lamat-lamat luka itu. “Apa Mommy-mu tahu tentang ini? Dan, kapan kamu disuntik? Untuk
“Kenapa aku ditinggal di sini? Huh Daddy aneh,” gerutu Al memajukan bibir.“Memangnya kamu tidak dengar tadi Daddy bilang apa? Kalau kamu menolak dibawa ke rumah sakit ya tunggu di sini.” Estefania menyelipkan tangan pada ketiak Al, mendudukkan keponakannya di atas paha. “Sebentar lagi dokter datang, memeriksa lukamu,” tunjuk wanita itu.Al mendongak, kelopak berbulu lentik bergerak. “Tapi aku mau tahu jawaban Mommy. Umm … Bibi bisa bantu tidak?”Estefania menepuk kening, mendengus kasar, sebab Al banyak maunya dan sangat bawel. Bukannya beristirahat supaya badannya tidak lelah, malah terus melontarkan pertanyaan.“Ya baiklah, tapi kamu jangan berisik Al. Kepala Bibi pusing,” ucap wanita itu mengangguk lesu.Melihat dan mendengar Bibinya mengeluh, membuat Al terbahak, lalu menutup mulut dengan sebelah telapak tangan. Anak kecil itu mengangkat satu tangan lainnya setinggi dada, membentuk jari huruf ‘O’ kepada Estefania.Belasan menit kemudian, dokter keluarga yang juga direktur rumah sa
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa