“Sepertinya memang ini mansion Paman Jorge, tapi sepi sekali.” Al celingukan di depan pagar tinggi. Ia pun menghampiri penjaga keamanan di sana. “Apa aku bisa bertemu Paman Jorge Marquez?”Kelopak mata Al mengedip-ngedip, tingkahnya sangat menggemaskan. Sehingga petugas keamanan bersikap ramah, dan menyelidiki bocah kecil itu.“Apa kamu datang sendirian?” Petugas mencari-cari orang dewasa bersama Al, sialnya tidak ada.Anak kecil itu mengangguk cepat, Al menunjukkan deret gigi susu rapi dan meletakkan tangan di balik ransel kecil.“Apa aku boleh masuk? Aku ingin bertemu Paman Jorge,” pinta Al lagi, iris birunya bergerak dari kiri ke kanan.“Begini anak kecil, Tuan Jorge Marquez sudah meninggal beberapa hari lalu. Siapa yang memerintahmu datang ke sini?”Sontak Al memelotot, ia benar-benar tidak tahu kalau orang yang dicarinya telah wafat. Tentu ini sangat ganjil, sebab tidak ada gambar apa pun di internet terkait berita itu.Sebelum Al membuka mulut untuk menanggapi kabar mengejutkan,
“Kenapa kamu tidak bisa diajak kerja sama Gal?” keluh Al mencebik. “Bukannya sudah ku bilang, alihkan perhatian Mommy dan Daddy?”“Aku ketiduran Kak. Maaf ya.” Gal melirik sekitar, kemudian mengikis jarak dengan kakaknya. Balita ini berbisik, “Apa Kakak berhasil mencari obat untukku?”Al menggembungkan pipi, menghela napas dan menggelengkan kepala. Bahu kecilnya pun terkulai lemas, sorot mata anak ini tampak sendu.“Oh tidak ketemu ya? Tidak apa-apa Kak, bisa dicoba lagi nanti.” Gal mengangkat telapak tangan setinggi dada, dan mengepalkannya.Dikarenakan dua putra ini melihat ayah dan ibunya mendekat, kompak Gal dan Al memberi makan kelinci. Mereka begitu menikmati peran, seakan tidak memikirkan apa pun, padahal isi kepala keduanya merencakan sesuatu.“Daddy?” panggil Gal, menunggu El menoleh lebih dulu, kemudian kembali berkata, “Aku ingin memelihara tupai. Boleh ya?”El menepuk jidat, dengan tegas menegakkan jari telunjuk melarang putranya memelihara binatang sesuka hati. Bukan tanp
Setelah mendengar jawaban dokter, bukannya merasa lega dan segera melakukan operasi, Livy malah merenung sendirian di ujung selasar. Ia menyandarkan punggung dan kepala pada dinding, sesekali menyugar rambut panjangnya.“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya sembari menatap langit-langit rumah sakit.Tiba-tiba El datang, turut berdiri di sisi sang istri. “Mi Amor, Gal mencarimu. Dia siuman, dan membutuhkanmu.” “Benarkah dia sudah bangun?” Buru-buru Livy menyeka air mata dan masuk ruang inap khusus.Dari batas pintu saja, Livy bisa melihat putranya meringis merasa tak nyaman. Tanpa buang waktu, ia segera menghampiri Galtero.Livy mengamati dari kepala sampai ujung kaki tertutup selimut, ia berusaha menahan air mata mengingat janjinya tidak lagi menangis di hadapan anak-anak. Ibu dua anak ini duduk di tepi ranjang, membelai pipi pucat Gal.“Mom? Aku di rumah sakit lagi ya? Aku mau pulang, boleh ‘kan?” tanya Gal, suaranya melemah.“Kita menginap di sini ya. Sekarang Gal mau apa? Makan at
“Sayang, Al?” pannggil Livy selesai membawa kantong buah dan kue, ia kembali ke depan ruangan. Namun, alangkah terkejutnya ia tak mendapati Al berada di tempat. Beberapa menit lalu, miniatur El itu ada di depan pintu sedang diberikan nasihat oleh ayahnya. Sekarang keduanya menghilang.“Di mana mereka?” Livy menengok kiri dan kanan, tetapi sepanjang lorong sepi—tak ada orang.Ia mencoba berpikiran baik dan tenang, Livy menduga sang suami membawa Al ke taman atau kantin. Barang kali keduanya hendak bicara empat mata.“Apa Kak El dan Al sudah selesai? Aku mau pulang,” tegur Estefania setelah berpamitan dengan Gal.“Mereka tidak ada di luar, tunggu sebentar Es. Aku telepon Kak El. Sebaiknya kita duduk di dalam,” ajak Livy diangguki Estefania.Satu kali mencoba panggilan suara, gagal. Sambungan telepon tidak diterima El, bahkan dari atas ranjang pasien, Gal mengerutkan kening.Tangan mungil balita itu menggapai benda di atas nakas, karena kesulitan, Gal bergeser dan berhasil. Iris biru sa
“Bibimu bilang, kamu sakit. Kenapa menolak diperiksa dokter, hem?” El melirik Estefania, kemudian kembali menatap putranya.Sedangkan Al menggembungkan pipi, perlahan mengembuskan napas. Ekor mata tajamnya terarah pada tangan, refleks menarik ujung lengan panjang.Tentu, tingkah ini membuat El curiga sekaligus penasaran. Hingga ayah dua anak merangkul bahu sang putra, ia yakin anak sulungnya menyembunyikan sesuatu.“Peluk Daddy!” El merentangkan tangan, dan Al menyambut suka cita. “Ternyata kamu tetap bayiku, jagoan kecil,” ucapnya, terkekeh geli. “Mau cerita pada Daddy? Bukankah kita itu kawan, hem?”Al mengangguk pelan dalam dekapan El. Pelan-pelan ia menjauhkan kepala, lalu mengurai pelukan, dan menggulung lengan panjang kaos sebatas siku. Al menunjukkan biru keunguan menghiasi kulit putihnya.“Ini Daddy, sakit,” cicit miniatur Donatello Xavier itu.“Astaga Al, bagaimana bisa? Ini ….” El mengamati lamat-lamat luka itu. “Apa Mommy-mu tahu tentang ini? Dan, kapan kamu disuntik? Untuk
“Kenapa aku ditinggal di sini? Huh Daddy aneh,” gerutu Al memajukan bibir.“Memangnya kamu tidak dengar tadi Daddy bilang apa? Kalau kamu menolak dibawa ke rumah sakit ya tunggu di sini.” Estefania menyelipkan tangan pada ketiak Al, mendudukkan keponakannya di atas paha. “Sebentar lagi dokter datang, memeriksa lukamu,” tunjuk wanita itu.Al mendongak, kelopak berbulu lentik bergerak. “Tapi aku mau tahu jawaban Mommy. Umm … Bibi bisa bantu tidak?”Estefania menepuk kening, mendengus kasar, sebab Al banyak maunya dan sangat bawel. Bukannya beristirahat supaya badannya tidak lelah, malah terus melontarkan pertanyaan.“Ya baiklah, tapi kamu jangan berisik Al. Kepala Bibi pusing,” ucap wanita itu mengangguk lesu.Melihat dan mendengar Bibinya mengeluh, membuat Al terbahak, lalu menutup mulut dengan sebelah telapak tangan. Anak kecil itu mengangkat satu tangan lainnya setinggi dada, membentuk jari huruf ‘O’ kepada Estefania.Belasan menit kemudian, dokter keluarga yang juga direktur rumah sa
“Dad, Mommy bilang apa? Boleh ‘kan?” BIbir Al mengerucut, kedua lengannya melingkari leher El. “Daddy? Halo? Ada aku di sini?!” teriaknya dengan suara cempreng.Bukannya terkejut atau marah pada putra sulung ajaibnya, lelaki ini malah asyik tenggelam dalam lamunan panjang. El benar-benar tidak terbawa keadaan sekitar, sesekali ia menghela napas dan mengerutkan dahi.Jemari kecil Al bergerak jahil, mengetuk pelan otot bahu Daddy-nya, tetap saja El bergeming. Akhirnya Al melompat turun dari balik punggung kekar, iris biru safirnya serta pupil melebar, memperhatikan air muka El.“Abuela?! Abuelo?! Daddy-ku sakit, dari tadi bengong terus,” seru Al sembari geleng-geleng kepala.Kurang dari dua menit sepasang kakek dan nenek mendekat, keduanya memeriksa keadaan El. Mengetahui sedang terjadi masalah tak biasa, Mom Pamela menggendong cucu berisiknya menjauh.“Abuela? Mau ke mana? Kita harus tolong Daddy! Lihat, masih bengong, jangan-jangan Mommy tidak suka aku berbuat baik untuk Gal?” tebak b
Sekarang, di area pemakaman Keluarga Fabregas kedua kaki El berpijak. Ia mengamati peti yang baru saja dimasukkan ke dalam lubang. Jujur, sebagai pria yang pernah hidup satu atap, satu ranjang selama beberapa bulan bersama Sonia, ia merasa sedih. Pasalnya kehidupan mantan istri berakhir tragis, karena harta, tahta dan cinta.“Semoga kamu tenang Sonia, dan semua kesalahanmu diampuni,” gumam El netranya tak bergeser ke arah lain.Ketika peti itu mulai tertutup tanah hingga tak terlihat lagi, El mentikkan air mata. Padahal ia berharap mantan istrinya bisa berkelakuan baik, mendapat remisi tahanan dan bebas serta hidup layak. “Tuan? Mau kembali sekarang atau—““Sekarang, biarkan petugas yang mengurus semuanya. Ayo Paman,” El menoleh Alonso, mengangguk singkat.Sebelum berjalan meninggalkan pusara makam Sonia, El kembali mengernyit. Kemudian, berlari mengejar seseorang di balik pohon besar. “Argh, ke mana dia? Aku yakin tidak salah lihat, kali ini benar pasti dia orangnya,” gerutu El.Di