“Aku memang bukan dermawan Tuan. Setidaknya masih memiliki hati ingin membalas kebaikan pamrih Jorge.”El berdiri tegak di depan pria paruh baya, ia membalas tatapan Tuan Besar Marquez. Sama sekali tidak menundukkan kepala atau merasa sungkan.“El … kalian teman sejak kecil, aku mohon maafkan Jorge. Setelah ini aku berjanji dia tidak akan muncul dihadapan kelurga kalian,” pinta ayah dari Jorge Marquez.Sebenarnya El merasa kasihan pada pria paruh baya ini. Menurut informasi, Tuan Besar Marquez hampir dilarikan ke IGD, paska mendengar kabar buruk menimpa putra sulungnya.Namun, El tetap bertekad memberi Jorge pelajaran sesuai hukum berlaku. Sebab, dari perbincangan singkat di ruang pemulihan setelah operasi, Jorge tak merasa bersalah. Lelaki itu bersikukuh agar El memberikan seluruh kepemilkan kecerdasan buatan.“Tuan benar. Tapi … sayangnya Jorge tidak menganggapku sebagai teman,” pungkas El hendak mengakhiri percakapan.“Aku akan memberimu imbalan saham perusahaan kami asalkan kamu me
Dua minggu setelah tragedi berdarah, kehidupan El dan Livy belum tenang. Pasalnya keadaan kakek masih kritis, serta Jorge Marquez belum divonis hukum.Beberapa hari lalu petugas mengamankan Jorge, sidang perdana pria itu segera di gelar oleh pengadilan. Akan tetapi El tahu, Jorge tidak akan menjalani kehidupan utuh dalam bui. Sebab keluarga Marquez memiliki pengaruh kuat di instansi pemerintah dan hukum. “Daddy, mau itu,” tunjuk Al membuyarkan atensi El yang sedang menonton siaran berita.“Kamu mau ini? Ok, jangan sampai ketahuan Mommy!” El menggapai putra sulungnya. Membawa ke atas paha. “Buka mulutmu!” Tangan kekarnya menyuapi mulut kecil Al. “Enak ‘kan?”Batita itu mengangguk cepat, mulutnya mengunyah makanan, dalam sekejap kembali membuka mulut. Al sangat menyukai bola-bola coklat pemberian Bibinya—Estefania.“Tapi jangan banyak-banyak, Mom bisa marah. Sebaiknya sekarang minum dan kumur-kumur! Ayo!” ajak El sambil menggendong Al ke dapur.Ketika El tengah sibuk menyeka mulut putr
“Bagaimana bisa lukanya infeksi begini?” cerca Livy sambil mondar-mandir dalam kamar.Bahkan tubuh El demam, suhunya mencapai 40 derajat celcius. Bukan hanya itu saja, tetapi, pria ini juga menggigil, gemetaran. Saat mengetahui luka di punggung mengeluarkan cairan kekuningan pekat. Livy hendak membopong tubuh kekar El ke dalam mobil, sayangnya menolak. El bersikukuh tetap di dalam kamar, menyatakan cukup istirahat dan semua akan baik-baik saja. Akan tetapi Livy dilanda cemas, akhirnya menghubungi dokter pribadi.Sekarang, dokter itu tengah membersihkan luka sembar mencemooh pasangan suami istri. “Iya bisa, suamimu, si bodoh ini melakukan hal receh tapi serius. Sudah tahu bekas lukanya belum tertutup sempurna, dia malah bermain air hujan,” gerutu dokter sekaligus sepupu jauh El.Langkah kaki Livy berhenti, atensinya tertuju pada kaos kemeja hitam sang suami di dalam keranjang baju kotor. Tadi sewaktu ia menaruh kaos hitam, tak sengaja melihat beberapa pakaian basah miliknya dan El.“
“Toko roti?” Livy tercenung, netra coklatnya menatap lekat-lekat senyum manis nan lembut sang suami. “Aku mau, malah itu mimpiku memiliki toko roti besar bukan … aku ingin menjalani pekerjaan sesuai hobiku,” harapnya.El menaikan sebelah alis. “Lalu?” Ia menjulurkan tangan, meraih bahu Livy dan membawanya dalam pelukan hangat, El berujar, “Mimpimu masih bisa jadi nyata Mi Amor. Aku ingin istriku bahagia.”Livy menjauhkan kepala, ia mendongak, menyelami kedua iris biru safir. Kening wanita ini tampak mengerut dalam, ia berpikir keras lalu pandangannya teralih pada undakan tangga yang mengarah ke lantai dua.“Tapi … aku tidak memiliki waktu Kak. Al dan Gal bagaimana? Belum lagi, aku harus mengurus FG,” adu Livy melepas keganjalan dalam hati.Telapak tangan lebar El mengusap sepanjang tulang punggung, lantas melabuhkan kecupan basah di dahi. Lelaki ini menangkup pipi Livy, kemudian El mengedikkan dagu pada jam digital.“Ada 24 jam dalam sehari. Kamu hanya perlu sesekali mengawasi, jadi ma
“Diam Alonso! Sebaiknya sampaikan nanti setelah aku menghukum dua anak ini!” seru Dad Leon.Mendapat ultimatum dari tuannya, Alonso segera beranjak. Kebetulan Mom Pamela dan para menantu menghimbau Alonso makan siang bersama. Sehingga asisten pribadi itu melangkah melewati ketiga manusia konyol di depannya.“Selamat siang, Paman Leon,” teriak seseorang dari arah depan. “Apa yang kalian lakukan?!” Diego memelotot melihat El meringis.“Kamu?!” tunjuk El, melebarkan mata. “Untuk apa datang ke sini? Seenaknya saja masuk rumah orang tanpa izin!” sergahnya tak suka karena Diego pasti curi-curi perhatian Livy.“Aku yang menyuruhnya ke sini, ada berkas untuk ayahnya. Sudahlah, sebaiknya kalian makan! Dan jangan bertengkar! Kepalaku pusing.” Dad Leon melepas tangan dari daun telinga dua anaknya.Buru-buru El berlari meninggalkan ruang keluarga, lelaki ini membawa Livy-nya mengambil posisi terbaik—jauh dari Diego. Bahkan ia menaruh serbet di atas paha Livy, menuangkan jus untuk istri. El juga m
Livy tak bisa berkata-kata saat dua orang yang dikenalnya turun dari lantai dua sembari membawa kue ulangtahun. Lelehan bening kian berderai, karena tanpa jawaban El pun ia sudah tahu, siapa pemilik toko ini.“Selamat ulang tahun Bu Livy, kami siap membantu Ibu di toko ini,” kata dua pengawas toko roti.“Terima kasih … aku ….” Livy mengipas wajah dengan jemari lentiknya. Ia terharu karena mantan pegawai, kini menjadi karyawannya lagi, dan tetap mengingatnya.“Bu Livy pantas bahagia.” “Terima kasih ilmu yang Ibu berikan.” Kompak kedua pengawas itu.Dulu, selepas toko roti bangkrut, keduanya berusaha menciptakan peluang, dengan berbisnis makanan kecuali roti. Sebab merasa tidak enak hati sudah diberikan modal, apa iya harus menggunakan resep pemberian Livy.El merangkul pundak istri. Ia berseru pada semua orang, “Sekarang, nikmati pestanya!” “Sayang, ini toko rotinya langsung buka?” tanya Livy dengan air muka terkejut sekaligus bahagia.“Tentu saja, khusus tujuh hari ini semua pengunju
“Aku takut kamu hamil lagi, Mi Amor,” racau El, pertama kali wajahnya kusut setelah sesi bercinta.Livy mengedip tidak percaya, bisa-bisanya seorang suami takut menghamili istrinya sendiri. Kemudian ia menggoda El, menainkan sebelah tangan tepat pada rahang tegas.“Tapi, bagaimana kalau ternyata aku hamil lagi?” desah manja Livy.“Aku tidak akan menolak karena itu anak kita. Tapi … sebisa mungkin mencegahnya.” El melepas tubuhnya dari milik Livy, pelan-pelan menurunkan wanita ini ke sofa. “Melihatmu kesakitan, tidak bangun setelah melahirkan membuatku takut. Ya aku memang pengecut … itu karena tidak mau kehilangan kamu,” lirihnya. “Bagiku Al dan Gal sudah cukup. Gal memerlukan perhatian lebih dari kita, aku ingin putraku sembuh, hidup normal seperti anak lainnya,” harap El.Iris biru safir memandang sendu ke luar kaca, El menghela napas berat mengingat sampai sekarang Gal memerlukan terapi. Sebagai ayah, jiwa dan raganya tidak tega setiap kali bocah itu diberikan obat-obatan.Livy ber
“Dokter?! Galtero … tidak terjadi sesuatu ‘kan? Maksudku dia—tetap bangun?” tanya Livy, intonasinya mengalun lemah, penuh ketakutan dalam setiap kata.Lagi, setiap kali Gal dilarikan ke rumah sakit dan memasuki ruang pemeriksaan khusus, Livy selalu panik. Garis ketegangan serta kecemasan berlebih tampak nyata, hingga ia melontarkan kalimat tanya klasik.“Mi Amor?” lirih El turut merasakan hal yang sama.“Tidak Sayang, aku ingin tahu keadaan Gal. Dia masih membuka mata ‘kan dokter?” Derai air mata tak terbendung lagi. “Putraku … Galtero, aku ingin menemuinya.” Livy memaksa masuk ruangan, menerobos barisan dokter dan perawat.El mencekal pergelangan tangan, sebab tim medis belum mengizinkan mereka masuk. Namun, bagi Livy, saat ini paling penting memastikan putranya tetap bernapas dan membuka mata.“Kak, aku mau masuk … kenapa dokter hanya diam saja? Artinya … Gal sehat di dalam sana!” seru Livy dengan mata menyala, dan berusaha melepas tangan El.Melihat situasi tak terkendali, tim dokt
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa