“Aku mencarimu ke mana-mana, kata mereka kamu meninggal sesaat setelah dilahirkan.” Wajah Kakek tampak muram diiringi tatapan sendu.“Tidak Kek, itu salah. Ini aku Livy, ada di sini … banyak foto ibu,” lirih Livy, pandangannya mengitari ruangan sempit tak memiliki perabotan, hanya alas karpet tebal.Pemandangan yang sama seperti beberapa hari lalu, ia melihatnya di dalam layar pipih El. Bukan hanya gambar sang ibu, di sini juga ada beberapa foto mendiang neneknya.Bahkan, foto saat perut mendiang ibunya membuncit masih terjaga dengan rapi. Livy berpikir, hanya itu kenang-kenangan kebersamaan diri dengan ibunya.Semua kenangan yang tak bisa dilupakan, tetapi sakit dikenang, ia hanya menjadikannya pembelajaran hidup. Semula Livy memang marah pada kedua orang tuanya, tetapi ia memaksa diri untuk mengerti keadaan pada masa itu.Di saat Livy sibuk memandangi foto, El mulai berucap, “Kakek, sebenarnya kami memiliki tujuan lain, aku harap berkenan membantu.”Tanpa mengetahui alasan lainnya
“Sayang, tenang, jangan takut ya. Ada aku.” El segera menghampiri Livy dan memeluknya.Tidak ada riak kemarahan pada wajah semua orang, mereka mengerti apa yang menimpa Livy bukanlah masalah ringan hingga menimbulkan jejak trauma. Livy terus menggeleng, kejadian hari itu benar-benar menyiksanya. Ia pun mendekap Al, menciumi puncak kepala putranya.“Ini teman Dad Leon, berkunjung sebentar, beliau merasa gemas pada Al, jadi … menggendongnya,” jelas Mom Pamela tidak menjadikan hati Livy tenang. Ia tetap gelisah dan ketakutan seseorang merebut putra tercinta. Livy mendongak, menatap kedua iris biru safir, ia menghela napas.“Kak? Aku mau ke kamar sekarang,” pintanya dengan suara parau.“Ayo Sayang, Al biar aku yang gendong. Kamu gemetaran gini, bahaya.”Di dalam kamar, Livy membaringkan putranya di atas ranjang, atas bujuk rayu sang suami, ia bersedia mandi lebih dulu. Kentara sekali enggan meninggalkan bayi sedetik pun.Tidak lama, Livy selesai, gantian El yang membersihkan raga. Di ba
“Apa mereka membuka suara?” tanya El pada adiknya melalui pesan singkat.Paska sesi konsultasi berikut terapi, keadaan Livy sedikit membaik. Bahkan ia berencana membuka toko roti untuk menghilangkan penat, meskipun belum sepenuhnya mempercayakan Al pada orang lain.El menaruh ponselnya di dalam saku, ia takut sang istri tidak sengaja melihat isi pesan balasan Ar. Ia mendekati dua orang di atas karpet, sangat menyenangkan bercanda bersama anak dan istri.Namun, tak lama, telepon genggam kembali bergetar, kali ini beberapa kali. El merogoh saku celana, melihat sekilas balasan dari Eberardo.[Parah Kak, buang saja mereka ke laut, sama sekali tidak berguna.] Tangan El terkepal karena harapan satu-satunya enggan memberi petunjuk. Kemudian ia melirik isi surel dikirim oleh Alonso.Seketika air muka El berubah total, menegang, rahangnya mengetat. Pria ini mengalihkan perhatian pada Livy, ragu untuk menyampaikan kabar buruk.“Kenapa Kak? Ada yang mau dibicarakan?” Sejenak, Livy menghentikan a
“Kak ini sudah siang, kenapa masih bermalas-malasan?” gerutu Livy.Bukan tanpa sebab, setelah sarapan, El melih bergelung di atas ranjang bersama Al. Sedangkan Livy telah rapi dan harum seperti biasanya.“Kamu cemburu ya? Kemarilah Sayang!” El melebarkan tangan menyambut Livy.Akan tetapi, dering pada ponsel mengalihkan atensi dua insan, tak terkecuali Al—mulai peka pada suara. Dengan cepat, El meraih benda tipis itu dari atas nakas, sebelah sudut bibirnya membentuk sudut mengerikan.Jujur, Livy dibuat merinding, bahkan mengusap tengkuk karena merasa horor. Wanita ini juga penasaran dengan laporan yang disampaikan seseorang.“Ayo kita berangkat sekarang!” ajak El menyingkap selimut tipis dan berdiri di sisi ranjang sembari mengulurkan tangan.“Ke mana? Kakak mau ke kantor pakai celana bokser gini?” Livy geleng-geleng kepala karena tingkah suaminya.“Kalau begitu bantu aku siapkan baju kerja, kita tidak boleh terlambat menyambut orang penting,” ujar El, berjalan ke walk in closet seray
“Jauhkan tangan kalian dari kulitku!” berang Sonia menepis tangan beberapa petugas. “Kalian tidak bisa menangkap orang sembarang, aku bisa menuntut balik, paham?!“Anda, harus ikut kami sekarang juga! Anda bisa jelaskan di kantor polisi, bukan di sini!” tegas seorang pertugas menyeret paksa Sonia.Mantan model cantik itu masih menolehkan kepala, menatap bengis pada Livy dan El. Buku jari-jarinya masih memutih kendati kedua tangan telah terkunci.Sonia berdecak sebal, sebab termakan umpan yang diberikan mantan suami. Seharusnya ia tetap bersembunyi hingga keadaan sedikit aman, bukan tersulut emosi karena tidak terima Livy mengumumankan status sebagai pewaris tunggal keluarga Fabregas.Sesampainya di kantor polisi, Sonia tetap bersikap angkuh, menatap hina pada petugas. Wanita itu mengabaikan sejumlah pertanyaan yang ditujukan padanya. “Aku mau menghubungi pengacaraku! Bukankah aku punya hak untuk itu?” sentaknya tak takut.Tentu saja, wanita cantik itu merasa memiliki seseorang yang b
“Aw, ini sakit!” desis Sonia memegangi pelipis serta pipi yang membengkak.Bola mata coklatnya mengedar memperhatikan ruangan dominasi cat putih, serta ranjang yang tak asing. Ia mengerang geram, mengepal kedua tangan lalu memukul kasur dengan kuat.Namun, saat tubuh bagian atasnya bergerak, Sonia menyadari satu hal. Seketika terbelalak karena kakinya tidak bisa bergerak.Saat kecelakaan terjadi, pihak kepolisian segera menghubungi ambulan untuk mengevakuasi korban. Termasuk sopir truk yang menubruk mobil Sonia, diamati melalui CCTV serta dashcam bukan sopir itu yang salah melainkan Sonia.Wanita itu menerobos rambu lalu lintas, akibat ingin terbebas dari kejaran polisi. Sekarang, di rumah sakit, Sonia berteriak keras, hingga beberapa petugas medis serta keamanan masuk kamar rawat.“Ada apa Sonia?” keluh seorang petugas melihat selimut, bantal serta perabot teronggok di atas lantai.Sonia mendelik pada semua orang yang baru saja masuk. Amarah mencapai ubun-ubun dan meletup-letup, karen
“Untuk apa menemui dia? Tidak perlu! Jangan lukai diri sendiri, Sayang!” tolak El mentah-mentah.Pria ini tidak menyetujui Livy bertemu dengan mantan pengasuh Al. El tahu, istrinya hndak melampiaskan amarah karena penculikan itu. “Sebentar Kak, bisa ‘kan? Tidak lebih dari lima menit, aku janji.” Livy mengacungkan jari kelingking sebaga tanda bukti.“Ok. Tidak boleh lebih dari lima menit!” peringatan El, lalu mengusak rambut coklat Livy.Livy mengangguk pelan, lantas memutar tubuh, berjalan mendekati petugas. Hingga tiba di ujung selasar, ia meminta iring-iringan berhenti. Babysitter Al menoleh, terbelalak melihat Livy berdiri tegak dengan jarak beberapa langkah. Dari air muka wanita itu, nampak sekali enggan bertemu apalagi didekati.“Kamu tidak kamu minta maaf?” ucap Livy bersuara tegas.“Untuk apa?” sinis babysitter, lalu berkata, “Penculikan itu? Seharusnya Tuan Muda Al memang mendapat orang tua yang layak bukan wanita bodoh seperti Anda!” Wanita itu memindahkan pandangan dari Li
Paska sama-sama melakukan kegiatan menyenangkan di kamar presidential suite. Pasangan dimabuk asmara ini terlelap, lebih tepatnya Livy kelelahan karena permainan suaminya.Ibu muda tak sempat membasuh tubuh dari keringat. Lantaran, tungkainya tak sanggup berdiri, bahkan gemetar. Sedangkan tadi El malah menarik Livy dalam pelukan.Sekarang, El bangun lebih dulu ia memiringkan badan, menumpu kepala pada tangan yang terkepal. Pria ini sibuk memandangi wajah cantik sang istri. Ia selalu tersenyum mengingat aksi panas dua jam lalu. “Aku suka kamu nakal kaya gini Sayang,” gumam El menurunkan sedikit kepalanya, menghirup aroma segar rambut Livy.Tak hanya itu, El terkekeh geli, hasil karya khas bibir hampir memenuhi dada bagian atas. Ia hendak menyelimuti Livy sebatas leher, tetapi wanitanya mengerjap berulang kali. “Kak?” panggil Livy masih menyesuaikan cahaya kamar dengan mata.“Apa Sayang? Mau lagi, hem?” goda pria ini menggeser tubuh, menenggelamkan kepala di bawah selimut.“Astaga Kak