“Jauhkan tangan kalian dari kulitku!” berang Sonia menepis tangan beberapa petugas. “Kalian tidak bisa menangkap orang sembarang, aku bisa menuntut balik, paham?!“Anda, harus ikut kami sekarang juga! Anda bisa jelaskan di kantor polisi, bukan di sini!” tegas seorang pertugas menyeret paksa Sonia.Mantan model cantik itu masih menolehkan kepala, menatap bengis pada Livy dan El. Buku jari-jarinya masih memutih kendati kedua tangan telah terkunci.Sonia berdecak sebal, sebab termakan umpan yang diberikan mantan suami. Seharusnya ia tetap bersembunyi hingga keadaan sedikit aman, bukan tersulut emosi karena tidak terima Livy mengumumankan status sebagai pewaris tunggal keluarga Fabregas.Sesampainya di kantor polisi, Sonia tetap bersikap angkuh, menatap hina pada petugas. Wanita itu mengabaikan sejumlah pertanyaan yang ditujukan padanya. “Aku mau menghubungi pengacaraku! Bukankah aku punya hak untuk itu?” sentaknya tak takut.Tentu saja, wanita cantik itu merasa memiliki seseorang yang b
“Aw, ini sakit!” desis Sonia memegangi pelipis serta pipi yang membengkak.Bola mata coklatnya mengedar memperhatikan ruangan dominasi cat putih, serta ranjang yang tak asing. Ia mengerang geram, mengepal kedua tangan lalu memukul kasur dengan kuat.Namun, saat tubuh bagian atasnya bergerak, Sonia menyadari satu hal. Seketika terbelalak karena kakinya tidak bisa bergerak.Saat kecelakaan terjadi, pihak kepolisian segera menghubungi ambulan untuk mengevakuasi korban. Termasuk sopir truk yang menubruk mobil Sonia, diamati melalui CCTV serta dashcam bukan sopir itu yang salah melainkan Sonia.Wanita itu menerobos rambu lalu lintas, akibat ingin terbebas dari kejaran polisi. Sekarang, di rumah sakit, Sonia berteriak keras, hingga beberapa petugas medis serta keamanan masuk kamar rawat.“Ada apa Sonia?” keluh seorang petugas melihat selimut, bantal serta perabot teronggok di atas lantai.Sonia mendelik pada semua orang yang baru saja masuk. Amarah mencapai ubun-ubun dan meletup-letup, karen
“Untuk apa menemui dia? Tidak perlu! Jangan lukai diri sendiri, Sayang!” tolak El mentah-mentah.Pria ini tidak menyetujui Livy bertemu dengan mantan pengasuh Al. El tahu, istrinya hndak melampiaskan amarah karena penculikan itu. “Sebentar Kak, bisa ‘kan? Tidak lebih dari lima menit, aku janji.” Livy mengacungkan jari kelingking sebaga tanda bukti.“Ok. Tidak boleh lebih dari lima menit!” peringatan El, lalu mengusak rambut coklat Livy.Livy mengangguk pelan, lantas memutar tubuh, berjalan mendekati petugas. Hingga tiba di ujung selasar, ia meminta iring-iringan berhenti. Babysitter Al menoleh, terbelalak melihat Livy berdiri tegak dengan jarak beberapa langkah. Dari air muka wanita itu, nampak sekali enggan bertemu apalagi didekati.“Kamu tidak kamu minta maaf?” ucap Livy bersuara tegas.“Untuk apa?” sinis babysitter, lalu berkata, “Penculikan itu? Seharusnya Tuan Muda Al memang mendapat orang tua yang layak bukan wanita bodoh seperti Anda!” Wanita itu memindahkan pandangan dari Li
Paska sama-sama melakukan kegiatan menyenangkan di kamar presidential suite. Pasangan dimabuk asmara ini terlelap, lebih tepatnya Livy kelelahan karena permainan suaminya.Ibu muda tak sempat membasuh tubuh dari keringat. Lantaran, tungkainya tak sanggup berdiri, bahkan gemetar. Sedangkan tadi El malah menarik Livy dalam pelukan.Sekarang, El bangun lebih dulu ia memiringkan badan, menumpu kepala pada tangan yang terkepal. Pria ini sibuk memandangi wajah cantik sang istri. Ia selalu tersenyum mengingat aksi panas dua jam lalu. “Aku suka kamu nakal kaya gini Sayang,” gumam El menurunkan sedikit kepalanya, menghirup aroma segar rambut Livy.Tak hanya itu, El terkekeh geli, hasil karya khas bibir hampir memenuhi dada bagian atas. Ia hendak menyelimuti Livy sebatas leher, tetapi wanitanya mengerjap berulang kali. “Kak?” panggil Livy masih menyesuaikan cahaya kamar dengan mata.“Apa Sayang? Mau lagi, hem?” goda pria ini menggeser tubuh, menenggelamkan kepala di bawah selimut.“Astaga Kak
“Aku? Cinta untuk … sudah mati sejak mengetahui dia selingkuh,” jawab Livy serius, ia enggan menyebut nama mantan suaminya. “Kenapa Kakak bilang begitu?”“Orang bilang cinta pertama sulit dilupakan, cih.” El mendengus kasar, sialnya malah membayangkan Livy dan Sergio berada dalam satu kamar.“Memang susah, tapi … kalau orang itu sudah tidak menginginkan aku dan memilih perempuan lain, apa aku harus bertahan? Menurutku tidak.” Livy melepas tangannya dari perut El, ia meraih lengan sang suami, berusaha memutar tubuh tinggi nan atletis, bertanya, “Kenapa membahas masa lalu?”Masih dirundung cemburu berlebihan, El mengedikkan dagu pada ponsel.Sehingga, Livy menolehkan kepala, dan mengambilnya benda pipih itu. Wanita ini sempat mengerutkan dahi tidak mengerti, menurutnya tidak ada yang salah dengan isi ponsel.“Masih banyak foto pria brengsek itu di sosial media kamu. Ck mantan suamimu masih terpajang, tapi aku suami sahmu tidak ada di sana,” rengek El bagai anak kecil merajuk pda ibunya.
“Bertukar nomor telepon, aku pikir bukan masalah, benar ‘kan Nyonya?” Pria itu mengerlingkan sebelah mata lalu meringis kesakitan.Cengkeraman tangan El semakin meremukkan tulang. Ia mengangkat dagu, melotot pada pria di depannya. “Kamu!” tunjuk El.“Kak? Lebih baik kita berkeliling, aku ingin melihat galeri, ayo Sayang!” Livy menarik-narik jas suaminya, berharap El melepas tangan pria itu.Sebelum memenuhi keinginan sang istri, El menggeser maju sebelah kaki. Ia sengaja menendang tulang kering pria itu sebagai peringatan pertama.“Akh! Si-sialan!” pekik lelaki itu tertahan.“Menyingkir dan pergi jauh dari istriku!” sentak El dengan tatapan tajam dan menusuk.Sedangkan Livy mengembuskan napas, ia berhasil memisahkan dua pria dari perkelahian. Walaupun sempat menjadi pusat perhatian pengunjung termasuk anggota keluarga.Kini, Livy dan El berjalan mengelilingi galeri, saling menautkan jemari dan menempelkan tubuh. Dua manusia yang memiliki misi berbeda. Menurut El supaya tidak ada pria l
“Bagaimana bisa?” gumam Livy dari kejauhan—jarak aman.Ketika tubuh kurus itu jatuh ke atas lantai, Livy hendak menghampiri, tetapi El mencekal pergelangan tangannya. Meskipun status berubah jadi mantan suami, bukan berarti El mengabaikan Sonia. Pria ini tetap memerintah seseorang mengawasi kegiatan wanita itu. Menurut informasi, tak pernah sekalipun Sonia berkelakuan baik selama di sel tahanan sementara.“Seandainya saja sejak dulu Kak Sonia berubah, mungkin … ini tidak akan terjadi,” gumam Livy tak tega melihat wajah pucat kakaknya.“Biarkan saja Sayang! Ada banyak petugas lebih berwenang, dibanding kita,” tukas El. Entah mengapa hatinya merasa tidak tenang, seolah akan terjadi sesuatu.Benar saja, jaksa dan petugas menemukan sebuah benda dari balik kemeja. Sangat tajam dan runcing, beruntung Sonia tidak sempat melukai siapa pun.Bahkan wanita itu hanya pura-pura pingsan. Sedikitnya, pertugas telah mengetahui tabiat para warga binaan, termasuk Sonia. “Kamu lihat ‘kan dia hanya pur
“Huh, ini semua karena Kak El,” gerutu Livy turun dari mobil sembari merapikan kemeja serta rambut panjangnya.Ia berjalan tergesa, terlambat lebih dari lima belas menit. Sebelum keluar dari mobil, El meminta sesuatu yang menyenangkan sebagai sumber semangat.Akibatnya, Livy berlari kecil memasuki restoran, ia merasa tak enak hati pada calon supplier. Setelah berhasil melewati pintu depan, Livy mengatur napas, melangkah anggun mengikuti pramusaji ke ruang VVIP.Setelah pintu terbuka lebar, Livy hanya melihat seorang pria duduk membelakanginya. Sekilas tidak ada yang mencurigakan atau aneh. Secara fisik, lelaki itu masih muda dan terkesan angkuh.“Maaf Tuan, aku datang—“Seketika Livy melebarkan kelopak mata, ia bergeming di tempat, kakinya begitu lengket menempel pada lantai—susah bergerak mundur.“Aku pikir Nyonya Muda Torres wanita yang bisa menghargai waktu.” Lelaki itu bangkit dan mendekati Livy. “Tapi tidak apa, lima belas menitku tidak sia-sia menunggu wanita cantik seperti kamu
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa