“Kalau bukan karena hubungan keluarga kita selama ini, aku muak bertemu denganmu!” sergah El dengan napas memburu.“Sebagai lelaki normal, siapa yang tidak tergoda oleh lekuk tubuh mantan istrimu, El.” Jorge Marquez menyeka darah mengucur dari hidung.Kemarin, setelah menyelesaikan kunjungan ke salah satu pabrik. El tak kuasa menahan amarah pada rekan kerjanya, ia tersiksa mengingat istri dan anaknya diculik.Akhirnya, ia bicara empat mata dengan Tuan Muda Marquez di belakang pabrik. Tidak ada permintaan maaf atau penyesalan dari pria itu. Sehingga, El kalap, memukuli rekannya sampai terkapar tidak berdaya.“Seharusnya kamu tidak menyembunyikan Sonia! Apa yang kalian lakukan sangat … keterlaluan!” teriak El terus menghantam wajah Jorge.Tidak tahan disudutkan, Jorge melepas bogem tepat mengenai rahang kiri El. Pria itu mencoba berdiri walau sempoyongan, menjawab, “Apa Tuan Muda Torres cemburu? Masih mencintai mantan istrimu? Sebagai pria aku hanya melakukan tugas melindungi wanitaku s
“Aw! Sakit Kak!” pekik Livy, mengusap dahi yang tidak terasa sakit. “Kenapa disentil?”.“Sekarang tidak melamun lagi ‘kan?” El terkekeh pelan, ia juga mencubit gemas pipi Livy. “Mau aku apakan pembuat berita itu?” tanyanyas lagi.“Aku … ti-dak suka mereka mengsangkut-pautkan Al. Dia tidak tahu apa-apa Kak!” Sorot mata Livy berubah sendu, isi artikel itu mengoyak perasaannya sebagai seorang ibu. Livy tidak terima putranya dituduh sebagai alat pengeruk harta kekayaan El“Maaf Sayang, aku pastikan satu perusahaan readaksi menerima konsekuensinya,” tegas El, merangkul bahu Livy, mendekapnya erat. “Ada pertanyaan lagi?”Mungkin terlalu berlebihan, jika satu perusahaan menyatakan permohonan maaf. Akan tetapi, berita perkelahian antara Jorge dan El merambat ke segala arah.“Umm … apa benar di kalangan pengusaha selalu bertukar sekretaris untuk—“ “Ya, tapi aku tidak melakukannya! Kami menjual kualitas bukan orang,” jawab El tidak langsung memutus rasa penasaran Livy. “Jangan berpikir kalau a
“Sudahlah El tidak perlu dipermasalahkan! Lagi pula … kamu juga pengusaha, Torres Inc memiliki kolega bisnis pria dan wanita, benar ‘kan?” Diego menyengir lebar, pria berambut hitam pekat ini seolah lupa, tadi El menyuruhnya mengambil sepatu.“Sayang?” Suara Livy tercekat di tenggorokan, pita suaranya seakan terhimpit bebatuan besar, ia berusaha membujuk sang suami tampak marah. “Aku mau makan siang, kita ke ruanganku yuk!” Livy enggan menanggapi ocehan rekan bisnisnya, apa yang dikatakan Diego memang benar … pria itu memantik api cemburu dalam diri El. Sekarang, El menggeram, iris biru safirnya sangat tajam menatap Livy. Pria tertampan dan terkaya seantero negeri matador ini bergeming, tidak menggubris ajakan sang istri.‘Kak El pasti marah, bagaimana ini?’ Livy kelabakan, ia panik mencari cara menjinakkan singa yang sedang marah.El mengangkat sebelah alis, mengedikkan dagu pada Diego, ia berujar sebal, “Lalu? Kenapa Tuan Muda Manassero masih ada di sini? Rapat kalian sudah selesai
“Maaf,” ucap keduanya setelah melayang tinggi.El tidak bisa marah terlalu lama pada wanitanya, rasa cintanya terlalu besar, bisa jadi melebihi diri sendiri.El tahu, sikap posesifnya tidak nyaman bagi Livy. Sebagai pria yang pernah gagal mengubah wanitanya, ia takut Livy terbuai akan gemerlap kehidupan pengusaha. Sekarang, wanita ini bergelimang harta, bukan dari jatah uang bulanan, tetapi El memprediksi FG akan mencetak keuntungan besar.Banyak pria di luar sana lebih muda darinya, dan … satu hal yang tidak El miliki. Ia takut wanitanya berpaling, mendapat kesempurnaan dari pria lain.“Aku lapar, kalau Kakak tidak mau, makanannya untukku ya,” canda Livy, turun dari gendongan suaminya. “Kak El mau puasa?”Bukannya menjawab, El malah memandangi lamat-lamat bidadari miliknya. Ia mengusap lembut pipi manis menggunakan punggung tangan, lalu memeluk erat tubuh Livy.“Apa tidak bisa kalau sekretarismu saja yang menemui Diego? Aku … tidak suka, Sayang.” Bibir penuh El cemberut.“Aku tidak
“Livyata?! Ternyata kamu di sini?” teriak seorang pria dengan napas terengah.Seketika riak pada wajah El berubah kian garang, bak memiliki tanduk tak terlihat. Pria ini memejamkan mata sebentar, giginya saling bergemeletuk, urat lehernya berkedut.“Diego! Untuk apa ke sini, hah?” sergah El. “Tuan Muda tenanglah, aku ke sini menemui rekan kerjaku, sekretarisnya bilang CEO ada urusan mendesak. Aku perlu tahu apa itu, kalau istrimu kabur lalu tidak menyelesaikan kontrak bagaimana?” Alasan receh Diego.El mengembuskan napas jengah, lalu berkata, “Karena kamu ada di sini, bantu pramuniaga itu! Aku dan istriku harus pulang!” tunjuk El ke tengah ruangan khusus gaun wanita.Mendapat perintah seperti itu Diego menganga lebar, pasalnya ia jauh-jauh menemui Livy ke butik hanya menjadi pesuruh dari El.Sebagai hukumn ringan, El memerintah pramuniaga memilih gaun terbaik di butik, lalu mengantar secara langsung ke mansion. Kini tugas perempuan itu terbantu dengan hadirnya Diego.Sedangkan El dan
‘Dia ‘kan wanita itu,’ Livy membatin, pandangannya tak luput dari sosok berdiri anggun di depan suaminya.Saat ini, paru-paru dan jantungnya bagai menciut, napas terasa berat dan nyeri sekitar dada. Livy membelalak ketika El menerima uluran tangan itu. Tidak ada yang aneh memang, lagi pula sejak tadi pria dan wanita saling berjabat tangan.Berbeda dengan yang ini, Livy tidak terima, ingin sekali ia berteriak dan mengusir wanita di depannya.“Terima kasih, silakan nikmati pestanya,” ujar El sembari melepaskan tangan.“Tuan, Nyonya, saya datang menyampaikan hadiah dari Bos, beliau berhalangan hadir,” tutur wanita itu memberikan kotak kecil ke tangan El.Entah mengapa di telinga Livy suara itu merambat manja dan menggoda. Mungkin perasaannya terlalu berlebihan, mengingat foto yang ditunjukan oleh Diego.“Permisi Tuan dan Nyonya,” pamit wanita bergaun seksi dan terbuka.Meskipun wanita berparas cantik itu telah menjauh, Livy tidak serta merta tenang. Ia mengigit bibir bawahnya, menatap taj
Livy mengerjapkan mata, celoteh serta tawa bayi memaksa membuka kelopak dengan lebar. Walau badannya lemas seperti selesai pertandingan karate, ia melengkungkan bibir lalu duduk menyandar pada kepala ranjang.Sebagai ibu yang baik, Livy menyapa Alessandro. Bayi gembul itu tengah bercanda bersama El, hatinya menghangat melihat dua lelaki berharga dalam hidupnya.“Pagi Sayang,” sapa Livy.El memutar tubuh, mencubit pipi polos Livy. “Mommy bangun terlambat, lihat matahari semakin tinggi, ini sudah siang Mommy,” kelakarnya.“Kenapa kamu diam saja aku bangun siang?!” Livy menyingkap selimut, mengambil kemeja putih sang suami di kaki ranjang. Ia bergegas membersihkan diri, lalu menyusui Al, karena buah dada terasa penuh.Ternyata selama Livy tidur, Al disuapi Daddy-nya. El berinisiatif memesan bubur bayi, lelaki ini bukan hanya pandai mengatur dan mengelola bisnis, tetapi mengasuh bayi menjadi keahlian baru.Selesai menyuapi Al, El cekatan memandikan bayi gembulnya, kedua lelaki itu bermain
“Kamu mengantar bunga ini untukku?” Livy menggeser kursi, ia berdiri menghampir wanita itu, mengambil buket bunga mawar.Kini, tidak ragu lagi kalau kiriman bunga memang untuknya. Tanpa banyak tanya, semua orang tahu siapa sosok pria belebihan itu.“Nyonya, Tuan Muda bilang saya harus mengantarnya langsung ke sini. Maaf mengganggu waktunya,” tutur Esme—sekretaris kutu buku Torres Inc.“Terima kasih Esme. Kamu … ayo duduk dulu, belum makan malam ‘kan?” ujar Livy dengan ramah.Jujur, hatinya merasa lega karena Esme ada di kota ini tidak ikut atau menyusul El ke Birmingham. Ia menggiring wanita berkacamata tebal itu duduk dan menikmati malam.Setelahnya, Livy kembali ke kamar, ia memeluk bunga yang sukar dipeluk lantaran ukuran terlalu besar. Ia mengulum senyum, walaupun suaminya jauh tetapi malam ini lelaki itu seolah-olah hadir di kamar tidur.“Harum banget bunganya,” gumam Livy tersipu-sipu.Ia juga membaca kartu ucapan kecil di atas kotak coklat besar berbentuk hati. Lagi-lagi, El mam
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa