Pagi Kak kira-kira siapa ya keluarganya Livy?
Dilanda rasa penasaran berlebih, Livy tidak dapat menahannya. Sekarang, pelan-pelan Livy mendorong pintu besar dan lebar ini, lalu berjalan mendekati suaminya. Tubuhnya gemetaran, ia tidak sabar mendengar kebenaran itu dari mulut El.Beruntung, ia sempat berpapasan dengan Mom Pamela. Sehingga menitipkan Al sebentar pada Ibu mertua, kebetulan berencana membawa Al ke kamarnya.“Sayang?” El tersentak melihat wanitanya ada di depan mata. “Kamu—“ tunjuk El terhenti karena Livy menganggukkan kepala.“Aku mendengarnya, maaf tidak sengaja,” cicit ibu muda, lalu menatap Ar dan Alonso.El mengerti maksud dari pandangan sang istri, tanpa basi basi, pria ini mengibaskan tangan pada adiknya lalu melirik Alonso.“Baiklah kami permisi,” ujar dua pria berbeda usia itu.Setelah Ar dan Alonso pergi, Livy meletakkan segelas jus di atas meja. Netra coklatnya melirik tab serta kertas yang berserakan. Ia menyipitkan kelopak, karena di layar pipih itu banyak foto mendiang ibunya.“Siapa yang memiliki foto i
“Aku mencarimu ke mana-mana, kata mereka kamu meninggal sesaat setelah dilahirkan.” Wajah Kakek tampak muram diiringi tatapan sendu.“Tidak Kek, itu salah. Ini aku Livy, ada di sini … banyak foto ibu,” lirih Livy, pandangannya mengitari ruangan sempit tak memiliki perabotan, hanya alas karpet tebal.Pemandangan yang sama seperti beberapa hari lalu, ia melihatnya di dalam layar pipih El. Bukan hanya gambar sang ibu, di sini juga ada beberapa foto mendiang neneknya.Bahkan, foto saat perut mendiang ibunya membuncit masih terjaga dengan rapi. Livy berpikir, hanya itu kenang-kenangan kebersamaan diri dengan ibunya.Semua kenangan yang tak bisa dilupakan, tetapi sakit dikenang, ia hanya menjadikannya pembelajaran hidup. Semula Livy memang marah pada kedua orang tuanya, tetapi ia memaksa diri untuk mengerti keadaan pada masa itu.Di saat Livy sibuk memandangi foto, El mulai berucap, “Kakek, sebenarnya kami memiliki tujuan lain, aku harap berkenan membantu.”Tanpa mengetahui alasan lainnya
“Sayang, tenang, jangan takut ya. Ada aku.” El segera menghampiri Livy dan memeluknya.Tidak ada riak kemarahan pada wajah semua orang, mereka mengerti apa yang menimpa Livy bukanlah masalah ringan hingga menimbulkan jejak trauma. Livy terus menggeleng, kejadian hari itu benar-benar menyiksanya. Ia pun mendekap Al, menciumi puncak kepala putranya.“Ini teman Dad Leon, berkunjung sebentar, beliau merasa gemas pada Al, jadi … menggendongnya,” jelas Mom Pamela tidak menjadikan hati Livy tenang. Ia tetap gelisah dan ketakutan seseorang merebut putra tercinta. Livy mendongak, menatap kedua iris biru safir, ia menghela napas.“Kak? Aku mau ke kamar sekarang,” pintanya dengan suara parau.“Ayo Sayang, Al biar aku yang gendong. Kamu gemetaran gini, bahaya.”Di dalam kamar, Livy membaringkan putranya di atas ranjang, atas bujuk rayu sang suami, ia bersedia mandi lebih dulu. Kentara sekali enggan meninggalkan bayi sedetik pun.Tidak lama, Livy selesai, gantian El yang membersihkan raga. Di ba
“Apa mereka membuka suara?” tanya El pada adiknya melalui pesan singkat.Paska sesi konsultasi berikut terapi, keadaan Livy sedikit membaik. Bahkan ia berencana membuka toko roti untuk menghilangkan penat, meskipun belum sepenuhnya mempercayakan Al pada orang lain.El menaruh ponselnya di dalam saku, ia takut sang istri tidak sengaja melihat isi pesan balasan Ar. Ia mendekati dua orang di atas karpet, sangat menyenangkan bercanda bersama anak dan istri.Namun, tak lama, telepon genggam kembali bergetar, kali ini beberapa kali. El merogoh saku celana, melihat sekilas balasan dari Eberardo.[Parah Kak, buang saja mereka ke laut, sama sekali tidak berguna.] Tangan El terkepal karena harapan satu-satunya enggan memberi petunjuk. Kemudian ia melirik isi surel dikirim oleh Alonso.Seketika air muka El berubah total, menegang, rahangnya mengetat. Pria ini mengalihkan perhatian pada Livy, ragu untuk menyampaikan kabar buruk.“Kenapa Kak? Ada yang mau dibicarakan?” Sejenak, Livy menghentikan a
“Kak ini sudah siang, kenapa masih bermalas-malasan?” gerutu Livy.Bukan tanpa sebab, setelah sarapan, El melih bergelung di atas ranjang bersama Al. Sedangkan Livy telah rapi dan harum seperti biasanya.“Kamu cemburu ya? Kemarilah Sayang!” El melebarkan tangan menyambut Livy.Akan tetapi, dering pada ponsel mengalihkan atensi dua insan, tak terkecuali Al—mulai peka pada suara. Dengan cepat, El meraih benda tipis itu dari atas nakas, sebelah sudut bibirnya membentuk sudut mengerikan.Jujur, Livy dibuat merinding, bahkan mengusap tengkuk karena merasa horor. Wanita ini juga penasaran dengan laporan yang disampaikan seseorang.“Ayo kita berangkat sekarang!” ajak El menyingkap selimut tipis dan berdiri di sisi ranjang sembari mengulurkan tangan.“Ke mana? Kakak mau ke kantor pakai celana bokser gini?” Livy geleng-geleng kepala karena tingkah suaminya.“Kalau begitu bantu aku siapkan baju kerja, kita tidak boleh terlambat menyambut orang penting,” ujar El, berjalan ke walk in closet seray
“Jauhkan tangan kalian dari kulitku!” berang Sonia menepis tangan beberapa petugas. “Kalian tidak bisa menangkap orang sembarang, aku bisa menuntut balik, paham?!“Anda, harus ikut kami sekarang juga! Anda bisa jelaskan di kantor polisi, bukan di sini!” tegas seorang pertugas menyeret paksa Sonia.Mantan model cantik itu masih menolehkan kepala, menatap bengis pada Livy dan El. Buku jari-jarinya masih memutih kendati kedua tangan telah terkunci.Sonia berdecak sebal, sebab termakan umpan yang diberikan mantan suami. Seharusnya ia tetap bersembunyi hingga keadaan sedikit aman, bukan tersulut emosi karena tidak terima Livy mengumumankan status sebagai pewaris tunggal keluarga Fabregas.Sesampainya di kantor polisi, Sonia tetap bersikap angkuh, menatap hina pada petugas. Wanita itu mengabaikan sejumlah pertanyaan yang ditujukan padanya. “Aku mau menghubungi pengacaraku! Bukankah aku punya hak untuk itu?” sentaknya tak takut.Tentu saja, wanita cantik itu merasa memiliki seseorang yang b
“Aw, ini sakit!” desis Sonia memegangi pelipis serta pipi yang membengkak.Bola mata coklatnya mengedar memperhatikan ruangan dominasi cat putih, serta ranjang yang tak asing. Ia mengerang geram, mengepal kedua tangan lalu memukul kasur dengan kuat.Namun, saat tubuh bagian atasnya bergerak, Sonia menyadari satu hal. Seketika terbelalak karena kakinya tidak bisa bergerak.Saat kecelakaan terjadi, pihak kepolisian segera menghubungi ambulan untuk mengevakuasi korban. Termasuk sopir truk yang menubruk mobil Sonia, diamati melalui CCTV serta dashcam bukan sopir itu yang salah melainkan Sonia.Wanita itu menerobos rambu lalu lintas, akibat ingin terbebas dari kejaran polisi. Sekarang, di rumah sakit, Sonia berteriak keras, hingga beberapa petugas medis serta keamanan masuk kamar rawat.“Ada apa Sonia?” keluh seorang petugas melihat selimut, bantal serta perabot teronggok di atas lantai.Sonia mendelik pada semua orang yang baru saja masuk. Amarah mencapai ubun-ubun dan meletup-letup, karen
“Untuk apa menemui dia? Tidak perlu! Jangan lukai diri sendiri, Sayang!” tolak El mentah-mentah.Pria ini tidak menyetujui Livy bertemu dengan mantan pengasuh Al. El tahu, istrinya hndak melampiaskan amarah karena penculikan itu. “Sebentar Kak, bisa ‘kan? Tidak lebih dari lima menit, aku janji.” Livy mengacungkan jari kelingking sebaga tanda bukti.“Ok. Tidak boleh lebih dari lima menit!” peringatan El, lalu mengusak rambut coklat Livy.Livy mengangguk pelan, lantas memutar tubuh, berjalan mendekati petugas. Hingga tiba di ujung selasar, ia meminta iring-iringan berhenti. Babysitter Al menoleh, terbelalak melihat Livy berdiri tegak dengan jarak beberapa langkah. Dari air muka wanita itu, nampak sekali enggan bertemu apalagi didekati.“Kamu tidak kamu minta maaf?” ucap Livy bersuara tegas.“Untuk apa?” sinis babysitter, lalu berkata, “Penculikan itu? Seharusnya Tuan Muda Al memang mendapat orang tua yang layak bukan wanita bodoh seperti Anda!” Wanita itu memindahkan pandangan dari Li
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa