Claudia duduk di tepi ranjang dengan raut wajah yang menunjukkan jelas kemuraman dan kesedihan. Benaknya terngiang akan apa yang dikatakan oleh ayah Christian. Perkataan yang begitu menusuk dan menghancurkan hatinya.Saat ini Claudia sudah berada di penthouse yang dia tempati bersama dengan Christian. Sepulang dari kediaman keluarga Christian, gadis itu langsung diajak Christian ke penthouse yang tengah mereka tempati. Selama perjalanan pulang, berkali-kali Christian meminta Claudia untuk tak memikirkan ucapan ayahnya, namun sayangnya tetap saja Claudia tidak bisa. Hatinya terlalu lemah dalam hal ini. Terlebih tadi ayah Christian meminta Claudia untuk menggugurkan kandungannya. Sebuah permintaan yang sangat menghancurkan hatinya. Perkataan menyakitkan, jauh lebih menghancurkan daripada sebuah tamparan keras. Itu yang dia rasakan saat ini.Claudia ingin menangis di kala ayah Christian memintanya untuk menggugurkan kandungannya. Akan tetapi, dia menahan perasaannya. Menekan mati-matian
Christian menenggak wine di tangannya hingga tandas. Pria itu berdiri di ruang kerjanya, menatap hamparan gedung-gedung bertingkat di pusat kota. Ya, saat ini Christian tengah berada di ruang kerja yang ada di kantornya.Christian meninggalkan Claudia sendiri di rumah. Pun dia tenang, meski meninggalkan Claudia sendiri, tetap gadis itu ditemani banyak pelayan. Hingga detik ini Christian masih belum mengizinkannya masuk ke kantor. Terlebih kondisinya gadis itu tengah hamil muda.Christian menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Otaknya benar-benar kacau akibat ucapan ayahnya. Yang membuat hati Christian terganjal adalah hati Christian sedih melihat Claudia menjadi muram.Sekalipun, Christian sudah membujuk dan menenangkan Claudia, tapi dia yakin tak mudah untuk Claudia melewati ini. Jauh dari dalam lubuk hatinya terdalam, dia tak menyangka kalau ayahnya meminta Claudia untuk menggugurkan anak yang ada di kandungan gadis itu.Padahal tak bisa dipungkiri bahwa anak yang dik
Christian duduk di sofa yang ada di ruang tengah, sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pria itu pulang lebih awal, namun Claudia belum kembali dari supermarket. Sebelumnya, Christian sudah mendapatkan pesan dari Claudia. Gadis itu mengatakan bahwa pergi ke supermarket terdekat dari tempat mereka tinggal, bersama dengan ibunya. Awalnya, Christian sedikit kesal karena Claudia pergi ke luar rumah. Wajar saja, karena pria itu takut terjadi sesuatu hal buruk pada Claudia. Namun, hal yang membuat Christian sedikit lebih tenang adalah Claudia pergi dengan Grania. Suara pintu terbuka. Tatapan Claudia teralih pada Claudia yang datang bersama dengan Grania. Para pelayan sigap membantu membawakan barang-barang belanjaan Claudia dan barang belanjaan Grania. “Christian? Kau sudah pulang?” Claudia tersenyum sambil melangkah mendekat ke arah Christian. “Hari ini aku pulang cepat.” Christian memberikan kecupan di kening Claudia. “Hi, Christian.” Grania tersenyum meny
Tubuh Tadeo menegang melihat hasil dari test DNA yang diberikan oleh sang asisten. Tangan kanannya menyentuh dadanya, yang terasa amat nenyeri. Rasa takut, khawatir, dan cemas menghantuinya, membuat kakinya seakan tak sanggup lagi untuk berdiri tegak. Tadeo menelan saliva-nya susah payah. Pria paruh baya seakan tak bisa lagi bernapas. Seketika di kala tubuh Tadeo nyaris tumbang—sang asisten dengan sigap menahan tangan Tadeo, memapah pria paruh baya itu. “Tuan, apa Anda perlu saya panggilkan dokter?” ujar sang asisten menatap Tadeo dengan tatapan cemas dan khawatir di kala melihat kondisi Tadeo yang drop. Tadeo menggeleng lemah, dengan wajah yang memucat akibat keterkejutan. “Tidak usah. Kau pergi saja. Tinggalkan aku sendiri.” “Tapi, Tuan—” “Pergilah! Jangan ganggu aku! Aku ingin sendiri!” bentak Tadeo keras mengusir asistennya untuk pergi dari hadapannya. Pikirannya kacau, dia tak ingin diganggu oleh siapa pun. Sang asisten nampak ragu meninggalkan Tadeo, namun jika dia tak per
“Claudia itu adikmu, Sialan! Dia anak kandungku!” Gelegar kencang suara Tadeo sukses membuat Christian dan Claudia membeku di tempat mereka. Raut wajah Christian dan Claudia begitu pucat pasi. Otak Christian dan Claudia seakan mati, dan tak mampu berkutik sama sekali. Christian dan Claudia masih diam seribu bahasa, belum mampu mengeluarkan kata. Seolah perkataan Tadeo seperti batu keras yang akan menghantam tubuh mereka hingga rasanya akan hancur berkeping-keping. “Bicara omong kosong macam apa kau ini, Dad!” Mata Christian menghunus tajam, menatap Tadeo. Ya, pria itu melihat Claudia berdiri di ambang pintu dengan tatapan nanar menahan air mata. Dia ingin sekali memeluk Claudia, tapi entah kenapa kaki Christian seakan mati tertanam di lantai—hingga sama sekali tak bisa berkutik. Tadeo menatap Claudia yang berdiri di ambang pintu. Pria paruh baya itu bertujuan hanya ingin berbicara berdua dengan Christian, namun ternyata Claudia juga ada di hadapannya. Itu menandakan memang ini sud
Kaki Claudia melemah mendengar semua cerita Tadeo. Beruntung, gadis itu berjuang keras memperkokoh injakan kakinya di lantai. Jika tidak sudah pasti Claudia akan tersungkur di lantai. Pelukan tangan Christian yang ada di pinggang Claudia telah menggendur, bahkan sekarang terlepas. Berkali-kali, Christian menggelengkan kepalanya, meyakinkan bahwa apa yang didengarnya ini salah. Tapi tidak, apa yang didengarnya ini adalah kenyataan. Tak sama sekali salah. Perkataan ayahnya sangat jelas di telinganya. Claudia dan Christian sama-sama hancur mengetahui apa yang mereka dengar. Raut wajah mereka berdua nampak jelas memucat pasi. Mereka belum ada yang mengeluarkan suara. Seakan lidah mereka telah kelu, tak sanggup mengeluarkan kata. Claudia dan Christian seakan tengah diterjang batu-batu yang menghantam tubuh mereka. Keduanya tak ingin percaya, tapi bukti satu demi satu semuanya terkuak seolah menjadikan apa yang dikatakan oleh Tadeo bukan hanya omong kosong semata, malainkan sebuah fakta
Langit telah gelap. Awan terang tertutupi oleh awan gelap. Tak ada bintang ataupun bulan, akibat langit yang mendung, namun hujan tak kunjung turun, menandakan bahwa memang sepertinya langit tak mendukung agar air turun ke bumi. Namun, meski tak ada air hujan yang tergenang, tapi ternyata ada air mata yang tertumpah. Claudia melangkahkan kaki gontai menelusuri jalanan dengan wajah yang penuh dengan kerapuhan. Tak ada lagi kecerian atau kebahagiaan di wajah gadis itu. Yang ada hanyalah perasaan hancur berkeping-keping. Otaknya mencoba mencerna semua ini, berharap bahwa ini semua adalah mimpi, bukan nyata. Akan tetapi, sayangnya yang harus di hadapi Claudia adalah kenyataan. Haruskah dia bahagia menemukan ayah kandungnya sendiri? Yang menjadi kerumitan adalah ayah kandungnya merupakan ayah kandung dari pria yang cintai. “Kenapa harus seperti ini?” isak Claudia pilu. Hatinya terasa begitu sesak dan sakit seperti terhujani ribuan batu yang tajam. Claudia membawa tangannya menyentuh pe
“Tidakkk!” Napas Claudia memburu di kala dia terbangun dari mimpi buruknya. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Tampak wajah Claudia memucat. Perasaan takut, cemas, khawatir semuanya telah melebur menjadi satu. “Claudia?” Christian melangkah masuk, duduk di tepi ranjang, meraih bahu Claudia, menatap hangat gadis itu. “Ada apa?” tanyanya lembut, seraya menyeka keringat yang keluar di keningnya. Claudia memeluk Christian, menangis dalam pelukan pria itu. Tangis pilu yang benar-benar amat menghancurkannya. “Aku bermimpi ada orang yang ingin memisahkan kita,” isaknya sesegukan. Christian tersenyum samar mendengar apa yang Claudia katakan. Pria itu membalas pelukan Claudia, dan memberikan kecupan di puncak kepala gadis itu. “Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita, Claudia. Mimpi hanya bunga tidur, tidak menjadi kenyataan. Percayalah, mimpi hanya mimpi, tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan.” Claudia mengurai pelukannya, menatap Christian dengan tatapan yang rapuh. “Bagaimana kalau