Kaki Claudia melemah mendengar semua cerita Tadeo. Beruntung, gadis itu berjuang keras memperkokoh injakan kakinya di lantai. Jika tidak sudah pasti Claudia akan tersungkur di lantai. Pelukan tangan Christian yang ada di pinggang Claudia telah menggendur, bahkan sekarang terlepas. Berkali-kali, Christian menggelengkan kepalanya, meyakinkan bahwa apa yang didengarnya ini salah. Tapi tidak, apa yang didengarnya ini adalah kenyataan. Tak sama sekali salah. Perkataan ayahnya sangat jelas di telinganya. Claudia dan Christian sama-sama hancur mengetahui apa yang mereka dengar. Raut wajah mereka berdua nampak jelas memucat pasi. Mereka belum ada yang mengeluarkan suara. Seakan lidah mereka telah kelu, tak sanggup mengeluarkan kata. Claudia dan Christian seakan tengah diterjang batu-batu yang menghantam tubuh mereka. Keduanya tak ingin percaya, tapi bukti satu demi satu semuanya terkuak seolah menjadikan apa yang dikatakan oleh Tadeo bukan hanya omong kosong semata, malainkan sebuah fakta
Langit telah gelap. Awan terang tertutupi oleh awan gelap. Tak ada bintang ataupun bulan, akibat langit yang mendung, namun hujan tak kunjung turun, menandakan bahwa memang sepertinya langit tak mendukung agar air turun ke bumi. Namun, meski tak ada air hujan yang tergenang, tapi ternyata ada air mata yang tertumpah. Claudia melangkahkan kaki gontai menelusuri jalanan dengan wajah yang penuh dengan kerapuhan. Tak ada lagi kecerian atau kebahagiaan di wajah gadis itu. Yang ada hanyalah perasaan hancur berkeping-keping. Otaknya mencoba mencerna semua ini, berharap bahwa ini semua adalah mimpi, bukan nyata. Akan tetapi, sayangnya yang harus di hadapi Claudia adalah kenyataan. Haruskah dia bahagia menemukan ayah kandungnya sendiri? Yang menjadi kerumitan adalah ayah kandungnya merupakan ayah kandung dari pria yang cintai. “Kenapa harus seperti ini?” isak Claudia pilu. Hatinya terasa begitu sesak dan sakit seperti terhujani ribuan batu yang tajam. Claudia membawa tangannya menyentuh pe
“Tidakkk!” Napas Claudia memburu di kala dia terbangun dari mimpi buruknya. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Tampak wajah Claudia memucat. Perasaan takut, cemas, khawatir semuanya telah melebur menjadi satu. “Claudia?” Christian melangkah masuk, duduk di tepi ranjang, meraih bahu Claudia, menatap hangat gadis itu. “Ada apa?” tanyanya lembut, seraya menyeka keringat yang keluar di keningnya. Claudia memeluk Christian, menangis dalam pelukan pria itu. Tangis pilu yang benar-benar amat menghancurkannya. “Aku bermimpi ada orang yang ingin memisahkan kita,” isaknya sesegukan. Christian tersenyum samar mendengar apa yang Claudia katakan. Pria itu membalas pelukan Claudia, dan memberikan kecupan di puncak kepala gadis itu. “Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita, Claudia. Mimpi hanya bunga tidur, tidak menjadi kenyataan. Percayalah, mimpi hanya mimpi, tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan.” Claudia mengurai pelukannya, menatap Christian dengan tatapan yang rapuh. “Bagaimana kalau
“Christian, kau mau ke mana?” Claudia menatap Christian yang nampak sibuk, dan sudah rapi. Hanya saja Christian tak memakai pakaian formal, jika saja dia memakai pakaian formal, maka sudah pasti Claudia mengira pria itu bergegas ingin pergi ke kantor.“Ada urusan yang aku kerjakan. Kau di rumah saja. Jangan pergi ke mana-mana,” ucap Christian sambil membelai pipi Claudia. Manik matanya memancarkan jelas seperti ada yang disembunyikan. Namun, Christian tak bisa mengatakan pada Claudia apa yang ada dipikirannya.“Apa kau ingin bertemu dengan client di luar?” tanya Claudia penasaran ingin tahu.“Ya, aku ingin bertemu dengan client di luar,” ucap Christian berdusta. Jauh dari dalam lubuk hati Christian terdalam, dia tak ingin berbohong pada Claudia, dia tak mungkin menceritakan yang telah dicurigakannya. Ini belum saatnya. Tunggu sampai dia memiliki bukti yang kuat. Claudia mengangguk berusaha mengerti. “Jangan pulang malam, yaa?”Christian menangkup kedua pipi Claudia, mencium dan melu
“Grania, kenapa Claudia tidak juga turun?” Benny melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, pria paruh baya itu sudah cukup lama menunggu Claudia, namun sayangnya Claudia tak kunjung turun. Padahal selama ini Claudia tak pernah berias lama. Yang terkenal lama berias adalah Ella. Sangat berbeda dengan Claudia, jauh lebih sederhana daripada Ella.Grania mendesah panjang. “Tunggu sebentar, aku akan menghubungi Claudia. Tadi dia bilang hanya mengganti bajunya, lalu akan turun.” Wanita paruh baya itu memutuskan untuk menghubungi nomor Claudia, namun sayangnya Claudia tak menjawab teleponnya.“Grania kenapa? Apa nomor Claudia tidak aktif?” tanya Benny seraya menatap sang istri dengan tatapan lekat. “Ponsel Claudia aktif, tapi Claudia tidak menjawab teleponku,” jawab Grania berusaha untuk bersabar.“Apa Claudia marah pada kita?” Benny mulai khawatir kalau Claudia akan marah padanya dan Grania. Tak menampik, pria paruh baya itu merasa bersalah, karena baru bisa mengunjungi Claud
Christian dan Elan terkejut melihat kehadiran Ella. Jika Christian terkejut, namun keterkejutan Christian hanya sebentar, berbeda dengan Elan yang nampak panik. Ya, kepanikan begitu terlihat di wajah Elan. Bahkan tak bisa tertutupi rasa takut serta cemas melingkupinya.“Ella? Kau—” Elan ingin merangkai sebuah kata untuk Ella, tapi rupanya kata-kata yang ada di otaknya seakan blank dan tak mampu berpikir jernih. Elan seolah disudutkan. Apalagi dia melihat tatapan Ella menatapnya dengan tatapan kecewa.Christian tersenyum samar melihat Ella ada di hadapannya. Pria itu tak perlu susah payah menjelaskan apa yang terjadi antaranya dan Elan, karena Ella sekarang sudah tahu akan fakta yang telah terjadi.“Ella, kebetulan kau ada di sini, aku minta maaf karena kau harus terlibat dalam balas dendam Elan, dan kau dengar sendiri, kan? Elan menjadi dalang aku dan Claudia terjebak. Kalau kau marah pada Claudia, sepertinya kau keterlaluan. Semua yang terjadi, bahkan termasuk aku dan Claudia saling
Grania mondar-mandir tidak jelas karena tak kunjung mendapatkan kabar keberadaan Claudia. Bukan hanya Grania yang cemas, tapi Benny juga sangat cemas. Bahkan Benny sudah meminta salah satu asisten pribadinya mencari keberadaan Shania, tetap tak menuaikan hasil apa pun.Rekaman CCTV di area penthouse Christian, hanya bisa diakses Christian, karena harus menggunakan kata sandi serta sidik jari beberapa orang yang sudah terdaftarkan. Sedangkan CCTV di area pintu belakang apartemen, tak menuaikan hasil apa-apa. Sepertinya ada yang sengaja menghapus CCTV di area pintu belakang.Saat ini Grania dan Benny hanya menunggu Christian tiba. Yang paling cemas adalah Grania. Wanita paruh baya itu memang bukan ibu yang melahirkan Claudia, tapi selama ini Claudia sudah Grania anggap seperti anak kandungnya sendiri.Benny tentunya cemas, tapi pria paruh baya itu berusaha untuk lebih tenang, agar sang istri bisa tenang. Karena jika keduanya dalam keadaan panik, yang ada malah keadaan semakin memanas.“
Mobil Christian melaju dengan kecepatan penuh, membelah kota London. Raut wajah pria itu nampak menunjukkan kemarahan yang berkobar. Napasnya memburu. Tangannya mencengkram kuat stir mobilnya.Dalam hati, dia tidak tenang memikirkan ke mana ayahnya membawa Claudia. Sampai detik ini, anak buahnya belum berhasil melacak keberadaan ayahnya yang membawa Claudia. Christian yakin bahwa ayahnya bermaksud ingin memisahkannya dengan Claudia. Tapi, tidak akan semudah itu. Sampai kapan pun, Christian tidak akan mau berpisah dengan Claudia. Bahkan meski kenyataan dirinya adalah kakak kandung Claudia, tetap saja dia tidak akan pernah melepas Claudia.“Shit!” umpat Christian seraya memukul keras stir mobilnya. Otaknya benar-benar sangat kacau, tak bisa berpikir jernih. Pria itu takut kalau terlambat menyelamatkan Claudia. Hal yang membuat Christian marah, emosi, serta dendam adalah Elan menukar hasil test DNA sampai membuat ayahnya berpikir bahwa Claudia adalah anak ayahnya. Sungguh, ingin sekali