Tubuh Tadeo menegang melihat hasil dari test DNA yang diberikan oleh sang asisten. Tangan kanannya menyentuh dadanya, yang terasa amat nenyeri. Rasa takut, khawatir, dan cemas menghantuinya, membuat kakinya seakan tak sanggup lagi untuk berdiri tegak. Tadeo menelan saliva-nya susah payah. Pria paruh baya seakan tak bisa lagi bernapas. Seketika di kala tubuh Tadeo nyaris tumbang—sang asisten dengan sigap menahan tangan Tadeo, memapah pria paruh baya itu. “Tuan, apa Anda perlu saya panggilkan dokter?” ujar sang asisten menatap Tadeo dengan tatapan cemas dan khawatir di kala melihat kondisi Tadeo yang drop. Tadeo menggeleng lemah, dengan wajah yang memucat akibat keterkejutan. “Tidak usah. Kau pergi saja. Tinggalkan aku sendiri.” “Tapi, Tuan—” “Pergilah! Jangan ganggu aku! Aku ingin sendiri!” bentak Tadeo keras mengusir asistennya untuk pergi dari hadapannya. Pikirannya kacau, dia tak ingin diganggu oleh siapa pun. Sang asisten nampak ragu meninggalkan Tadeo, namun jika dia tak per
“Claudia itu adikmu, Sialan! Dia anak kandungku!” Gelegar kencang suara Tadeo sukses membuat Christian dan Claudia membeku di tempat mereka. Raut wajah Christian dan Claudia begitu pucat pasi. Otak Christian dan Claudia seakan mati, dan tak mampu berkutik sama sekali. Christian dan Claudia masih diam seribu bahasa, belum mampu mengeluarkan kata. Seolah perkataan Tadeo seperti batu keras yang akan menghantam tubuh mereka hingga rasanya akan hancur berkeping-keping. “Bicara omong kosong macam apa kau ini, Dad!” Mata Christian menghunus tajam, menatap Tadeo. Ya, pria itu melihat Claudia berdiri di ambang pintu dengan tatapan nanar menahan air mata. Dia ingin sekali memeluk Claudia, tapi entah kenapa kaki Christian seakan mati tertanam di lantai—hingga sama sekali tak bisa berkutik. Tadeo menatap Claudia yang berdiri di ambang pintu. Pria paruh baya itu bertujuan hanya ingin berbicara berdua dengan Christian, namun ternyata Claudia juga ada di hadapannya. Itu menandakan memang ini sud
Kaki Claudia melemah mendengar semua cerita Tadeo. Beruntung, gadis itu berjuang keras memperkokoh injakan kakinya di lantai. Jika tidak sudah pasti Claudia akan tersungkur di lantai. Pelukan tangan Christian yang ada di pinggang Claudia telah menggendur, bahkan sekarang terlepas. Berkali-kali, Christian menggelengkan kepalanya, meyakinkan bahwa apa yang didengarnya ini salah. Tapi tidak, apa yang didengarnya ini adalah kenyataan. Tak sama sekali salah. Perkataan ayahnya sangat jelas di telinganya. Claudia dan Christian sama-sama hancur mengetahui apa yang mereka dengar. Raut wajah mereka berdua nampak jelas memucat pasi. Mereka belum ada yang mengeluarkan suara. Seakan lidah mereka telah kelu, tak sanggup mengeluarkan kata. Claudia dan Christian seakan tengah diterjang batu-batu yang menghantam tubuh mereka. Keduanya tak ingin percaya, tapi bukti satu demi satu semuanya terkuak seolah menjadikan apa yang dikatakan oleh Tadeo bukan hanya omong kosong semata, malainkan sebuah fakta
Langit telah gelap. Awan terang tertutupi oleh awan gelap. Tak ada bintang ataupun bulan, akibat langit yang mendung, namun hujan tak kunjung turun, menandakan bahwa memang sepertinya langit tak mendukung agar air turun ke bumi. Namun, meski tak ada air hujan yang tergenang, tapi ternyata ada air mata yang tertumpah. Claudia melangkahkan kaki gontai menelusuri jalanan dengan wajah yang penuh dengan kerapuhan. Tak ada lagi kecerian atau kebahagiaan di wajah gadis itu. Yang ada hanyalah perasaan hancur berkeping-keping. Otaknya mencoba mencerna semua ini, berharap bahwa ini semua adalah mimpi, bukan nyata. Akan tetapi, sayangnya yang harus di hadapi Claudia adalah kenyataan. Haruskah dia bahagia menemukan ayah kandungnya sendiri? Yang menjadi kerumitan adalah ayah kandungnya merupakan ayah kandung dari pria yang cintai. “Kenapa harus seperti ini?” isak Claudia pilu. Hatinya terasa begitu sesak dan sakit seperti terhujani ribuan batu yang tajam. Claudia membawa tangannya menyentuh pe
“Tidakkk!” Napas Claudia memburu di kala dia terbangun dari mimpi buruknya. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Tampak wajah Claudia memucat. Perasaan takut, cemas, khawatir semuanya telah melebur menjadi satu. “Claudia?” Christian melangkah masuk, duduk di tepi ranjang, meraih bahu Claudia, menatap hangat gadis itu. “Ada apa?” tanyanya lembut, seraya menyeka keringat yang keluar di keningnya. Claudia memeluk Christian, menangis dalam pelukan pria itu. Tangis pilu yang benar-benar amat menghancurkannya. “Aku bermimpi ada orang yang ingin memisahkan kita,” isaknya sesegukan. Christian tersenyum samar mendengar apa yang Claudia katakan. Pria itu membalas pelukan Claudia, dan memberikan kecupan di puncak kepala gadis itu. “Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita, Claudia. Mimpi hanya bunga tidur, tidak menjadi kenyataan. Percayalah, mimpi hanya mimpi, tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan.” Claudia mengurai pelukannya, menatap Christian dengan tatapan yang rapuh. “Bagaimana kalau
“Christian, kau mau ke mana?” Claudia menatap Christian yang nampak sibuk, dan sudah rapi. Hanya saja Christian tak memakai pakaian formal, jika saja dia memakai pakaian formal, maka sudah pasti Claudia mengira pria itu bergegas ingin pergi ke kantor.“Ada urusan yang aku kerjakan. Kau di rumah saja. Jangan pergi ke mana-mana,” ucap Christian sambil membelai pipi Claudia. Manik matanya memancarkan jelas seperti ada yang disembunyikan. Namun, Christian tak bisa mengatakan pada Claudia apa yang ada dipikirannya.“Apa kau ingin bertemu dengan client di luar?” tanya Claudia penasaran ingin tahu.“Ya, aku ingin bertemu dengan client di luar,” ucap Christian berdusta. Jauh dari dalam lubuk hati Christian terdalam, dia tak ingin berbohong pada Claudia, dia tak mungkin menceritakan yang telah dicurigakannya. Ini belum saatnya. Tunggu sampai dia memiliki bukti yang kuat. Claudia mengangguk berusaha mengerti. “Jangan pulang malam, yaa?”Christian menangkup kedua pipi Claudia, mencium dan melu
“Grania, kenapa Claudia tidak juga turun?” Benny melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, pria paruh baya itu sudah cukup lama menunggu Claudia, namun sayangnya Claudia tak kunjung turun. Padahal selama ini Claudia tak pernah berias lama. Yang terkenal lama berias adalah Ella. Sangat berbeda dengan Claudia, jauh lebih sederhana daripada Ella.Grania mendesah panjang. “Tunggu sebentar, aku akan menghubungi Claudia. Tadi dia bilang hanya mengganti bajunya, lalu akan turun.” Wanita paruh baya itu memutuskan untuk menghubungi nomor Claudia, namun sayangnya Claudia tak menjawab teleponnya.“Grania kenapa? Apa nomor Claudia tidak aktif?” tanya Benny seraya menatap sang istri dengan tatapan lekat. “Ponsel Claudia aktif, tapi Claudia tidak menjawab teleponku,” jawab Grania berusaha untuk bersabar.“Apa Claudia marah pada kita?” Benny mulai khawatir kalau Claudia akan marah padanya dan Grania. Tak menampik, pria paruh baya itu merasa bersalah, karena baru bisa mengunjungi Claud
Christian dan Elan terkejut melihat kehadiran Ella. Jika Christian terkejut, namun keterkejutan Christian hanya sebentar, berbeda dengan Elan yang nampak panik. Ya, kepanikan begitu terlihat di wajah Elan. Bahkan tak bisa tertutupi rasa takut serta cemas melingkupinya.“Ella? Kau—” Elan ingin merangkai sebuah kata untuk Ella, tapi rupanya kata-kata yang ada di otaknya seakan blank dan tak mampu berpikir jernih. Elan seolah disudutkan. Apalagi dia melihat tatapan Ella menatapnya dengan tatapan kecewa.Christian tersenyum samar melihat Ella ada di hadapannya. Pria itu tak perlu susah payah menjelaskan apa yang terjadi antaranya dan Elan, karena Ella sekarang sudah tahu akan fakta yang telah terjadi.“Ella, kebetulan kau ada di sini, aku minta maaf karena kau harus terlibat dalam balas dendam Elan, dan kau dengar sendiri, kan? Elan menjadi dalang aku dan Claudia terjebak. Kalau kau marah pada Claudia, sepertinya kau keterlaluan. Semua yang terjadi, bahkan termasuk aku dan Claudia saling