Keheningan membentang dari dalam mobil. Christian melajukan mobil dengan kecepatan sedang dan sorot mata tajam. Di samping pria itu ada Claudia yang tertidur pulas. Saat ini mereka memang tengah berada di dalam perjalanan pulang. Sebelumnya, Christian telah mengajak Claudia untuk menginap di penthouse barunya, tapi Claudia menolak karena takut keluarganya mencarinya.Pun kondisi sekarang otak Christian sedang tidak mampu berpikir jernih. Setelah mendapatkan informasi dari sang asisten tentang dalang di balik yang memata-matainya di Seoul, membuat emosi Christian memanas dan nyaris meledak.Jika bukan karena ada Claudia di sampingnya, sudah pasti Christian memutar balik stir mobilnya—menuju penthouse Elan. Namun, sekarang ada Claudia. Bahkan kondisi Claudia sedang kurang sehat. Itu yang membuat Christian harus mampu mengendalikan emosi demi Claudia.Sampai detik ini, otak Christian memang tengah menerka-nerka apa sebenarnya tujuan Elan kembali ke New York. Selain itu, dia juga ingin ta
Claudia mendesah panjang di kala membuka mata, dirinya sudah berada di dalam kamarnya. Padahal tadi malam dirinya terlelap di dalam mobil Christian. Gadis itu yakin pasti Christian yang menggendongnya.Claudia tak mengira kalau tidur akan seperti kerbau. Bisa-bisanya tubuhnya sudah berpindah, tapi malah dirinya sama sekali tak sadar. Beruntung yang menggendongnya adalah Christian, bukan komplotan penjahat.Claudia memejamkan mata seraya memijat keningnya secara perlahan. Kepalanya sedikit pusing, dan perutnya masih mual. Hanya saja mual kali ini tak mendorongnya untuk muntah. Entah, Claudia tak mengerti ada apa dengan tubuhnya. Mungkin saja terlalu lelah membuat kesehatannya menurun.Claudia menyibak selimut, lalu turun dari ranjang dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Mood-nya sedang tak bagus, tapi tidak mungkin dirinya bolos dari kantor. Lagi pula, dirinya sudah merasa sedikit lebih baik.Tiga puluh menit kemudian, Claudia baru saja selesai membersihkan diri, dan sudah mengganti
Jantung Ella nyaris berhenti berdetak mendengar ucapan Elan. Sekujur tubuhnya membeku. Matanya memerah hendak meneteskan air mata. Berkali-kali, dia menggelengkan kepalanya, meyakinkan bahwa apa yang dia dengar ini adalah sebuah kesalahan.Napas Ella terasa sesak. Hatinya mulai merasakan sakit seperti tertusuk oleh sebilah pisau tajam. Tidak! Buru-buru, dia menepis apa yang dikatakan oleh Elan. Wanita itu memiliki keyakinan bahwa tidak mungkin adiknya tega melukainya. Ella tidak mungkin percaya begitu saja ucapan omong kosong Elan. Sekalipun dia tahu bahwa Elan tak suka berbicara omong kosong, tetap saja untuk hal ini pastilah omong kosong. Dia jauh lebih percaya pada adiknya sendiri, daripada pria gila yang terus mengganggu ketenangan hidupnya.“Kau pikir aku akan percaya? Elan, aku sangat mengenal adikku! Jika Christian bisa mengkhianatiku, tidak mungkin adikku tega melukaiku!” seru Ella dengan nada bergetar, akibat menahan kemarahan yang nyaris meledak.Elan tersenyum samar melih
Christian melihat secara detail CCTV di area pembangunan gedung Geovan Group yang ada di Seoul. Pria itu sengaja melihat CCTV secara detail, karena ingin tahu sejauh mana Elan mengawasinya. Selama di Seoul, Christian sama sekali tak tahu kalau ada yang membututinya secara bersih. Ya, padahal selama ini, dia selalu bertindak hati-hati. Tidak pernah gegabah sedikit pun. Akan tetapi kali ini dia kecolongan, sampai ada yang membututinya.Tak menampik, Christian mengakui cara kerja Elan yang bersih dan rapi. Benak pria itu menerka-nerka sejak kapan Elan mengetahui hubungannya dengan Claudia. Rasanya tidak mungkin jika Elan tiba-tiba saja meminta anak buahnya membututinya di Seoul. Christian tak percaya dengan sebuah kebetulan seperti ini.Beberapa saat, tatapan Christian tak lepas menatap rekaman CCTV yang diputar di iPad-nya. Tiba-tiba gerak dari anak buah Elan mulai mencurigakan, dengan cepat—dia memperbesar layar—memfokuskan pandangan pada gerak anak buah Elan.Mata Christian menyipit
“Akh—” Claudia memeluk perut bagian bawahnya yang terasa begitu sakit di kala tersungkur di lantai. Sudut bibirnya mengeluarkan darah akibat tamparan kakaknya yang terlalu keras. Claudia merasa nyeri luar biasa di perut bagian bawahnya, namun dia berusaha untuk menahan rasa sakit itu. Tamparan di pipinya memang cukup keras. Meski sakit dan perih, tapi tak sebanding rasa sakit di perut bagian bawahnya.“K-kak?” Perlahan Claudia berusaha menatap Ella dengan tatapan penuh kebingungan. Gadis itu menahan ringisan perih dari sakit yang timbul di perut bagian bawahnya dan bekas tamparan di pipinya.“Jangan pernah kau panggil aku kakak lagi! Aku tidak sudi kau memanggilku dengan sebutan itu!” bentak Ella begitu keras, dan menggelegar. Kemarahan dan emosi telah menguasai wanita itu.“Ella! Apa-apaan kau ini!” Grania membantu Claudia bangkit berdiri, dia memberikan tatapan tajam pada putri sulungnya. “Ella! Kau sudah gila! Kenapa kau memukul adikmu sendiri!” teriak Benny penuh emosi.Air mata
Christian membelai rambut Claudia lembut, sambil menatap Claudia yang kini sudah terlelap. Tampak jelas mata gadis itu sembab. Hidungnya pun memerah. Sejak tadi Claudia tak henti menangis. Sepanjang perjalanan, Claudia menangis. Pria itu melihat jelas kerapuhan gadis itu. Untungnya, rasa lelah membuat Claudia terlelap di mobil. Hal tersebut yang membuat Christian menjadi jauh lebih lega.Saat ini Christian membawa Claudia ke penthouse yang baru dia beli. Tak mungkin dia tetap membiarkan Claudia tinggal di rumah yang sudah tak lagi bisa memberikannya kehangatan.Hari ini, semua telah terungkap dengan jelas. Christian tak mengira kalau akan terungkap dengan cara yang seperti ini. Lepas dari yang terjadi, hal yang membuat Christian tak menyangka adalah kenyataan di mana Claudia bukan adik kandung Ella.Kemarahan Ella telah membongkar semuanya. Termasuk tentang fakta di mana Claudia bukanlah adik dari wanita itu. Selama ini, Christian tak pernah tahu tentang rahasia masa lalu Claudia.
Grania menyentuh keningnya, memijat secara perlahan di kala rasa pusing mulai menyerang. Tepat di kala kesadaran Grania mulai pulih, tatapannya menatap sang suami yang begitu setia duduk di tepi ranjang.“Sayang?” panggil Grania pelan dengan nada lemah, menandakan bahwa dirinya belum sepenuhnya pulih.Benny mengembuskan napas lega melihat Grania sudah siuman. “Aku khawatir sekali padamu. Aku takut terjadi sesuatu hal buruk padamu.”Grania terdiam sebentar, berusaha mengingat apa yang terjadi sampai membuat dirinya bisa jatuh pingsan. Satu demi satu, kepingan memori dalam pikirannya muncul. Tampak raut wajah Grania berubah menunjukkan jelas kepanikannya. Mata Grania memancarkan rasa takut dan khawatir yang begitu besar.“Di mana Claudia? Di mana putri bungsu kita, Sayang?” Grania menatap Benny penuh dengan rasa takut.Benny terlihat kacau dan muram. “Claudia pergi dibawa Christian.”Grania menggeleng kepalanya sambil menangis. “Sayang, kita harus jemput Claudia. Kita harus memberi tahu
Christian memarkirkan mobilnya di lobby apartemen di mana penthouse Elan berada. Pria itu segera menuju ke lift dengan langkah kaki yang tegas, dan cepat. Sorot mata tajamnya membendung rasa marah dan emosi tertahan.Christian layaknya merasakan bara api yang berada di atas kepalanya—begitu membakar hingga membuatnya ingin meledakan kemarahan. Sudah sejak sepanjang perjalanan—dia menahan emosi.Pengkhianatan dari sepupunya ini sangat sulit dia terima! Ting! Pintu lift terbuka. Christian melangkah keluar pintu lift menuju penthouse Elan.“Selamat malam, Tuan Christian.” Para pelayan menyambut kedatangan Christian.“Di mana Elan? Aku ingin bertemu dengannya.” Christian tanpa basa-basi, menjawab sapaan pelayan dari sepupunya itu. “Tuan Elan ada di ruang kerjanya, Tuan. Beliau sudah menunggu Anda,” balas sang pelayan penuh dengan sopan.Christian mengangguk singkat merespon ucapan sang pelayan. Tanpa lagi berkata, dia segera menuju ke ruang kerja Elan. Langkah kakinya tegas, dan sedi