Beranda / Romansa / Skandal Satu Malam Sang Presdir / Bab 4: Akan Menciptakan Neraka untukmu!

Share

Bab 4: Akan Menciptakan Neraka untukmu!

Penulis: Senja Berpena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-13 16:55:20

“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.

“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.

Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.

Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.

“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”

Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasihmu itu? Kau bahkan tidak berniat meninggalkan wanita itu, meskipun sekarang kau sudah berstatus menjadi seorang suami?”

Smith menatapnya, tanpa sedikit pun tersentuh oleh sinisme Laura. Ia mengangguk mantap. “Tentu saja tidak. Aku mencintainya. Lebih dari apa pun. Kau tidak ada artinya, dan aku hanya akan mencintai Stella. Sampai kapan pun!”

Mendengar itu, Laura mendesah pelan, ada api kemarahan yang tampak menyala di balik tatapannya, meski ia mencoba menahannya. "Kalau begitu, seharusnya kau mengatakan kepada ayahmu dari awal. Seharusnya kau memintanya untuk tidak menikahkan kita. Ini semua hanya omong kosong jika kau mencintai orang lain, bukan?"

Smith hanya mengangkat bahu, sorot matanya tetap datar, bahkan terasa begitu asing, nyaris seperti kaca tanpa jiwa. Tidak ada tanda-tanda penyesalan, bahkan sepertinya ia terlalu angkuh untuk memberikan penjelasan.

“Bukan urusanmu,” ucap Smith dingin, nadanya sekeras batu, tanpa ada setitik pun kehangatan yang menyelinap di antara kata-katanya.

“Tentu saja ini urusanku,” balas Laura dengan penuh keberanian, matanya menyala, menggenggam kebenaran yang ingin ia lontarkan. “Kau memang membutuhkan jabatan itu. Hanya saja, mulut kotormu itu enggan mengatakan yang sebenarnya!”

Smith mendecih, tatapan sinisnya menembus Laura seperti belati yang dingin dan tajam. “Mengalah dan menikahimu hanyalah satu cara untuk menjaga kehormatan keluargaku, Laura,” jawabnya singkat, nadanya setenang permukaan danau yang beku, kosong tanpa rasa.

Laura menatapnya sejenak, mengamati betapa dinginnya pria di hadapannya, sosok yang seakan tertutup lapisan es yang tak dapat ditembus.

Tanpa sepatah kata lagi, ia menghela napas dalam, memilih untuk memotong percakapan yang tak membawa kedamaian, lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan dengan langkah tegap, penuh tekad.

Tanpa menoleh, tanpa sepatah kata perpisahan, Laura melangkah menuju kamarnya yang berada di sisi berlawanan dari kamar Smith, sebuah jarak fisik yang juga mewakili jurang emosional di antara mereka.

Bagi Laura, itu adalah batas yang jelas, garis tak kasatmata yang ia tahu takkan pernah diingkari oleh pria yang bersembunyi di balik dinding-dinding dingin di kamarnya sendiri. Takkan pernah ada kesempatan di mana ia dan Smith tidur sekamar; kenyataan itu sudah tertanam dalam hatinya.

Smith menatap punggung Laura yang menjauh, hanya menyunggingkan senyum tipis penuh ironi. Laura, yang tetap tidak menoleh, tiba-tiba berkata pelan namun cukup terdengar, seakan tiap kata menari di udara dengan sinis, “Siapa juga yang ingin tidur dengan pria gila sepertimu.”

Wajah Smith menegang. Amarahnya perlahan muncul, dingin namun menggelegak, seperti api yang membara di balik kabut tipis. “Berhenti memanggilku dengan sebutan itu, Laura. Kau benar-benar menguji kesabaranku!” desisnya, nada suaranya meruncing, penuh kebencian yang nyaris meledak.

“Kau memang gila, Smith. Terima saja, karena memang itu kenyataannya.” Laura kemudian menutup pintu dengan keras, suara pintu yang tertutup itu bergema di dalam rumah, mengguncang setiap sudut, membuat hati Smith menggeram, penuh kemarahan yang membakar dalam diam.

Smith menatap pintu yang kini tertutup rapat, matanya menyipit penuh dendam yang perlahan mendidih di dalam dirinya. “Lihat saja, Laura. Aku akan menciptakan neraka untukmu selama menjadi istriku,” desisnya dengan nada rendah, penuh sumpah serapah yang mengalir seperti racun, siap merusak setiap kedamaian yang mungkin pernah mereka bayangkan.

Bab terkait

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 5: Masalah di Kantor

    "Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 6: Akhirnya Mengalah

    “Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 7: Haruskah Aku Meminta Maaf?

    Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 8: Layani Aku Kapan pun!

    "Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 9: Tak Lebih dari Hubungan Profesional

    Smith merasakan gelombang ketegangan menggulung di sepanjang tubuhnya, seperti badai yang siap meledakkan setiap serat otot. Di bawah sana, tubuh mereka bertaut, menyatu dalam permainan yang tak sepenuhnya bersandar pada cinta, melainkan pada dominasi yang kelam. Sentuhan itu seperti bara, menyulut hasrat dan kebencian dalam kadar yang sama. Laura, yang matanya menyala seperti bara api, seolah melawan setiap gerakan dengan tatapan penuh perlawanan, meski tubuhnya dipaksa tunduk.“Kau sungguh memikat, Laura. Namun sayang, mulutmu adalah neraka yang selalu membakar kesabaranku,” desis Smith, suaranya menggema rendah, seperti guntur yang bersembunyi di balik awan kelabu.Laura mengerang, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kehinaan yang menusuk jiwa. Matanya, yang hitam seperti malam tanpa bintang, mencerminkan kebencian yang pekat. Suaminya ini, pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemangsa yang tak henti merobek harga dirinya.“Kau memang pantas menerima cacian da

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 10: Apa yang Disembunyikan Mereka?

    “Apa yang ingin kau bicarakan, Dad?” Smith akhirnya membuka suara, nada bicaranya langsung, tanpa basa-basi.Laura duduk di sofa empuk dengan punggung yang sedikit tegang, berhadapan dengan Vincent yang menatapnya penuh arti.Di sampingnya, Smith duduk dengan raut wajah datar, tangan menyentuh sandaran lengan kursinya dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat—seperti seorang pria yang menunggu sesuatu yang tak terlalu diinginkan.Vincent mengalihkan pandangannya dari Smith ke Laura, lalu kembali lagi ke arah anak sulungnya. Matanya menyimpan sesuatu—sebuah rahasia kecil yang seolah berusaha ia tahan sebelum diucapkan. Ia menghela napas, keras seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting.“Adik kembarmu, Louis. Dia akan kembali sore ini,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun membawa gravitasi yang membuat ruangan itu terasa lebih kecil. “Aku ingin mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumahku malam ini, pukul tujuh.”Smith, yang tadinya duduk de

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 11: Ceraikan Aku!

    “Apa kau pikir pakaian itu cocok untukmu?” tanyanya dengan nada datar yang hampir seperti celaan.Matanya mengamati Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki, tetapi tak ada kekaguman yang muncul di wajahnya—hanya dingin, seperti embun beku yang menempel di kaca jendela.Jarum jam telah menunjuk angka tujuh malam, dan suasana terasa tegang dalam keheningan yang menggantung di udara.Di depan cermin kamarnya, Laura berdiri, mengenakan dress merah muda berlengan pendek yang melekat sempurna di tubuhnya.Gaun itu memancarkan keanggunan yang sederhana, namun cukup mencuri perhatian. Paduan warna lembut dan potongan yang elegan menjadikannya seperti mawar yang baru saja mekar di tengah malam.Laura berhenti sejenak, menaikkan kedua alisnya sambil menatap Smith dengan tenang. “Tentu saja,” jawabnya, senyum tipis terlukis di wajahnya.“Ini pakaian terbaik untuk makan malam bersama keluargamu.” Nada suaranya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 12: Cantik saja tidak Cukup!

    "Berhenti mengatakan hal bodoh itu lagi, Laura!" desis Smith, suaranya seperti bara api yang terhimpit dalam saluran gelap dadanya, siap meledak kapan saja.Wajahnya memerah, seolah menahan aliran lava yang nyaris tumpah dari kawah emosinya."Kau pikir aku menginginkan pernikahan ini, huh?" ucap Smith lagi, suaranya kali ini dalam dan berat, seperti petir yang bergemuruh di langit gelap sebelum badai menerjang.Laura mengedikkan bahu dengan gerakan yang nyaris seperti tarian malas, ekspresinya begitu acuh, seakan seluruh dunia hanya fragmen kecil di bawah telapak sepatunya."Aku rasa, jika kau tidak menginginkan pernikahan ini, seharusnya berhenti menodai aku seperti kemarin malam," katanya penuh sarkasme, setiap katanya tajam seperti duri mawar yang merobek daging tanpa ampun.Tangan Smith mencengkeram kemudi dengan keras, jemarinya memutih seperti batu karang yang dihantam gelombang kemarahan. Setiap detik, detak amarahnya memukul-mukul kesabaran yang sudah lama lapuk."Karena wanit

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23

Bab terbaru

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Aku Hanya Mencintaimu, Itu Saja

    Pintu rumah terbuka dengan bunyi klik pelan, menandakan kepulangan Smith setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan.Rambutnya sedikit berantakan, dasinya sudah longgar, dan ekspresi wajahnya menunjukkan betapa lelahnya ia setelah kembali ke rutinitas kantornya.Bahkan, waktu istirahatnya tadi hanya cukup untuk makan siang bersama Louis.Laura yang tengah duduk di sofa langsung bangkit begitu melihat suaminya memasuki ruangan. Dengan senyum lembut, ia melangkah mendekat dan langsung mencium pipi Smith."Selamat datang di rumah, Sayang," bisiknya lembut, berharap bisa sedikit mengusir penat di wajah pria itu.Smith mendesah pelan, lalu tanpa ragu menarik Laura ke dalam pelukannya. Ia mencium kening wanita itu dengan penuh kasih sebelum mengubur wajahnya di bahu Laura."Astaga, Laura... Aku benar-benar lelah hari ini. Pekerjaan menumpuk setelah satu minggu penuh kita liburan. Rasanya seperti dihukum karena bersenang-senang."Laura terkekeh mendengar keluhan suaminya. Ia mengusap p

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Back to New York

    Setelah satu minggu penuh menikmati keindahan New Zealand, Laura dan Smith akhirnya kembali ke New York.Begitu menginjakkan kaki di kantornya, Smith langsung disambut oleh tumpukan berkas yang menggunung di meja kerjanya.Vincent dan Louis sudah menunggunya dengan ekspresi yang sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan.Smith menghela napas panjang sebelum menjatuhkan diri ke kursi dengan lemas. "Kalian serius? Aku baru sampai dan langsung disuguhi ini semua?" keluhnya sambil menunjuk setumpuk dokumen yang sudah tertata rapi menunggunya.Vincent menyeringai. "Apa boleh buat? Ada banyak hal yang harus kau urus, bos besar."Louis menepuk bahu saudara kembarnya dan menahan tawa. "Selamat datang kembali di dunia nyata, Smith."Smith menggerutu sambil membuka salah satu berkas. "Sumpah, ini benar-benar menyebalkan. Aku masih ingin bersantai, menikmati waktu dengan Laura, bukannya terjebak dalam tumpukan laporan keuangan dan pengecekan proyek!"Louis tak bisa menahan tawa kali ini. "Kau

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Kemarahan Stella

    Pagi di New Zealand terasa begitu segar. Cahaya matahari menyelinap di antara dedaunan, angin sepoi-sepoi berembus lembut membawa aroma laut yang khas.Laura dan Smith berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar kota kecil yang ramai.Hari ini mereka memutuskan untuk pergi ke pasar swalayan dan berbelanja beberapa barang, termasuk oleh-oleh dan, tentu saja, perlengkapan untuk calon bayi mereka.Sesampainya di pasar swalayan, mata Laura berbinar melihat deretan baju bayi yang menggemaskan tersusun rapi di rak-rak kayu.Berbagai warna pastel yang lembut dengan motif hewan-hewan khas New Zealand seperti domba dan burung kiwi terpajang begitu cantik.“Lihat ini, Smith!” seru Laura antusias sambil mengambil dua setelan baju bayi berwarna putih dengan motif domba kecil. “Bukankah ini lucu sekali?”Smith yang tengah memperhatikan rak sepatu bayi menoleh dan tersenyum. “Lucu sekali. Aku suka motifnya.”Laura mengelus kain baju itu dengan jemarinya, membayangkan kedua bayi kecil mereka meng

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Hadiah Ulang Tahun

    Malam telah menyelimuti New Zealand dengan kehangatan cahaya bulan dan gemerlap bintang-bintang yang bertaburan di langit.Angin lembut berbisik di antara dedaunan, membawa aroma laut yang segar ke udara.Di sebuah restoran mewah dengan pemandangan laut yang luas, Laura dan Smith duduk berdua di meja yang telah disiapkan secara eksklusif untuk mereka.Lilin-lilin kecil menerangi meja makan mereka, menciptakan suasana yang intim dan hangat.Gelas-gelas kristal yang berkilauan memantulkan cahaya temaram lilin, sementara hidangan istimewa tersaji di hadapan mereka—steak wagyu pilihan untuk Smith dan salmon panggang dengan saus lemon butter untuk Laura.Laura menatap sekeliling, merasa aneh dengan suasana yang begitu istimewa. Pelayan-pelayan terlihat tersenyum padanya dengan penuh arti, seolah-olah mereka tahu sesuatu yang ia tidak ketahui.Namun, pikirannya mengabaikannya. Yang terpenting, saat ini ia bersama Smith, menikmati momen berdua.“Terima kasih sudah membawaku ke sini,” ujar La

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Perjalanan Menyenangkan Bersama Sang Terkasih

    “Smith, ayo! Aku sudah siap menjelajahi pegunungan itu hari ini!” Laura menghampiri Smith yang masih menyesap kopinya.Ia terkekeh melihat tingkah Laura yang begitu antusias ingin menikmati pemandangan di sana.“Baiklah. Tunggu sebentar, aku menghabiskan kopiku terlebih dahulu.”Laura mengangguk. Ia akan bersabar menunggu Smith yang masih ingin menikmati kopinya itu.Hingga lima menit kemudian, Smith dan Laura keluar rumah dan siap menjelajahi keindangan alami di sana.Udara sejuk khas New Zealand membelai lembut kulit Laura saat ia berjalan di samping Smith, tangan mereka saling bertaut erat seolah enggan terpisah.Di hadapan mereka, hamparan perbukitan hijau membentang sejauh mata memandang, sementara jalan setapak yang mereka lalui diapit oleh padang rumput yang luas dan pepohonan yang menjulang gagah.Langit biru cerah tanpa awan menjadi latar sempurna bagi perjalanan mereka hari ini. Burung-burung berkicau riang, seakan turut menyambut dua insan yang tengah menikmati kebersamaan

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Babymoon Time!

    “Wow…” Bisikan itu lolos dari bibir Laura, terhempas bersama desir angin yang membelai lembut rambutnya.Matanya yang bening bagai kristal terpantul cahaya matahari senja, menangkap keindahan lanskap New Zealand yang terbentang di hadapannya—bukit-bukit hijau bergulung-gulung seperti ombak yang membeku, danau sebening kaca memantulkan warna langit yang keemasan, serta gunung-gunung kokoh yang berdiri gagah di kejauhan.Smith mendekat, kehangatan tubuhnya menyelimuti Laura saat ia melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan melindungi.Bibirnya menyentuh pucuk kepala Laura sebelum suaranya yang berat dan berlapis kelembutan berbisik di telinganya. “Kau menyukai tempat ini, hm?”Laura menoleh, mata mereka bertaut dalam sorot penuh cahaya senja. Bibirnya melengkung dalam senyum yang tak terbendung, seolah hatinya telah ditawan oleh keindahan tak hanya tempat ini, tapi juga pria yang kini berada di sampingnya.“Ya. Tempat ini sangat cantik. A

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Tidak akan Menyakitinya

    Louis mengerutkan kening, sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan yang pekat.Dalam ribuan kemungkinan yang pernah ia bayangkan, skenario ini tidak pernah menjadi salah satunya."Apa maksudmu, Smith? Kenapa Daddy melakukan itu padamu?" tanyanya, suaranya hampir tertelan kebisingan bar yang mulai surut seiring malam semakin larut.Smith menatap saudara kembarnya dengan mata yang penuh ketegangan, seolah setiap kata yang akan diucapkannya adalah serpihan kaca yang siap melukai siapa pun yang mendengarnya."Aku tahu kau pasti tidak akan percaya dengan tindakan Daddy padaku sampai menjebak Laura agar bisa menikah denganku," ujarnya, suaranya berat dengan emosi yang tertahan.Louis menelan ludahnya, mengamati ekspresi Smith yang jauh lebih serius daripada sebelumnya."Namun, inilah kenyataannya," lanjut Smith, menegakkan punggungnya seolah berusaha menahan beban yang terus menghantamnya dari berbagai sisi."Daddy sendiri yang memberitahuku bahwa dia sengaja melakukan itu. Alasannya? Per

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Pengakuan yang Mengejutkan

    Di Bar yang Dipenuhi Asap dan DosaSmith melangkah masuk ke dalam bar dengan langkah yang tegas dan penuh tujuan. Cahaya remang-remang memantulkan bayangannya di lantai kayu yang telah lama aus oleh waktu dan dosa.Aroma alkohol bercampur parfum mahal melayang di udara, menguar bersama gelak tawa para penghuni malam.Dan di sana, di sudut ruangan yang dikelilingi oleh wanita-wanita bergaun mini dan tawa menggoda, duduklah Louis—pria yang seharusnya menjadi saudara, tetapi kini lebih terasa seperti musuh dalam selubung bayangan.Smith menghentikan langkahnya tepat di hadapan Louis, menatapnya dengan sorot dingin yang mengiris seperti bilah pedang tajam."Apa yang kau lakukan di sini, Louis? Kenapa kau menghilang begitu saja bahkan tugasmu diserahkan pada Reiner?" suaranya terdengar dalam, seperti gemuruh petir sebelum badai.Louis menegakkan tubuhnya sedikit, sebuah senyum tipis—nyaris seperti ejekan—terukir di wajahnya.Dengan santai, ia mengangkat gelas whiskey di tangannya, menggoya

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Harus Bicara dengan Louis

    “Ada apa, Smith?” suara Laura meluncur pelan, nyaris seperti bisikan angin malam yang menyelinap masuk melalui celah jendela.Ia melangkah mendekat, bayangannya terpantul samar di lantai marmer yang dingin. Smith masih duduk di kursinya, punggungnya sedikit membungkuk, seolah menanggung beban dunia di atas bahunya.Jarum jam di dinding telah lama melewati angka sepuluh, namun ketegangan di ruangan itu menggantung seperti awan kelabu sebelum badai.Smith mengangkat wajahnya, sorot matanya kelam, seperti pusaran lautan yang menyembunyikan rahasia di dasarnya.“Aku … belum memberitahumu tentang Louis,” suaranya terdengar serak, seakan setiap kata yang keluar menyesakkan tenggorokannya. “Dia menghilang selama satu minggu ini.”Jantung Laura berdegup lebih cepat. Tubuhnya menegang, seolah hawa dingin mendadak menyusup ke dalam sumsum tulangnya.“Hilang?” suaranya tercekat.“Bagaimana bisa, Smith? Ke mana dia? Kenapa dia menghilang? Bagaimana dengan pekerjaannya?” Serangkaian pertanyaannya

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status