Home / CEO / Skandal Satu Malam Sang Presdir / Bab 3: Pernikahan Sandiwara

Share

Bab 3: Pernikahan Sandiwara

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2024-11-13 15:43:03

Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.

“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.

Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”

Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertolongan padaku, bukan? Jadi, ini pertolongan yang kuberikan padamu.”

Laura menggigit bibirnya pelan, kepalanya menggeleng, perlahan, seperti seseorang yang terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata. Ini bukanlah pertolongan; ini adalah jebakan, jerat yang halus tapi mencekik, menariknya ke dalam jurang yang gelap dan tak berdasar.

“Dad!” Smith melanjutkan, napasnya tersengal saat ia berusaha merangkai kata-kata yang bisa membebaskannya dari takdir ini. “Aku akan bertanggung jawab, apa pun itu. Tapi tidak dengan menikahinya.” Matanya membelalak, penuh harap, seolah dengan menatap ayahnya, ia bisa menggoyahkan keputusan itu. “Dad! Dia bukan tipeku. Dia hanya… seorang karyawan biasa di sini, bukan?”

Vincent menatapnya, pandangannya tajam, dingin, dan tak tersentuh oleh protes putranya. “Kau melakukan pemerkosaan padanya, Smith.” Suaranya menusuk, seperti belati yang diselipkan di antara kata-kata. “Salah satu bentuk tanggung jawab setelah memperkosa orang adalah menikahinya. Apa kau tidak paham maksudku?”

Laura mengatupkan tangan menjadi kepalan erat, kuku-kuku jarinya menggali ke dalam telapak tangannya, menahan rasa marah yang berdesakan di dadanya.

Keputusan ini, yang datang dari atasannya, terasa seperti rantai yang mencekik, menahan segala kata dan harapan, memaksanya menerima takdir yang tak pernah ia bayangkan.

“Oh my God, Dad. Apa kau tidak malu memiliki seorang menantu dari perempuan biasa sepertinya?” ucap Smith, suaranya menyelinap ke dalam ruangan dengan nada tawa sinis, nadanya tajam seperti pecahan kaca yang dilemparkan ke arah Laura.

Laura merasakan darahnya mendidih. Ia menegakkan tubuhnya, menatap Smith dengan dingin, matanya menyala penuh keteguhan yang tak terduga. “Jaga mulutmu, Tuan Smith!” suaranya seperti baja yang dingin namun tak dapat dipatahkan.

“Aku memang wanita biasa. Bahkan aku pun tidak mau menikah denganmu.” Kata-katanya bagaikan pukulan yang mengenai harga diri Smith, penuh ketegasan yang ia kumpulkan dari setiap luka yang terukir dalam dirinya.

“Ini adalah cara terakhirku agar kau menghentikan kebiasaan burukmu itu. Menikahi Laura, sama dengan menyelamatkanmu.” Vincent kemudian menatap ke arah Smith dengan tatapan tajamnya. “Jika kau menolak perintahku, jabatan ini akan menjadi taruhannya.”

*

Satu minggu kemudian…

Tanpa resepsi, tanpa undangan, dan tanpa kebahagiaan, Smith dan Laura resmi menikah, meski hanya sekadar pernikahan kosong yang dipaksakan oleh tuntutan.

Kini mereka berada di rumah megah milik Smith, rumah besar nan mencekam yang Vincent hadiahkan kepada mereka, seperti benteng hampa yang menyembunyikan rahasia penuh luka.

“Seharusnya kau menolaknya, Laura,” desis Smith, suaranya penuh dengan amarah yang ditekan, sementara tangannya dengan kasar meremas rambutnya sendiri, frustrasi yang seolah menggelegak di setiap helaan napasnya.

Laura berbalik, menatap Smith dengan tatapan dingin yang tajam seperti pisau, sebuah cermin dari luka yang dipaksakan pada dirinya.

“Apa kau tidak lihat betapa aku menolakmu?” katanya, nadanya tegas namun penuh kepedihan yang tersembunyi di balik ketenangan yang ia paksakan. “Bukan ini juga yang aku inginkan.”

Smith tersenyum sinis, sebuah senyum getir yang mengalir dari keputusasaan yang ia rasakan. “Apa yang kau inginkan? Bahkan ucapanmu tidak akan pernah didengar ayahku,” desisnya, suaranya menggema di ruangan besar yang kosong, penuh kemarahan yang seakan tak berujung.

“Yang aku inginkan?” Laura menatapnya tajam, mata yang berbinar dengan amarah terpendam yang selama ini ia coba pendam. “Kau mendekam di penjara!” ucapnya tegas, setiap kata seperti tembakan yang tak bisa dielakkan.

Kata-kata itu bagaikan percikan api yang membakar Smith. Ia melangkah cepat ke arahnya, kedua tangannya yang kekar mencengkram pundak Laura dengan kuat, seakan mencoba menghancurkan benteng pertahanan yang dibangun wanita itu. Matanya memancarkan kebencian, liar dan tak terkendali.

“Lepaskan! Jangan sentuh aku lagi! Sudah cukup minggu lalu kau menodaiku!” Laura berteriak, suaranya melengking penuh rasa muak dan terhina.

Smith menatapnya dengan dingin, pandangannya gelap dan menakutkan, seperti serigala yang siap mencabik-cabik mangsanya.

“Kau sudah menjadi istriku, dan itu sudah menjadi hakku. Mau kuapakan dirimu itu terserah padaku,” bisiknya, setiap katanya meneteskan ancaman yang menyeramkan.

Laura tersentak, tapi ia tidak membiarkan ketakutan menguasainya. Dengan kekuatan yang muncul dari setiap luka yang ia derita, ia mendorong tubuh Smith sekuat tenaga, mencoba membebaskan diri dari belenggu yang dipaksakan padanya.

“Aku bukan tipemu, kan?” katanya, suaranya penuh penekanan dan keteguhan. “Jadi, jangan mimpi aku akan melayanimu dengan baik. Pernikahan ini, hanya pernikahan sandiwara.”

Tatapan Laura menjadi semakin tajam, menusuk seperti belati yang tak terlihat, setiap kata adalah cermin dari kenyataan pahit yang harus ia terima. “Justru aku telah menyelamatkanmu, kan?” lanjutnya dengan suara yang sarat sinis. “Kau… terpaksa menikahiku karena membutuhkan jabatan itu.”

Smith menyunggingkan senyum, sebuah senyum penuh kepalsuan yang meremehkan. “Aku hanya menghargai keputusan ayahku saja,” katanya, suaranya penuh ejekan dan kebohongan yang terasa seperti duri. “Bukan karena takut jabatan itu batal aku dapatkan.”

Ia memegang dagu Laura, tatapannya penuh kebencian yang dalam, seakan ingin menghancurkan setiap harapan yang mungkin masih tersisa di hati wanita itu.

“Aku sudah memiliki kekasih, dan dalam waktu dekat ini dia akan datang menemuiku.” Suaranya rendah, penuh kebencian yang membakar. “Seharusnya aku menikahinya, bukan kau, wanita murahan.”

“Kalau begitu, ceraikan aku dan menikah saja dengan wanita idamanmu itu,” ucap Laura dengan entengnya.

Related chapters

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 4: Akan Menciptakan Neraka untukmu!

    “Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi

    Last Updated : 2024-11-13
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 5: Masalah di Kantor

    "Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja

    Last Updated : 2024-11-13
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 6: Akhirnya Mengalah

    “Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba

    Last Updated : 2024-11-13
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 7: Haruskah Aku Meminta Maaf?

    Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu

    Last Updated : 2024-11-20
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 8: Layani Aku Kapan pun!

    "Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny

    Last Updated : 2024-11-22
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 9: Tak Lebih dari Hubungan Profesional

    Smith merasakan gelombang ketegangan menggulung di sepanjang tubuhnya, seperti badai yang siap meledakkan setiap serat otot. Di bawah sana, tubuh mereka bertaut, menyatu dalam permainan yang tak sepenuhnya bersandar pada cinta, melainkan pada dominasi yang kelam. Sentuhan itu seperti bara, menyulut hasrat dan kebencian dalam kadar yang sama. Laura, yang matanya menyala seperti bara api, seolah melawan setiap gerakan dengan tatapan penuh perlawanan, meski tubuhnya dipaksa tunduk.“Kau sungguh memikat, Laura. Namun sayang, mulutmu adalah neraka yang selalu membakar kesabaranku,” desis Smith, suaranya menggema rendah, seperti guntur yang bersembunyi di balik awan kelabu.Laura mengerang, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kehinaan yang menusuk jiwa. Matanya, yang hitam seperti malam tanpa bintang, mencerminkan kebencian yang pekat. Suaminya ini, pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemangsa yang tak henti merobek harga dirinya.“Kau memang pantas menerima cacian da

    Last Updated : 2024-11-22
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 10: Apa yang Disembunyikan Mereka?

    “Apa yang ingin kau bicarakan, Dad?” Smith akhirnya membuka suara, nada bicaranya langsung, tanpa basa-basi.Laura duduk di sofa empuk dengan punggung yang sedikit tegang, berhadapan dengan Vincent yang menatapnya penuh arti.Di sampingnya, Smith duduk dengan raut wajah datar, tangan menyentuh sandaran lengan kursinya dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat—seperti seorang pria yang menunggu sesuatu yang tak terlalu diinginkan.Vincent mengalihkan pandangannya dari Smith ke Laura, lalu kembali lagi ke arah anak sulungnya. Matanya menyimpan sesuatu—sebuah rahasia kecil yang seolah berusaha ia tahan sebelum diucapkan. Ia menghela napas, keras seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting.“Adik kembarmu, Louis. Dia akan kembali sore ini,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun membawa gravitasi yang membuat ruangan itu terasa lebih kecil. “Aku ingin mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumahku malam ini, pukul tujuh.”Smith, yang tadinya duduk de

    Last Updated : 2024-11-22
  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bab 11: Ceraikan Aku!

    “Apa kau pikir pakaian itu cocok untukmu?” tanyanya dengan nada datar yang hampir seperti celaan.Matanya mengamati Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki, tetapi tak ada kekaguman yang muncul di wajahnya—hanya dingin, seperti embun beku yang menempel di kaca jendela.Jarum jam telah menunjuk angka tujuh malam, dan suasana terasa tegang dalam keheningan yang menggantung di udara.Di depan cermin kamarnya, Laura berdiri, mengenakan dress merah muda berlengan pendek yang melekat sempurna di tubuhnya.Gaun itu memancarkan keanggunan yang sederhana, namun cukup mencuri perhatian. Paduan warna lembut dan potongan yang elegan menjadikannya seperti mawar yang baru saja mekar di tengah malam.Laura berhenti sejenak, menaikkan kedua alisnya sambil menatap Smith dengan tenang. “Tentu saja,” jawabnya, senyum tipis terlukis di wajahnya.“Ini pakaian terbaik untuk makan malam bersama keluargamu.” Nada suaranya

    Last Updated : 2024-11-23

Latest chapter

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Ajakan Makan Malam

    Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Laura duduk seorang diri di bangku rooftop Moza Hotel’s, menikmati udara segar sembari menyantap makan siangnya yang sederhana. Pandangannya melayang ke arah cakrawala, berharap ketenangan yang ia cari bisa sedikit ia dapatkan di sela kesibukannya.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Miranda—ibunya—terpampang di layar. Laura menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan itu.“Ada apa, Ibu?” tanyanya, suaranya datar namun sopan.“Kau di mana, Laura?” suara Miranda terdengar tegas di seberang sana, penuh dengan kekhawatiran yang tertahan.Laura menggigit bibir bawahnya sejenak. “Aku sedang bekerja, Ibu. Tapi, bukan di Allera Hotel’s lagi. Aku sudah mengundurkan diri di sana,” jawabnya tanpa banyak penjelasan.Ada keheningan singkat di seberang sebelum suara Miranda meninggi. “Apa? Kenapa, Laura? Apa yang membuatmu mengundurkan diri di sana?”Laura kembali menghela napas, kali ini lebih dalam. “Ini pilihanku, Ibu. Yang menjalankan hidup ini j

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Mendapat Pekerjaan Baru

    Satu minggu kemudian…Di sebuah kota kecil dekat pantai, Laura duduk di kursi tua di dalam kamar kost-annya yang sederhana.Kost-an itu hanya cukup untuk dirinya sendiri, dengan sebuah kasur kecil di sudut ruangan dan lemari pakaian mungil.Hari-harinya di tempat ini terasa sunyi, tetapi juga memberikan ketenangan yang tidak ia dapatkan selama tinggal bersama Smith.Dering ponsel mengagetkan Laura dari lamunannya. Ia dengan cepat meraih ponsel itu yang tergeletak di atas meja kecil.Ia melihat nomor tak dikenal tertera di layar. Dengan hati-hati, ia menggeser layar untuk menjawab.“Selamat pagi, dengan Nona Laura?” terdengar suara seorang wanita dari seberang sana, suaranya ramah namun formal.“Ya, benar. Saya Laura,” jawab Laura sambil mengerutkan kening, merasa sedikit penasaran.“Baik. Selamat, Nona Laura. Anda diterima sebagai salah satu resepsionis di hotel kami. Apakah Anda bersedia untuk datang hari ini?”Mata Laura langsung berbinar mendengar kabar itu. Ia hampir tidak percaya

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Karma itu Nyata, Smith

    Smith membuka pintu ruang kerja Louis dengan keras hingga suara deritnya memecah keheningan.Buku-buku di rak bergetar tipis, dan Louis yang tengah sibuk di balik meja kerjanya hanya melirik sekilas, seakan kedatangan Smith sudah ia duga."Sebenarnya kau tahu di mana Laura berada, kan?" suara Smith penuh emosi, nyaris seperti tuduhan yang sulit terbantahkan. Wajahnya tampak lelah, garis-garis ketegangan jelas terukir di dahi dan di sekitar matanya.Louis mendongak perlahan. Ia tak langsung menjawab, melainkan menarik napas panjang dan menyungginkan senyum tipis di bibirnya. Ekspresinya datar, nyaris santai, namun ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak."Untuk apa aku menyembunyikan Laura, huh?" ujar Louis sambil menyandarkan punggungnya di sofa empuk di ruangan itu."Toh, kau akan mengetahuinya jika aku benar-benar menyembunyikan dia darimu," lanjutnya, suaranya terdengar ringan tetapi sarkastik.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia masih berdiri di tengah ruangan se

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Bukan Pernikahan yang Diinginkan

    Smith menghentikan mobilnya dengan kasar di area parkir basement apartemen yang diberikan Miranda.Ia keluar dengan cepat, langkahnya penuh kemarahan dan kegelisahan. Napasnya berat, tapi matanya penuh determinasi. Ia tak akan berhenti sampai menemukan Laura.Setelah memasuki lift, Smith berdiri dengan tangan mengepal. Matanya menatap angka-angka di panel lift yang perlahan naik. Ia bergumam pelan, suaranya rendah namun penuh emosi."Aku yakin kau belum jauh, Laura. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja dariku. Kau belum mendengar penjelasanku, tapi sudah pergi begitu saja. Hanya karena kau gagal mengandung anakku!"Kata-kata itu terasa seperti sebuah pelampiasan. Jiwanya terasa terguncang sejak Laura pergi.Baru sehari tanpa istrinya, pikirannya sudah kacau balau. Hatinya seperti tertahan di jurang yang gelap.Sesampainya di lantai apartemen, Smith melangkah cepat menuju pintu dengan alamat yang diberikan Miranda.Ia mengeluarkan kertas kecil dari sakunya dan mengetikkan kata

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Gugatan Cerai dari Laura

    “Tuan, ada surat untuk Tuan,” ujar pelayan itu dengan nada hormat sambil menyerahkan amplop tersebut.Smith baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak lelah dan penuh emosi yang belum reda.Namun, langkahnya terhenti ketika salah seorang pelayan menghampirinya dengan cepat, membawa sebuah amplop cokelat di tangan.Smith mengambil amplop itu tanpa banyak bicara, tetapi matanya menyipit penuh curiga. “Di mana Laura? Apa dia sudah kembali?” tanyanya sembari menatap pelayan itu dengan tajam.Pelayan tersebut menundukkan kepalanya sedikit, terlihat ragu sebelum menjawab. “Tidak ada, Tuan. Sejak pagi tadi, Nona Laura tidak kembali.”Smith memijat batang hidungnya, menghela napas berat. Ada perasaan gelisah yang mulai menjalar dalam hatinya.“Bagaimana dengan barang-barang miliknya? Apakah dia membawa semuanya?” tanyanya lagi, suaranya lebih pelan namun tetap terdengar tegas.Pelayan itu menggeleng. “Masih ada, Tuan. Sepertinya Nona Laura tidak membawa barang-barang

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Surat Pengunduran Diri dari Laura

    “Di mana Laura?” tanya Smith langsung, nadanya tajam, meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat tenang.Smith menghampiri Diana, wajahnya tampak gelisah.Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan ketika ia teringat bahwa Laura datang lebih dulu ke kantor pagi ini, dengan alasan ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Namun, hingga kini, Laura belum juga menampakkan dirinya.Diana menghentikan pekerjaannya sejenak, berdiri tegak dan menatap Smith.“Laura memang datang lebih awal, setengah jam yang lalu. Tapi, sampai saat ini dia belum juga kembali, Tuan,” jawabnya singkat.Smith mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk tipis sebelum berbalik dan melangkah dengan tergesa menuju ruang kerjanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus bertanya-tanya, mencoba mencari alasan di balik ketidakhadiran Laura.Sementara itu, Diana menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak pernah kusangka dan tidak pernah kuduga. Rupanya Laura d

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Memberitahu Vincent yang Sebenarnya

    Laura mengetuk pintu ruang kerja Vincent dengan pelan. Suara ketukan itu memecah keheningan yang dipenuhi oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Di balik pintu, Vincent sedang duduk di balik meja kerjanya, memeriksa sejumlah dokumen dengan kaca mata bacanya.“Masuk,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangannya.Laura membuka pintu perlahan dan melangkah masuk, menutupnya kembali dengan hati-hati.Ia berdiri beberapa saat di depan meja kerja Vincent, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Daddy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Vincent mengangkat kepalanya, memandang menantunya itu dengan tatapan tajam, penuh perhatian.Ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja dengan rapi. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada yang menyiratkan ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Laura menggigit bibir bawahnya, merasa gugup. Ia memainkan jari-jarinya dengan gelisah, matanya melirik Vincent yang tetap me

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Keputusannya tetap Sama

    Smith mengangkat cangkir kopinya dan melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Ia menghela napas, lalu meletakkan cangkir itu di meja."Aku harus bertemu dengan klienku pukul sepuluh nanti," ucapnya sembari berdiri dari kursinya.Laura mengangkat wajahnya dari piring sarapannya. “Hati-hati di jalan,” balasnya singkat.Smith hanya mengangguk sebelum meraih tasnya dan pergi meninggalkan Laura sendirian di meja makan.Laura memandang piring di depannya, tapi perutnya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ia memegangi perutnya yang mulai terasa bergejolak.“Ada apa denganku? Kenapa rasanya tidak enak seperti ini,” gumamnya pelan.Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi. Tak kuasa, ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju wastafel di dapur.Tubuhnya terguncang saat ia memuntahkan isi perutnya. Rasa pahit di tenggorokannya membuatnya semakin tak karuan.“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku mual?” tanyanya pada dirinya

  • Skandal Satu Malam Sang Presdir   Tidak akan Membiarkan Mereka Berpisah

    “Kenapa kau pergi begitu saja, Laura?” tanya Smith dengan suara yang berat, penuh tekanan, ketika ia menghampiri Laura.Wanita itu duduk di meja makan, tampak tenang di luar tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Ia tengah menyendokkan pudding ke mulutnya, sebuah kenyamanan kecil yang ia cicipi di tengah kekacauan.Pudding buatan pelayan rumah itu terasa manis, tetapi tidak cukup untuk melunakkan kepahitan di hatinya.Smith baru tiba satu jam setelah Laura meninggalkan restoran. Selama perjalanan, ia mencoba menyusun alasan, kata-kata, tetapi semuanya terasa kosong ketika berhadapan langsung dengan istrinya.Laura, dengan sikap dinginnya, memilih pulang setelah melihat Stella dengan begitu santainya duduk di sisi Smith.“Kau pikir saja sendiri kenapa aku pergi begitu saja. Apa aku harus menjelaskan lagi?” ucap Laura, suaranya datar, nyaris tak beremosi, tetapi menyimpan ketegasan yang memukul.Ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari pudding yang kini hampir habis.Smith mengge

DMCA.com Protection Status