Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.
“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.
Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”
Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertolongan padaku, bukan? Jadi, ini pertolongan yang kuberikan padamu.”
Laura menggigit bibirnya pelan, kepalanya menggeleng, perlahan, seperti seseorang yang terperangkap dalam mimpi buruk yang nyata. Ini bukanlah pertolongan; ini adalah jebakan, jerat yang halus tapi mencekik, menariknya ke dalam jurang yang gelap dan tak berdasar.
“Dad!” Smith melanjutkan, napasnya tersengal saat ia berusaha merangkai kata-kata yang bisa membebaskannya dari takdir ini. “Aku akan bertanggung jawab, apa pun itu. Tapi tidak dengan menikahinya.” Matanya membelalak, penuh harap, seolah dengan menatap ayahnya, ia bisa menggoyahkan keputusan itu. “Dad! Dia bukan tipeku. Dia hanya… seorang karyawan biasa di sini, bukan?”
Vincent menatapnya, pandangannya tajam, dingin, dan tak tersentuh oleh protes putranya. “Kau melakukan pemerkosaan padanya, Smith.” Suaranya menusuk, seperti belati yang diselipkan di antara kata-kata. “Salah satu bentuk tanggung jawab setelah memperkosa orang adalah menikahinya. Apa kau tidak paham maksudku?”
Laura mengatupkan tangan menjadi kepalan erat, kuku-kuku jarinya menggali ke dalam telapak tangannya, menahan rasa marah yang berdesakan di dadanya.
Keputusan ini, yang datang dari atasannya, terasa seperti rantai yang mencekik, menahan segala kata dan harapan, memaksanya menerima takdir yang tak pernah ia bayangkan.
“Oh my God, Dad. Apa kau tidak malu memiliki seorang menantu dari perempuan biasa sepertinya?” ucap Smith, suaranya menyelinap ke dalam ruangan dengan nada tawa sinis, nadanya tajam seperti pecahan kaca yang dilemparkan ke arah Laura.
Laura merasakan darahnya mendidih. Ia menegakkan tubuhnya, menatap Smith dengan dingin, matanya menyala penuh keteguhan yang tak terduga. “Jaga mulutmu, Tuan Smith!” suaranya seperti baja yang dingin namun tak dapat dipatahkan.
“Aku memang wanita biasa. Bahkan aku pun tidak mau menikah denganmu.” Kata-katanya bagaikan pukulan yang mengenai harga diri Smith, penuh ketegasan yang ia kumpulkan dari setiap luka yang terukir dalam dirinya.
“Ini adalah cara terakhirku agar kau menghentikan kebiasaan burukmu itu. Menikahi Laura, sama dengan menyelamatkanmu.” Vincent kemudian menatap ke arah Smith dengan tatapan tajamnya. “Jika kau menolak perintahku, jabatan ini akan menjadi taruhannya.”
*
Satu minggu kemudian…Tanpa resepsi, tanpa undangan, dan tanpa kebahagiaan, Smith dan Laura resmi menikah, meski hanya sekadar pernikahan kosong yang dipaksakan oleh tuntutan.
Kini mereka berada di rumah megah milik Smith, rumah besar nan mencekam yang Vincent hadiahkan kepada mereka, seperti benteng hampa yang menyembunyikan rahasia penuh luka.
“Seharusnya kau menolaknya, Laura,” desis Smith, suaranya penuh dengan amarah yang ditekan, sementara tangannya dengan kasar meremas rambutnya sendiri, frustrasi yang seolah menggelegak di setiap helaan napasnya.
Laura berbalik, menatap Smith dengan tatapan dingin yang tajam seperti pisau, sebuah cermin dari luka yang dipaksakan pada dirinya.
“Apa kau tidak lihat betapa aku menolakmu?” katanya, nadanya tegas namun penuh kepedihan yang tersembunyi di balik ketenangan yang ia paksakan. “Bukan ini juga yang aku inginkan.”
Smith tersenyum sinis, sebuah senyum getir yang mengalir dari keputusasaan yang ia rasakan. “Apa yang kau inginkan? Bahkan ucapanmu tidak akan pernah didengar ayahku,” desisnya, suaranya menggema di ruangan besar yang kosong, penuh kemarahan yang seakan tak berujung.
“Yang aku inginkan?” Laura menatapnya tajam, mata yang berbinar dengan amarah terpendam yang selama ini ia coba pendam. “Kau mendekam di penjara!” ucapnya tegas, setiap kata seperti tembakan yang tak bisa dielakkan.
Kata-kata itu bagaikan percikan api yang membakar Smith. Ia melangkah cepat ke arahnya, kedua tangannya yang kekar mencengkram pundak Laura dengan kuat, seakan mencoba menghancurkan benteng pertahanan yang dibangun wanita itu. Matanya memancarkan kebencian, liar dan tak terkendali.
“Lepaskan! Jangan sentuh aku lagi! Sudah cukup minggu lalu kau menodaiku!” Laura berteriak, suaranya melengking penuh rasa muak dan terhina.
Smith menatapnya dengan dingin, pandangannya gelap dan menakutkan, seperti serigala yang siap mencabik-cabik mangsanya.
“Kau sudah menjadi istriku, dan itu sudah menjadi hakku. Mau kuapakan dirimu itu terserah padaku,” bisiknya, setiap katanya meneteskan ancaman yang menyeramkan.
Laura tersentak, tapi ia tidak membiarkan ketakutan menguasainya. Dengan kekuatan yang muncul dari setiap luka yang ia derita, ia mendorong tubuh Smith sekuat tenaga, mencoba membebaskan diri dari belenggu yang dipaksakan padanya.
“Aku bukan tipemu, kan?” katanya, suaranya penuh penekanan dan keteguhan. “Jadi, jangan mimpi aku akan melayanimu dengan baik. Pernikahan ini, hanya pernikahan sandiwara.”
Tatapan Laura menjadi semakin tajam, menusuk seperti belati yang tak terlihat, setiap kata adalah cermin dari kenyataan pahit yang harus ia terima. “Justru aku telah menyelamatkanmu, kan?” lanjutnya dengan suara yang sarat sinis. “Kau… terpaksa menikahiku karena membutuhkan jabatan itu.”
Smith menyunggingkan senyum, sebuah senyum penuh kepalsuan yang meremehkan. “Aku hanya menghargai keputusan ayahku saja,” katanya, suaranya penuh ejekan dan kebohongan yang terasa seperti duri. “Bukan karena takut jabatan itu batal aku dapatkan.”
Ia memegang dagu Laura, tatapannya penuh kebencian yang dalam, seakan ingin menghancurkan setiap harapan yang mungkin masih tersisa di hati wanita itu.
“Aku sudah memiliki kekasih, dan dalam waktu dekat ini dia akan datang menemuiku.” Suaranya rendah, penuh kebencian yang membakar. “Seharusnya aku menikahinya, bukan kau, wanita murahan.”
“Kalau begitu, ceraikan aku dan menikah saja dengan wanita idamanmu itu,” ucap Laura dengan entengnya.
“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi
"Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja
“Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba
Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu
"Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny
Smith merasakan gelombang ketegangan menggulung di sepanjang tubuhnya, seperti badai yang siap meledakkan setiap serat otot. Di bawah sana, tubuh mereka bertaut, menyatu dalam permainan yang tak sepenuhnya bersandar pada cinta, melainkan pada dominasi yang kelam. Sentuhan itu seperti bara, menyulut hasrat dan kebencian dalam kadar yang sama. Laura, yang matanya menyala seperti bara api, seolah melawan setiap gerakan dengan tatapan penuh perlawanan, meski tubuhnya dipaksa tunduk.“Kau sungguh memikat, Laura. Namun sayang, mulutmu adalah neraka yang selalu membakar kesabaranku,” desis Smith, suaranya menggema rendah, seperti guntur yang bersembunyi di balik awan kelabu.Laura mengerang, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kehinaan yang menusuk jiwa. Matanya, yang hitam seperti malam tanpa bintang, mencerminkan kebencian yang pekat. Suaminya ini, pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemangsa yang tak henti merobek harga dirinya.“Kau memang pantas menerima cacian da
“Apa yang ingin kau bicarakan, Dad?” Smith akhirnya membuka suara, nada bicaranya langsung, tanpa basa-basi.Laura duduk di sofa empuk dengan punggung yang sedikit tegang, berhadapan dengan Vincent yang menatapnya penuh arti.Di sampingnya, Smith duduk dengan raut wajah datar, tangan menyentuh sandaran lengan kursinya dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat—seperti seorang pria yang menunggu sesuatu yang tak terlalu diinginkan.Vincent mengalihkan pandangannya dari Smith ke Laura, lalu kembali lagi ke arah anak sulungnya. Matanya menyimpan sesuatu—sebuah rahasia kecil yang seolah berusaha ia tahan sebelum diucapkan. Ia menghela napas, keras seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting.“Adik kembarmu, Louis. Dia akan kembali sore ini,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun membawa gravitasi yang membuat ruangan itu terasa lebih kecil. “Aku ingin mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumahku malam ini, pukul tujuh.”Smith, yang tadinya duduk de
“Tolong hentikan! Aku bukan wanita panggilan!” teriak Laura, suaranya pecah di antara ketakutan dan ketegasan yang tak mungkin ia sembunyikan. Mata cokelatnya penuh kesedihan, memandang pria yang sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dengan ketenangan yang sudah retak, Laura Angelina mengeratkan jemari kecilnya di ujung lengan bajunya, tubuhnya gemetar di bawah pandangan dingin dan liar pria itu.“Berhenti bertingkah layaknya wanita suci! Aku sudah membayarmu, maka kau harus melayaniku malam ini,” geramnya, nadanya penuh amarah bercampur mabuk. Ia meraih tangan Laura dengan tangan kasar, seakan menganggapnya tak lebih dari benda yang bisa ia miliki. Dengan sekuat tenaga, Laura meronta, mendorong bahu pria itu seolah nyawanya tergantung pada kekuatannya sendiri. “Aku mohon, jangan lakukan ini. Sudah kukatakan berulang kali padamu. Kau sedang mabuk, Tuan!” pekiknya. Tangannya yang mungil memukul-mukul dada pria itu, namun itu tak lebih dari gigitan nyamuk baginya.“Aku tidak
“Apa yang ingin kau bicarakan, Dad?” Smith akhirnya membuka suara, nada bicaranya langsung, tanpa basa-basi.Laura duduk di sofa empuk dengan punggung yang sedikit tegang, berhadapan dengan Vincent yang menatapnya penuh arti.Di sampingnya, Smith duduk dengan raut wajah datar, tangan menyentuh sandaran lengan kursinya dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat—seperti seorang pria yang menunggu sesuatu yang tak terlalu diinginkan.Vincent mengalihkan pandangannya dari Smith ke Laura, lalu kembali lagi ke arah anak sulungnya. Matanya menyimpan sesuatu—sebuah rahasia kecil yang seolah berusaha ia tahan sebelum diucapkan. Ia menghela napas, keras seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting.“Adik kembarmu, Louis. Dia akan kembali sore ini,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun membawa gravitasi yang membuat ruangan itu terasa lebih kecil. “Aku ingin mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumahku malam ini, pukul tujuh.”Smith, yang tadinya duduk de
Smith merasakan gelombang ketegangan menggulung di sepanjang tubuhnya, seperti badai yang siap meledakkan setiap serat otot. Di bawah sana, tubuh mereka bertaut, menyatu dalam permainan yang tak sepenuhnya bersandar pada cinta, melainkan pada dominasi yang kelam. Sentuhan itu seperti bara, menyulut hasrat dan kebencian dalam kadar yang sama. Laura, yang matanya menyala seperti bara api, seolah melawan setiap gerakan dengan tatapan penuh perlawanan, meski tubuhnya dipaksa tunduk.“Kau sungguh memikat, Laura. Namun sayang, mulutmu adalah neraka yang selalu membakar kesabaranku,” desis Smith, suaranya menggema rendah, seperti guntur yang bersembunyi di balik awan kelabu.Laura mengerang, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kehinaan yang menusuk jiwa. Matanya, yang hitam seperti malam tanpa bintang, mencerminkan kebencian yang pekat. Suaminya ini, pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemangsa yang tak henti merobek harga dirinya.“Kau memang pantas menerima cacian da
"Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny
Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu
“Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba
"Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja
“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi
Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertol
“Ada apa ini?” tanya Vincent, suaranya serak, seraya memandang bergantian antara Laura dan putranya, matanya dipenuhi oleh ketegangan yang berkilat seperti kilat di tengah badai.Laura, dengan wajah memucat dan telunjuknya gemetar, menunjuk ke arah pria di hadapannya. Wajahnya penuh luka tak kasatmata yang menggores hingga ke dasar jiwanya."Pria ini! Pria ini yang telah memperkosa saya, Tuan!” serunya dengan suara bergetar, nadanya seperti ranting rapuh yang terinjak. Mata Laura berkilauan, ditahan oleh air mata yang enggan jatuh, seakan air mata itu sendiri pun takut pada kenyataan pahit yang baru saja terucap.Brak! Suara meja dihantam menggema di ruangan yang mendadak sunyi, seperti helaian malam yang terbelah oleh gelegar petir.“Kurang ajar!” teriak Vincent, matanya menatap tajam seperti mata harimau yang siap menerkam. Wajahnya merah padam, penuh dengan gejolak yang tak bisa ia bendung.Dia memandang wajah putra sulungnya dengan amarah yang membara, seolah setiap syaraf di tubu