Bab 2: Berani Berbuat, Berani Bertanggungjawab

“Ada apa ini?” tanya Vincent, suaranya serak, seraya memandang bergantian antara Laura dan putranya, matanya dipenuhi oleh ketegangan yang berkilat seperti kilat di tengah badai.

Laura, dengan wajah memucat dan telunjuknya gemetar, menunjuk ke arah pria di hadapannya. Wajahnya penuh luka tak kasatmata yang menggores hingga ke dasar jiwanya.

"Pria ini! Pria ini yang telah memperkosa saya, Tuan!” serunya dengan suara bergetar, nadanya seperti ranting rapuh yang terinjak. Mata Laura berkilauan, ditahan oleh air mata yang enggan jatuh, seakan air mata itu sendiri pun takut pada kenyataan pahit yang baru saja terucap.

Brak! Suara meja dihantam menggema di ruangan yang mendadak sunyi, seperti helaian malam yang terbelah oleh gelegar petir.

“Kurang ajar!” teriak Vincent, matanya menatap tajam seperti mata harimau yang siap menerkam. Wajahnya merah padam, penuh dengan gejolak yang tak bisa ia bendung.

Dia memandang wajah putra sulungnya dengan amarah yang membara, seolah setiap syaraf di tubuhnya bersorak dendam. “Apa yang kau lakukan, Smith?” pekiknya sekali lagi, nadanya tajam dan dingin, menghantam seperti belati yang menusuk hati.

Laura terdiam, dan dalam sunyi yang menggantung, kenyataan perlahan-lahan menyusup ke dalam benaknya. Pria itu – sosok jahat yang telah mencuri kebebasan dirinya, yang menyelimuti mimpinya dengan bayang-bayang hitam tak berujung – adalah Smith.

Bukan hanya pria tak dikenal, namun putra sulung Vincent, sosok yang baru saja akan diangkat menjadi presiden direktur, waris takdir yang dipuja dan dihormati.

“Dad. Ini hanya salah paham. Aku bisa jelaskan semuanya,” ucap Smith dengan suara rendah, nadanya merayu namun penuh kecemasan. Dia melirik Laura sekilas, sebuah lirikan yang setengah ketakutan dan setengah penyangkalan, mencoba menenangkan ayahnya yang sudah diterkam amarah.

“Apa yang ingin kau katakan? Kau ingin mencari pembelaan, setelah semua yang kau lakukan padanya?” balas Vincent dingin, setiap kata terukir seperti es yang membakar.

“Aku sedang mabuk dan dia memasuki kamarku. Aku pikir dia wanita yang sudah kusewa, ternyata bukan,” kata Smith mencoba menjelaskan, suaranya terdengar lemah, seolah seluruh dalih dan pembelaannya sudah tenggelam di samudra penyesalan yang kelabu.

“Omong kosong!” seru Laura, suaranya bergetar seperti gemuruh badai yang menyimpan luka di setiap katanya. Ia berusaha keras mempertahankan kekuatan dalam dirinya, mengabaikan tatapan-tatapan penuh penghakiman di sekelilingnya.

“Tuan… meskipun pria ini adalah putra Anda, saya ingin menggugatnya karena telah menodai saya!” ucap Laura lantang, keberanian yang ia kumpulkan terasa seperti bara api yang membakar di dalam dadanya.

Smith mendesis, tatapannya mencengkram wajah Laura seperti pisau yang tak kasatmata. “Apa kau gila?” katanya, suaranya seperti racun yang menyelinap dalam udara di antara mereka. “Aku sudah memintamu menyebutkan berapa uang yang kau inginkan. Tapi, kau menolaknya!”

Laura membalas tatapan itu dengan mata menyala penuh api, tekadnya bagaikan tembok baja yang tak tergoyahkan. “Dan aku sudah bilang padamu, aku bukan wanita bayaran! Aku ingin kau membayarnya dengan mendekam di penjara!” serunya, nada suaranya membawa kemarahan yang tak terpadamkan, seperti gelombang laut yang terus menerjang pantai.

Vincent yang menyaksikan adegan itu, mengepalkan tangan erat-erat. Di bawah permukaan wajahnya yang tetap datar, terdengar nafasnya yang terisak pelan seperti badai yang tertahan. "Berhenti berdebat di ruanganku!” ucapnya, nada tegas namun berisi amarah yang terpendam.

Ia menatap putranya, wajahnya berubah dingin, tak ada kasih sayang seorang ayah di sana. Hanya kewibawaan, tegak dan keras seperti batu karang.

“Dan kau, Smith…” Vincent memandang lurus ke mata putranya, tatapannya tajam seperti pedang yang menyelami kedalaman jiwa. “Apa aku pernah mengajarimu lari dari tanggung jawab?”

Smith terdiam, berhadapan dengan tatapan ayahnya yang bagaikan cermin yang menguliti setiap lapisan dalihnya. “Tidak pernah, Dad. Maafkan aku,” jawabnya akhirnya, suaranya lirih, penuh dengan kebisuan yang dipenuhi rasa malu.

“Kalau begitu, bertanggungjawablah.” Vincent menatap mereka berdua – Laura yang menahan napasnya, dan Smith yang tampak tercekik oleh keputusan yang tak terhindarkan. “Sebagai pria yang berani dan bertanggung jawab, nikahi dia.”

“Apa?” Seruan Laura dan Smith melambung bersamaan, menghantam udara dengan kejutan dan kepiluan yang meremukkan hati.