“Tolong hentikan! Aku bukan wanita panggilan!” teriak Laura, suaranya pecah di antara ketakutan dan ketegasan yang tak mungkin ia sembunyikan.
Mata cokelatnya penuh kesedihan, memandang pria yang sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dengan ketenangan yang sudah retak, Laura Angelina mengeratkan jemari kecilnya di ujung lengan bajunya, tubuhnya gemetar di bawah pandangan dingin dan liar pria itu. “Berhenti bertingkah layaknya wanita suci! Aku sudah membayarmu, maka kau harus melayaniku malam ini,” geramnya, nadanya penuh amarah bercampur mabuk. Ia meraih tangan Laura dengan tangan kasar, seakan menganggapnya tak lebih dari benda yang bisa ia miliki. Dengan sekuat tenaga, Laura meronta, mendorong bahu pria itu seolah nyawanya tergantung pada kekuatannya sendiri. “Aku mohon, jangan lakukan ini. Sudah kukatakan berulang kali padamu. Kau sedang mabuk, Tuan!” pekiknya. Tangannya yang mungil memukul-mukul dada pria itu, namun itu tak lebih dari gigitan nyamuk baginya. “Aku tidak peduli!” jawabnya, suaranya berubah menjadi gemuruh, penuh nafsu tak terkendali. Ia meraih wajah Laura, menyatukan bibirnya dengan bibir gadis itu dalam ciuman paksa yang membara, menghancurkan segala pertahanan Laura dalam sekejap. “Kau! Pria tidak punya hati,” ucapnya dengan suara serak yang dipenuhi getir. “Kau sudah merenggut kesucianku!” Pria itu menoleh ke arahnya, alisnya terangkat seakan Laura baru saja menuduhnya sesuatu yang konyol. “Ya. Aku memang sudah merenggut kesucianmu,” katanya tanpa penyesalan sedikit pun. “Tapi, kau juga menikmati sentuhanku, bukan?” Nada suaranya ringan, penuh sindiran tajam yang membuat dada Laura semakin sesak. Pernyataan itu membakar hati Laura. Tangannya mengepal, dan kemarahannya membuncah meski tubuhnya masih sakit dan terasa lemah. "Jaga bicaramu, bedebah gila!" Laura mendesis tajam, matanya yang berkaca-kaca menantang pria itu. “Aku akan melaporkanmu pada atasanku karena kau telah menodai pegawai di hotel ini!” Pria itu hanya terkekeh, tatapan matanya menunjukkan ketidakpedulian yang menambah luka di hati Laura. “Silakan laporkan, gadis manis. Aku tidak takut sama sekali,” ucapnya, suaranya sarat akan tantangan dan penghinaan yang membakar telinga Laura. Laura menggertakkan giginya, tak ingin lagi melihat wajah pria itu. Setelah mengenakan pakaiannya, meskipun harus menahan sakit yang menyayat tubuhnya, ia berjalan keluar dari kamar itu dengan langkah tertatih. Pintu kamar itu ia tutup dengan keras, seolah itu adalah caranya mengekspresikan kemarahan yang bergemuruh dalam dadanya. Dengan napas dalam, ia melangkah ke arah ruangan Tuan Vincent, langkahnya semakin mantap meski hatinya terus berdegup keras. Di depan pintu, ia mengetuk pelan, berharap ada jawaban cepat dari dalam. “Masuk!” Suara berat namun ramah Vincent terdengar dari balik pintu. Laura menelan ludah, melangkah masuk dengan kepala sedikit tertunduk. “Permisi, Tuan. Saya Laura. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda,” ujarnya dengan sopan, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Ah, ya. Aku pun ingin bicara denganmu.” Vincent menatap Laura dengan tatapan lekatnya. “Begini, Laura. Aku telah memperhatikan kinerjamu sebagai resepsionis di hotel ini. Dan karena kerja kerasmu, aku ingin menawari posisi baru untukmu,” kata Vincent memberitahu. Laura mengerjap-ngerjapkan matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “M—maksud Tuan?” tanyanya dengan terbata-bata. Vincent tertawa kecil, tampak menikmati keterkejutan Laura. “Aku ingin menjadikanmu sebagai sekretaris pribadi anakku. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di luar negeri dan kembali kemarin malam. Aku merasa kau adalah kandidat yang cocok untuk mendampingi anakku,” jelasnya dengan penuh keyakinan. Laura tercengang, tawaran itu melampaui dugaannya. “A—apakah Tuan tidak bercanda?” tanyanya dengan suara terbata-bata. Vincent tersenyum semakin lebar, menatap Laura dengan tatapan penuh kepercayaan. “Tidak, Laura, ini bukan candaan. Aku percaya pada kemampuanmu. Jadi, kau bersedia?” Laura hampir tanpa sadar menganggukkan kepalanya dengan cepat, senyum haru mengembang di bibirnya. “Bersedia, Tuan! Saya sangat bersedia!” ucapnya penuh antusias, suaranya menggema dengan kebahagiaan yang nyaris melupakan rasa sakit yang ia rasakan semalam. “Syukurlah kalau begitu,” Vincent menepuk meja kecil di depannya, tampak lega mendengar jawaban Laura. “Aku sangat lega karena kau bersedia menjadi sekretaris anakku. Aku yakin dia akan senang bekerja sama denganmu, dan aku tak perlu pusing mencari kandidat lain yang cocok.” Laura mengulas senyumnya yang penuh rasa syukur, hatinya terasa lapang dan lebih ringan. Di sela-sela kebahagiaan yang perlahan memenuhi dirinya, ia merasakan semangat yang seolah baru untuk melanjutkan hari-harinya. “Kalau begitu,” ujar Vincent, tersenyum lembut, “ceritakan apa yang ingin kau bagi denganku, Laura.” Seketika, wajah Laura berubah kelabu, senyumnya pudar, dan matanya kembali menunjukkan rasa sakit yang ia coba redam. Ia menundukkan kepala, menatap jemarinya yang kini ia mainkan gelisah di pangkuannya, seakan mencari kekuatan di dalam dirinya untuk mengungkapkan kebenaran pahit yang ingin ia sampaikan. “Semalam…” Laura menarik napas panjang, suaranya sedikit bergetar. “Ada salah satu pengunjung hotel yang menyeret saya ke dalam kamarnya. Dia mengira saya adalah wanita panggilan… lalu memperkosa saya.” Vincent membeku di kursinya, wajahnya tiba-tiba memucat seakan baru saja diterpa angin badai yang menderu. “Apa?” Suaranya terdengar kasar, penuh dengan amarah yang berusaha ia redam. “Siapa pria yang berani menodai pegawaiku? Kurang ajar!” tinjunya mengepal, menggigil dalam marah. Baru saja Laura hendak membuka mulutnya, tiba-tiba pintu dibuka. Derap langkah kaki seorang pria memasuki ruangan itu tanpa permisi. “Hi, Dad. Maaf, aku terlambat ….” Pria itu tidak meneruskan ucapannya, pandangannya langsung tertuju pada Laura yang kini beranjak dari duduknya. “Ka—kau …?” Laura menunjuk wajah pria itu dengan mata membola sempurna.“Ada apa ini?” tanya Vincent, suaranya serak, seraya memandang bergantian antara Laura dan putranya, matanya dipenuhi oleh ketegangan yang berkilat seperti kilat di tengah badai.Laura, dengan wajah memucat dan telunjuknya gemetar, menunjuk ke arah pria di hadapannya. Wajahnya penuh luka tak kasatmata yang menggores hingga ke dasar jiwanya."Pria ini! Pria ini yang telah memperkosa saya, Tuan!” serunya dengan suara bergetar, nadanya seperti ranting rapuh yang terinjak. Mata Laura berkilauan, ditahan oleh air mata yang enggan jatuh, seakan air mata itu sendiri pun takut pada kenyataan pahit yang baru saja terucap.Brak! Suara meja dihantam menggema di ruangan yang mendadak sunyi, seperti helaian malam yang terbelah oleh gelegar petir.“Kurang ajar!” teriak Vincent, matanya menatap tajam seperti mata harimau yang siap menerkam. Wajahnya merah padam, penuh dengan gejolak yang tak bisa ia bendung.Dia memandang wajah putra sulungnya dengan amarah yang membara, seolah setiap syaraf di tubu
Smith menggelengkan kepalanya cepat, gerakannya penuh penolakan yang membabi buta, seolah mencoba membuang kenyataan itu dari pikirannya. “No, Dad! Aku tidak ingin menikahinya,” ucapnya, suaranya keras dan penuh penentangan. Wajahnya diliputi kemarahan yang menggelegak, napasnya memburu.“Apa yang kau pikirkan sampai memutuskan hal konyol seperti itu?” Suaranya menggantung, nadanya memotong ketegangan yang telah mengunci mereka semua di dalam ruangan itu.Laura, yang masih berdiri kaku, mencoba menguasai dirinya sendiri. Matanya memandang Vincent dengan penuh keterkejutan yang menyakitkan. “Tuan, bukan ini yang saya inginkan,” katanya, suaranya hampir berbisik, seolah setiap kata adalah duri yang menusuk lidahnya. “Saya tidak ingin menikah dengannya.”Tatapan Vincent tetap dingin, tak tergoyahkan, seperti batu karang yang menantang badai. “Tidak bisa,” ujarnya datar, suaranya bagaikan palu yang menghantam tanpa belas kasihan. “Keputusanku sudah mutlak. Kau datang kemari meminta pertol
“Tidak semudah itu, sialan!” pekik Smith dengan suara dinginnya.“Lantas, apa yang ingin kau lakukan setelah ini?” tanya Laura akhirnya, nada suaranya penuh kehampaan, dingin menusuk seakan setiap kata merupakan pisau yang diasah.Smith, pria dengan tubuh tegap, rahang kokoh, dan tatapan mata penuh keangkuhan, hanya tersenyum samar, lalu menatap wajah Laura dengan penuh ketidakpedulian.Ada kilatan dingin dan tidak ramah dalam tatapannya, senyuman di bibirnya yang tipis itu menunjukkan ketidaksabaran, seolah perbincangan ini hanyalah gangguan bagi hidupnya yang sempurna.“Aku ingin kau diam saja dan menikmati peranmu sebagai istriku. Itu saja,” jawab Smith dengan nada yang serupa desisan, bibirnya menyeringai kecil. “Dan, jangan pernah mengganggu hubunganku dengan Stella, kekasihku.”Laura tertawa kecil, nadanya sarkastik, bibirnya membentuk garis masam penuh penghinaan. "Kau benar-benar pria yang gila," balasnya tajam. "Jadi kau meminta aku untuk merahasiakan hubunganmu dengan kekasi
"Kau pikir kau saja yang akan membuatku tidak betah menjadi istrimu? Aku pun akan membuatmu tidak betah menjadi suamiku, pria sialan!" Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sarat dengan dendam yang semakin mengeram dalam hati.Tak lama kemudian, langkah tegas terdengar dari arah pintu, dan Smith muncul. Setelan jas hitam yang rapi dan wangi menusuk udara, tapi Laura hanya meliriknya sekilas, matanya kosong, tidak ada secuil pun perhatian yang ia berikan. Sarapan itu terus ia buat, seakan tak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Setelah beberapa saat, sarapan itu selesai. Laura menaruhnya di atas meja, duduk dan mulai menyantapnya dengan tenang. Sementara itu, Smith yang baru saja memasuki ruang makan tampak terkejut melihat kenyataan itu. Matanya membesar, tak percaya, seolah-olah melihat dunia runtuh di hadapannya.“Mana sarapan untukku, Laura?” tanyanya dengan nada dingin, penuh tuntutan yang seakan tak terbantahkan.Laura mendongak sedikit, menatapnya dengan tatapan taja
“Aku tidak merasa menandatangani dokumen ini. Jadi, kenapa aku yang harus mengganti kerugian sebesar ini?” suara Laura terdengar lemah, penuh kepiluan yang tersembunyi dalam nada protes yang hampir pecah. Smith, pria yang memiliki aura dingin tak tertembus, hanya berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya keras, matanya yang gelap menatap Laura seperti predator yang mengamati mangsanya tanpa belas kasih. "Berhenti membela diri sementara bukti sangat nyata, Laura,” ucap Smith dingin. “Mau tidak mau, kau harus membayarnya, Laura. Ini adalah kerugian besar, dan aku tak peduli bagaimana kau akan membayarnya.” Laura menarik napas dalam, merasa beban berat seperti menindih seluruh tubuhnya. Hatinya terasa tenggelam. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Bahkan gajiku selama satu tahun pun tak cukup.” Namun, tatapan dingin Smith tidak sedikit pun melunak. Ia tetap memandang Laura dengan sorot penuh keangkuhan, bibirnya menipis, seperti batu cadas yang tak tergerakkan oleh omba
Laura keluar dari ruang kerja Smith dengan perasaan yang berkelindan seperti badai kecil yang menggulung di dadanya. Jemarinya, yang sedikit gemetar, terangkat untuk mengusap wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia mengembungkan pipinya, mencoba menahan luapan emosi yang mendidih seperti lava yang hampir meluap dari kawah gunung berapi. Apa yang harus dia lakukan setelah ini?"Siapa yang sudah menjebakku? Siapa yang telah menandatangani permintaan pembelian daging sebanyak itu?" gumamnya, suaranya lirih seperti desahan angin yang membawa kepedihan. Ia menghela napas panjang, seperti seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan tanpa arah, mencoba meraih secuil ketenangan di tengah amukan gelombang."Dan sialnya, Smith menjadikan situasi ini untuk kepentingannya sendiri. Benar-benar menjijikkan," gerutu Laura, suaranya tajam seperti bilah pisau yang menghujam udara. Pandangannya mengabur sejenak, tenggelam dalam pusaran kebencian yang membara di hatinya."Aku harus mencari tahu sebelu
"Apa yang kau lakukan di sana, Laura?" tanya, nadanya kaku dan penuh jarak, seperti garis tegas yang memisahkan keduanya.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Laura baru saja tiba di rumah, tubuhnya terasa berat seperti batu yang diikatkan pada setiap langkahnya. Smith keluar dari kamarnya, rambutnya masih basah, aroma sabun yang segar melayang tipis di udara. Matanya yang tajam memandang Laura, dingin seperti salju yang menusuk tulang. Laura melirik ke arahnya, tatapannya penuh sindiran yang halus namun tajam. "Matamu masih berfungsi, bukan? Sepertinya aku tidak perlu menjawab pertanyaan bodohmu itu," balasnya, nada suaranya datar namun menghujam seperti belati yang dilempar dengan ketepatan mematikan.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Amarahnya bergejolak seperti lava yang mendidih di bawah permukaan, siap meledak kapan saja. "Kurang ajar! Kau akan bersikap seperti itu terus padaku, huh? Bukankah kau sudah menyerah karena kesalahanmu di kantor pagi tadi?" ucapny
Smith merasakan gelombang ketegangan menggulung di sepanjang tubuhnya, seperti badai yang siap meledakkan setiap serat otot. Di bawah sana, tubuh mereka bertaut, menyatu dalam permainan yang tak sepenuhnya bersandar pada cinta, melainkan pada dominasi yang kelam. Sentuhan itu seperti bara, menyulut hasrat dan kebencian dalam kadar yang sama. Laura, yang matanya menyala seperti bara api, seolah melawan setiap gerakan dengan tatapan penuh perlawanan, meski tubuhnya dipaksa tunduk.“Kau sungguh memikat, Laura. Namun sayang, mulutmu adalah neraka yang selalu membakar kesabaranku,” desis Smith, suaranya menggema rendah, seperti guntur yang bersembunyi di balik awan kelabu.Laura mengerang, bukan hanya karena rasa sakit, tetapi karena kehinaan yang menusuk jiwa. Matanya, yang hitam seperti malam tanpa bintang, mencerminkan kebencian yang pekat. Suaminya ini, pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemangsa yang tak henti merobek harga dirinya.“Kau memang pantas menerima cacian da
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Laura duduk seorang diri di bangku rooftop Moza Hotel’s, menikmati udara segar sembari menyantap makan siangnya yang sederhana. Pandangannya melayang ke arah cakrawala, berharap ketenangan yang ia cari bisa sedikit ia dapatkan di sela kesibukannya.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Miranda—ibunya—terpampang di layar. Laura menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan itu.“Ada apa, Ibu?” tanyanya, suaranya datar namun sopan.“Kau di mana, Laura?” suara Miranda terdengar tegas di seberang sana, penuh dengan kekhawatiran yang tertahan.Laura menggigit bibir bawahnya sejenak. “Aku sedang bekerja, Ibu. Tapi, bukan di Allera Hotel’s lagi. Aku sudah mengundurkan diri di sana,” jawabnya tanpa banyak penjelasan.Ada keheningan singkat di seberang sebelum suara Miranda meninggi. “Apa? Kenapa, Laura? Apa yang membuatmu mengundurkan diri di sana?”Laura kembali menghela napas, kali ini lebih dalam. “Ini pilihanku, Ibu. Yang menjalankan hidup ini j
Satu minggu kemudian…Di sebuah kota kecil dekat pantai, Laura duduk di kursi tua di dalam kamar kost-annya yang sederhana.Kost-an itu hanya cukup untuk dirinya sendiri, dengan sebuah kasur kecil di sudut ruangan dan lemari pakaian mungil.Hari-harinya di tempat ini terasa sunyi, tetapi juga memberikan ketenangan yang tidak ia dapatkan selama tinggal bersama Smith.Dering ponsel mengagetkan Laura dari lamunannya. Ia dengan cepat meraih ponsel itu yang tergeletak di atas meja kecil.Ia melihat nomor tak dikenal tertera di layar. Dengan hati-hati, ia menggeser layar untuk menjawab.“Selamat pagi, dengan Nona Laura?” terdengar suara seorang wanita dari seberang sana, suaranya ramah namun formal.“Ya, benar. Saya Laura,” jawab Laura sambil mengerutkan kening, merasa sedikit penasaran.“Baik. Selamat, Nona Laura. Anda diterima sebagai salah satu resepsionis di hotel kami. Apakah Anda bersedia untuk datang hari ini?”Mata Laura langsung berbinar mendengar kabar itu. Ia hampir tidak percaya
Smith membuka pintu ruang kerja Louis dengan keras hingga suara deritnya memecah keheningan.Buku-buku di rak bergetar tipis, dan Louis yang tengah sibuk di balik meja kerjanya hanya melirik sekilas, seakan kedatangan Smith sudah ia duga."Sebenarnya kau tahu di mana Laura berada, kan?" suara Smith penuh emosi, nyaris seperti tuduhan yang sulit terbantahkan. Wajahnya tampak lelah, garis-garis ketegangan jelas terukir di dahi dan di sekitar matanya.Louis mendongak perlahan. Ia tak langsung menjawab, melainkan menarik napas panjang dan menyungginkan senyum tipis di bibirnya. Ekspresinya datar, nyaris santai, namun ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak."Untuk apa aku menyembunyikan Laura, huh?" ujar Louis sambil menyandarkan punggungnya di sofa empuk di ruangan itu."Toh, kau akan mengetahuinya jika aku benar-benar menyembunyikan dia darimu," lanjutnya, suaranya terdengar ringan tetapi sarkastik.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia masih berdiri di tengah ruangan se
Smith menghentikan mobilnya dengan kasar di area parkir basement apartemen yang diberikan Miranda.Ia keluar dengan cepat, langkahnya penuh kemarahan dan kegelisahan. Napasnya berat, tapi matanya penuh determinasi. Ia tak akan berhenti sampai menemukan Laura.Setelah memasuki lift, Smith berdiri dengan tangan mengepal. Matanya menatap angka-angka di panel lift yang perlahan naik. Ia bergumam pelan, suaranya rendah namun penuh emosi."Aku yakin kau belum jauh, Laura. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja dariku. Kau belum mendengar penjelasanku, tapi sudah pergi begitu saja. Hanya karena kau gagal mengandung anakku!"Kata-kata itu terasa seperti sebuah pelampiasan. Jiwanya terasa terguncang sejak Laura pergi.Baru sehari tanpa istrinya, pikirannya sudah kacau balau. Hatinya seperti tertahan di jurang yang gelap.Sesampainya di lantai apartemen, Smith melangkah cepat menuju pintu dengan alamat yang diberikan Miranda.Ia mengeluarkan kertas kecil dari sakunya dan mengetikkan kata
“Tuan, ada surat untuk Tuan,” ujar pelayan itu dengan nada hormat sambil menyerahkan amplop tersebut.Smith baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak lelah dan penuh emosi yang belum reda.Namun, langkahnya terhenti ketika salah seorang pelayan menghampirinya dengan cepat, membawa sebuah amplop cokelat di tangan.Smith mengambil amplop itu tanpa banyak bicara, tetapi matanya menyipit penuh curiga. “Di mana Laura? Apa dia sudah kembali?” tanyanya sembari menatap pelayan itu dengan tajam.Pelayan tersebut menundukkan kepalanya sedikit, terlihat ragu sebelum menjawab. “Tidak ada, Tuan. Sejak pagi tadi, Nona Laura tidak kembali.”Smith memijat batang hidungnya, menghela napas berat. Ada perasaan gelisah yang mulai menjalar dalam hatinya.“Bagaimana dengan barang-barang miliknya? Apakah dia membawa semuanya?” tanyanya lagi, suaranya lebih pelan namun tetap terdengar tegas.Pelayan itu menggeleng. “Masih ada, Tuan. Sepertinya Nona Laura tidak membawa barang-barang
“Di mana Laura?” tanya Smith langsung, nadanya tajam, meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat tenang.Smith menghampiri Diana, wajahnya tampak gelisah.Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan ketika ia teringat bahwa Laura datang lebih dulu ke kantor pagi ini, dengan alasan ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Namun, hingga kini, Laura belum juga menampakkan dirinya.Diana menghentikan pekerjaannya sejenak, berdiri tegak dan menatap Smith.“Laura memang datang lebih awal, setengah jam yang lalu. Tapi, sampai saat ini dia belum juga kembali, Tuan,” jawabnya singkat.Smith mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk tipis sebelum berbalik dan melangkah dengan tergesa menuju ruang kerjanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus bertanya-tanya, mencoba mencari alasan di balik ketidakhadiran Laura.Sementara itu, Diana menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak pernah kusangka dan tidak pernah kuduga. Rupanya Laura d
Laura mengetuk pintu ruang kerja Vincent dengan pelan. Suara ketukan itu memecah keheningan yang dipenuhi oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Di balik pintu, Vincent sedang duduk di balik meja kerjanya, memeriksa sejumlah dokumen dengan kaca mata bacanya.“Masuk,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangannya.Laura membuka pintu perlahan dan melangkah masuk, menutupnya kembali dengan hati-hati.Ia berdiri beberapa saat di depan meja kerja Vincent, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Daddy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Vincent mengangkat kepalanya, memandang menantunya itu dengan tatapan tajam, penuh perhatian.Ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja dengan rapi. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada yang menyiratkan ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Laura menggigit bibir bawahnya, merasa gugup. Ia memainkan jari-jarinya dengan gelisah, matanya melirik Vincent yang tetap me
Smith mengangkat cangkir kopinya dan melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Ia menghela napas, lalu meletakkan cangkir itu di meja."Aku harus bertemu dengan klienku pukul sepuluh nanti," ucapnya sembari berdiri dari kursinya.Laura mengangkat wajahnya dari piring sarapannya. “Hati-hati di jalan,” balasnya singkat.Smith hanya mengangguk sebelum meraih tasnya dan pergi meninggalkan Laura sendirian di meja makan.Laura memandang piring di depannya, tapi perutnya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ia memegangi perutnya yang mulai terasa bergejolak.“Ada apa denganku? Kenapa rasanya tidak enak seperti ini,” gumamnya pelan.Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi. Tak kuasa, ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju wastafel di dapur.Tubuhnya terguncang saat ia memuntahkan isi perutnya. Rasa pahit di tenggorokannya membuatnya semakin tak karuan.“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku mual?” tanyanya pada dirinya
“Kenapa kau pergi begitu saja, Laura?” tanya Smith dengan suara yang berat, penuh tekanan, ketika ia menghampiri Laura.Wanita itu duduk di meja makan, tampak tenang di luar tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Ia tengah menyendokkan pudding ke mulutnya, sebuah kenyamanan kecil yang ia cicipi di tengah kekacauan.Pudding buatan pelayan rumah itu terasa manis, tetapi tidak cukup untuk melunakkan kepahitan di hatinya.Smith baru tiba satu jam setelah Laura meninggalkan restoran. Selama perjalanan, ia mencoba menyusun alasan, kata-kata, tetapi semuanya terasa kosong ketika berhadapan langsung dengan istrinya.Laura, dengan sikap dinginnya, memilih pulang setelah melihat Stella dengan begitu santainya duduk di sisi Smith.“Kau pikir saja sendiri kenapa aku pergi begitu saja. Apa aku harus menjelaskan lagi?” ucap Laura, suaranya datar, nyaris tak beremosi, tetapi menyimpan ketegasan yang memukul.Ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari pudding yang kini hampir habis.Smith mengge