“Apa yang ingin kau bicarakan, Dad?” Smith akhirnya membuka suara, nada bicaranya langsung, tanpa basa-basi.Laura duduk di sofa empuk dengan punggung yang sedikit tegang, berhadapan dengan Vincent yang menatapnya penuh arti.Di sampingnya, Smith duduk dengan raut wajah datar, tangan menyentuh sandaran lengan kursinya dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat—seperti seorang pria yang menunggu sesuatu yang tak terlalu diinginkan.Vincent mengalihkan pandangannya dari Smith ke Laura, lalu kembali lagi ke arah anak sulungnya. Matanya menyimpan sesuatu—sebuah rahasia kecil yang seolah berusaha ia tahan sebelum diucapkan. Ia menghela napas, keras seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang penting.“Adik kembarmu, Louis. Dia akan kembali sore ini,” katanya, suaranya dalam dan tenang, namun membawa gravitasi yang membuat ruangan itu terasa lebih kecil. “Aku ingin mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumahku malam ini, pukul tujuh.”Smith, yang tadinya duduk de
“Apa kau pikir pakaian itu cocok untukmu?” tanyanya dengan nada datar yang hampir seperti celaan.Matanya mengamati Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki, tetapi tak ada kekaguman yang muncul di wajahnya—hanya dingin, seperti embun beku yang menempel di kaca jendela.Jarum jam telah menunjuk angka tujuh malam, dan suasana terasa tegang dalam keheningan yang menggantung di udara.Di depan cermin kamarnya, Laura berdiri, mengenakan dress merah muda berlengan pendek yang melekat sempurna di tubuhnya.Gaun itu memancarkan keanggunan yang sederhana, namun cukup mencuri perhatian. Paduan warna lembut dan potongan yang elegan menjadikannya seperti mawar yang baru saja mekar di tengah malam.Laura berhenti sejenak, menaikkan kedua alisnya sambil menatap Smith dengan tenang. “Tentu saja,” jawabnya, senyum tipis terlukis di wajahnya.“Ini pakaian terbaik untuk makan malam bersama keluargamu.” Nada suaranya
"Berhenti mengatakan hal bodoh itu lagi, Laura!" desis Smith, suaranya seperti bara api yang terhimpit dalam saluran gelap dadanya, siap meledak kapan saja.Wajahnya memerah, seolah menahan aliran lava yang nyaris tumpah dari kawah emosinya."Kau pikir aku menginginkan pernikahan ini, huh?" ucap Smith lagi, suaranya kali ini dalam dan berat, seperti petir yang bergemuruh di langit gelap sebelum badai menerjang.Laura mengedikkan bahu dengan gerakan yang nyaris seperti tarian malas, ekspresinya begitu acuh, seakan seluruh dunia hanya fragmen kecil di bawah telapak sepatunya."Aku rasa, jika kau tidak menginginkan pernikahan ini, seharusnya berhenti menodai aku seperti kemarin malam," katanya penuh sarkasme, setiap katanya tajam seperti duri mawar yang merobek daging tanpa ampun.Tangan Smith mencengkeram kemudi dengan keras, jemarinya memutih seperti batu karang yang dihantam gelombang kemarahan. Setiap detik, detak amarahnya memukul-mukul kesabaran yang sudah lama lapuk."Karena wanit
“Sudah kukatakan padamu, Maria. Hormati keputusanku!” ucap Vincent dengan tegas, suaranya bergema seperti palu hakim yang mengetuk akhir sebuah persidangan.Sorot matanya dingin, setajam belati yang menghunus jiwa istrinya tanpa ampun.Maria menghela napas kasar, serupa angin badai yang mencari celah untuk meledakkan amarah. Wajahnya berpaling, namun bibirnya melontarkan kata-kata yang tajam bagai duri mawar.“Kau memutuskan secara sepihak, dan itu yang tidak kusukai darimu,” ujarnya, dengan suara yang bergetar antara kecewa dan marah.“Ya, aku tahu. Tapi, bagaimana jika Laura hamil karena perbuatan gila anak kesayanganmu itu?” Suara Vincent merendah, namun sarat dengan tuduhan yang menggantung berat di udara seperti awan gelap sebelum hujan deras.Laura hanya bisa menghela napas kasar. Dalam pikirannya yang kalut, ia membangun monolog yang penuh luka.‘Aku sekarang tahu, dari mana sifat dan wata
“Kau ingin membela Laura, huh?” Suara Smith meluncur seperti tombak, tajam dan dingin, menusuk ruang di antara mereka.Wajahnya berubah datar, tetapi matanya membara, seolah-olah api kecil di dalam dirinya baru saja tersulut oleh pertanyaan sederhana dari adik kembarnya.Terlalu mudah baginya untuk terprovokasi. “Silakan, Louis. Silakan jika ingin membelanya. Sekalian saja sekolah hukum, agar bisa menjadi pengacara pribadi Laura,” katanya penuh emosi, suaranya bergetar seperti kaca yang hampir retak.Louis hanya menggeleng pelan, seperti seorang bijak yang menyaksikan perilaku seorang anak yang tak tahu apa yang dilakukannya.“Saat Daddy membela Laura, kau biasa saja. Tapi, saat aku membelanya, kau mendadak panas.” Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, sebuah tawa ringan yang menyembunyikan ironi.“Sudah, Smith, Louis.” Suara Vincent memotong ketegangan seperti badai yang mencoba dihentikan. Dia men
“Sebaiknya aku pergi saja dari sini. Permisi!”Kata-kata itu meluncur dari bibir Laura seperti panah yang dilepaskan dengan marah, menusuk atmosfer yang sudah berat dengan ketegangan. Ia akhirnya angkat kaki dari rumah itu, membawa serta luka-luka tak kasat mata yang terus berdarah oleh perdebatan yang tak kunjung usai.Langkahnya tegas saat meninggalkan ruangan, sepatu hak tingginya berdentang di atas lantai seperti suara palu hakim yang memutuskan nasib. Namun, tak ada yang peduli—termasuk Smith, yang tetap berdiri kaku seperti patung batu, bahkan ketika bayangannya lenyap di balik pintu.“Apa kau mau diam saja, melihat istrimu pulang sendiri?” suara Louis menggema, matanya menyipit tajam, seolah berusaha menembus kebekuan hati Smith.“Dia yang memilih pergi, bukan? Lantas, apakah aku harus menahannya? Dia akan besar kepala jika aku menahannya,” jawab Smith dengan nada dingin, serupa angin musim dingin yang menusuk tulang.Sementara itu, di luar, malam sudah mulai turun, dan lampu-l
“Smith, aku sangat merindukanmu,” suara Stella menggema, penuh kehangatan, saat ia melingkarkan lengannya di tubuh Smith begitu pria itu muncul di area kedatangan bandara. Pelukannya erat, seolah waktu dan jarak selama ini telah menciptakan jurang yang terlalu lebar untuk ditanggung.Smith membalas pelukan itu dengan sedikit canggung, senyumnya terlihat manis namun menyimpan kegamangan yang sulit disembunyikan. “Aku juga merindukanmu, Sayang,” katanya, nada suaranya lembut namun mengandung nada kebingungan. “Kenapa mendadak sekali menghubungiku?”Hatinya terombang-ambing antara rasa senang dan cemas, seperti kapal yang terombang-ambing di tengah ombak besar. Namun, ia tahu, di depan Stella, ia harus menjadi pelabuhan yang stabil—tempat yang penuh kehangatan dan penerimaan. Senyumnya diperlebar, menutupi pergolakan yang terjadi di dalam dirinya.“Aku ingin memberimu kejutan. Apa aku salah?” tanya Stella, suaranya mendayu seperti alunan melodi yang ia tahu Smith sulit untuk tolak. Matan
“Kalau bukan karena utang ibuku yang menggunung, tidak akan pernah mau lagi aku menginjakkan kaki di sini!” kata-kata itu meluncur dari bibir Laura dengan penuh amarah yang tertahan, seperti api kecil yang nyaris menyala-nyala.Waktu telah menunjuk angka delapan pagi. Matahari yang hangat tidak cukup untuk mencairkan bekuan perasaan di hati Laura.Meski hatinya berat, ia tetap melangkah ke kantor, menyeret diri ke dalam rutinitas yang terasa seperti jerat tanpa ujung.“Sebaiknya aku mulai mencari lowongan pekerjaan dari sekarang,” gumamnya sambil menyalakan komputer. Cahaya layar yang menyala seperti harapan kecil yang mulai dirangkai di tengah kegelapan hidupnya.“Setelah itu, aku akan pergi dari dunia Smith dan keluarganya,” lanjutnya dalam hati, matanya memandang kosong pada layar. “Meskipun Tuan Vincent baik, tapi rumah mereka tetap seperti neraka bagiku.”Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa sesak yang menggelayuti dadanya. Matanya yang sembap berusaha mencari fokus, m
Louis memasuki ruangan Vincent tanpa mengetuk lebih dulu, pintu kayu besar itu berderit perlahan, seolah menegaskan ketidaksabarannya.Dengan langkah cepat yang penuh determinasi, ia berdiri di hadapan ayahnya, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menusuk.“Apa kau yakin mau memberi Smith kesempatan?” tanyanya tanpa basa-basi, nadanya seperti badai yang baru saja menghantam ketenangan.Vincent, yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya, mendongak perlahan. Ia menaikkan satu alis, ekspresinya tetap tenang seperti danau di tengah malam.“Apa maksudmu, Louis? Semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, apalagi jika dia bersedia berubah,” ucapnya santai, namun dengan nada yang mengandung otoritas tak terbantahkan.Louis mengepalkan tangan, jemarinya menggenggam erat seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.“Bagaimana jika dia menyakiti Laura lagi? Bahkan hingga kini, Smith belum menyelesaikan hubungannya dengan Stella!” serunya, suaranya meninggi seperti api yang berko
“Kau sudah memutuskan, Smith?” tanya Vincent, matanya menatap lekat, seolah mencoba menggali hingga ke dasar hati putranya.Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tersembunyi di balik nada itu, seperti ombak yang mengancam di tengah lautan yang tampak damai.Smith menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Ya. Aku sudah memutuskan. Aku akan memilih Laura. Laura juga sudah memaafkanku,” jawabnya, suaranya tegas, namun ada kelembutan yang samar, seperti daun yang jatuh perlahan dari pohon di musim gugur.Vincent mengamati wajah putranya, membaca setiap lekuk ketegasan yang tergambar di sana.Sorot matanya menyelidik, mencoba memastikan bahwa keputusan itu bukan sekadar kata-kata kosong.“Aku tidak ingin kau menyakitinya lagi, Smith. Sudah cukup apa yang terjadi di awal pernikahan kalian,” ujar Vincent, suaranya terdengar seperti doa yang dipanjatkan dalam keheningan malam.Smith mengangguk, menatap pria yang selalu menjadi pilar teguh dalam hidupnya. Ada sesuatu di mata Vincent yang mem
“Dan aku berharap kau akan selalu mencintaiku, Laura,” ujar Smith, suaranya lembut namun mengandung kesungguhan yang tak terbantahkan.Tatapannya dalam, seperti menyelami lautan jiwa Laura, seolah tak ingin melewatkan satu pun emosi yang melintas di matanya.Laura tersenyum mendengarnya, sebuah senyum yang sederhana namun sarat dengan kehangatan, membuat Smith merasa seolah seluruh dunia telah menyatu dalam satu momen itu.“Aku hanya ingin kau, Laura. Aku hanya menginginkanmu,” lanjut Smith, suaranya sedikit bergetar oleh emosi.“Wanita lembut, penyabar, dan sangat cantik. Aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari hidup seorang wanita tangguh sepertimu.”Kata-katanya menghujani hati Laura seperti gerimis hangat yang turun di sore hari—lembut namun menembus hingga ke inti jiwa.Laura tidak bisa berkata apa-apa, hanya menatap Smith, yang kini menatapnya dengan kekaguman yang tulus.Ada kejujuran yang terpancar dari setiap kata dan setiap gerakan kecil Smith, membuatnya yakin bahwa p
“Aku membawakan sesuatu untukmu,” ucap Smith dengan suara rendah, duduk santai di samping Laura di sofa ruang tengah yang hangat diterangi cahaya lampu temaram.“Apa itu?” tanya Laura, suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang dipenuhi rasa ingin tahu.Smith, yang baru saja pulang dari pertemuannya dengan Rafael, mengeluarkan sebuah kotak besar yang dihiasi pita emas berkilauan.Ia menyerahkan kotak itu kepada Laura, yang langsung memandanginya dengan mata berbinar seperti seorang anak kecil yang menerima hadiah di hari ulang tahun.“Woah! Cokelat!” seru Laura penuh semangat, jemarinya yang mungil segera meraba pita di kotak itu.Matanya menatap Smith dengan kebahagiaan yang begitu tulus hingga membuat senyum kecil menghiasi wajah lelaki itu.Smith mengamati reaksi Laura, senyuman di bibirnya berubah menjadi lebih lembut.“Terima kasih, Smith. Aku tidak menyangka kau akan membawakan cokelat untukku,” kata Laura, menoleh untuk menatap suaminya dengan tatapan penuh rasa terima kasih.
“Aku harus pergi menemui Rafael. Bisnis kerja sama kami untuk membangun hotel di dekat pantai akan segera direalisasi,” ucap Smith sembari menyantap sarapan paginya.Suaranya terdengar ringan, namun setiap kata mengandung tekad yang mantap, seperti ombak yang tak kenal lelah menyapa tepi pantai.Laura, yang duduk di seberangnya dengan secangkir teh hangat di tangannya, mengangkat pandangannya perlahan.“Tapi, kau akan pulang?” tanyanya lembut, namun matanya menyimpan harapan yang terselubung.“Tentu saja. Aku tidak akan membiarkanmu tidur sendiri, Sayang.”Panggilan itu—Sayang—membuat pipi Laura memanas. Hangatnya menjalar seperti mentari pagi yang menyentuh pipinya untuk pertama kali.Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, mengingat ia tak pernah mendengar panggilan itu sebelumnya dari Smith.“Ada apa? Kenapa diam, hm?” Smith menatapnya dengan senyum tipis, menyadari perubahan ekspresi di wajah Laura. “Kau tidak percaya kalau aku akan pulang?”Laura cepat-cepat menggelengkan kep
“Kau … tidak sedang bercanda, kan?” tanya Smith dengan suara bergetar halus, sorot matanya mencerminkan ketidakpercayaan bercampur dengan keharuan yang sulit dijelaskan.Seolah dunia di sekitarnya menjadi kabur, menyisakan hanya Laura dan pernyataannya yang bergaung dalam benaknya.Laura terkekeh kecil, suaranya seperti lonceng lembut yang mengisi malam dengan kehangatan. “Tentu saja tidak, Smith.” Senyumnya merekah, menghapus sejenak keraguan di hati Smith.Ia mengalihkan pandangan sesaat, seolah mencari keberanian dari angin malam yang menyapa lembut wajahnya. “Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu, Smith.” Tatapannya kembali pada Smith, penuh dengan keberanian baru yang telah ia temukan.Smith menatapnya lekat, wajahnya tegas namun terselubung dengan harapan yang tak terkatakan. “Katakan, Laura. Aku di sini mendengarkanmu.”Laura menarik napas dalam, suaranya terdengar lembut namun sarat makna. “Sebenarnya di malam itu, aku sudah ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin menerimamu
“Kali ini, tolong percayalah,” ucap Smith, suaranya serak dengan nada yang nyaris memohon.Matanya, yang biasanya penuh dengan keteguhan, kini memancarkan kejujuran yang rapuh. “Aku mencintaimu, Laura. Hanya saja, aku bingung mengartikan cinta itu sebab perasaan bersalahku pada Stella.”Laura menatap Smith, matanya lekat pada wajah pria itu meski hatinya masih diguncang oleh pernyataan yang baru saja ia dengar.Kata-kata Smith seperti angin lembut yang membawa aroma bunga di musim semi—manis, namun tak terduga.“Kau akan membuka hati untukku, kan?” tanya Smith dengan nada penuh harap, seperti seorang musafir yang memohon setetes air di tengah gurun pasir.Laura mengangkat wajahnya dengan cepat, senyuman tipis menghiasi bibirnya. “Menurutmu?” jawabnya, nada suaranya penuh misteri yang membuat Smith terkekeh pelan.Tanpa berkata-kata lagi, Smith mendekat dan mengecup kening Laura dengan lembut, bibirnya meninggalkan jejak hangat yang mengalir hingga ke hatinya.“Ayo pulang,” ucap Smith
“Jika aku mengatakan bahwa aku sudah tidak mencintainya lagi, apa kau akan percaya padaku?” tanya Smith, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Matanya yang tajam menatap dalam-dalam wajah Laura, seolah mencoba membaca isi hatinya.Laura menelan ludahnya, rasanya seperti menelan kerikil tajam. Ia menggeleng pelan, tatapannya jatuh pada genggaman tangan Smith yang terasa hangat, tapi penuh dengan beban yang tak terlihat.“Aku tidak tahu, Smith. Tampaknya kau sangat mencintainya,” gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam udara di antara mereka.Smith tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip sebuah luka yang terlalu lelah untuk disembunyikan.Ia meremas tangan Laura, mengusapinya dengan lembut, seperti sedang berusaha mentransfer keyakinan yang ia miliki.“Sebenarnya, aku sempat ragu dengan perasaanku sendiri, Laura,” ucapnya pelan, diiringi helaan napas panjang yang seperti membawa kenangan pahit keluar dari dalam dirinya.“Saat pertama kali Stella tiba di kota ini, aku meninggalkanm
“Smith?” Suara Laura terdengar lembut namun dipenuhi keresahan. Ia menghela napas panjang, matanya menatap wajah suaminya yang tampak penuh tekad.Smith, dengan alisnya yang sedikit berkerut, masih saja terobsesi menyingkirkan Louis—adik kembarnya yang terus mencoba merebut Laura darinya.“Aku sama sekali tidak tertarik padanya,” ujar Laura, nada suaranya tegas namun lembut, seperti belaian angin pada dedaunan.“Meskipun awalnya dia sangat baik padaku. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkan apa yang sudah dia lakukan di masa lalumu dan juga apa yang mungkin dia lakukan di masa depan.”Smith tetap diam, hanya menatap Laura dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Matanya penuh kekhawatiran, seperti badai yang diam-diam bergemuruh di dalam dirinya.Laura tahu, tatapan itu bukan tentang dirinya—bukan tentang cinta yang ia ragukan—melainkan ketidakpercayaan mendalam terhadap Louis.“Aku tidak berniat mencintainya meskipun dia bersikap baik padaku,” ulang Laura, kali ini dengan lebih tega