“Smith, aku sangat merindukanmu,” suara Stella menggema, penuh kehangatan, saat ia melingkarkan lengannya di tubuh Smith begitu pria itu muncul di area kedatangan bandara. Pelukannya erat, seolah waktu dan jarak selama ini telah menciptakan jurang yang terlalu lebar untuk ditanggung.Smith membalas pelukan itu dengan sedikit canggung, senyumnya terlihat manis namun menyimpan kegamangan yang sulit disembunyikan. “Aku juga merindukanmu, Sayang,” katanya, nada suaranya lembut namun mengandung nada kebingungan. “Kenapa mendadak sekali menghubungiku?”Hatinya terombang-ambing antara rasa senang dan cemas, seperti kapal yang terombang-ambing di tengah ombak besar. Namun, ia tahu, di depan Stella, ia harus menjadi pelabuhan yang stabil—tempat yang penuh kehangatan dan penerimaan. Senyumnya diperlebar, menutupi pergolakan yang terjadi di dalam dirinya.“Aku ingin memberimu kejutan. Apa aku salah?” tanya Stella, suaranya mendayu seperti alunan melodi yang ia tahu Smith sulit untuk tolak. Matan
“Kalau bukan karena utang ibuku yang menggunung, tidak akan pernah mau lagi aku menginjakkan kaki di sini!” kata-kata itu meluncur dari bibir Laura dengan penuh amarah yang tertahan, seperti api kecil yang nyaris menyala-nyala.Waktu telah menunjuk angka delapan pagi. Matahari yang hangat tidak cukup untuk mencairkan bekuan perasaan di hati Laura.Meski hatinya berat, ia tetap melangkah ke kantor, menyeret diri ke dalam rutinitas yang terasa seperti jerat tanpa ujung.“Sebaiknya aku mulai mencari lowongan pekerjaan dari sekarang,” gumamnya sambil menyalakan komputer. Cahaya layar yang menyala seperti harapan kecil yang mulai dirangkai di tengah kegelapan hidupnya.“Setelah itu, aku akan pergi dari dunia Smith dan keluarganya,” lanjutnya dalam hati, matanya memandang kosong pada layar. “Meskipun Tuan Vincent baik, tapi rumah mereka tetap seperti neraka bagiku.”Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa sesak yang menggelayuti dadanya. Matanya yang sembap berusaha mencari fokus, m
‘Oh, jadi ini yang bernama Stella,’ gumam Laura dalam hati.Matanya menelusuri Stella dari ujung kepala hingga ujung kaki, seperti seorang kritikus yang menilai sebuah karya seni, namun dengan sentuhan sinisme yang samar.Wanita itu memang cantik, dengan aura percaya diri yang begitu mencolok hingga seakan menenggelamkan orang lain di sekitarnya.Tanpa aba-aba, Stella melangkah maju dengan lincah, seolah-olah Laura tidak ada di ruangan itu.Tangannya melingkar erat pada tubuh Smith, lalu bibirnya menyentuh bibir pria itu dalam sebuah kecupan singkat, namun cukup untuk membuat dada Laura terasa seperti diremas.“Kau pergi begitu saja dari hotelku, Smith,” ucap Stella dengan suara manja yang melengking seperti suara biola yang sedikit sumbang di telinga Laura.Laura terdiam, tapi hatinya bergejolak. Kata-kata Stella menyerang kesadarannya seperti gemuruh petir di langit mendung.Namun, ia tidak ingin menunjukkan
"Kurang ajar!"Plak!Tangan Stella melayang tanpa ampun, meninggalkan jejak merah di wajah Smith. Kemarahannya meledak seperti badai di tengah samudera, liar dan tak terbendung. Matanya yang biasanya lembut kini menyala dengan amarah yang menusuk seperti bara api."Kau benar-benar membuatku marah, Smith!" serunya, suaranya pecah oleh perasaan yang tak tertahankan. "Apa maksudmu bicara seperti itu, huh? Kau... sudah menikah? Kenapa, Smith? Kenapa?"Smith menundukkan wajahnya, rasa bersalah mencakar-cakar jiwanya seperti cakar burung elang yang mencabik mangsanya."Maafkan aku, Sayang," katanya, suaranya penuh getar, hampir seperti angin yang memohon pada pohon agar tidak patah diterpa badai. "Aku akan menjelaskan semuanya. Tolong dengarkan penjelasanku."Namun, Stella tak menggubris. Dia menepis tangan Smith dengan gerakan yang tegas, seperti seorang ratu yang menolak uluran pengkhianat.Matanya yang basah memalingkan wajahnya darinya, mengunci pandangannya pada dinding kosong seolah m
"Kenapa diam?" Stella menyipitkan matanya, menatap Smith seperti elang yang siap menerkam mangsanya.Suaranya terdengar dingin, menusuk lebih tajam daripada pisau. "Itu artinya kau menyentuhnya setelah kejadian itu?"Smith hanya memijat keningnya, gerakannya lamban seperti seorang pria yang mencoba mengusir beban dunia dari pikirannya. "Hanya satu kali, Sayang," ucapnya akhirnya, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan angin yang enggan mengakui kebenaran. "Setelah itu tidak lagi."Stella mendengus, tatapannya menyala seperti api yang membakar hingga ke tulang. "Kau benar-benar penjahat, Smith," katanya, setiap kata dilontarkan dengan amarah yang menggelegak. "Kau sudah membuatku muak!"Smith mencoba mendekatinya, tangan gemetar seolah ingin menyentuh pundaknya, tetapi Stella mundur selangkah, menjauh darinya seperti seorang ratu yang tak sudi disentuh oleh seorang pengkhianat."Beri aku waktu, Stella," katanya, suaranya penuh permohonan, seperti seorang narapidana yang memohon pengamp
"Apakah aku orang pertama yang mengajakmu makan siang? Kenapa terlihat canggung sekali?" tanya Louis, suaranya terdengar lembut namun penuh dengan rasa ingin tahu. Ia memperhatikan Laura, yang tampak gelisah seperti daun kecil yang digoyang oleh angin.Laura tersenyum kikuk, cengirannya tampak berusaha menutupi rasa gugup yang menguar dari tubuhnya. "Iya," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar malu-malu seperti anak kecil yang tertangkap basah."Aku tidak pernah menjalin hubungan sebelumnya, tidak pernah dekat dengan pria juga. Jadi, menurutku ini akan membuatku sedikit canggung. Maafkan aku, Tuan Louis.""Louis saja," ucap pria itu cepat, memotong kata-kata formal yang dirasa tak perlu. Tatapannya lembut, namun penuh perhatian, seperti sinar matahari pagi yang menyusup di sela-sela daun.Laura merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Tatapan intens Louis membuatnya meneguk ludah, mencoba mengusir kegugupannya yang semakin menjadi. Ia mengangguk pelan, suaranya hampir sepert
"Terima kasih untuk makan siangnya, Louis," ucap Laura, suaranya lembut seperti angin senja yang meredakan teriknya siang. Ia menyeka sudut bibirnya dengan tisu, menyembunyikan senyum kecil yang nyaris tak kasatmata."Dengan senang hati, bisa menemanimu makan siang, Laura. Setiap hari pun aku mau," balas Louis dengan nada hangat yang mengalir seperti aliran sungai di tengah hutan, tenang namun penuh daya hidup.Laura terkekeh, suara tawa kecilnya menyerupai denting halus kristal yang disentuh lembut. "Kalau setiap hari, aku bisa kena marah kakak kembarmu, Louis."Louis mengulas senyum kecil, samar namun penuh makna, seperti pelangi tipis yang muncul setelah hujan gerimis. "Well, Laura. Sebenarnya dia sempat melihat kita makan siang tadi. Tapi, sepertinya dia tidak berani menghampiri kita ataupun memarahimu."Sontak Laura terkejut. Seperti riak air yang terguncang oleh kerikil, hatinya bergolak. Ia tahu, pria itu—Smith—tidak akan melepaskan kesempatan untuk melontarkan amarahnya nanti
"Wanita murahan!"Kata-kata itu menghantam Laura seperti pecahan kaca tajam yang dilemparkan tanpa ampun. Baru saja ia melangkah masuk ke rumah, suasana yang dingin dan sunyi tiba-tiba berubah menjadi medan perang.Ia menoleh perlahan, menatap Smith yang terpuruk di sofa ruang tengah, tubuhnya lunglai dan matanya merah menyala, tanda jelas bahwa pria itu mabuk berat.“Pantas saja kau datang ke kamarku. Kau memang wanita murahan, Laura,” desis Smith, suaranya serak seperti bisikan ular yang penuh racun. “Munafik!” tambahnya lagi, kali ini lebih keras, seperti guntur yang menggelegar di malam tanpa bintang.Laura berdiri diam sejenak, merasakan api amarah yang perlahan merambati setiap inci tubuhnya. Namun, ia tidak mundur.Dengan langkah mantap, ia menghampiri Smith, berdiri di hadapan pria itu dengan sorot mata yang tajam bagai bilah pedang yang terhunus.“Hanya karena melihatku makan siang dengan adik kembarmu, kau menyebutku murahan?” ucap Laura, setiap kata mengalir dengan dingin,
Louis memasuki ruangan Vincent tanpa mengetuk lebih dulu, pintu kayu besar itu berderit perlahan, seolah menegaskan ketidaksabarannya.Dengan langkah cepat yang penuh determinasi, ia berdiri di hadapan ayahnya, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menusuk.“Apa kau yakin mau memberi Smith kesempatan?” tanyanya tanpa basa-basi, nadanya seperti badai yang baru saja menghantam ketenangan.Vincent, yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya, mendongak perlahan. Ia menaikkan satu alis, ekspresinya tetap tenang seperti danau di tengah malam.“Apa maksudmu, Louis? Semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, apalagi jika dia bersedia berubah,” ucapnya santai, namun dengan nada yang mengandung otoritas tak terbantahkan.Louis mengepalkan tangan, jemarinya menggenggam erat seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.“Bagaimana jika dia menyakiti Laura lagi? Bahkan hingga kini, Smith belum menyelesaikan hubungannya dengan Stella!” serunya, suaranya meninggi seperti api yang berko
“Kau sudah memutuskan, Smith?” tanya Vincent, matanya menatap lekat, seolah mencoba menggali hingga ke dasar hati putranya.Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tersembunyi di balik nada itu, seperti ombak yang mengancam di tengah lautan yang tampak damai.Smith menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Ya. Aku sudah memutuskan. Aku akan memilih Laura. Laura juga sudah memaafkanku,” jawabnya, suaranya tegas, namun ada kelembutan yang samar, seperti daun yang jatuh perlahan dari pohon di musim gugur.Vincent mengamati wajah putranya, membaca setiap lekuk ketegasan yang tergambar di sana.Sorot matanya menyelidik, mencoba memastikan bahwa keputusan itu bukan sekadar kata-kata kosong.“Aku tidak ingin kau menyakitinya lagi, Smith. Sudah cukup apa yang terjadi di awal pernikahan kalian,” ujar Vincent, suaranya terdengar seperti doa yang dipanjatkan dalam keheningan malam.Smith mengangguk, menatap pria yang selalu menjadi pilar teguh dalam hidupnya. Ada sesuatu di mata Vincent yang mem
“Dan aku berharap kau akan selalu mencintaiku, Laura,” ujar Smith, suaranya lembut namun mengandung kesungguhan yang tak terbantahkan.Tatapannya dalam, seperti menyelami lautan jiwa Laura, seolah tak ingin melewatkan satu pun emosi yang melintas di matanya.Laura tersenyum mendengarnya, sebuah senyum yang sederhana namun sarat dengan kehangatan, membuat Smith merasa seolah seluruh dunia telah menyatu dalam satu momen itu.“Aku hanya ingin kau, Laura. Aku hanya menginginkanmu,” lanjut Smith, suaranya sedikit bergetar oleh emosi.“Wanita lembut, penyabar, dan sangat cantik. Aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari hidup seorang wanita tangguh sepertimu.”Kata-katanya menghujani hati Laura seperti gerimis hangat yang turun di sore hari—lembut namun menembus hingga ke inti jiwa.Laura tidak bisa berkata apa-apa, hanya menatap Smith, yang kini menatapnya dengan kekaguman yang tulus.Ada kejujuran yang terpancar dari setiap kata dan setiap gerakan kecil Smith, membuatnya yakin bahwa p
“Aku membawakan sesuatu untukmu,” ucap Smith dengan suara rendah, duduk santai di samping Laura di sofa ruang tengah yang hangat diterangi cahaya lampu temaram.“Apa itu?” tanya Laura, suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang dipenuhi rasa ingin tahu.Smith, yang baru saja pulang dari pertemuannya dengan Rafael, mengeluarkan sebuah kotak besar yang dihiasi pita emas berkilauan.Ia menyerahkan kotak itu kepada Laura, yang langsung memandanginya dengan mata berbinar seperti seorang anak kecil yang menerima hadiah di hari ulang tahun.“Woah! Cokelat!” seru Laura penuh semangat, jemarinya yang mungil segera meraba pita di kotak itu.Matanya menatap Smith dengan kebahagiaan yang begitu tulus hingga membuat senyum kecil menghiasi wajah lelaki itu.Smith mengamati reaksi Laura, senyuman di bibirnya berubah menjadi lebih lembut.“Terima kasih, Smith. Aku tidak menyangka kau akan membawakan cokelat untukku,” kata Laura, menoleh untuk menatap suaminya dengan tatapan penuh rasa terima kasih.
“Aku harus pergi menemui Rafael. Bisnis kerja sama kami untuk membangun hotel di dekat pantai akan segera direalisasi,” ucap Smith sembari menyantap sarapan paginya.Suaranya terdengar ringan, namun setiap kata mengandung tekad yang mantap, seperti ombak yang tak kenal lelah menyapa tepi pantai.Laura, yang duduk di seberangnya dengan secangkir teh hangat di tangannya, mengangkat pandangannya perlahan.“Tapi, kau akan pulang?” tanyanya lembut, namun matanya menyimpan harapan yang terselubung.“Tentu saja. Aku tidak akan membiarkanmu tidur sendiri, Sayang.”Panggilan itu—Sayang—membuat pipi Laura memanas. Hangatnya menjalar seperti mentari pagi yang menyentuh pipinya untuk pertama kali.Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, mengingat ia tak pernah mendengar panggilan itu sebelumnya dari Smith.“Ada apa? Kenapa diam, hm?” Smith menatapnya dengan senyum tipis, menyadari perubahan ekspresi di wajah Laura. “Kau tidak percaya kalau aku akan pulang?”Laura cepat-cepat menggelengkan kep
“Kau … tidak sedang bercanda, kan?” tanya Smith dengan suara bergetar halus, sorot matanya mencerminkan ketidakpercayaan bercampur dengan keharuan yang sulit dijelaskan.Seolah dunia di sekitarnya menjadi kabur, menyisakan hanya Laura dan pernyataannya yang bergaung dalam benaknya.Laura terkekeh kecil, suaranya seperti lonceng lembut yang mengisi malam dengan kehangatan. “Tentu saja tidak, Smith.” Senyumnya merekah, menghapus sejenak keraguan di hati Smith.Ia mengalihkan pandangan sesaat, seolah mencari keberanian dari angin malam yang menyapa lembut wajahnya. “Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu, Smith.” Tatapannya kembali pada Smith, penuh dengan keberanian baru yang telah ia temukan.Smith menatapnya lekat, wajahnya tegas namun terselubung dengan harapan yang tak terkatakan. “Katakan, Laura. Aku di sini mendengarkanmu.”Laura menarik napas dalam, suaranya terdengar lembut namun sarat makna. “Sebenarnya di malam itu, aku sudah ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin menerimamu
“Kali ini, tolong percayalah,” ucap Smith, suaranya serak dengan nada yang nyaris memohon.Matanya, yang biasanya penuh dengan keteguhan, kini memancarkan kejujuran yang rapuh. “Aku mencintaimu, Laura. Hanya saja, aku bingung mengartikan cinta itu sebab perasaan bersalahku pada Stella.”Laura menatap Smith, matanya lekat pada wajah pria itu meski hatinya masih diguncang oleh pernyataan yang baru saja ia dengar.Kata-kata Smith seperti angin lembut yang membawa aroma bunga di musim semi—manis, namun tak terduga.“Kau akan membuka hati untukku, kan?” tanya Smith dengan nada penuh harap, seperti seorang musafir yang memohon setetes air di tengah gurun pasir.Laura mengangkat wajahnya dengan cepat, senyuman tipis menghiasi bibirnya. “Menurutmu?” jawabnya, nada suaranya penuh misteri yang membuat Smith terkekeh pelan.Tanpa berkata-kata lagi, Smith mendekat dan mengecup kening Laura dengan lembut, bibirnya meninggalkan jejak hangat yang mengalir hingga ke hatinya.“Ayo pulang,” ucap Smith
“Jika aku mengatakan bahwa aku sudah tidak mencintainya lagi, apa kau akan percaya padaku?” tanya Smith, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Matanya yang tajam menatap dalam-dalam wajah Laura, seolah mencoba membaca isi hatinya.Laura menelan ludahnya, rasanya seperti menelan kerikil tajam. Ia menggeleng pelan, tatapannya jatuh pada genggaman tangan Smith yang terasa hangat, tapi penuh dengan beban yang tak terlihat.“Aku tidak tahu, Smith. Tampaknya kau sangat mencintainya,” gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam udara di antara mereka.Smith tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip sebuah luka yang terlalu lelah untuk disembunyikan.Ia meremas tangan Laura, mengusapinya dengan lembut, seperti sedang berusaha mentransfer keyakinan yang ia miliki.“Sebenarnya, aku sempat ragu dengan perasaanku sendiri, Laura,” ucapnya pelan, diiringi helaan napas panjang yang seperti membawa kenangan pahit keluar dari dalam dirinya.“Saat pertama kali Stella tiba di kota ini, aku meninggalkanm
“Smith?” Suara Laura terdengar lembut namun dipenuhi keresahan. Ia menghela napas panjang, matanya menatap wajah suaminya yang tampak penuh tekad.Smith, dengan alisnya yang sedikit berkerut, masih saja terobsesi menyingkirkan Louis—adik kembarnya yang terus mencoba merebut Laura darinya.“Aku sama sekali tidak tertarik padanya,” ujar Laura, nada suaranya tegas namun lembut, seperti belaian angin pada dedaunan.“Meskipun awalnya dia sangat baik padaku. Tapi, aku juga tidak bisa membenarkan apa yang sudah dia lakukan di masa lalumu dan juga apa yang mungkin dia lakukan di masa depan.”Smith tetap diam, hanya menatap Laura dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Matanya penuh kekhawatiran, seperti badai yang diam-diam bergemuruh di dalam dirinya.Laura tahu, tatapan itu bukan tentang dirinya—bukan tentang cinta yang ia ragukan—melainkan ketidakpercayaan mendalam terhadap Louis.“Aku tidak berniat mencintainya meskipun dia bersikap baik padaku,” ulang Laura, kali ini dengan lebih tega