"Terima kasih untuk makan siangnya, Louis," ucap Laura, suaranya lembut seperti angin senja yang meredakan teriknya siang. Ia menyeka sudut bibirnya dengan tisu, menyembunyikan senyum kecil yang nyaris tak kasatmata."Dengan senang hati, bisa menemanimu makan siang, Laura. Setiap hari pun aku mau," balas Louis dengan nada hangat yang mengalir seperti aliran sungai di tengah hutan, tenang namun penuh daya hidup.Laura terkekeh, suara tawa kecilnya menyerupai denting halus kristal yang disentuh lembut. "Kalau setiap hari, aku bisa kena marah kakak kembarmu, Louis."Louis mengulas senyum kecil, samar namun penuh makna, seperti pelangi tipis yang muncul setelah hujan gerimis. "Well, Laura. Sebenarnya dia sempat melihat kita makan siang tadi. Tapi, sepertinya dia tidak berani menghampiri kita ataupun memarahimu."Sontak Laura terkejut. Seperti riak air yang terguncang oleh kerikil, hatinya bergolak. Ia tahu, pria itu—Smith—tidak akan melepaskan kesempatan untuk melontarkan amarahnya nanti
"Wanita murahan!"Kata-kata itu menghantam Laura seperti pecahan kaca tajam yang dilemparkan tanpa ampun. Baru saja ia melangkah masuk ke rumah, suasana yang dingin dan sunyi tiba-tiba berubah menjadi medan perang.Ia menoleh perlahan, menatap Smith yang terpuruk di sofa ruang tengah, tubuhnya lunglai dan matanya merah menyala, tanda jelas bahwa pria itu mabuk berat.“Pantas saja kau datang ke kamarku. Kau memang wanita murahan, Laura,” desis Smith, suaranya serak seperti bisikan ular yang penuh racun. “Munafik!” tambahnya lagi, kali ini lebih keras, seperti guntur yang menggelegar di malam tanpa bintang.Laura berdiri diam sejenak, merasakan api amarah yang perlahan merambati setiap inci tubuhnya. Namun, ia tidak mundur.Dengan langkah mantap, ia menghampiri Smith, berdiri di hadapan pria itu dengan sorot mata yang tajam bagai bilah pedang yang terhunus.“Hanya karena melihatku makan siang dengan adik kembarmu, kau menyebutku murahan?” ucap Laura, setiap kata mengalir dengan dingin,
“Apa maksudmu?” tanya Laura, kebingungan bercampur kewaspadaan terpancar jelas di matanya. Ia menatap Smith dengan dahi berkerut, berusaha memahami maksud tersembunyi di balik ucapan pria itu.Smith tertawa kecil, tawa yang terdengar serak dan tidak stabil, seperti nada rendah dari senar yang hampir putus.Ia meraih red wine glass di tangannya, meneguk sisa cairan merah gelap yang berkilauan seperti darah di bawah sinar lampu. Matanya memerah, bukan hanya karena pengaruh alkohol, tetapi juga oleh amarah yang perlahan membara di dalam dirinya.“Kurang jelas, dengan ucapanku tadi?” tanyanya, suaranya meluncur seperti bisikan yang mengandung ancaman. Tanpa peringatan, ia meraih tangan Laura, menariknya dengan cepat hingga tubuh perempuan itu jatuh terduduk di pangkuannya.Laura terkejut, matanya membesar seperti bulan purnama di malam gelap. “Apa kau gila? Lepaskan aku!” serunya, suaranya penuh kemarahan yang dibalut dengan nada ketakutan.Ia meronta, tubuhnya berusaha melepaskan diri da
Smith membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seperti dipenuhi beban dari malam yang kelam.Hangatnya mentari pagi menyelinap lembut di balik tirai jendela, menciptakan pancaran emas samar di ruangan yang masih diliputi keheningan.Ia memutar kepala, lehernya terasa kaku, dan saat matanya menangkap sosok di sampingnya, ia terpaku.Laura.Bagaimana mungkin ini terjadi? Pikirannya melayang, mencoba merangkai ingatan dari serpihan malam yang tampak kabur, seperti lukisan buram yang tak dapat diinterpretasikan.Ia mengerutkan dahi, rasa bingung menyelimutinya. “Apa yang sedang kau lakukan di sini, Laura?” bisiknya, suaranya serak, seperti kayu yang bergesekan di malam dingin.Suara itu rupanya cukup untuk membangunkan Laura. Mata perempuan itu perlahan membuka, lalu seketika tubuhnya tersentak.Dalam gerakan cepat, ia beranjak dari tempat tidur, jaraknya kini lebih jauh, seolah keberadaan Smith adalah pusat gravitasi yang harus dihindari.“Jangan salah paham!” serunya denga
Setengah jam setelah Laura bersiap-siap, suara langkah ringan Louis terdengar di depan pintu rumah. Ia muncul dengan senyum yang menawan, membawa aura cerah pagi yang kontras dengan atmosfer rumah yang terasa tegang sejak malam sebelumnya.“Selamat pagi, kakak kembar,” sapa Louis, suaranya ringan tetapi menggema cukup kuat di ruang tamu yang sunyi.Senyum khasnya yang selalu memancarkan keramahan melintas di wajahnya, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak.Smith, yang sedang duduk di sofa dengan sikap acuh, hanya menaikkan kedua alisnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Apa yang kau lakukan di sini, Louis?” tanyanya datar, suaranya nyaris seperti geraman.Louis tertawa kecil, sebuah tawa yang seolah mengolok tetapi tetap terdengar santai. “Sepertinya kedatanganku tidak diterima dengan hangat, Smith. Tapi, tenang saja. Aku tidak datang untukmu. Aku datang untuk Laura,” balasnya santai sambil melirik ke arah pintu kamar Laura yang masi
“Sebaiknya kau diam sebelum kesabaranku habis, Laura!” desis Smith, suaranya bagaikan bilah pisau yang mengiris udara pagi dengan tajam dan dingin.Laura melirik sekilas ke arah suaminya, matanya yang redup memantulkan bayangan ketegangan yang menggantung seperti kabut tebal di antara mereka.Ia menghela napas panjang, tarikan udara terasa berat di dadanya, seolah dunia sendiri menolak memberinya ruang untuk bernapas.Ia bahkan tidak tahu apa dosanya pagi itu—atau mungkinkah Smith sedang marah pada Louis? Tapi kenapa? Toh, lelaki itu jarang sekali peduli, tidak padanya, tidak pula pada apa pun yang benar-benar penting.Saat mobil berhenti di depan gedung kantor, Laura membuka pintu dengan gerakan tegas, langkahnya ringan namun sarat dengan kegelisahan yang ia tutupi rapat.Udara dingin pagi itu menyambutnya, menusuk kulit seperti pengingat bahwa realita selalu lebih kejam daripada sekadar kata-kata. Ia mempercepat langkah, masuk ke lift, dan menekan tombol tanpa menoleh ke belakang.“
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan suasana di lobi Allera Hotel terasa lebih hidup dari biasanya.Langit di luar bersih tanpa cela, memancarkan sinar matahari yang hangat ke kaca-kaca tinggi, menciptakan kilauan keemasan di lantai marmer yang mengilap.Deretan staf hotel berdiri dengan rapi, masing-masing mengenakan senyum profesional yang memancarkan rasa hormat dan antusiasme.Di tengah mereka, Smith, Vincent, Louis, dan Laura tampak menonjol, auranya memancarkan wibawa yang sulit untuk diabaikan.Mobil hitam mewah berhenti dengan elegan di depan pintu utama, bannya seakan menyentuh lantai dengan kehalusan seperti dalam adegan film. Ketika pintu mobil terbuka, seorang pria berwibawa dengan jas abu-abu rapi melangkah keluar.Walikota Alexander, sosok yang sudah dikenal karena karisma dan prestasinya, tampak seperti lambang kemapanan itu sendiri. Aura kehadirannya begitu kuat, hingga seluruh ruangan seolah berhenti untuk sesaat.“Tuan Alexander!” seru Vincent dengan penuh ke
"Siapa juga yang akan menceraikannya, Dad!" ucap Smith, suaranya menggema dingin seperti angin malam yang menyelusup melalui celah pintu yang terbuka.Vincent menaikkan alis, menatap putranya dengan sorot mata yang penuh arti. "Bagus, jika kau tidak memiliki niat seperti itu," ucapnya datar sebelum berbalik, langkahnya bergema di lantai kayu ruang kerja Smith yang sunyi.Smith mengusap wajahnya perlahan, jari-jarinya terasa berat seakan menahan beban dunia. Napas panjang meluncur dari bibirnya, menghembuskan sisa-sisa harapan yang tercecer."Apakah aku harus menghamili perempuan itu, supaya dia tidak memiliki alasan untuk berpisah denganku?" gumamnya, nyaris seperti bisikan rahasia kepada dirinya sendiri. Pipinya menggembung sesaat, namun kekosongan di matanya tak mampu disembunyikan.Dia tahu, Stella sedang menunggunya. Wajahnya yang seperti boneka porselen itu selalu tampak tegar, namun di balik topengnya, Smith dapat melihat api yang mengintai, api yang siap membakar apa pun demi e
"Smith?"Suara Vincent terdengar tenang namun mengandung nada kewaspadaan, menyelinap di antara tumpukan berkas dan dentingan samar jam meja yang menghitung waktu dengan kesabaran tanpa batas.Ia melangkah mendekati putranya, yang masih tenggelam dalam lautan dokumen dan angka-angka yang tak berujung.Smith mendongak, sorot matanya menangkap wajah sang ayah yang dipenuhi garis-garis kebijaksanaan."Ada apa, Dad?" tanyanya, suaranya terdengar datar, namun ada sedikit ketegangan yang bersembunyi di balik nada itu.Vincent menghela napas, lalu duduk di sofa dengan gerakan yang tertata, seakan tengah menimbang-nimbang setiap kata yang akan diucapkannya.Pandangannya tak lepas dari Smith, yang masih setia di balik meja kerjanya, seakan tembok kayu mahoni itu menjadi benteng terakhirnya."Kau mendapat kabar dari Louis? Sudah satu minggu ini dia menghilang dari kantor. Bahkan, dia sudah menyerahkan semua pekerjaannya pada Reiner."Alis Smith terangkat, tatapannya mencerminkan keterkejutan ya
“Kondisi kedua janinnya sangat sehat dan baik. Dan untuk jenis kelaminnya adalah … satu laki-laki dan satu lagi perempuan.”Kata-kata itu bergema di ruangan, berpendar di udara seperti denting kristal yang menari di angin. Laura menganga, matanya membulat penuh keterkejutan.Ia tahu hari ini mereka akan mengetahui jenis kelamin buah hati mereka, tetapi mendengar langsung kabar itu dari mulut sang dokter terasa seperti keajaiban yang melampaui impian.“Berpasangan,” gumam Smith, seolah membiarkan kata itu mengendap di relung hatinya.Ia menoleh ke arah Laura, senyum melengkung di bibirnya—senyum yang penuh dengan harapan, kebahagiaan, dan cinta yang begitu dalam.Dokter kandungan mereka mengangguk penuh keramahan. “Selalu dijaga kondisi kesehatannya ya, Nyonya, Tuan,” ucapnya lembut, mengingatkan dengan penuh perhatian.Smith menoleh kembali ke arah dokter, nada suaranya penuh antusiasme yang tak dapat disembunyikan.“Tentu saja, Dokter. Kami bahkan sudah tak sabar ingin segera melihat
“Kau sudah pulang, Smith?” Laura menghampiri Smith yang baru tiba di rumah.Langit senja menyisakan warna keemasan di cakrawala, menyusup lembut melalui jendela kaca apartemen mereka.Lampu-lampu kota mulai berkelip bagai bintang-bintang kecil yang jatuh ke bumi.Smith membuka pintu dengan langkah berat, kelelahan selepas hari panjang di kantor.Namun, semua rasa letih itu menguap begitu saja saat pandangannya jatuh pada sosok yang menunggunya di ambang ruang tamu.“Sambutan yang sungguh hangat dan meriah,” gumam Smith sembari menatap penuh takjub istrinya yang begitu cantik dan seksi.Laura berdiri di sana, siluetnya disaput cahaya remang. Pakaian yang ia kenakan—sehelai lingerie hitam yang menerawang—membingkai tubuhnya dengan sempurna, seakan mengundang dan menantang dalam satu tarikan napas.Rambutnya yang tergerai jatuh membingkai wajahnya, sementara bibirnya melengkung membentuk senyum yang hanya dimiliki seorang istri untuk suaminya.“Aku selalu menyambutmu dengan penuh kehanga
"Smith? Ke mana saja kau, Smith? Kenapa baru menemuiku?" suara Stella meluncur seperti desisan ular berbisa, bergetar di udara yang mendadak terasa menyesakkan.Dengan mata yang berkaca-kaca, ia melangkah mendekat, hendak merengkuh pria itu dalam pelukannya.Namun, Smith menghentikannya dengan gerakan kecil yang lebih tajam dari sebilah pisau. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini," suaranya rendah, nyaris tenggelam dalam bayang-bayang malam. "Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu."Kening Stella mengerut, matanya yang bagaikan dua batu safir yang disiram cahaya lilin, menatapnya lekat-lekat. "Ada apa, Smith? Kau sudah menceraikan wanita itu, kan?"Smith menggeleng perlahan. Gerakannya seperti daun kering yang jatuh tanpa daya ke tanah. "Justru itu yang ingin aku katakan padamu, Stella. Aku … aku tidak bisa menceraikan Laura. Keputusanku adalah tetap mempertahankan pernikahanku dengannya."Udara di antara mereka mendadak membeku. Mata Stella membelalak, api yang berkobar di dalam
“Lepaskan tangan Laura!” desis Smith, suaranya rendah namun menyiratkan ancaman tersembunyi.Ia menarik tangan Laura dengan gerakan tegas, matanya yang gelap seperti jurang tanpa dasar menatap wajah Louis yang memerah oleh amarah.“Aku tidak pernah memaksa Laura untuk bertahan denganku,” ujarnya, suaranya dingin bak angin malam yang menyelinap menusuk tulang.“Namun, aku selalu berupaya menjadi lebih baik agar Laura tidak pergi dariku.” Tatapan tajamnya, seolah pedang berkilauan dalam kegelapan, tidak lepas dari Louis yang menahan gemuruh di dadanya.“Sudah, Smith. Kau tidak perlu menjelaskan apa pun pada Louis,” suara Laura meluncur lembut seperti angin sepoi yang mencoba meredam api yang berkobar.Namun, Smith masih memancarkan aura kaku, tanda bahwa hatinya belum benar-benar tenang.“Kau ingin aku mati sejak lama, huh? Sebaiknya kau saja yang mati duluan, Louis!” Nada suaranya menggema penuh kemarahan yang dingin, seperti pecahan es yang menghujam dasar laut.Ia mencengkeram tangan
“Laura?” suara Louis pecah seperti melodi penuh harap di ruang yang sunyi.Sebuah senyum lebar merekah di wajahnya, matanya berbinar seperti menemukan oase di tengah gurun ketika melihat Laura memasuki ruang kerjanya.Ia segera berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu dengan langkah penuh semangat.“Hi, Louis. Apa kabar?” tanya Laura, suaranya selembut embusan angin pagi, membawa kesejukan yang menenangkan namun menyimpan ketegangan tersembunyi.“Kabarku baik. Tapi, ada apa, Laura? Tumben sekali kau datang kemari tanpa mengabariku terlebih dahulu. Smith tahu kau datang ke sini?”Rentetan pertanyaan meluncur dari bibir Louis, nadanya mencerminkan rasa senang yang nyaris tak terkendali.Laura mengangguk pelan, gerakan kecil yang membawa arti besar. “Ya, Smith tahu aku datang. Bisa kita bicara, Louis?”Pria itu hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, lalu mempersilakan Laura untuk duduk di sofa empuk di ruangannya.Louis sendiri mengambil tempat duduk di hadapan wanita itu,
“Smith tidak akan melepaskan Laura.” Bayangan kegelapan menyelimuti wajah Stella, setajam pisau yang siap menusuk jantungnya.Ia menoleh cepat ke arah Louis, mata bak bara api yang membara. “What? Kau yakin, huh? Kenapa bisa? Apakah ini karena ayah kalian?” tanyanya, suara bergetar menahan amarah yang membuncah bagai lautan tak bertepi.“Ya. Bisa jadi karena ayahku dan Laura tampaknya sudah mencintai Smith.” Louis menyunggingkan senyum tipis, sebuah senyum yang terasa dingin dan menusuk seperti embun pagi di musim gugur. Senyum yang menyimpan rahasia kelam di baliknya.“Kau tidak akan bisa mengambil hati Smith lagi jika Smith sudah mencintai Laura.” Louis memutar-mutar gelas berisi wine itu, cahaya lilin menari-nari di permukaan anggur merah yang pekat, seperti darah yang mengalir deras.Stella mengepalkan tangannya dengan erat, urat-urat nadi membengkak di bawah kulit pucatnya.“Tidak! Smith sudah berjanji padaku akan menceraikan wanita itu, bukan malah mencintainya! Menyebalkan, arg
Louis memasuki ruangan Vincent tanpa mengetuk lebih dulu, pintu kayu besar itu berderit perlahan, seolah menegaskan ketidaksabarannya.Dengan langkah cepat yang penuh determinasi, ia berdiri di hadapan ayahnya, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menusuk.“Apa kau yakin mau memberi Smith kesempatan?” tanyanya tanpa basa-basi, nadanya seperti badai yang baru saja menghantam ketenangan.Vincent, yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya, mendongak perlahan. Ia menaikkan satu alis, ekspresinya tetap tenang seperti danau di tengah malam.“Apa maksudmu, Louis? Semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, apalagi jika dia bersedia berubah,” ucapnya santai, namun dengan nada yang mengandung otoritas tak terbantahkan.Louis mengepalkan tangan, jemarinya menggenggam erat seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.“Bagaimana jika dia menyakiti Laura lagi? Bahkan hingga kini, Smith belum menyelesaikan hubungannya dengan Stella!” serunya, suaranya meninggi seperti api yang berko
“Kau sudah memutuskan, Smith?” tanya Vincent, matanya menatap lekat, seolah mencoba menggali hingga ke dasar hati putranya.Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tersembunyi di balik nada itu, seperti ombak yang mengancam di tengah lautan yang tampak damai.Smith menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Ya. Aku sudah memutuskan. Aku akan memilih Laura. Laura juga sudah memaafkanku,” jawabnya, suaranya tegas, namun ada kelembutan yang samar, seperti daun yang jatuh perlahan dari pohon di musim gugur.Vincent mengamati wajah putranya, membaca setiap lekuk ketegasan yang tergambar di sana.Sorot matanya menyelidik, mencoba memastikan bahwa keputusan itu bukan sekadar kata-kata kosong.“Aku tidak ingin kau menyakitinya lagi, Smith. Sudah cukup apa yang terjadi di awal pernikahan kalian,” ujar Vincent, suaranya terdengar seperti doa yang dipanjatkan dalam keheningan malam.Smith mengangguk, menatap pria yang selalu menjadi pilar teguh dalam hidupnya. Ada sesuatu di mata Vincent yang mem