Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan suasana di lobi Allera Hotel terasa lebih hidup dari biasanya.Langit di luar bersih tanpa cela, memancarkan sinar matahari yang hangat ke kaca-kaca tinggi, menciptakan kilauan keemasan di lantai marmer yang mengilap.Deretan staf hotel berdiri dengan rapi, masing-masing mengenakan senyum profesional yang memancarkan rasa hormat dan antusiasme.Di tengah mereka, Smith, Vincent, Louis, dan Laura tampak menonjol, auranya memancarkan wibawa yang sulit untuk diabaikan.Mobil hitam mewah berhenti dengan elegan di depan pintu utama, bannya seakan menyentuh lantai dengan kehalusan seperti dalam adegan film. Ketika pintu mobil terbuka, seorang pria berwibawa dengan jas abu-abu rapi melangkah keluar.Walikota Alexander, sosok yang sudah dikenal karena karisma dan prestasinya, tampak seperti lambang kemapanan itu sendiri. Aura kehadirannya begitu kuat, hingga seluruh ruangan seolah berhenti untuk sesaat.“Tuan Alexander!” seru Vincent dengan penuh ke
"Siapa juga yang akan menceraikannya, Dad!" ucap Smith, suaranya menggema dingin seperti angin malam yang menyelusup melalui celah pintu yang terbuka.Vincent menaikkan alis, menatap putranya dengan sorot mata yang penuh arti. "Bagus, jika kau tidak memiliki niat seperti itu," ucapnya datar sebelum berbalik, langkahnya bergema di lantai kayu ruang kerja Smith yang sunyi.Smith mengusap wajahnya perlahan, jari-jarinya terasa berat seakan menahan beban dunia. Napas panjang meluncur dari bibirnya, menghembuskan sisa-sisa harapan yang tercecer."Apakah aku harus menghamili perempuan itu, supaya dia tidak memiliki alasan untuk berpisah denganku?" gumamnya, nyaris seperti bisikan rahasia kepada dirinya sendiri. Pipinya menggembung sesaat, namun kekosongan di matanya tak mampu disembunyikan.Dia tahu, Stella sedang menunggunya. Wajahnya yang seperti boneka porselen itu selalu tampak tegar, namun di balik topengnya, Smith dapat melihat api yang mengintai, api yang siap membakar apa pun demi e
“No!” sergah Smith, suaranya menggema di ruangan, seperti palu godam yang memukul dinding kepercayaan di antara mereka. Ia menggelengkan kepala dengan tegas, menolak mentah-mentah dugaan Laura.Di hadapannya, Laura berdiri terpaku. Kekecewaan merebak seperti luka yang terbuka, menyesakkan dadanya. Tangannya gemetar, namun ia mengepalkannya erat, mencoba menahan badai emosi yang mengancam untuk meluap.Matanya yang biasanya penuh dengan ketegasan kini meredup, seolah seluruh cahayanya direnggut paksa.“Baiklah,” ucapnya pelan, suaranya serak, seperti daun kering yang jatuh di musim gugur. “Kau memang tidak pernah percaya dengan apa yang kukatakan.” Jemarinya yang dingin menyambar dokumen dari meja, dan gerakannya terasa seperti pisau yang mengiris jarak di antara mereka.“Aku memang salah jika memintamu menyelidiki semuanya,” tambahnya, nada pahit menggantung di udara seperti bayang-bayang senja yang memanjang.Tanpa menunggu balasan, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan ruang
“Daddy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Soal pekerjaan,” ucap Laura, suaranya terdengar mantap meskipun ada nada lelah yang terselip.Ia memutuskan menelepon Vincent begitu tiba di ruang kerjanya, tidak ingin menunda-nunda lagi.“Datanglah. Aku ada di lantai tiga puluh, Laura,” jawab Vincent dengan nada ramah namun tegas.Laura menutup panggilan tersebut. Dengan langkah tergesa, ia menuju lift. Pikirannya terus dipenuhi kekesalan terhadap Smith.Karena suaminya enggan membantunya, ia tahu Vincent adalah satu-satunya harapannya sekarang. Lift berdenting, pintunya terbuka perlahan, dan Laura melangkah keluar menuju ruang kerja Vincent.Tok tok.“Masuk!” suara berat Vincent terdengar dari balik pintu.Laura membuka pintu dengan hati-hati, lalu masuk ke ruangan luas yang dihiasi dinding kaca, memberikan pemandangan cakrawala kota yang menakjubkan.Udara di dalam ruangan terasa tenang, tetapi juga membawa wibawa yang tak terbantahkan.Vincent, dengan rambut peraknya yang tertata rap
“Di mana ini?” bisik Laura, suaranya serak dan nyaris tenggelam dalam keheningan yang dingin. Kepalanya terasa berat, seolah dunia berputar dalam kabut yang tebal.Matanya perlahan terbuka, menangkap bayangan remang sebuah ruangan yang gelap dan lembab. Aroma apak dan besi yang menguar membuat perutnya mual.Ruangan itu tak seperti apa pun yang pernah ia lihat—dingin, kosong, dengan dinding batu yang basah oleh tetesan air.Di atas kepalanya, sebuah lampu redup berayun perlahan, menciptakan bayangan bergerak yang menari-nari di dinding seperti hantu yang mengintai.Laura mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku. Tangannya terikat erat dengan tali tambang kasar di belakang kursi yang keras dan dingin.Tiba-tiba, suara berat dan serak memecah keheningan. “Apa yang kau bicarakan dengan Vincent, Laura?”Laura menoleh perlahan, kepalanya masih terasa berat.Sosok pria bertopeng berdiri di hadapannya, siluetnya tinggi dan mengintimidasi, dengan tangan yang kokoh menggenggam sebilah pis
Smith tiba di rumah tepat pukul delapan malam, wajahnya mengeras seperti granit, sorot matanya menyala penuh kemarahan.Ia melangkah lebar dengan hentakan yang menggema di lantai, setiap langkahnya seolah memancarkan bara yang siap membakar. Bibirnya menggeram saat mendapati kamar Laura gelap tanpa tanda-tanda kehadiran.“Kurang ajar! Laura pulang tanpa pamit terlebih dulu padaku. Semakin hari semakin melunjak!” desisnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan ancaman yang menggantung di udara.Tangannya yang besar dan kokoh memutar kenop pintu dengan kasar, tapi tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu. Mata Smith menyapu ruangan dengan tajam, hanya kegelapan dan keheningan yang menyambutnya.“Pergi ke mana wanita itu? Kenapa dia tidak ada di kamarnya?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, sementara tangan lainnya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.Jarinya bergerak cepat, menekan nomor Laura, namun suara dering yang terus berlanjut tanpa jawaban semakin menambah bara dalam d
Laura membuka matanya perlahan, kelopak yang terasa berat seperti menanggung beban seluruh dunia.Ruangan itu masih gelap, lembap, dan menyesakkan—seolah seluruh udara dipenuhi aroma ketakutan. Napasnya terdengar pelan, hampir seperti desis ular yang terjebak.Dari kegelapan, suara dingin memecah kesunyian. “Kau ingin menggagalkan rencanaku, huh?”Laura menoleh, gerakannya lamban, tubuhnya yang lemah nyaris menyerah. Ia menyipitkan mata, mencoba menangkap sosok di hadapannya.Bibirnya membentuk senyum tipis yang penuh sindiran meskipun rasa sakit menyelimuti tubuhnya.“Andy?” gumamnya dengan suara yang serak dan lemah, namun tak kehilangan tajamnya. “Ternyata kau, yang telah menculikku.”Andy melangkah maju, langkah kakinya menggema seperti detik-detik bom waktu. Ia menekan bahu Laura dengan kuat, menanamkan rasa sakit yang membuat napas Laura tersengal.“Katakan padaku,” ucapnya dengan suara yang menusuk seperti pisau, “Apa yang sudah kau katakan pada Vincent?”Laura terbatuk-batuk,
Dor!Suara tembakan menghentak udara, bergema di lorong-lorong gelap tempat terkutuk itu. Andy menoleh cepat ke belakang, matanya membelalak dengan campuran panik dan kebencian.“Jangan bergerak! Kalian telah dikepung!” Suara lantang seorang polisi menggema, memantul seperti gema dari keadilan yang datang terlambat.“Argh! Sial!” desis Andy, giginya bergemeretak dalam frustrasi.Ia melesat ke arah belakang, menuju ruang bawah tanah tersembunyi yang dianggapnya sebagai labirin pelarian sempurna—sebuah ruang gelap yang, dalam pikirannya yang penuh tipu daya, tak akan pernah ditemukan siapa pun.Pria bertopeng dan seorang lainnya mengikuti Andy dengan tergesa, bayangan mereka melesat seperti hantu yang mengejar kelam.Laura, yang duduk terikat dan nyaris tanpa tenaga, menarik napas lega saat kilau seragam polisi memenuhi ruang itu. Cahaya senter mereka terasa seperti mercusuar yang menyinari malam tergelap hidupnya.Namun, matanya yang membengkak dan lelah menyipit ketika melihat sosok b
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Laura duduk seorang diri di bangku rooftop Moza Hotel’s, menikmati udara segar sembari menyantap makan siangnya yang sederhana. Pandangannya melayang ke arah cakrawala, berharap ketenangan yang ia cari bisa sedikit ia dapatkan di sela kesibukannya.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Miranda—ibunya—terpampang di layar. Laura menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan itu.“Ada apa, Ibu?” tanyanya, suaranya datar namun sopan.“Kau di mana, Laura?” suara Miranda terdengar tegas di seberang sana, penuh dengan kekhawatiran yang tertahan.Laura menggigit bibir bawahnya sejenak. “Aku sedang bekerja, Ibu. Tapi, bukan di Allera Hotel’s lagi. Aku sudah mengundurkan diri di sana,” jawabnya tanpa banyak penjelasan.Ada keheningan singkat di seberang sebelum suara Miranda meninggi. “Apa? Kenapa, Laura? Apa yang membuatmu mengundurkan diri di sana?”Laura kembali menghela napas, kali ini lebih dalam. “Ini pilihanku, Ibu. Yang menjalankan hidup ini j
Satu minggu kemudian…Di sebuah kota kecil dekat pantai, Laura duduk di kursi tua di dalam kamar kost-annya yang sederhana.Kost-an itu hanya cukup untuk dirinya sendiri, dengan sebuah kasur kecil di sudut ruangan dan lemari pakaian mungil.Hari-harinya di tempat ini terasa sunyi, tetapi juga memberikan ketenangan yang tidak ia dapatkan selama tinggal bersama Smith.Dering ponsel mengagetkan Laura dari lamunannya. Ia dengan cepat meraih ponsel itu yang tergeletak di atas meja kecil.Ia melihat nomor tak dikenal tertera di layar. Dengan hati-hati, ia menggeser layar untuk menjawab.“Selamat pagi, dengan Nona Laura?” terdengar suara seorang wanita dari seberang sana, suaranya ramah namun formal.“Ya, benar. Saya Laura,” jawab Laura sambil mengerutkan kening, merasa sedikit penasaran.“Baik. Selamat, Nona Laura. Anda diterima sebagai salah satu resepsionis di hotel kami. Apakah Anda bersedia untuk datang hari ini?”Mata Laura langsung berbinar mendengar kabar itu. Ia hampir tidak percaya
Smith membuka pintu ruang kerja Louis dengan keras hingga suara deritnya memecah keheningan.Buku-buku di rak bergetar tipis, dan Louis yang tengah sibuk di balik meja kerjanya hanya melirik sekilas, seakan kedatangan Smith sudah ia duga."Sebenarnya kau tahu di mana Laura berada, kan?" suara Smith penuh emosi, nyaris seperti tuduhan yang sulit terbantahkan. Wajahnya tampak lelah, garis-garis ketegangan jelas terukir di dahi dan di sekitar matanya.Louis mendongak perlahan. Ia tak langsung menjawab, melainkan menarik napas panjang dan menyungginkan senyum tipis di bibirnya. Ekspresinya datar, nyaris santai, namun ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak."Untuk apa aku menyembunyikan Laura, huh?" ujar Louis sambil menyandarkan punggungnya di sofa empuk di ruangan itu."Toh, kau akan mengetahuinya jika aku benar-benar menyembunyikan dia darimu," lanjutnya, suaranya terdengar ringan tetapi sarkastik.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia masih berdiri di tengah ruangan se
Smith menghentikan mobilnya dengan kasar di area parkir basement apartemen yang diberikan Miranda.Ia keluar dengan cepat, langkahnya penuh kemarahan dan kegelisahan. Napasnya berat, tapi matanya penuh determinasi. Ia tak akan berhenti sampai menemukan Laura.Setelah memasuki lift, Smith berdiri dengan tangan mengepal. Matanya menatap angka-angka di panel lift yang perlahan naik. Ia bergumam pelan, suaranya rendah namun penuh emosi."Aku yakin kau belum jauh, Laura. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja dariku. Kau belum mendengar penjelasanku, tapi sudah pergi begitu saja. Hanya karena kau gagal mengandung anakku!"Kata-kata itu terasa seperti sebuah pelampiasan. Jiwanya terasa terguncang sejak Laura pergi.Baru sehari tanpa istrinya, pikirannya sudah kacau balau. Hatinya seperti tertahan di jurang yang gelap.Sesampainya di lantai apartemen, Smith melangkah cepat menuju pintu dengan alamat yang diberikan Miranda.Ia mengeluarkan kertas kecil dari sakunya dan mengetikkan kata
“Tuan, ada surat untuk Tuan,” ujar pelayan itu dengan nada hormat sambil menyerahkan amplop tersebut.Smith baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak lelah dan penuh emosi yang belum reda.Namun, langkahnya terhenti ketika salah seorang pelayan menghampirinya dengan cepat, membawa sebuah amplop cokelat di tangan.Smith mengambil amplop itu tanpa banyak bicara, tetapi matanya menyipit penuh curiga. “Di mana Laura? Apa dia sudah kembali?” tanyanya sembari menatap pelayan itu dengan tajam.Pelayan tersebut menundukkan kepalanya sedikit, terlihat ragu sebelum menjawab. “Tidak ada, Tuan. Sejak pagi tadi, Nona Laura tidak kembali.”Smith memijat batang hidungnya, menghela napas berat. Ada perasaan gelisah yang mulai menjalar dalam hatinya.“Bagaimana dengan barang-barang miliknya? Apakah dia membawa semuanya?” tanyanya lagi, suaranya lebih pelan namun tetap terdengar tegas.Pelayan itu menggeleng. “Masih ada, Tuan. Sepertinya Nona Laura tidak membawa barang-barang
“Di mana Laura?” tanya Smith langsung, nadanya tajam, meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat tenang.Smith menghampiri Diana, wajahnya tampak gelisah.Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan ketika ia teringat bahwa Laura datang lebih dulu ke kantor pagi ini, dengan alasan ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Namun, hingga kini, Laura belum juga menampakkan dirinya.Diana menghentikan pekerjaannya sejenak, berdiri tegak dan menatap Smith.“Laura memang datang lebih awal, setengah jam yang lalu. Tapi, sampai saat ini dia belum juga kembali, Tuan,” jawabnya singkat.Smith mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk tipis sebelum berbalik dan melangkah dengan tergesa menuju ruang kerjanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus bertanya-tanya, mencoba mencari alasan di balik ketidakhadiran Laura.Sementara itu, Diana menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak pernah kusangka dan tidak pernah kuduga. Rupanya Laura d
Laura mengetuk pintu ruang kerja Vincent dengan pelan. Suara ketukan itu memecah keheningan yang dipenuhi oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Di balik pintu, Vincent sedang duduk di balik meja kerjanya, memeriksa sejumlah dokumen dengan kaca mata bacanya.“Masuk,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangannya.Laura membuka pintu perlahan dan melangkah masuk, menutupnya kembali dengan hati-hati.Ia berdiri beberapa saat di depan meja kerja Vincent, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Daddy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Vincent mengangkat kepalanya, memandang menantunya itu dengan tatapan tajam, penuh perhatian.Ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja dengan rapi. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada yang menyiratkan ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Laura menggigit bibir bawahnya, merasa gugup. Ia memainkan jari-jarinya dengan gelisah, matanya melirik Vincent yang tetap me
Smith mengangkat cangkir kopinya dan melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Ia menghela napas, lalu meletakkan cangkir itu di meja."Aku harus bertemu dengan klienku pukul sepuluh nanti," ucapnya sembari berdiri dari kursinya.Laura mengangkat wajahnya dari piring sarapannya. “Hati-hati di jalan,” balasnya singkat.Smith hanya mengangguk sebelum meraih tasnya dan pergi meninggalkan Laura sendirian di meja makan.Laura memandang piring di depannya, tapi perutnya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ia memegangi perutnya yang mulai terasa bergejolak.“Ada apa denganku? Kenapa rasanya tidak enak seperti ini,” gumamnya pelan.Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi. Tak kuasa, ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju wastafel di dapur.Tubuhnya terguncang saat ia memuntahkan isi perutnya. Rasa pahit di tenggorokannya membuatnya semakin tak karuan.“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku mual?” tanyanya pada dirinya
“Kenapa kau pergi begitu saja, Laura?” tanya Smith dengan suara yang berat, penuh tekanan, ketika ia menghampiri Laura.Wanita itu duduk di meja makan, tampak tenang di luar tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Ia tengah menyendokkan pudding ke mulutnya, sebuah kenyamanan kecil yang ia cicipi di tengah kekacauan.Pudding buatan pelayan rumah itu terasa manis, tetapi tidak cukup untuk melunakkan kepahitan di hatinya.Smith baru tiba satu jam setelah Laura meninggalkan restoran. Selama perjalanan, ia mencoba menyusun alasan, kata-kata, tetapi semuanya terasa kosong ketika berhadapan langsung dengan istrinya.Laura, dengan sikap dinginnya, memilih pulang setelah melihat Stella dengan begitu santainya duduk di sisi Smith.“Kau pikir saja sendiri kenapa aku pergi begitu saja. Apa aku harus menjelaskan lagi?” ucap Laura, suaranya datar, nyaris tak beremosi, tetapi menyimpan ketegasan yang memukul.Ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari pudding yang kini hampir habis.Smith mengge