Dor!Suara tembakan menghentak udara, bergema di lorong-lorong gelap tempat terkutuk itu. Andy menoleh cepat ke belakang, matanya membelalak dengan campuran panik dan kebencian.“Jangan bergerak! Kalian telah dikepung!” Suara lantang seorang polisi menggema, memantul seperti gema dari keadilan yang datang terlambat.“Argh! Sial!” desis Andy, giginya bergemeretak dalam frustrasi.Ia melesat ke arah belakang, menuju ruang bawah tanah tersembunyi yang dianggapnya sebagai labirin pelarian sempurna—sebuah ruang gelap yang, dalam pikirannya yang penuh tipu daya, tak akan pernah ditemukan siapa pun.Pria bertopeng dan seorang lainnya mengikuti Andy dengan tergesa, bayangan mereka melesat seperti hantu yang mengejar kelam.Laura, yang duduk terikat dan nyaris tanpa tenaga, menarik napas lega saat kilau seragam polisi memenuhi ruang itu. Cahaya senter mereka terasa seperti mercusuar yang menyinari malam tergelap hidupnya.Namun, matanya yang membengkak dan lelah menyipit ketika melihat sosok b
"Sudah menganggap ‘istri’ sekarang, huh?" ledek Louis sembari menyunggingkan senyum tipis kepada kakak kembarnya itu. Senyumnya seperti bayangan bulan di permukaan air, menawan namun penuh ejekan.Tangan Smith mengepal erat. Jari-jarinya gemetar seperti ranting kecil yang menahan angin badai, menahan amarah yang bergulung-gulung di dadanya. Matanya menyorotkan kilatan tajam, seperti dua belati siap menusuk."Sejak pertama kali kami menikah pun dia sudah menjadi istriku, sialan!" desis Smith, suaranya bergetar dengan panas yang membakar udara di antara mereka.Louis terkekeh pelan. Tawa itu terdengar seperti bunyi retakan es di malam musim dingin, dingin dan memecah kesunyian.Tatapannya menelusuri wajah Smith, seperti seorang pemburu yang mengamati buruannya yang sedang terluka."Well, Smith. Laura akan menceraikanmu begitu dia tahu jika benih yang kau tanam itu tidak tumbuh," ucapnya, nadanya selembut angin yang menusuk, santai namun penuh racun."Kalaupun Laura hamil, aku akan berta
“Andy dan Marissa sudah menjadi buronan. Mereka yang telah menculik Laura di kantor kita,” ucap Vincent, suaranya berat seperti gemuruh jauh di dalam lembah, memberitahu Smith.Lelaki itu memijat batang hidungnya, mencoba meredakan denyut di kepalanya yang terasa seperti palu godam menghantam pelipisnya. “Jadi benar, Andy telah bermain licik di kantor kita?” tanyanya, nada suaranya serupa bisikan tajam yang menusuk udara.Vincent mengangguk kecil sembari menatap Laura yang terbaring tak sadarkan diri di sofa, wajahnya pucat seperti bulan yang diselimuti kabut malam.“Ya. Sebenarnya aku sudah curiga padanya sejak dulu,” ucapnya dengan napas berat yang tertahan, seolah setiap kata adalah batu yang harus diangkatnya. “Tapi, aku selalu gagal membuktikan semuanya.”“Kenapa?” tanya Smith, suaranya dingin seperti embun beku yang menggantung di dedaunan pada pagi musim dingin.Vincent menoleh pelan, matanya yang lelah menatap sang anak dengan sorot mata yang membawa beban bertahun-tahun.“Per
“Apa itu benar, Dad?” Mata Smith langsung membola mendengar pertanyaan dari Laura tadi. Suasana di ruangan itu terasa seakan udara berhenti beredar, membeku dalam ketegangan yang menggantung.“Itu, yang Andy katakan padamu?” tanya Smith kepada Laura, suaranya terdengar seperti guntur yang menahan ledakan. Tatapannya tajam menembus ruang, mencari kepastian.Perempuan itu mengangguk kecil, gerakannya seperti daun yang bergoyang lembut di tiupan angin. “Meskipun aku tidak percaya sepenuhnya,” ucapnya pelan, suaranya seperti bisikan yang nyaris tenggelam di tengah gemuruh ketegangan.Smith menghela napas kasar, napasnya terdengar seperti bara api yang ditiup angin, panas dan penuh emosi yang ditahan. “Jawab pertanyaan Laura, Dad! Aku pun ingin tahu, apa maksudmu melakukan itu padanya!” desaknya, nada suaranya menggema penuh tekanan.Vincent lantas menggelengkan kepalanya, matanya memancarkan sorot ketidakpercayaan. “Hei. Untuk apa aku melakukan hal kotor seperti itu? Jika aku mau, aku aka
“Sebaiknya pulang saja, Smith. Tidak perlu menemaniku di sini,” ucap Laura dengan suara yang terdengar lemah, namun tetap tegas.Matanya menatap ke arah jendela, menembus gelapnya malam yang diselimuti cahaya rembulan yang pucat.“Lalu, kau ingin ditemani oleh Louis jika aku pulang?” balas Smith, nada suaranya mengandung jejak cemburu yang tidak ia sembunyikan.Laura menghela napas panjang, seolah ingin mengusir rasa lelah yang menyelimutinya. “Entah kenapa kau selalu membawa nama Louis dalam obrolan kita. Bahkan aku tidak kepikiran ingin ditemani olehnya. Aku hanya ingin sendiri,” ucapnya pelan, nadanya seperti embusan angin dingin yang menerpa daun-daun kering.Smith menatap Laura dengan pandangan datar, namun sorot matanya menyimpan gelombang emosi yang bergejolak.“Aku akan menemanimu sampai kau sembuh. Tidak ada penolakan, karena aku membencinya,” ucapnya tegas, seperti gunung yang tak tergoyahkan oleh badai.“Untuk apa? Orang-orang akan curiga jika kau ada di sini, Smith,” Laura
“Kondisi Anda sudah membaik dan hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Laura menghela napas lega mendengar penuturan dokter yang selama dua hari terakhir ini menjadi pelindung sekaligus pengawas ketat atas kesehatannya.Mata cokelatnya yang sempat meredup kini mulai berkilau kembali, memantulkan harapan yang perlahan tumbuh dari rasa lega.“Terima kasih, Dokter,” ucapnya dengan nada lembut, menyertai senyum kecil yang mengukir kehangatan di wajahnya.Suaranya terdengar seperti bisikan angin pagi yang menyejukkan, namun masih menyisakan sedikit jejak kepenatan.Laura merapikan barang-barangnya, memandang ruangan yang telah menjadi saksi bisu atas kegundahan dan doanya selama ini.Sudah cukup, pikirnya. Rumah sakit, dengan dinginnya tembok putih dan aroma khas antiseptik, bukanlah tempat yang ingin ia tinggali lebih lama.Langkahnya terhenti sejenak ketika suara bariton yang familiar menyapa dari ambang pintu. “Sudah diperbolehkan pulang, hm?”Laura tersentak kecil, menoleh dengan sediki
“Apa yang kau lakukan, Smith?” Mata Stella menatap tajam ke arah Smith, tatapannya seperti mata elang yang menemukan mangsanya, tajam dan menusuk, saat ia melihat Laura duduk di samping pria itu.Smith melirik sebentar ke arah Laura, yang tampak canggung namun berusaha tetap tenang. Tatapannya kembali beralih kepada Stella, wajahnya tetap datar namun ada guratan kelelahan di sana.Mereka bertemu di sebuah café, tempat Stella meminta bertemu setelah mengetahui keberadaannya.“Aku baru saja menjemput Laura dari rumah sakit. Dia sedang sakit, Stella,” ucap Smith, suaranya datar namun cukup jelas untuk menunjukkan kejujuran.Stella tersenyum, senyum yang tidak sampai ke matanya, sembari melipat tangan di dadanya. Gerakannya penuh ironi, seperti aktris yang memainkan peran dalam drama yang terlalu sering ia lakoni.“Sudah mulai perhatian padanya, huh?” ucapnya, nada suaranya penuh sindiran yang mengiris udara.Smith memijat keningnya, gerakan kecil yang menunjukkan keletihan yang tak ia co
“Ya. Memang itu yang kuinginkan. Pernikahan kalian harus segera berakhir sebelum kesabaranku habis,” ucap Stella, suaranya dingin bak angin malam yang menggigit. Matanya tajam, menelusuri wajah Laura seolah menelanjangi setiap sudut pikirannya.Laura mengangguk pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang lebih menyerupai bayangan bulan sabit di tengah kabut kelam. “Jangan khawatir, Stella. Smith akan tetap menjadi milikmu.”Tangan Smith terkepal erat, urat-urat di lengannya menegang seolah mencoba menahan badai yang menggulung dalam dadanya. Kata-kata Laura menusuknya seperti sembilu berkarat yang menghunjam tanpa ampun.Dalam hening yang penuh gemuruh, pikirannya berteriak: Apakah wanita itu benar-benar tidak berniat mencintaiku? Namun, ia segera mengusir pikirannya sendiri dengan geram. Ck! Untuk apa juga mengharapkan cinta dari Laura?“Aku akan menunggunya, Laura. Jangan mengingkari janjimu, atau kau akan tahu akibatnya!” Stella mendesis seperti ular yang siap melompat, n
"Lakukan apa pun yang terbaik bagi istri dan anak-anak saya, Dok. Lagi pula, istri saya sudah sangat kesakitan, saya tidak tega melihatnya."Smith berbicara seraya menatap dokter kandungan tersebut dengan seksama. Dokter pun mengangguk, siap melaksanakan prosedur operasi caesar.Namun, sebelum nya Smith mesti menandatangani dulu surat persetujuan karena prosedur ini bisa dibilang sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan.Setelah selesai semua persyaratan, Smith langsung menemui Laura yang sedang kesakitan di ruang bersalin. Smith mengabarkan kalau Laura akan dioperasi demi keselamatan buah hati mereka."Gak papa, kan, kalau operasi? Kondisi kamu tidak memungkinkan, Sayang. Plasentanya menghalangi jalan lahir dan itu akan membahayakan anak-anak kita. Begitu kata dokter," tanya Smith seraya menjelaskan.Laura sudah pasrah, apa pun tindakan yang akan diambil terhadapnya, Laura tidak akan mencegah apalagi melawan. Melahirkan secara normal maupun caesar baginya sama saja, sama-sama memerl
Setelah mendengar kabar bahwa Laura kemungkinan akan melahirkan dalam waktu dua minggu ke depan, Smith mempersiapkan segalanya salah satunya yakni dengan mengambil cuti dari kantornya.Meskipun dia adalah seorang CEO, pemilik perusahaan yang tentu memiliki kuasa, Smith tetap bersikap profesional dengan mengajukan cuti secara resmi. Untuk sementara, posisi dan pekerjaannya akan ditangani oleh Louis, adiknya."Smith, sebenarnya tanpa ada yang menggantikanmu pun sepertinya bukan masalah besar, pekerjaan CEO, kan, tinggal ongkang-ongkang kaki saja," ujar Louis membuat sang kakak sontak mendelikkan matanya."Jadi, begitu yang kamu pikirkan selama ini, aku hanya ongkang-ongkang kaki saja?" Smith menatap Louis dengan seksama."Hehehe, aku hanya bercanda, Smith. Jangan melotot begitu lah, serius amat!" sahut Louis menggaruk kepalanya yang tak gatal."Lihat saja, kamu nanti akan merasakan apa yang aku rasakan. Kamu akan sangat sibuk bahkan melebihi kesibukanku dulu. Kamu akan kewalahan dan men
Smith sangat sigap menuntun Laura yang merasakan sakit seperti kram di perutnya. Dengan tertatih, Laura berjalan menuju mobil yang sudah siap di depan."Jangan-jangan kamu kecapean, Sayang," tebak Smith. "Kalau melahirkan, kan, waktunya belum genap."Smith terus berbicara dengan perasaa resah dan gelisah. Sementara itu, Laura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aktifitas itu cukup mengurangi rasa sakitnya.Saat ini, Laura dan Smith sudah berada di perjalanan ke rumah sakit demi memeriksa keadaan Laura yang sempat merasakan sakit di perutnya.Namun, baru juga setengah perjalanan, sakit yang dirasakan Laura sudah reda bahkan menghilang. Laura yang belum memiliki pengalaman sebelumnya merasa heran, dia ingin mengatakan hal itu pada suaminya tapi merasa enggan."Sayang, apa kamu baik-baik saja? Sakitnya masih terasa?" tanya Smith mengelus perut istrinya. Laura sedikit meringis. "Sepertinya perutku sudah lebih baik, Sayang. Aku juga gak paham kenapa. Apa kita pu
Semenjak makan malam di luar itu, Laura sudah tidak pernah lagi bepergia ke luar rumah demi menjaga kehamilannya yang sangat rentan.Namun, Smith tidak mau membuat Laura jadi jenuh berada di rumah. Dia selalu mengadakan kegiatan apa pun supaya Laura tetap merasa senang berada di rumah.Hari ini, Smith sengaja menyuruh para asisten rumah tangga di rumahnya untuk membersihkan satu ruangan yang lama tidak terpakai. Ruangan itu cukup luas, tapi Smith belum pernah menggunakannya sehingga hanya menjadi gudang barang tak terpakai."Kamu mau menggunakannya jadi ruangan apa, Sayang? Ruang kerja baru kah?" tanya Laura pada suaminya.Smith mengulum senyum, dia masih ingin merahasiakan apa yang akan dibuatnya sekarang."Kok malah senyum-senyum, sih? Nyebelih banget ih." Laura mencubit lengan suaminya.Tak lama kemudian, suara klakson yang cukup keras terdengar dari luar. Smith menarik tangan Laura untuk membawanya ke luar sambil melihat apa yang telah dia beli.Saat keluar dari rumah, Laura langs
Hari beganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa satu bulan lagi Laura diperkirakan akan melahirkan anak pertama sekaligus kedua dia dan Smith.Semakin tua kehamilannya, perut Laura semakin membesar dan hal itu membuat Laura jarang bergerak karena berat. Namun, Laura tidak terbiasa jika harus duduk saja, dia meminta Smith untuk mengajaknya jalan-jalan.Setiap pagi, Smith meluangkan waktu untuk menemani Laura jalan-jalan di sekitar area perumahan. Hal tersebut dilakukan supaya persalinan Laura berjalan dengan lancar."Kamu capek?" tanya Smith ketika Laura berhenti sejenak."Tidak, hanya merasa sedikit sakit di pinggang. Tapi tak apa, kata dokter itu hal yang biasa," jawab Laura."Jangan berlagak baik-baik saja, mau sekuat apa pun seorang ibu hamil, sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Banyak rasa sakit dan derita yang dipikulnya," ujar Smith.Smith lalu mengajak Laura untuk istirahat di salah satu kursi yang ada di pinggir jalan, keduanya minum demi melepas dahaga dan mengganti c
Ucapan Stella yang mengatakan bahwa Smith juga akan masuk penjara dan dirinya akan melahirkan tanpa kehadiran Smith masih terngiang di pikiran Laura. Dia takut kalau ucapan itu akan menjadi kenyataan.Ketika sampai di dalam mobil, Laura langsung mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya. Laura sangat cemas karena tahu kalau Stella adalah orang yang licik dan bisa melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya sekalipun Smith tidak memiliki salah."Sayang, lupakan saja, apa yang dia katakan hanya bentuk ungkapan dari segala kekalahannya. Jangan khawatir, aku akan selalu berada di sisimu. Do'akan aku selalu," ucap Smith dengan tegas."Tentu saja, tapi bagaimana kalau Stella nekad? Zaman sekarang, penjara bukan menjadi tempat paling aman dari kejahatan. "Justru dari dalam sana banyak orang yang bisa bebas melakukan kejahatan jika mereka memiliki uang dan kuasa," tutur Laura.Dia mengutarakan segala kemungkinan yang ada di pikirannya. Hormon kehamilan membuat Laura jadi mudah sekali b
Tok tok tok!Palu diketuk membuat Juan menunduk dengan air mata yang menetes di pipinya. Juan merasa sedih tapi juga sebenarnya lega karena hukumannya tidak terlalu berat.Perasaan itu berbanding terbalik dirasakan oleh Stella yang sebentar lagi mendengar dakwaannya. Stella berpikir kalau Juan saja dijatuhi hukuman selama 5 tahun, bagaimana dengan dirinya yang merupakan otak serta orang yang selama ini tak hentinya melakukan kejahatan kepada Smith."Mana kipas portable milikku? Aku gerah," tanya Stella seraya mengibas-kibaskan tangan ke wajahnya.Belum juga pengacaranya memberikannya, Stella malah sudah dipanggil oleh hakim untuk mengganti Juan duduk di kursi pesakitan. Stella mengambuskan napas berat, dia melangkah maju dengan percaya diri meskipun sebenarnya hatinya sangat takut saat ini."Sayang, aku merasa deg-degan," ucap Smith memegang tangan Laura.Padahal Laura juga sangat gugup sekarang bahkan tangannya mengeluarkan keringat dingin saking gugupnya. Namun, keduanya tetap saling
Tiba masanya pada moment yang ditunggu-tunggu yakni persidangan Stella setelah Smith, Vincent, dan Louis menlewati banyak sekali proses yang tak luput dari halangan dan rintangan.Pagi-pagi sekali, keluarga Smith sudah siap berangkat menuju ke pengadilan. Laura juga ikut, wanita itu hanya ingin menemani serta mendukung suaminya.Sesampainya di sana, Smith, Laura, Louis, dan Vincent yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam melenggang dengan percaya diri menuju ke ruang persidangan. Tak lama kemudian, datang teman-teman Vincent yang merupakan para pengacara untuk mendukung Smith. Mereka siap membela seandainya putusan hakim tak sesuai dengan harapan."Tenang, Smith, para hakim sudah tahu siapa kami dan pasti tidak akan berani macam-macam mengecoh putusan. Lagi pula, kami lihat lawanmu tidak seberapa, kamu pasti menang," ucap salah satu dari pengacara itu."Terima kasih sebelumnya, sungguh kehormatan bagi kami karena mendapat dukungan dari Anda semua. Semoga para hakim bisa seadil-a
Laura terkejut dengan ucapan Vincent barusan. Dia mengambil foto usang tersebut lalu mengamatinya dengan seksama. Vincent mengatakan bahwa dia dan Ferdy--ayah Laura adalah sahabat karib yang sangat dekat. Mereka bukan hanya teman bermain, tapi juga teman dalam membangun bisnis.Ferdy dan Vincent juga selalu merencanakan banyak hal dalam kehidupan mereka dan berjanji akan selalu bersama meski sudah berumah tangga. Jangan sampai membuat tali persahabatan mereka putus."Apa Ayah sungguh-sungguh dengan cerita itu?" tanya Laura. "Aku hanya khawatir kalau Ayah menceritakan cerita bohong demi mengobati luka hatiku," imbuhnya.Vincent tertawa mendengar celotehan Laura, tapi dia paham karena mungkin menantunya itu hanya merasa trauma. Jadi, Vincent harus memakluminya."Tentu saja tidak, Nak. Ayah dan ayahmu memang sedekat itu bahkan apa yang ayah miliki sekarang semuanya ada campur tangannya Ferdy saat dia masih hidup. Kami membangun banyak hal dalam dunia bisnis dan merencanakan perjodohan a