“Kondisi Anda sudah membaik dan hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Laura menghela napas lega mendengar penuturan dokter yang selama dua hari terakhir ini menjadi pelindung sekaligus pengawas ketat atas kesehatannya.Mata cokelatnya yang sempat meredup kini mulai berkilau kembali, memantulkan harapan yang perlahan tumbuh dari rasa lega.“Terima kasih, Dokter,” ucapnya dengan nada lembut, menyertai senyum kecil yang mengukir kehangatan di wajahnya.Suaranya terdengar seperti bisikan angin pagi yang menyejukkan, namun masih menyisakan sedikit jejak kepenatan.Laura merapikan barang-barangnya, memandang ruangan yang telah menjadi saksi bisu atas kegundahan dan doanya selama ini.Sudah cukup, pikirnya. Rumah sakit, dengan dinginnya tembok putih dan aroma khas antiseptik, bukanlah tempat yang ingin ia tinggali lebih lama.Langkahnya terhenti sejenak ketika suara bariton yang familiar menyapa dari ambang pintu. “Sudah diperbolehkan pulang, hm?”Laura tersentak kecil, menoleh dengan sediki
“Apa yang kau lakukan, Smith?” Mata Stella menatap tajam ke arah Smith, tatapannya seperti mata elang yang menemukan mangsanya, tajam dan menusuk, saat ia melihat Laura duduk di samping pria itu.Smith melirik sebentar ke arah Laura, yang tampak canggung namun berusaha tetap tenang. Tatapannya kembali beralih kepada Stella, wajahnya tetap datar namun ada guratan kelelahan di sana.Mereka bertemu di sebuah café, tempat Stella meminta bertemu setelah mengetahui keberadaannya.“Aku baru saja menjemput Laura dari rumah sakit. Dia sedang sakit, Stella,” ucap Smith, suaranya datar namun cukup jelas untuk menunjukkan kejujuran.Stella tersenyum, senyum yang tidak sampai ke matanya, sembari melipat tangan di dadanya. Gerakannya penuh ironi, seperti aktris yang memainkan peran dalam drama yang terlalu sering ia lakoni.“Sudah mulai perhatian padanya, huh?” ucapnya, nada suaranya penuh sindiran yang mengiris udara.Smith memijat keningnya, gerakan kecil yang menunjukkan keletihan yang tak ia co
“Ya. Memang itu yang kuinginkan. Pernikahan kalian harus segera berakhir sebelum kesabaranku habis,” ucap Stella, suaranya dingin bak angin malam yang menggigit. Matanya tajam, menelusuri wajah Laura seolah menelanjangi setiap sudut pikirannya.Laura mengangguk pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang lebih menyerupai bayangan bulan sabit di tengah kabut kelam. “Jangan khawatir, Stella. Smith akan tetap menjadi milikmu.”Tangan Smith terkepal erat, urat-urat di lengannya menegang seolah mencoba menahan badai yang menggulung dalam dadanya. Kata-kata Laura menusuknya seperti sembilu berkarat yang menghunjam tanpa ampun.Dalam hening yang penuh gemuruh, pikirannya berteriak: Apakah wanita itu benar-benar tidak berniat mencintaiku? Namun, ia segera mengusir pikirannya sendiri dengan geram. Ck! Untuk apa juga mengharapkan cinta dari Laura?“Aku akan menunggunya, Laura. Jangan mengingkari janjimu, atau kau akan tahu akibatnya!” Stella mendesis seperti ular yang siap melompat, n
Dua minggu telah berlalu sejak Laura diculik, namun bayang-bayang kejadian itu masih membekas dalam ingatannya seperti noda yang enggan terhapus.Marissa dan Andy, dua nama yang kini menjadi bisik-bisik di tengah kegelapan, terus bersembunyi.Tak ada yang tahu di mana mereka berada, tapi bayangan mereka tetap menjulang, mengintai dari balik kabut ketidakpastian.Status mereka sebagai buronan adalah pengingat tajam bahwa kebenaran belum menemukan jalannya.“Jangan melamun.”Suara itu, rendah namun tegas, menghantam kesunyian seperti tetes air di permukaan kaca. Laura tersentak, tubuhnya kaku sejenak sebelum ia menoleh. Di sana, berdiri Louis dengan senyuman tipis yang seolah menyimpan rahasia dunia.“Louis. Kau mengagetkanku saja,” ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desahan napasnya.Louis hanya tersenyum, senyuman yang penuh makna, bagai seseorang yang baru saja menyaksikan sebuah lelucon yang hanya ia pahami. “Apa yang sedang kau lihat? Sepertinya serius sekali.”Laura
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Langit di luar jendela berkilauan bagai hamparan beludru hitam bertabur berlian, seolah turut menjadi saksi sebuah babak baru yang akan segera dimulai.Smith menghampiri Laura, yang sedang menggoreskan warna merah menggoda di bibirnya dengan gerakan lambat, nyaris seperti ritual. Laura melirik pria itu di balik cermin, bola matanya berkilat seperti obsidian yang memantulkan nyala lilin.“Aku akan pergi makan malam. Jangan bertanya lagi,” ucap Laura dengan suara datar, tetapi ada keangkuhan tersembunyi di sana, seperti rintik hujan yang nyaris tak terdengar namun cukup membasahi.Smith melipat tangan di dadanya, sorot matanya menelusuri Laura dengan intensitas yang nyaris membakar. “Ya. Makan malam denganku.”Laura menoleh cepat ke arah suaminya, rambut hitamnya yang bergelombang bergerak bagaikan air terjun gelap yang jatuh dalam keheningan. “Huh? Apa kau sedang bergurau?” Laura terkekeh, sebuah tawa kecil yang lebih mirip cemoohan. “Jangan meng
“Kau pasti bercanda.” Laura menggelengkan kepalanya, tak percaya pada kata-kata Smith tentang Louis barusan.Matanya yang bening seperti danau musim semi kini dipenuhi keraguan, menggigil di bawah tatapan intens Smith yang membara seperti bara api di malam gelap.Smith menggeram, nada suaranya tajam seperti belati yang mengiris udara. “Tanyakan saja pada Louis jika memang kau tak percaya padaku, Laura.”“Baiklah. Aku akan bertanya padanya,” ucap Laura, suaranya datar seperti gemerisik angin di padang ilalang, tanpa sedikit pun menoleh pada Smith.Namun, hatinya telah memutuskan. Melihat sorot mata yang penuh kesungguhan itu, Laura tahu Smith tak sedang bermain-main. Kata-katanya adalah kebenaran yang keras, seperti batu karang di tengah hempasan ombak.‘Aku pikir Louis jauh lebih baik dari Smith. Rupanya aku salah,’ batin Laura, pikirannya melayang seperti daun gugur yang terombang-ambing di arus sungai. ‘Mereka berdua sama saja—dua pria yang saling berebut, menjebak aku dalam jaring-
“Pembohong!” desis Laura, suaranya bagai angin dingin yang menyusup ke dalam tulang. Matanya yang tajam seperti panah berapi menghujam wajah Smith tanpa ampun.Dia merasa ditipu—dibohongi mentah-mentah oleh pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Smith bilang, makan malam ini hanya untuk mereka berdua.Namun kini, Stella duduk di sana dengan anggun, di sisi Smith, seolah tempat itu memang selalu miliknya.“Stella? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Smith dengan ekspresi yang bergeser antara bingung dan terkejut, meskipun di mata Laura, itu tampak seperti sandiwara yang buruk.“What? Kau yang mengundangku kemari, Smith. Lagi pula, ini adalah hari Valentine. Sudah menjadi rutinitas kita merayakan dan makan malam bersama.”Stella menjawab dengan santai, suaranya seperti madu yang dibubuhkan pada luka terbuka—manis tetapi menyakitkan.Wanita itu melirik Laura, seolah sengaja menambahkan garam pada luka yang sudah perih. “Meskipun kali ini berbeda. Ada seseorang yang harus kau ikuti d
“Kenapa kau pergi begitu saja, Laura?” tanya Smith dengan suara yang berat, penuh tekanan, ketika ia menghampiri Laura.Wanita itu duduk di meja makan, tampak tenang di luar tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Ia tengah menyendokkan pudding ke mulutnya, sebuah kenyamanan kecil yang ia cicipi di tengah kekacauan.Pudding buatan pelayan rumah itu terasa manis, tetapi tidak cukup untuk melunakkan kepahitan di hatinya.Smith baru tiba satu jam setelah Laura meninggalkan restoran. Selama perjalanan, ia mencoba menyusun alasan, kata-kata, tetapi semuanya terasa kosong ketika berhadapan langsung dengan istrinya.Laura, dengan sikap dinginnya, memilih pulang setelah melihat Stella dengan begitu santainya duduk di sisi Smith.“Kau pikir saja sendiri kenapa aku pergi begitu saja. Apa aku harus menjelaskan lagi?” ucap Laura, suaranya datar, nyaris tak beremosi, tetapi menyimpan ketegasan yang memukul.Ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari pudding yang kini hampir habis.Smith mengge
"Smith?"Suara Vincent terdengar tenang namun mengandung nada kewaspadaan, menyelinap di antara tumpukan berkas dan dentingan samar jam meja yang menghitung waktu dengan kesabaran tanpa batas.Ia melangkah mendekati putranya, yang masih tenggelam dalam lautan dokumen dan angka-angka yang tak berujung.Smith mendongak, sorot matanya menangkap wajah sang ayah yang dipenuhi garis-garis kebijaksanaan."Ada apa, Dad?" tanyanya, suaranya terdengar datar, namun ada sedikit ketegangan yang bersembunyi di balik nada itu.Vincent menghela napas, lalu duduk di sofa dengan gerakan yang tertata, seakan tengah menimbang-nimbang setiap kata yang akan diucapkannya.Pandangannya tak lepas dari Smith, yang masih setia di balik meja kerjanya, seakan tembok kayu mahoni itu menjadi benteng terakhirnya."Kau mendapat kabar dari Louis? Sudah satu minggu ini dia menghilang dari kantor. Bahkan, dia sudah menyerahkan semua pekerjaannya pada Reiner."Alis Smith terangkat, tatapannya mencerminkan keterkejutan ya
“Kondisi kedua janinnya sangat sehat dan baik. Dan untuk jenis kelaminnya adalah … satu laki-laki dan satu lagi perempuan.”Kata-kata itu bergema di ruangan, berpendar di udara seperti denting kristal yang menari di angin. Laura menganga, matanya membulat penuh keterkejutan.Ia tahu hari ini mereka akan mengetahui jenis kelamin buah hati mereka, tetapi mendengar langsung kabar itu dari mulut sang dokter terasa seperti keajaiban yang melampaui impian.“Berpasangan,” gumam Smith, seolah membiarkan kata itu mengendap di relung hatinya.Ia menoleh ke arah Laura, senyum melengkung di bibirnya—senyum yang penuh dengan harapan, kebahagiaan, dan cinta yang begitu dalam.Dokter kandungan mereka mengangguk penuh keramahan. “Selalu dijaga kondisi kesehatannya ya, Nyonya, Tuan,” ucapnya lembut, mengingatkan dengan penuh perhatian.Smith menoleh kembali ke arah dokter, nada suaranya penuh antusiasme yang tak dapat disembunyikan.“Tentu saja, Dokter. Kami bahkan sudah tak sabar ingin segera melihat
“Kau sudah pulang, Smith?” Laura menghampiri Smith yang baru tiba di rumah.Langit senja menyisakan warna keemasan di cakrawala, menyusup lembut melalui jendela kaca apartemen mereka.Lampu-lampu kota mulai berkelip bagai bintang-bintang kecil yang jatuh ke bumi.Smith membuka pintu dengan langkah berat, kelelahan selepas hari panjang di kantor.Namun, semua rasa letih itu menguap begitu saja saat pandangannya jatuh pada sosok yang menunggunya di ambang ruang tamu.“Sambutan yang sungguh hangat dan meriah,” gumam Smith sembari menatap penuh takjub istrinya yang begitu cantik dan seksi.Laura berdiri di sana, siluetnya disaput cahaya remang. Pakaian yang ia kenakan—sehelai lingerie hitam yang menerawang—membingkai tubuhnya dengan sempurna, seakan mengundang dan menantang dalam satu tarikan napas.Rambutnya yang tergerai jatuh membingkai wajahnya, sementara bibirnya melengkung membentuk senyum yang hanya dimiliki seorang istri untuk suaminya.“Aku selalu menyambutmu dengan penuh kehanga
"Smith? Ke mana saja kau, Smith? Kenapa baru menemuiku?" suara Stella meluncur seperti desisan ular berbisa, bergetar di udara yang mendadak terasa menyesakkan.Dengan mata yang berkaca-kaca, ia melangkah mendekat, hendak merengkuh pria itu dalam pelukannya.Namun, Smith menghentikannya dengan gerakan kecil yang lebih tajam dari sebilah pisau. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini," suaranya rendah, nyaris tenggelam dalam bayang-bayang malam. "Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu."Kening Stella mengerut, matanya yang bagaikan dua batu safir yang disiram cahaya lilin, menatapnya lekat-lekat. "Ada apa, Smith? Kau sudah menceraikan wanita itu, kan?"Smith menggeleng perlahan. Gerakannya seperti daun kering yang jatuh tanpa daya ke tanah. "Justru itu yang ingin aku katakan padamu, Stella. Aku … aku tidak bisa menceraikan Laura. Keputusanku adalah tetap mempertahankan pernikahanku dengannya."Udara di antara mereka mendadak membeku. Mata Stella membelalak, api yang berkobar di dalam
“Lepaskan tangan Laura!” desis Smith, suaranya rendah namun menyiratkan ancaman tersembunyi.Ia menarik tangan Laura dengan gerakan tegas, matanya yang gelap seperti jurang tanpa dasar menatap wajah Louis yang memerah oleh amarah.“Aku tidak pernah memaksa Laura untuk bertahan denganku,” ujarnya, suaranya dingin bak angin malam yang menyelinap menusuk tulang.“Namun, aku selalu berupaya menjadi lebih baik agar Laura tidak pergi dariku.” Tatapan tajamnya, seolah pedang berkilauan dalam kegelapan, tidak lepas dari Louis yang menahan gemuruh di dadanya.“Sudah, Smith. Kau tidak perlu menjelaskan apa pun pada Louis,” suara Laura meluncur lembut seperti angin sepoi yang mencoba meredam api yang berkobar.Namun, Smith masih memancarkan aura kaku, tanda bahwa hatinya belum benar-benar tenang.“Kau ingin aku mati sejak lama, huh? Sebaiknya kau saja yang mati duluan, Louis!” Nada suaranya menggema penuh kemarahan yang dingin, seperti pecahan es yang menghujam dasar laut.Ia mencengkeram tangan
“Laura?” suara Louis pecah seperti melodi penuh harap di ruang yang sunyi.Sebuah senyum lebar merekah di wajahnya, matanya berbinar seperti menemukan oase di tengah gurun ketika melihat Laura memasuki ruang kerjanya.Ia segera berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu dengan langkah penuh semangat.“Hi, Louis. Apa kabar?” tanya Laura, suaranya selembut embusan angin pagi, membawa kesejukan yang menenangkan namun menyimpan ketegangan tersembunyi.“Kabarku baik. Tapi, ada apa, Laura? Tumben sekali kau datang kemari tanpa mengabariku terlebih dahulu. Smith tahu kau datang ke sini?”Rentetan pertanyaan meluncur dari bibir Louis, nadanya mencerminkan rasa senang yang nyaris tak terkendali.Laura mengangguk pelan, gerakan kecil yang membawa arti besar. “Ya, Smith tahu aku datang. Bisa kita bicara, Louis?”Pria itu hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, lalu mempersilakan Laura untuk duduk di sofa empuk di ruangannya.Louis sendiri mengambil tempat duduk di hadapan wanita itu,
“Smith tidak akan melepaskan Laura.” Bayangan kegelapan menyelimuti wajah Stella, setajam pisau yang siap menusuk jantungnya.Ia menoleh cepat ke arah Louis, mata bak bara api yang membara. “What? Kau yakin, huh? Kenapa bisa? Apakah ini karena ayah kalian?” tanyanya, suara bergetar menahan amarah yang membuncah bagai lautan tak bertepi.“Ya. Bisa jadi karena ayahku dan Laura tampaknya sudah mencintai Smith.” Louis menyunggingkan senyum tipis, sebuah senyum yang terasa dingin dan menusuk seperti embun pagi di musim gugur. Senyum yang menyimpan rahasia kelam di baliknya.“Kau tidak akan bisa mengambil hati Smith lagi jika Smith sudah mencintai Laura.” Louis memutar-mutar gelas berisi wine itu, cahaya lilin menari-nari di permukaan anggur merah yang pekat, seperti darah yang mengalir deras.Stella mengepalkan tangannya dengan erat, urat-urat nadi membengkak di bawah kulit pucatnya.“Tidak! Smith sudah berjanji padaku akan menceraikan wanita itu, bukan malah mencintainya! Menyebalkan, arg
Louis memasuki ruangan Vincent tanpa mengetuk lebih dulu, pintu kayu besar itu berderit perlahan, seolah menegaskan ketidaksabarannya.Dengan langkah cepat yang penuh determinasi, ia berdiri di hadapan ayahnya, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menusuk.“Apa kau yakin mau memberi Smith kesempatan?” tanyanya tanpa basa-basi, nadanya seperti badai yang baru saja menghantam ketenangan.Vincent, yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya, mendongak perlahan. Ia menaikkan satu alis, ekspresinya tetap tenang seperti danau di tengah malam.“Apa maksudmu, Louis? Semua orang layak mendapatkan kesempatan kedua, apalagi jika dia bersedia berubah,” ucapnya santai, namun dengan nada yang mengandung otoritas tak terbantahkan.Louis mengepalkan tangan, jemarinya menggenggam erat seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.“Bagaimana jika dia menyakiti Laura lagi? Bahkan hingga kini, Smith belum menyelesaikan hubungannya dengan Stella!” serunya, suaranya meninggi seperti api yang berko
“Kau sudah memutuskan, Smith?” tanya Vincent, matanya menatap lekat, seolah mencoba menggali hingga ke dasar hati putranya.Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tersembunyi di balik nada itu, seperti ombak yang mengancam di tengah lautan yang tampak damai.Smith menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Ya. Aku sudah memutuskan. Aku akan memilih Laura. Laura juga sudah memaafkanku,” jawabnya, suaranya tegas, namun ada kelembutan yang samar, seperti daun yang jatuh perlahan dari pohon di musim gugur.Vincent mengamati wajah putranya, membaca setiap lekuk ketegasan yang tergambar di sana.Sorot matanya menyelidik, mencoba memastikan bahwa keputusan itu bukan sekadar kata-kata kosong.“Aku tidak ingin kau menyakitinya lagi, Smith. Sudah cukup apa yang terjadi di awal pernikahan kalian,” ujar Vincent, suaranya terdengar seperti doa yang dipanjatkan dalam keheningan malam.Smith mengangguk, menatap pria yang selalu menjadi pilar teguh dalam hidupnya. Ada sesuatu di mata Vincent yang mem